ADZAN berkumandang, menandakan waktu subuh tengah hadir di tengah-tengah mimpi yang enggan terbangun. Bisikan Syaitan seakan berdesis untuk menutup mata, menarik selimut dan mengabaikan panggilan bercengkrama dengan Sang Pencipta.
"Tha... Bangun, Sholat dulu." Ergantha hanya mengumam, tak lama membuka selimut. Mulai meregangkan otot, berharap matanya akan terbuka. Terlanjur mengaku sudah tak halangan kepada Najwa, ia tak bisa beralasan lagi.
Memasuki kamar mandi, dan membasuh wajah. Berharap rasa kantuk dapat menghilang.
"Udah Wudhu, Tha?" Tanya Najwa begitu Ergantha keluar dari kamar mandi.
Membasuh muka, termasuk wudhu, kan? Batin Ergantha membenarkan.
Ergantha mengangguk tanpa suara. Mengambil mukenah dari Najwa. Sholat subuh dilakukan berjamaah dengan Ergantha yang mengikuti gerakan Najwa. Untungnya dia masih sedikit mengingat rakaat untuk setiap waktu sholat, meski kerap kali tertukar.
Sisanya Ergantha hanya komat-kamit tak jelas. Doa yang ia baca pun, hanya Al-fatihah.
Selepas Sholat, Najwa melakukan tilawah hafalan— membaca untaian-untaian merdu dari ayat suci Al-Qur'an. Ergantha jadi ingin. Ia ingin berdoa kepada Tuhan, agar menjadi sosok seperti Najwa. Namun jarak yang terbentang terlampau jauh, sebab ia tak tahu harus memulai seperti apa.
Mengenakan Jaket, Ergantha berniat keluar berjalan di sekitar kompleks. Menuliskan sebuah memo izin kepada Najwa karena tak ingin mengganggu.
Udara selepas hujan hal yang terbaik untuk dinikmati. Aroma tanah yang menguap bercampur dengan tiupan semilir angin. Jika di kota Metropolitan mungkin Ergantha tak akan bisa merasakan sensasi udara yang seperti ini.
Tak sadar akan langkah kaki yang terus berjalan, sampai pada di tempat yang Ergantha sendiri tak tahu ada dimana. Ergantha berdecak, Ponsel dan dompet miliknya masih di tangan Pati. Matahari akan mulai terbit, perut Ergantha berbunyi tak tenang. Kelaparan di tengah kota orang menjadi hal terburuk.
Menepi di minimarket, Ergantha sadar tak punya sepeser uang ditengah cacing-cacing yang kelaparan. Ingin kembali kerumah Najwa justru lupa jalan pulang. Rasanya Ergantha ingin menangis saja.
Lama berdiam diri, terlihat seorang laki-laki tengah berlari kecil menuju kearahnya. Diburu rasa kelelahan dengan keringat yang menetes dari pelipis laki-laki tersebut. Laki-laki itu hanya mengenakan topi dan kaos yang dilapisi kemeja tak berkancing disaat udara menusuk sampai ke tulang.
"Ergantha..." Panggil Adzkan dengan nafas yang tak teratur.
"Mas Adzkan, kenapa bi—bisa disini?" Gelagap Ergantha mencoba memperjelas pengelihatan dengan jantung yang bereforia. Cukup lama Ergantha bisa membuka suara.
Adzkan menetralkan dada yang berdetak tak tenang sedari tadi. Sepulang dari Masjid, Najwa mengatakan Ergantha sedang pergi berjalan-jalan sekitaran kompleks seorang diri, menunggu tiga puluh menit berlalu, Ergantha tak juga kembali. Jadilah mereka berpencar mencari Ergantha.
"Lupa jalan pulang?" Adzkan bertanya. Setengah mati ia mengkhawatirkan Ergantha— sudah seperti adik sendiri.
Ergantha tengah bereforia, entah karena hadirnya Adzkan atau karena ia tak terkena percikan amarah. Biasanya Pati akan memarahinya habis-habisan jika menghilang secara tiba-tiba. Namun tidak dengan Adzkan. Keringat membasahi pelipis, dengan iris mata yang menatapnya lekat— tak lama. Irama nafas yang tak beraturan dengan topi baseball yang menambah aura ketampanan.
Jantung Ergantha kembali bertindak kampungan.
"Ergantha..." Suara Adzkan terlampau merdu ditelinga.
"Kamu mau beli sesuatu?" Tanya Adzkan sekali lagi kepada Ergantha yang tak berkutik.
Krckk....
Suara perut sialan!
"Oke, kita cari sarapan," tukas Adzkan memasuki minimarket.
Ergantha berdecak sebal, mengelus perut kelaparan yang tak sabaran. Pemandangan menatap Adzkan jadi tak bisa berlanjut. Mengikuti Adzkan dari belakang, Ergantha memilih roti yang ia sukai. Membuka lemari pendingin, mencari minuman yang tengah dirindukan. Beberapa bir kaleng tertata rapi, terbit sebuah senyuman di bibir Ergantha.
"Niat saya hanya untuk mentraktir sarapan... Jangan serakah!"
Ergantha mengkerut, menatap Adzkan dengan iba. Laki-laki yang membuat suasana hatinya berubah dalam sekejap ini berada di samping lemari pendingin.
"Taruh lagi, Ergantha...."
Nada bicara Adzkan begitu menyebut 'Ergantha' begitu memabukkan. Ia tak butuh bir ataupun alkohol, cukup Adzkan memanggilnya dengan nada khas itu. Ergantha jadi gemar lupa jalan pulang kalau begini.
"Dasar pelit!" Cetus Ergantha seakan merajuk dengan perasaan yang meluap.
"Air mineral lebih sehat." Tawar Adzkan.
"Sarapan sama Mie Instan emang sehat?!" Sinisnya melihat Adzkan yang tengah memegang mie kemasan siap saji. Adzkan mengusap leher, kembali meletakkan Mie instannya.
"Impas, 'kan?" Adzkan menujukkan mie yang berganti dengan roti kemudian berlalu menuju kasir.
Rasanya Ergantha tak pernah merasakan sebahagia ini hanya karena mie instan yang ditukar dengan roti. Terlalu banyak aturan dalam hidup, sampai ia selalu menjadi korban— tak bebas dan terkekang. Bersama Adzkan, menjadi spesial dapat dirasakan.
Senyuman Ergantha tak henti melihat Adzkan yang tengah menyelesaikan pembayaran di kasir. Memindai Adzkan dari belakang dengan segurat senyuman.
Kenapa bisa Adzkan terlahir sebagai pria tampan sekaligus menenangkan. Ini Tak adil! pikir Ergantha.
Mereka menyantap sarapan dengan roti yang telah dihangatkan— Air mineral untuk Ergantha dan kopi untuk Adzkan. Masing-masing dari mereka menikmati jalanan yang mulai menampilkan keramaian dari tempat duduk di dalam minimarket.
"Kenapa bisa nyasar sampai sini? Beneran, lupa jalan pulang?" Tanya Adzkan begitu selesai dengan sebungkus roti.
"Tadinya aku cuma mau lihat suasana sehabis subuh— Eh, bablas sampai sini." Ergantha menatap Adzkan sedang laki-laki yang ditatapnya justru lebih asik menatap jalanan di luar.
"Dan enggak bawa dompet?"
"Ponsel sama dompet aku ditahan Mas Pati."
Bicara soal Pati, Ergantha teringat kakak Laki-lakinya itu sudah tiga hari berada di Sukabumi—mengurus pembukaan bengkel, cabang baru. Padahal setahu Ergantha, bengkel Pati tak ada yang berkembang pesat selain Bengkel yang berada di Bandung.
"Mas Adzkan udah lama temenan sama Mas Pati?"
Adzkan mengangguk, "Sejak duduk di kelas dua SMA."
"Ah... Udah paham busuknya Mas Pati kalau gitu."
"Kamu rindu Pati?"
Ergantha mendelik malas, yang benar saja, ia justru berharap Pati tak menunjukkan batang hidungnya. Jika bisa tenggelam di makan buaya hanyut di segitiga bermuda— sehingga kehidupan Ergantha tak perlu direcoki.
"Kenapa kamu suka Bir?" Adzkan bertanya, menyesap segelas kopi hangat, seakan pertanyaan itu hanyalah basa-basi.
"Bir itu bikin tenang."
"Bukan karena pengalihan?."
Ergantha tak suka, tak pernah suka dikritik, dikuliti ataupun di debat. Lihat siapa laki-laki yang berani mengomentarinya ini.
"Mas Adzkan enggak ngerti." Cicit Ergantha kesal.
"Karena Bir cuma jadi pelarian terhadap kenyataan yang kamu tolak dan memberikan rasa ketenangan ilusi—Begitu, 'kan?"
"Apapun alasannya, Bir tetap punya posisi sendiri dalam hidup aku. Mas Adzkan bisa tanya Mas Pati, kenapa dulu dia suka minum alkohol."
"Kamu memang pernah bertanya ke Pati, kenapa sekarang dia menjauhi alkohol?"
Ergantha menatap Adzkan tak suka. Namun laki-laki ini tetap pada prinsipnya, tak pernah ingin menatap Ergantha terlalu lama.
"Kalau aku hidup di keluarga seperti Mas Adzkan dan Kak Najwa, aku enggak bakalan kenal sama yang namanya Alkohol."
Adzkan menggeleng tak setuju. "Manusia pada dasarnya diberikan kuasa untuk memilih dan menjadi baik itu juga sebuah pilihan."
"Tapi enggak semua orang punya privilege untuk memilih." Debat Ergantha.
"Dan selalu ada pilihan untuk menjadi baik, Ergantha." Rasanya, emosi yang tertanam ingin meluap hanya karena teringat rumah. Ergantha lebih suka mengurung emosi sialan ini.
"Mas Adzkan enggak bakalan mengerti rasanya dituntut menjadi sempurna, berkelakuan baik dengan harus mengenyampingkan rasa."
Menatap segelas kopi yang tak lagi berasap, Adzkan menarik sebuah smirk halus. "Like the famous terms of blamming others : Aku begini karena orangtuaku." Ujarnya menyentil hati Ergantha.
Ergantha tak suka, dia benar-benar tak suka seseorang yang mencampuri kehidupan pribadinya. Mengomentari rasa pedih yang ia simpan sendiri, menelaah rasa sakit yang tak ingin ia beberkan.
Tau apa Adzkan perihal luka yang telah berfermentasi dalam dirinya.
Ergantha ingin membalikkan kembali kata dari Adzkan, namun tak ada satu patah kata yang bisa terlepas dari mulutnya. Adzkan menghabiskan sisa kopi dalam gelasnya kemudian membuang sampah sisa sarapan mereka.
"Mau disini terus?" Ergantha sangsi enggan menjawab.
"Ergantha...." Panggil Adzkan sekali lagi.
"Ergantha...."
Sialan! Ergantha kembali melemah hanya karena panggilan ini, hanya karena panggilan dari Adzkan jantungnya kembali bertindak kampungan.
"Oke, saya pulang duluan." Ergantha lantas bergerak cepat mengikuti Adzkan dari belakang.
Jika saja ia ingat jalan pulang, mungkin mode merajuk akan tetap dilakukan. Berjalan pelan mengikuti Adzkan dari belakang, Ergantha mengumpat dengan ribuan sumpah serapah.
Dasar tampan, tampan, tampan! umpatnya.