Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 16) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

MENEPI ke daerah yang tak bising membuat Ergantha menyadari bahwa ia butuh jeda. Guna memenangkan pikiran, sembari menelaah problematika yang tengah didebatkan sendiri.

Tak ada club', alkohol, rokok dan teman sepermainan. Seperti hidup di dalam goa yang ia tak kenal, bersama Adzkan, si laki-laki favorit Ergantha.

Hampir seminggu Ergantha berada di Bandung, diisi tawa anak-anak kompleks yang hobi memanjat pohon. Beberapa dari mereka tertawa cekikikan berganti tangisan. Hari-harinya dilewati dengan memantau perkelahian anak-anak Sekolah Dasar yang berlagak sok jagoan. Ergantha jadi teringat masa kelam tak seperti anak lainnya.

Terdengar suara mobil di beranda bawah, pertanda Adzkan telah pulang. Senyuman Ergantha kian terbit, memantau laki-laki yang menjauhinya beberapa hari ini. Sebut ia nekat karena tidak sopan menanyakan perihal rasa suka Adzkan beberapa hari yang lalu. Ia terlampau frustasi memikirkan cara pendekatan kepada makhluk tampan itu.

Terlihat dua orang perempuan mendatangi Adzkan, membawa Tote bag yang entah berisi apa. Ergantha menajamkan penglihatan kepada dua perempuan bersaudara—Asih dan Jehan.

Semakin memperhatikan Asih, sosok perempuan lemah lembut itu membuat Ergantha risih. Perempuan itu tersenyum manis dengan wajah cantik. Ibarat jelmaan bidadari yang turun ke bumi.

Cih, sok cantik! Monolog Ergantha.

Perempuan berhijab itu sudah memiliki tunangan, bukan... Lantas mengapa tebar pesona kepada mangsa milik Ergantha, seperti perempuan yang tak ingin kehilangan para budak cinta. Rasa terbakar kian membelenggu melihat Asih tak juga pergi.

Adzkan memang tak terang-terangan melihat Asih ketika berbicara, namun seulas smirk senyuman menjawab segalanya. Ingin rasanya Ergantha membawa Adzkan masuk ke dalam rumah, agar senyuman tampan itu tak terbuang percuma.

"Ngapain kamu, Tha?!"

Sial, Ergantha ketahuan!

Pati mengadahkan kepala ke atas, tepat pada jendela kamar Najwa. Ia
mengernyit heran, semenjak disini adik perempuannya sedikit aneh, sudah tak pernah memasang wajah masam seperti remaja galau. Bertingkah elegan layaknya putri raja.

"Udah sore, Tha... Jendelanya di tutup, nanti kamu digodain sama setan jadi-jadian!" Teriak Pati dari bawah yang dibalas dengusan dan jendela yang tertutup kasar.

Pati memang saudara paling menyebalkan. Gemar merebut setitik kebahagiaan Ergantha.

Kenapa sosok serigala berbulu domba itu tak tinggal menetap di bengkel. Adzkan saja yang pulang. Ergantha hanya butuh dengan wajah tampan bukan wajah menyebalkan seperti Pati.

"Si Asih sering main kesini, Kak?" Ergantha bertanya kepada Najwa yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Siapa Tha?" Tanya Najwa mengulang.

"Itu-" Ergantha bingung panggilan untuk saingannya agar terdengar sopan. "Teh Asih! Dia sering main kesini?"

"Dulu sih, Iya. Setiap jam makan malam selalu ke rumah."

"Di rumah mereka enggak ada makanan? Katanya anak Pak Gubernur." Sarkas Ergantha. Najwa tersenyum samar mendengar ucapan Ergantha.

"Bukannya enggak ada, cuma sepi, Tha. Penghuninya jarang di rumah."

"Mas Adzkan seumuran sama Teh Asih? Kelihatannya mereka akrab."

"Sudah berteman semenjak TK." Tak heran jika Adzkan memiliki ketertarikan. Sejarahnya dengan Asih berjalan cukup lama.

Cinta monyet, rupanya.

"Mereka pernah pacaran?"

"Kang Adzkan itu susah deket sama perempuan." Balas Najwa.

Adzkan memang memasang sekat terlalu tinggi, termasuk pada Ergantha. Jika bersama Asih saja laki-laki itu tebar senyuman, seakan ramah dan bicara tak formal.

Cih!

"Mas Adzkan enggak pernah bawa perempuan ke rumah?"

"Wah... kalau sampai bawa calonnya mah, sekeluarga bisa syukuran."

"Anti banget sama perempuan!" Ergantha mendesis tak suka.

"Bukan anti, cuma takut terkena fitnah."

Kalau begitu Adzkan sudah terkena fitnah kecantikan si Asih. Batin Ergantha.

Asih memang cantik, cukup melihatnya saja Ergantha tahu perbedaan mereka berdua. Bagai langit dan bumi. Kecantikan luar dalam bahkan terpancar, belum lagi senyuman dan tutur kata yang lembut.

Tetap saja, dimata Ergantha Asih sok cantik!

"Ada masalah apa sih Mas Adzkan sama perempuan? Pernah ditinggal nikah? Apa trauma ditolak?" Tanya Ergantha penasaran. Padahal mana mungkin Adzkan di tolak dengan packaging semenawan itu.

"Kamu naksir sama Kang Adzkan?" Pertanyaan mendadak dari Najwa membuat Ergantha gelagapan, melempar tatapan kearah sembarang.

"Enggak apa-apa, Tha. Dulu temen-temen aku juga banyak yang naksir."

"Terus gimana? Mas Adzkan—"

"Ya ditolak... Dari yang cantik sampai yang Sholehah enggak ada yang di ACC. Jadi semua orang berpikiran kalau Kang Adzkan itu... Gay."

Gay? Cih, mana mungkin!

Tatapan memuja Adzkan kepada Asih sudah menjawab segalanya. Anehnya, tak ada satupun yang sadar akan perilaku makhluk misterius itu. Cukup sekali lihat saja, Ergantha tahu bahwa Adzkan menyimpan kontak Pandora berupa rasa, tersimpan rapat tanpa ada pengecoh.

Sayang, rasa itu sepihak. Nanti Ergantha saja yang akan mengobati luka laki-laki tampannya. Asal perempuan Jelly yang sangat lemah lembut itu tak dekat-dekat di area sekitar.

"Ngomong-ngomong, Bandung nyaman kan, Tha?"

"Nyaman—Enggak bising seperti Jakarta. Tapi kalau macet mah sama aja."

Najwa terkekeh setuju. "Kuliah nanti, kamu udah tau mau dimana?"

"Aussie atau mungkin Poland." Jawab Ergantha percaya diri.

Impian setelah lulus, Ergantha akan pergi mencari kebebasan di luar negeri. Mencari perguruan tinggi mana saja—jauh dari Papa dan Pati, membangun dunia baru yang ia sebut kebebasan.

Tak ada bentakan, tak ada larangan. Segala sesuatunya bebas terlaksana.

Ah, Ergantha jadi makin tak sabar!

"Jauh banget, Tha. Enggak takut rindu sama orang rumah?"

"Jangankan rindu, keluarga yang disebut rumah aja udah hangus kebakar."

"Bukan cuma keluarga yang bisa disebut rumah, Tha. Cukup kembali kepada orang yang kita sayangi, itu juga rumah."

Itu berarti rumah Ergantha telah terkubur, sebab satu-satunya orang yang disayangi telah berpindah ke liang lahat.

"Kalau begitu enggak ada yang perlu aku rindukan."

Najwa tersadar, ia tak seharusnya mengambil topik sensitif untuk Ergantha. Najwa berjalan mendekati Ergantha yang tengah duduk di samping jendela.

"Bandung selalu terbuka buat kamu, dan rumah ini akan selalu nerima kamu kapan pun- Kamu kalau rindu sama aku atau Kang Adzkan juga enggak apa-apa."

Seandainya ia terlahir di keluarga seperti Najwa, memiliki Ayah sebaik Pak Kurniawan dan Kakak perempuan serta Kakak laki-laki seperti Adzkan, dunia Ergantha pasti sempurna. Masa kecil tak terenggut. Tak ada tangisan dan ketakutan pada hal yang tak pasti. Hidup yang diberikan Tuhan terlalu tak adil. Kenapa ia tak terlahir di keluarga Najwa saja-menjadi anak ketiga.

Namun, jika terlahir sebagai saudara Najwa ia tak bisa menyukai Adzkan.

Ah, Ergantha tidak suka kalau begitu!

"Mas Adzkan boleh buat aku aja enggak sih, Kak? Aku tuker sama Mas Pati gimana?" Pura-pura Ergantha mengiba, disambut kekehan Najwa.

"Kamu bawa dua-duanya aja gimana, Tha?"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags