"ERGANTHA..." Suara bass yang mengalun bersanding dengan aroma woody yang menenangkan.
"Kamu bisa mendengar saya?" Ergantha mencoba membuka mata dengan kepala yang enggan diajak kerjasama. Ia ingat suara ini tak asing, milik laki-laki tampan dengan tubuh atletis yang pernah mengantarnya bersama Pati. Hangover sialan, ia jadi tak bisa melihat wajah laki-laki menawan ini secara jelas.
"Saya izin permisi, ya,"
Tak lama, badan Ergantha terasa dibawa melayang ke dalam sebuah mobil oleh beberapa orang dengan bising yang tak jelas. Aneh, suara yang terdengar jelas seorang laki-laki. Kenapa yang mengangkat tubuhnya terasa seperti tenaga para perempuan.
"Mas ini pacarnya kenapa enggak diangkat sendiri?"
"Maaf buk... Bukan... Bukan pacar saya." Kesadaran Ergantha menghilang begitu suara pintu mobil tertutup.
*************
"Kamu gila?!" Suara Pati menyadarkan Ergantha yang baru saja bangun dari sisa mabuk semalam.
Berlari ke kamar mandi menumpahkan seluruh isi perut yang tak diisi. Begitu menuntaskan kekosongan perut yang melilit, Pati justru sudah berdecak pinggang menunggu.
"Semalam kamu kabur lagi, 'kan?!" Ergantha memejamkan mata, mengatur nafas. Ia harus mengkondisikan sakit kepala efek Hangover semalam.
"Kamu mau cari mati dengan pakaian begini?!" Pati menggoyangkan bahu Ergantha. Jika tak ada Adzkhan-sahabat Pati, adik keras kepalanya mungkin akan menjadi santapan untuk pria hidung belang.
"Lepas-" Ergantha tak peduli amukan Pati, ia butuh kembali tidur.
Semalam ia hanya mengingat masuk ke sebuah mobil asing, bersama pria menawan dengan aroma Woody. Begitu membuka mata, Pati justru sudah menatapnya dengan garang. Pati—si kakak laki-laki yang dapat berpindah dari satu kota ke kota hanya dalam sekejap.
"Kamu itu maunya apa, Tha?!" Tanya Pati membentak keras.
"Tidur! Aku mau lanjutin tidur!" Balas Ergantha yang hendak melepaskan diri dari Pati.
"Tha!" Tahan Pati.
"Apa lagi?!" Balas Ergantha tak kalah keras. Matahari sudah meninggi, artinya ia tak mungkin berangkat ke Sekolah. Pun, ia terlalu malas jika pagi hari harus disambut dengan lomba debat bersama Pati.
"Kamu mau jadi perempuan nakal yang enggak punya masa depan?!"
"Sekalipun aku mau jadi pelacur, enggak ada hubungannya sama Mas Pati!"
"Pelacur?!" Bentak Pati tanpa menurunkan suara. "Kamu pikir jadi pelacur itu enak? Gampang?"
"Jadi cowok brengsek aja gampang 'kan, untuk Mas Pati?" Balas Ergantha menantang. Padahal ia hanya ingin tidur kembali namun Pati seperti tak suka rela jika tak mengadakan debat di pagi hari.
"Kamu enggak ngerti, Tha!"
"Mas Pati yang enggak pernah ngerti!"
"Mau kamu apa sebenarnya... Mas pulang demi kamu. Mas tinggalin kerjaan yang di Bandung rela ke Jakarta. Itu semua demi kamu!" Pati menunjuk Ergantha dengan emosi.
"Mas Pati pikir aku suka kalau kita satu atap? Enggak! Aku enggak pernah suka!" Ergantha balas menatap berang kakak laki-lakinya.
Kepala kian berdenyut dengan emosi yang diobrak-abrik oleh Pati. Ingin rasanya Ergantha mengirim Kakak laki-lakinya ini ke planet Neptunus.
"Aku muak tinggal sama orang brengsek seperti Papa dan Mas Pati. Aku muak harus jadi perempuan baik-baik. Aku muak jadi tersangka atas kematian semua orang. Aku muak sama hidup ku!"
Tak hanya Ergantha, Pati pun sama muaknya dengan kehidupan mereka.
"Tapi enggak gini caranya, Tha... Kamu cuma nyakitin diri sendiri. Pelarian kamu cuma jadi bom waktu."
"Peduli apa Mas Pati sama hidupku!"
"Mas peduli! Mas ada disini karena peduli sama kamu, sama keluarga kita!"
"Keluarga?" Ergantha mencemooh. "Enggak salah denger kupingku?"
"Terlepas apapun yang udah terjadi, kita tetep keluarga."
"Keluarga yang Mas Pati bilang, udah mati sejak Mama enggak ada... Mas Pati lupa? Tujuh tahun lalu pergi dari rumah, tujuh tahun lalu tinggalin aku yang masih butuh perlindungan, tanpa tahu aku juga sekarat psikis... Harusnya Mas Pati konsisten menjadi laki-laki brengsek!"
Pati memijat kening, Ergantha selalu mengulitinya perihal masa lalu, masa dimana ia menjadi penjahat untuk adik satu-satunya. Penjahat besar untuk Ergantha kecil yang merengek ikut bersama.
Dulu, harusnya ia membawa Ergantha kabur bersama. Membangun dunia yang lebih pantas untuk dihuni. Mengukir memori masa kecil yang lebih layak diingat. Pati tujuh tahun lalu, bersumbu pendek dengan jiwa remaja menggelora, tanpa tau adiknya butuh kebebasan. Meninggalkan Ergantha bersama monster gila hormat membuat perubahan drastis dalam diri Ergantha.
Tak hanya psikis Pati yang harus terselamatkan, sebab, Ergantha pun, tak jauh dari ambang kesesatan. Kesesatan karena orang dewasa yang mereka sebut Papa. Orang dewasa yang mereka pikir dewa. Orang dewasa yang menyeret mimpi mereka menjadi suram.
Entah apa yang Pati lewatkan dalam tujuh tahun. Pati hanya dapat menilai Ergantha saat ini dibayangi anak panah yang tertinggal dalam masa lalu.
"Kalau Mas Pati bisa jadi laki-laki brengsek, aku juga bisa jadi lebih dari itu!"
Sontak Pati menampar pipi Ergantha. Ini kedua kalinya, Pati menampar adik kesayangan sekaligus adik pembangkangnya. Kesabaran Pati lagi-lagi mencapai limit.
Pati mengumpat, kesal akan dirinya yang kembali menyakiti Ergantha. Kesal karena Ergantha semakin menjadi-jadi.
"Kalau Mas Pati kembali ke rumah cuma untuk nampar aku supaya sadar, itu enggak akan berefek apapun." Balas Ergantha memegang pipi yang baru saja ditampar.
Jiwa Ergantha kian terasa teriris. Bukan karena rasa sakit tamparan dari Pati, bukan juga karena merindukan Pati yang dulu. Hanya saja, Ergantha semakin paham, posisinya memang tak bernilai.
"Kalau terus-terusan begini, kamu enggak ada bedanya sama Mas."
"Bukannya kita memang sama. Bedanya Mas Pati punya fisik yang bisa lawan Papa dan aku cuma pecundang yang jadi tahanan."
Semakin lama Ergantha memang semakin mirip dirinya. Pati yang tujuh tahun lalu, seperti hidup dalam diri Ergantha remaja. Pembangkang, pencari kebebasan dan mengelak begitu di debat.
Pati tak ingin monster dalam diri Papanya mengalir dalam darah Ergantha. Cukup ia yang mewarisi, agar kelak warisan itu dapat ia buang di laut merah.
Menjadi monster yang hobi akan dunia malam, sekaligus monster yang temperamental. Monster sialan yang merenggut nyawa sang Mama.
Jika bisa mengulang waktu, Pati akan membawa Ergantha kabur. Membawa barang berharga lebih banyak, memberikan Ergantha sepotong cokelat agar tak menangis begitu dibentak sang Papa.
Sayangnya, tujuh tahun lalu, ia tak memedulikan Ergantha kecil. Memelas, merengek hingga mengejarnya untuk ikut bersama. Kini, Ergantha siap menyerangnya dengan ribuan anak panah dimasa lalu yang sudah terfermentasi dan terracuni sampai ke akar.
Entah Pati atau Papa yang membuat Ergantha semakin hilang arah.
"Jauh lebih baik Mas Pati kembali jadi laki-laki brengsek, dengan begitu cukup psikisku yang cacat tanpa harus di pukuli." Ucap Ergantha berlalu melewati Pati, kembali menaiki tempat tidur menutup diri dengan selimut.
Perkataan Ergantha membuat Pati menatap telapak tangan yang baru saja ia gunakan untuk menampar Ergantha.
Apa ia potong saja tangan yang sudah dua kali menyakiti Ergantha? Pikir Pati.