Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 17) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

BELAJAR dari Senja, bahwa mengagumi tidak selamanya dimiliki.

Adzkan bukanlah sosok melankolis yang mencintai senja ataupun hal yang indah. Ia juga tak pernah ingin mengerti perihal cinta, namun senja mengajarkan banyak hal.

Adzoan memang terlahir menjadi sosok berparas menawan yang kerap menjadi rebutan. Digoda oleh para wanita tak berkelas tanpa tau hakikat mereka terlahir sebagai perempuan.

Jika fitnah terbesar lelaki adalah wanita, maka Adzkan orang yang akan menjauhi fitnah tersebut. Bertahun-tahun ia menjaga diri dari fitnah wanita agar tak terperangkap dalam rayuan cinta. Hingga pertemuan dengan seorang teman membuatnya hampir lupa.

Gadis yang tumbuh dengan tutur kata yang lembut, serta adab dalam penjagaan diri membuatnya merasa tak tenang.

Teman yang ia pikir hanya sekedar teman, nyatanya menjelma menjadi gadis idaman. Gadis yang ia pikir dapat diraih, nyatanya terlampau menjadi khayalan. Sebab mereka-tak satu dalam rasa.

"Kayaknya gue perlu bawa Ergantha ke Bandung setiap liburan. Vibe disini lebih bagus daripada Jakarta." Ungkap Pati menatap hamparan danau.

Selepas dari Bengkel, Pati dan Adzkan pergi ke area Danau tempat pemancingan. Biasanya, jika Pati, Adzkan maupun Makkih tengah merasa frustasi, tempat ini seperti sebuah pelampiasan dari hiruk pikuk kejamnya dunia. Hanya saja, Makkih saat ini jarang ikut serta, jadilah mereka berdua pergi ke tempat pemancingan di kala senja tengah bersembunyi.

"Lusa Ergantha pengen gue ajak ikut ke kajian Ustadz Budi, tapi rasanya gue capek banget harus perang urat dulu." Kata Pati melemparkan pancingannya.

Setiap bulan Pati akan selalu mengeluhkan sikap Ergantha yang terlampau melenceng, pertengkaran yang tak harmonis sampai komunikasi yang tak sejalan. Pun, beberapa kali Adzkan ke Jakarta selalu menemukan Ergantha dalam keadaan mabuk. Tak jarang ia menemukan Ergantha dengan pakaian minim dan aroma mulut yang bercampur alkohol ataupun rokok. Memikirkan adik perempuanya-Najwa bertingkah seperti Ergantha, membuat Adzkan bergidik ngeri.

"Ngomong-ngomong, Makkih beneran serius sama Asih?"

Adzkan menyenderkan kepala ke kursi, menanti umpannya dimakan ikan, tak ingin menjawab hal yang di luar ranah. Sengaja kesini agar bayang-bayangan Asih tak tersisa di kepala, Pati justru seakan menyadarkan betapa lemahnya perasaan yang tengah berkembang ini.

Manusia itu amat lemah, apalagi jika menyangkut perasaan. Tak hanya perempuan. Laki-laki pun bisa menjadi tak waras jika itu menyangkut perihal rasa.

Rasa yang kerap kali manusia agungkan itu, nyatanya benar-benar berbahaya jika tanpa melibatkan Allah. Berapa banyak pasangan yang rela memuaskan ego demi bisa bersama- meski terhalang Tuhan yang berbeda.

Bagi Adzkan, rasa bukan hanya perihal hak, atapun sekedar dahaga yang perlu diberi minum. Ada yang lebih penting dari sebuah rasa yang hanya berlandas pada manusia. Apalagi kalau bukan rasa cinta kepada Sang Pencipta.

"Kenapa, Lo enggak suka?" Tanya Adzkan seakan tak tertarik.

"Enggaklah! Gila aja!" Sanggah Pati. "Itu anak Tragis banget."

"Makkih?"

"Asihlah! Lo enggak lihat tatapan Makkih belum berubah ke Najwa..." Pati menggeleng tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.

Rumput bahkan tahu, laki-laki berwibawa itu masih menyimpan jutaan rasa kepada Najwa. Mimik wajah layaknya kepiting rebus yang sewaktu-waktu berubah kecewa hanya ditolak Najwa.

Tipikel Qais yang mencintai Laila. Tragis!

"Hati manusia enggak ada yang tau, Ti." Kata Adzkan mengingatkan. Hatinya yang tengah berkembang untuk gadis lain bahkan tak ada yang tahu.

Adzkan sengaja tak pernah membahas masalah Asih jika bertemu dengan Makkih. Tak sanggup jika jawaban yang keluar dari Makkih membuat patah hati. Biarkan saja Makkih memilih jalannya. Toh, Makkih juga sudah berulangkali Patah hati karena Najwa-adiknya sendiri.

Seandainya Najwa mau menerima lamaran Makkih, mungkin ia bisa bersanding dengan Asih. Namun kemungkinan itu jelas tak akan pernah terjadi, sebab mereka memiliki rasa yang bertentangan.

"Si Makkih terlampau menaruh hati sama Najwa, sampai lupa cara pakai hati buat perempuan lain." Kata Pati seakan paling tahu. Ia memang tak pernah serius perihal cinta dan hobi mempermainkan rasa, tapi itu dulu.

"Biar jadi urusan Makkih aja, Ti. Gue enggak mau ikut campur."

"Mikirin kisah cinta si Makkih bikin gue migren. Ck!" Pati memeriksa kail pancingannya, mengira ikan tengah memakan umpan, nyatanya umpan terlepas. Ia jadi sebal sendiri.

"Udah hubungi pihak advisor di Sukabumi? Apa Lo masih hobi jalan sendiri-sendiri?" Adzkan mengalihkan topik, mengingat persiapan Pati yang tengah membuka cabang baru di Sukabumi.

"Pihak advisor susah diajak kerjasama. Minta diakusisi, mereka malah kekeh buat aturan sendiri."

"Bokap juga aneh, bisa-bisanya minta gue akusisi bengkel yang jelas enggak punya profit apapun... Cabang Bengkel yang di Jakarta aja belum ada progres positif."

"Lo harus survei kesana, baru tindak-lanjuti. Enggak mungkin kalau Bokap Lo akusisi Hardijsta tanpa pertimbangan." Kata Adzkan berpendapat.

Pati memijat kening yang mengkerut sejak tadi. Persoalan pekerjaan sampai perihal Ergantha membuatnya tak berhenti untuk berpikir. Disatu waktu ia harus membawa Ergantha ke makam alamarhumah Eyang, disisi lain ia harus mengatur jalannya Bengkel di Sukabumi. Belum lagi, bengkel yang baru ia rintis di Jakarta. Pati jadi ingin membelah diri.

"Adz, Lo bisa bantuin gue, enggak?" Tanya Pati begitu ia mendapatkan ide.

"Tergantung, berapa macam."

Mengenal Pati cukup lama, Adzkan sangat paham teman sekaligus bosnya itu gemar meminta tolong untuk hal yang sangat tak tahu malu. Bukannya Adzkan tak mau membantu, hanya saja jika Pati sedang sibuk dengan banyak rutinitas, kemudian pusing dengan tingkah Ergantha, Pati terkadang hobi melarikan diri dari tanggung jawabnya.

Pergi berlibur dengan ponsel yang sengaja dimatikan. Belum lagi dengan kelakuan Pati yang tak memberi kabar kepada siapapun.

Kekanak-kanakan!

"Gue cuma mau titip Ergantha. Bisa enggak?" Adzkan menoleh menampilkan raut wajah yang tak paham.

"Ergantha udah gede kali." Balas Adzkan.

"Maksud gue, anterin Ergantha ke makam Eyang, sekalian anterin ke rumah Eyang Putri, soalnya Najwa ada bimbingan." Kata Pati meluruskan.

Adzkan menimbang, tak lama ia pun menyetujui. Padahal tiga hari ini ia mati-matian menjauhi Ergantha, mengingat percakapan terakhir mereka yang cukup curam.

Ergantha-gadis belia yang menanyakan perihal rasa suka terpendamnya kepada Asih. Ergantha memang mirip dengan Pati, bertanya tanpa ragu demi mendapatkan kepastian. Beruntung Pati tak sepeka Ergantha, bisa-bisa Adzkan dibully habis-habisan.

Adzkan yakin Ergantha bukanlah gadis yang hobi mengurusi perasaan orang lain.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags