MEMATUT diri di depan cermin dengan parfum sebagai sentuhan terakhir. Ergantha siap berpesta. Crop top berpadu hotpants dan jaket kulit yang berguna menutupi otot perut yang akan ia pamerkan di Club' nanti.
Terakhir kali ia berpesta disaat Pati dan Papa tak pernah ada di rumah. Kini Pati dan Papa kembali mengibarkan bendera peperangan, yang berarti Pati kembali ke Bandung mengurus Bengkelnya yang lain dan Papa kembali hobi dinas ke luar kota. Kedua laki-laki paling brengsek dalam hidup Ergantha itu sedang perang dingin. Pati yang tak terima Ergantha di perlakukan semena-mena dan Papa yang merasa tak dihargai sebagai orang tua.
Cih, mereka memang gemar mengulang cerita lama.
Dering ponselnya bergetar, pertanda Frans sudah menunggu tak jauh dari rumah. Ergantha mengunci kamar dari dalam dan pergi melalui jendela kamar. Tak mungkin ia keluar melalui pintu utama, sebab antek-antek Papa berada di setiap sudut rumah.
"Lama banget... Lo dandan apa ngapain!" Baru memasuki mobil Ergantha sudah diprotes.
"Enggak gampang kabur dari penjara bau tanah." Kata Ergantha menjelaskan.
"Pawang Lo lagi enggak ada, 'kan?" Frans tak ingin terkena imbas jika Kakak laki-laki Ergantha memergoki.
"Doain aja selalu lupa rumah, sekalian nyangkut di neraka."
"Ih, Thata enggak boleh gitu... Masa Mas Pati di doain ke Neraka, nanti Rere enggak ada partner ke surga..."
"Dih, surga banget nih, Re?" ejek Arjun yang berada di kursi pengemudi bersama Frans, sedang Arlin, Rere dan Ergantha berada di kursi penumpang.
"Cita-cita ke surga mainnya ke Club. Apa kabar tuh dunia." Lanjut Frans mengejek.
"Siapa tau ini party terakhir Rere, Besoknya dapet hidayah. 'Kan, manusia enggak pernah tau."
"Hidayah itu di kejar bukan di tunggu."
"Arjun tuh ya, jangan cuma bisa ngomong, tapi action big zero!"
"Yeeee, gue mah apa adanya. Dari pada Lo, Re...."
"Heh! Mau party aja topiknya surga neraka. Jangan buat jadi kebayang dosa sih!" Sahut Arlin menengahi.
"Takut sama dosa juga Lo, Lin?" Goda Frans mengejek.
"Emang Lo enggak?" Timbal Arlin.
"Gue pikir Lo udah lupa sama yang namanya dosa."
Ergantha menyandarkan punggung, perdebatan alot perihal dunia dan akhirat diantara sahabatnya akan berjalan lama. Kepala sudah butuh meneguk segelas minuman beralkohol, membutuhkan bisingnya musik agar keramaian dikepalanya dapat terganti.
Setidaknya ia harus sedikit bersyukur karena ketidakberadaan Dryl topik pembicaraan surga neraka tak semakin jauh. Entah semua temannya ini termasuk golongan apa, hobi menasehati namun berujung terjerumus bersama.
Ironis!
Bagitu memasuki Club malam, keempat temannya sudah pergi mencari daerah ternyaman. Arjun dan Frans mencari peruntungan berkenalan dengan beberapa perempuan. Rere dan Arlin turun ke dance floor.
Ergantha hanya duduk seorang diri. Menyesap satu sampai dua tegukkan alkohol, berharap kesepian di hatinya terisi. Tak kunjung puas hanya dengan menikmati alkohol, Ergantha turun menuju Rere dan Arlin, mencari pelampiasan.
Bergoyang mengikuti suasana, pinggangnya tiba-tiba di tarik mendekat oleh seorang laki-laki. Telapak tangan yang dingin menyentuh perut yang ia pamerkan. Mengendus leher Ergantha seolah seringan debu. Badan Ergantha membantu, mencoba bernafas dengan tenang. Ia harus menjadi perempuan nakal seutuhnya. Maka, bersentuhan seperti ini bukanlah masalah besar.
Bisikan pesan alamarhumah Mama sempat terdengar tipis, Ergantha mencoba menghalau. Ia harus menjadi perempuan nakal seutuhnya, demi membalas laki-laki brengsek yang hadir di rumah.
Ergantha memang tak pernah bersentuhan secara berlebihan dengan lawan jenis. Ini bisa menjadi awal ia sebagai perempuan yang tak terhormat.
Lama perutnya disentuh semakin jauh, Ergantha tak tahan. Ia melepas paksa pelukan laki-laki tersebut. Tanpa sadar melayangkan tamparan keras. Sialnya, tangan Ergantha terasa kebas hanya karena menampar.
"Fuck!" Umpat Laki-laki bertubuh besar dan tinggi melempar tatapan horor.
Ergantha tak berniat melayangkan tamparan, namun tangannya lebih dulu bertindak sebelum otak bekerja. Ia pikir menjadi wanita murahan itu mudah, nyatanya menjadi tak bernilai juga butuh nyali yang sepadan.
Menatap laki-laki tak jelas asal usulnya tanpa berniat meminta maaf. Ergantha memasang wajah datar. Tentu saja, ia merasa tak bersalah.
"Sorry bro, temen gue tipsy...." Frans menarik Ergantha agar tak menimbulkan keributan. Mengajak Ergantha kembali ke meja yang telah mereka pesan.
"Jangan belaga jadi cewek nakal bisa, 'kan, Tha. Dryl lagi jauh dan Mas Lo juga masih di luar kota...." Frans menuangkan wiski kedalam gelas Ergantha.
Ergantha bukan gadis yang suka akan sentuhan, terlebih itu dari orang asing. Ia memang gadis pembangkang yang hobi menjadi pusat perhatian, demi mendapatkan apa yang diinginkan, demi mendapatkan tatapan dan kebencian dari Papa.
"Gue minta rokok!" Pinta Ergantha. Frans tersedak dengan Ergantha yang semakin menjadi tak berotak.
"Jangan gila, kamp*et! Lo mau gue digebukkin sama Dryl lagi... Terakhir kali Rere bisa minum, gue abis sama dia. Gimana ceritanya kalau Dryl sampai tahu gue ajarin Lo ngerokok. Babak belur gue."
"Payah, pengecut." Ergantha mencemooh. Frans menatap tak suka. Mengeluarkan Vape miliknya. Tak ada laki-laki yang suka diremehkan.
"Jangan bawa-bawa gue kalau Dryl sampai tau Lo belajar ngerokok."
Ergantha tak peduli, tetap mencoba menghisap Vape milik Frans, terbatuk awalnya, namun ia tak jera mencoba lagi sampai terbiasa.
"Sinting," desis Frans terkekeh. "Minum, biar otak Lo bisa mikir." Frans kembali menuangkan wiski.
Gerah melihat kelakuan Ergantha yang tak ada habisnya, ia beranjak menuju lantai dansa. Frans meninggalkan Ergantha yang masih bersikeras menghisap Vape.
Ergantha yang ditinggal sendiri merasa butuh menghirup udara segar, berjalan sempoyongan hingga keluar dari Club. Tak terasa ia berjalan cukup jauh. Kendaraan berlalu lalang tak hentinya, Jakarta memang tak pernah tertidur.
Badannya tertabrak oleh seorang laki-laki. Menyentuh aspal yang kasar, meringis kesakitan. Ergantha tak dapat melihat dengan jelas laki-laki yang menabraknya. Laki-laki berjaket denim itu bukannya membantu, justru mengusap belakang leher. Terlihat sedikit ragu dan gusar.
Kepala Ergantha kian pusing dan segalanya terasa berputar. Sebelum ia menutup mata merebahkan diri di atas aspal yang terdengar hanya sebuah kilasan suara bayangan.
"Ergantha..." Panggil laki-laki itu.
Tak hanya tampan, ternyata laki-laki berwajah menawan ini pun mengenal Ergantha.