STIGMA menjadi seorang perempuan harus selalu berada di jalur tak berbelok. Layaknya trotoar tanpa krikil, sandungan, hingga jalanan berlubang. Tak boleh berkelakuan "nakal," tak bisa menjadi si brengsek.
Cantik— terampil—sempurna. Seperti satu-kesatuan yang harus ada. Secantik porselin semewah barang antik tak tersentuh.
Tapi, peduli apa Ergantha dengan stigma busuk sialan itu?
Entah ribuan manusia menciptakan stigma busuk, Ergantha tetap dijalannya. Menjadi perempuan 'Nakal' yang akan menyicipi segala macam bentuk kebrengsekan, menyicipi satu dua minuman, berkenalan dengan puntung rokok yang selalu laki-laki banggakan.
Beberapa hari ini Ergantha begitu giat belajar merokok. Meskipun asap dari rokok justru memberi efek batuk dan pusing. Belum lagi rasa pahit yang tak nyaman serta tenggorokan yang terasa kering. Entah bagaimana Frans dan Arjun bisa menyesap rokok dengan begitu nikmat.
Ergantha mencari tempat yang sepi, keinginannya mencoba menghisap rokok di tengah jam belajar sudah tak terbendung lagi. Rasa penasaran akan menjadi mahir semakin melekat. Ia memang amatiran yang tak tahu malu, tak peduli tempat hingga waktu yang tengah berputar.
Di atas rooftop Ergantha mengeluarkan sebatang rokok dengan korek yang siap dinyalakan. Ergantha baru mulai menancapkan rokok di mulut namun hilang seketika. Rokok yang terasa manis serta pahit diambil secara spontan.
"Tha..." Ergantha memutar bola mata. Lagi-lagi ia ketahuan.
"Apa?" Sinis Ergantha.
Dryl memang selalu hadir disaat yang tak tepat. Entah disaat Ergantha membawa minuman beralkohol sampai membawa rokok ke Sekolah.
Si perusak suasana.
Begitu ingin merembut rokoknya kembali, justru dilenyapkan dalam satu kali genggaman. Padahal jelas terlihat barak api masih menyala di puntung rokok tersebut.
Dryl pasti kesakitan. Pikir Ergantha.
"Kenapa harus ngerokok?"
"Kenapa enggak?"
"Lo tahu, 'kan, rokok itu bukan buat perempuan... Enggak cocok, Tha."
Ergantha mencemooh, "Cuma karena gue perempuan?"
Gender menjadi perempuan selalu mengikuti gerak-geriknya. Semenjak ia membuka mata hingga bisa berperang dengan dunia yang penuh sialan.
Perkaataan Papa di kepala Ergantha mengenai 'Menjadi Perempuan', selalu membayangi. Ia hanya seorang perempuan yang tak boleh berlaku seenaknya. Patuh dan hormat seperti mantra yang tak boleh lepas.
Semacam kehidupan Patriarki yang sudah tertanam sejak lahir.
"Seberapa jauh Lo mau hidup seenaknya?"
"Sampai rasa tulang ikan di dada gue hilang."
"Musnahin tulang ikannya, Tha."
"Tulang ikannya udah kronis, masuk sampai menjadi daging, menyebar sampai ke aliran darah... Terlanjur cacat!"
"Bahkan yang kronis masih punya harapan."
Ergantha memutar badan, ingin kembali ke kelas. Dryl sudah merusak suasana yang ia coba hidupkan.
Belum sampai ke pintu rooftop, Dryl kembali menahan Ergantha. Menarik tangan Ergantha hingga ia berbalik. Menekan pergelangan Ergantha sedikit kuat.
"Kenapa, Tha? Siapa yang ngajarin Lo ngerokok? Frans? Arjun?" Tanya Dryl tak suka. Ia tak akan segan melaporkan Frans ataupun Arjun ke orang tua masing-masing jika itu berkaitan dengan Ergantha.
"Dunia gue terlanjur cacat karena tulang ikan. Jelas, 'kan, Dryl?"
"Yang rusak bisa diperbaiki, yang cacat bisa diobati."
"Tubuh manusia diciptakan berbeda, Dryl. Harusnya Lo yang paling tahu." Timbal Ergantha, mengingat sosok teladan seperti Adryl selalu menjadi juara olimpiade di bidang biologi.
"Berbeda bukan berarti enggak ada harapan, Tha." Kata Dryl tak ingin kalah.
Mereka sudah berteman sejak lama, dimulai saat Ergantha merasakan kasih sayang sampai dengan tak mengenal kehangatan. Dryl cukup tahu, Ergantha yang dulu tak sama seperti yang ia genggam saat ini.
"Tuhan terlanjur menitipkan gue ke manusia setengah gila. Harusnya dulu pas di tanya mau lahir apa enggak, gue mengajukan sebuah syarat, kalau nantinya dapat jatah tinggal di bumi, harus dititipin ke manusia yang enggak bejat."
Hidup Ergantha cacat, dunianya cacat dan ia pun terlanjur cacat. Tak ada yang menarik selain rasa tulang ikan yang menjelma menjadi dendam. Tak ada kehangatan selain rasa panas yang mendidih di hati.
Lantas, seberapa jauh ia akan seperti ini... Sampai sejauh mana nafasnya berhembus. Entah sampai sangkakala ditiupkan atau sampai kematian mengetuk pintu dunia.
Ergantha terlanjur cacat dengan tulang ikan yang terus berkembang biak. Kronis dan tak terselamatkan.
"Tha... kalau kita udah lulus, Lo mau ikut gue, cari dunia yang enggak cacat yang Tuhan titipin?"
"Alam kubur?"
"Jangan berani ngomongin alam kubur, kalau Lo masih takut siksaan dosa." Dryl cukup tahu, meskipun Ergantha hobi melakukan yang Tuhan benci, namun perkara dosa ia juga tak kalah takutnya.
Menatap pergelangan tangan Ergantha yang masih ia genggam, Dryl berujar, "Ikut gue, ya... Kita cari dunia yang lebih layak di huni."
"Gue enggak tertarik." Cepat dan datar. Ergantha memang tak pernah ragu dalam menjawab pertanyaan Dryl.
"Ada ribuan tempat yang bisa kita kunjungi, Tha. Gue yakin bisa bawa Lo kemana aja. Banyak dunia yang enggak cacat."
"Terakhir kali Mas Pati bilang 'Kita cari dunia yang lebih layak,' dia bener-bener pergi— tanpa ada kata 'kita.' Dia pergi sendiri, kabur sendiri, menempati dunia yang lebih layak juga sendiri."
"Tapi gue bukan Mas Pati."
"Gue juga bukan Ergantha yang dulu."
"Tha—"
"Jadi pacar gue dulu kalau Lo mau pengangan tangan yang lebih lama."
Dryl meringis, sebab tak ada nada yang menggoda ataupun ajakan yang serius. Ergantha memang gadis kejam dan datar. Dryl melepaskan tangan Ergantha dan membiarkan teman kecilnya itu pergi kembali ke kelas.
Ergantha si teman tersayang, kini menjadi semakin tak terarah. Ingin direngkuhnya tubuh kurus tak berisi itu. Mengelus rambut panjang Ergantha seraya menunjukkan sisi dunia yang jauh lebih indah.
Ergantha gadis pembangkang yang ingin terbang dengan sayap patahnya, menari diatas langit merobohkan mendungnya awan.
Dryl ingin membawa Ergantha pergi dari dunia yang membuat sayapnya patah. Memusnahkan tukang ikan yang kian tersedak dalam diri Ergantha.
Sayang, ia hanya remaja tanpa kuasa.