Sang mentari menyapa bumi dengan sunyum penuh hangat bersiap melakukan tugasnya hari ini. Angin berdesir membawa udara dan hawa dingin yang begitu menusuk batin. Terdengar suara pohon-pohon bergoyang yang tertiup angin. Burung- burung semuanya bertebaran saling bertegur sapa satu sama lain dan menyambut datangnya pagi. Aku membuka kedua bola mataku dengan susah payah, mencari keberadaan selimutku yang hilang entah dimana. Aku menarik selimut itu dengan nyawa yang sama sekali belum terkumpul dan membungkus diri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bersumpah hawa dingin ini seperti sangat ingin membunuhku. Samar-samar aku mendengar suara dering. Pasti berasal dari alarm ponsel. Tanganku meraih pinggiran meja kecil yang berada bersebelahan dengan ranjangku. “Berisik sekali…”
Aku membuka salah satu mataku untuk mematikan alarm. “Mana tombolnya sih—“ Mataku seketika terbelalak. “Astaga aku terlambat!!” Tubuhku secara otomatis beranjak dari ranjang. “Bagaimana ini, bagaimana ini…” Gumamku sembari mondar-mandir, mencoba bersiap secepat yang kubisa.
Entah bagaimana, aku bisa bersiap hanya dalam 10 menit. Akupun menuruni tangga dengan tergesa-gesa. “Apa kau ingin sarapan dulu?” Tanya seseorang kepadaku. “Apa aku terlihat seperti bisa menyantap sarapan bagimu?” Jawabku dengan nada yang tak bisa kupungkiri, terdengar sedikit ketus. “Sudah kuduga, kalau begitu ini bekalmu. Hati-hati ya.” Sambungnya. “Aku duluan.” Ucapku sambil melangkah cepat ke pintu depan. Akupun masuk ke dalam mobilku dan langsung pergi begitu saja.
Untungnya aku berhasil sampai ke kantor 5 menit sebelum rapat dimulai. Aku langsung berjalan menuju ruanganku. Begitu meletakkan tas dan barangku dimeja, aku segera pergi ke ruang rapat. Setelah rapat selesai, aku langsung melangkah cepat menuju ruanganku dan menghempaskan tubuh ke kursi. “Tadi itu hampir saja…” Gumamku. Pandanganku lalu terpaku pada tas berwarna jingga yang baru saja ku letakkan dimeja. Tas itu berisi bekal yang sudah disiapkan oleh—seseorang tadi. Kita sebut saja namanya Devan. Dia bisa dibilang—atau memang tak lain—adalah suamiku. Kami menikah 2 tahun yang lalu. Walau merupakan pasutri muda, nyatanya hubungan kami tidak—atau bahkan sangat jauh dari hubungan pasutri muda pada umumnya. Devan dan aku memang melakukan kegiatan pasangan seperti berkencan atau pergi liburan. Tahun lalu kami berdua pergi ke Maldives untuk menghabiskan bulan madu kami disana. Semua orang bahkan termasuk teman-temanku sendiri sibuk mengatakan bahwa mereka merasa iri padaku karena bisa menikah dengan seorang pria yang mau membawaku ke Maldives yang disebut-sebut sebagai salah satu Negara paling romantis itu. Tentu saja awalnya aku juga merasa senang. Tapi semua kesenangan itu sirna begitu saja. Selama bulan madu kami bahkan tidak pernah berpegangan tangan. Bahkan bagian lebih parahnya adalah Devan melarangku untuk menggenggam tangannya. Kami memang menikah modal perjodohan tapi bukankah sikapnya itu sedikit keterlaluan?
“Tapi jika kupikirkan lagi, mungkin saja dia tidak seburuk itu? Maksudku dia bahkan menyiapkan bekal untukku beberapa hari ini…”
Aku refleks menggelengkan kepala. Apa sebenarnya yang kupikirkan. Dia mengacuhkanku selama 1 tahun lebih dan mengira bisa memperbaiki itu semua hanya dengan menyiapkan bekal selama beberapa hari. Ya, pria seperti dia pasti punya cara berpikir seperti itu. Hampir saja aku masuk dalam perangkapnya. Lihat saja, dia akan kubuat paham bahwa dengan siapa dia sedang berurusan.
Suara ketukan pintu terdengar. “Ya, silahkan masuk.” Ucapku. Pintu pun terbuka dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Devan berdiri disana. “Ada perlu apa kamu kesini?” Tanyaku spontan. Devan terlihat membawa bingkisan di tangannya. “Tadinya kupikir kamu sedang keluar.” Jawabnya sambil mengusap-usap leher belakangnya. “Itu bahkan lebih aneh, kenapa kau datang jika mengira aku sedang keluar?” Ucapku. Devan menundukkan kepalanya sedikit sambil melirik ke kiri dan kanan dan tidak menjawab pertanyaan dariku. “Jadi, untuk ada perlu apa—“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Devan menegakkan kepalanya menatap lurus kearahku. Dia melangkah kedepan, menipiskan jarak diantara kami. “Apa jadwalmu di akhir pekan?” Tanyanya dengan begitu dekat. Jaraknya hanya beberapa langkah kecil didepanku. Sekilas aku bisa merasakan pipiku sedikit memanas. “Hanya rapat pagi, memangnya ada apa?” Jawabku sedikit gugup. Aku mengontrol nada bicaraku agar dia tidak menyadarinya. “Apa kau mau pergi denganku ke satu tempat?” Ucapnya.
“Jadwal kencan wajib ya…”
Jangan salah sangka kepadaku dulu. Ada alasan khusus kenapa aku tidak begitu senang saat mendengar ajakan itu. Aku sudah bilang bahwa pernikahan kami hanya atas dasar perjodohan, bukan? Dengan kata lain, kami menikah tanpa adanya cinta. Kedua pihak keluarga yang mengetahui hal ini akhirnya membuat sebuah keputusan, yaitu adanya sebuah kegiatan yang kami sebut dengan ‘Kencan wajib’. Pada dasarnya ini adalah kegiatan dimana kita pergi ke beberapa tempat diwaktu yang sudah disepakati dalam kata lain, pergi berkencan. Tapi hal yang berbeda adalah yang merencanakan tempat yang akan kami kunjungi dan bagaimana kencan ini akan berjalan, itu semua direncanakan oleh pihak keluarga. Kami hanya disuruh untuk pergi dan mengikuti prosedur yang telah disiapkan oleh mereka. Terdengar menyenangkan jika kau mendengarnya, tapi percayalah kegiatan ini tidak se-menyenangkan itu. Setidaknya menurutku pribadi, merencanakan kegiatan kencan adalah bagian dari kencan itu sendiri. Menghilangkan bagian itu sama saja seperti kita tidak berkencan, hanya sedang mengunjungi beberapa tempat.
“Dan agar kamu tahu, bukan ayahku yang menyiapkan tempatnya.” Sambung Devan. “Apakah giliran ayahku kali ini?” Tanyaku padanya. “Aku sendiri yang menyiapkannya.” Jawabnya. Aku melongo. “Sepertinya pendengaranku bermasalah…” Batinku. “Maaf, sepertinya aku salah dengar. Kau bilang apa tadi?” Ucapku. Devan memasang ekspresi bingung di wajahnya. “Kurasa kamu tidak salah dengar, melihat pipimu yang makin merah sekarang.” Ucapnya. “A-APA?!” Kakiku refleks mundur beberapa langkah. Sepertinya tubuhku sangat mengerti bahwa sekarang yang kubutuhkan adalah sebuah jarak. Aku memegang kedua pipiku dengan tangan. Terasa begitu panas. “Astaga, apa aku sudah gila?!”
Aku bisa melihat Devan tersenyum walau hanya sekilas. Dia bahkan menertawakanku sekarang. Aku berusaha menenangkan diri. Jantungku yang sedari tadi berdegup begitu kencang. “Aku tidak tahu fakta bahwa aku yang menyiapkan tempat bisa membuatmu tersipu.” Ucapnya. “Apa dia sedang bercanda?” Batinku. “Siapa yang tersipu, aku hanya merasa panas.” Sanggahku. “Di ruangan yang ber-AC ini?” Balasnya. “Kenapa kau peduli? Lagian tidak biasanya kau melakukan hal seperti ini. Semua orang juga akan terkejut.” Ucapku. Devan tersenyum tipis. “Jadi apa kau akan datang?” Tanyanya. Walau tidak bisa kupercaya, tapi saat ini dia melihatku dengan mata yang penuh harap. “Apa kau akan membiarkanku jika aku menolak?” Ucapku. Devan hanya terdiam beku mendengarnya. Suasana menjadi hening. Aku menghela napasku sebelum akhirnya aku memberikan jawaban yang membuatku melihat pemandangan yang begitu langka. “Aku bercanda, tenang saja aku akan datang.” Pipi seseorang menjadi begitu merah dalam beberapa detik, dan itu bukan aku. “B-Baiklah, kalau gitu aku p-permisi dulu.” Ucap Devan dengan nada yang gugup. Dia pun beranjak keluar dari ruanganku, kecepatannya bahkan melebihi kilat.
“Jika dia masih disini 5 menit lagi, rasanya jantungku akan benar-benar meledak…” Gumamku sambil terus mengelus dadaku. “Tapi apa yang kusaksikan tadi? Apa pria seperti Devan pun juga bisa tersipu?” Pikirku. Pintu ruanganku terbuka kembali. Apa Devan kembali lagi?
“Sekarang apa lagi—“ Aku menolehkan kepala ke arah pintu. Bukannya sosok Devan yang kubayangkan ada disana, yang kulihat sedang berdiri disana adalah Aina—sekretarisku. “Apa waktunya tidak tepat, Nona Sherin?” Tanyanya. “Ah bukan begitu, aku hanya melamun. Ada apa?” Ucapku sambil memperbaiki posisi. “Ketua Pimpinan sedang berkunjung.” Katanya. “Bawa dia ke ruanganku.” Ucapku. Aina mengangguk pelan lalu melangkah keluar. Tak lama, Aina masuk kembali. Kali ini dia tidak masuk sendiri. Ketua Pimpinan perusahaan tepat berada dibelakangnya. “Padahal akhir-akhir ini dia tidak datang jadi ada urusan apa…”
“SHERIN PUTRIKUU!” Sahutnya dengan suara yang begitu lantang. “Ayah, sudah kukatakan jangan bersikap seperti itu dikantor.” Ucapku kepadanya. Ketua Pimpinan itu seketika memasang raut wajah seperti sedang merajuk. “Jadi, keperluan seperti apa yang membuat anda harus datang kesini?” Tanyaku. Ketua Pimpinan itu menatapku, masih dengan raut wajah merajuknya. “Apa perlu sebuah alasan bagi seorang ayah untuk mengunjungi putrinya?” Tanggapnya.
Pria ini bernama Dhika Dikara. Dia merupakan Ketua Pimpinan Askara Harsa Group, sebuah perusahaan properti dan real estate yang cukup besar di kota. Askara Harsa Group memiliki beberapa anak perusahaan. Salah satunya adalah perusahaan yang kukelola bernama A&H Business Realty yang fokus bergerak di bidang real estate bagian komersial. Dengan kata lain, kami menjual bangunan untuk para pebisnis dan pengusaha. Ada juga anak perusahaan A&H Styles yang bergerak dibidang ritel yang fokus menawarkan berbagai produk sandang atau sederhananya—sebuah department store. Lalu yang terakhir, ada anak perusahaan A&H Houseland yang juga bergerak di bidang real estate tapi berfokus pada bagian perumahan dan apartemen. Ketiga anak perusahaan itu berada di bawah naungan Ketua Pimpinan Dhika Dikara yang sekaligus merupakan pimpinan pertama dan pendiri perusahaan. Lalu juga berstatus sebagai Ayah dari putri satu-satunya yang bernama Sherin Adinta Dikara yang tak lain—dan tak bukan—adalah aku sendiri.
“Mau kusajikan teh?”
“Tentu saja, tidak ada alasan untuk menolak.”
Aina segera bergerak menyiapkan cangkir untuk membuat teh. “Biar aku saja.” Ucapku padanya. “T-Tapi nona...” Aku mengambil cangkir itu dari tangannya. “Tidak apa-apa.” Ucapku. Tampaknya Aina sedikit gugup. Tangannya sedikit gemetar. Ya, aku tidak bisa menyalahkannya. Walau dia adalah Sekretaris Direktur, bertemu Ketua Pimpinan adalah masalah lain. Apalagi Aina masih merupakan karyawan yang cukup baru. Bahkan bagi pegawai yang sudah lama bekerja di Askara Harsa Group, sosok Ayahku sangatlah disegani. Walau bagaimana pun dia tetaplah seorang Ketua Pimpinan.
“Teh buatan putriku, tak kusangka aku bisa mencicipinya kembali~” Ya, kecuali tingkahnya yang seperti ini. “Hah kenapa pria selalu bertingkah seenaknya...” Setelah daun tehnya terseduh dengan sempurna, aku menyajikannya dimeja. Tanpa menunggu lama, Ayah langsung mengambil cangkir teh dan menyeruputnya. “Hati-hati, tehnya masih panas.” Ucapku. “Sherin-ku bahkan bisa membuat teh yang begitu enak.” Pujinya. “Yang kulakukan hanya menyeduh teh celup dan memberi sedikit madu, jadi tidak perlu memuji seperti itu.” Ucapku sembari meraih cangkirku juga. Walau begitu, Ayah terlihat jauh lebih santai setelah meneguk beberapa kali. Kurasa hari ini juga hari sibuk baginya. Membuat Ayah merasa sedikit santai, setidaknya aku bisa melakukan itu. “Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu?” Tanyanya tiba-tiba. “Tidak ada yang istimewa.” Jawabku singkat. “Apa maksudmu tidak ada yang istimewa? Kalian adalah pasutri muda dan kau bilang padaku tidak ada yang istimewa?!” Ayah meletakkan cangkir tehnya kembali. “Apa Devan memperlakukanmu dengan tidak pantas?” Sambungnya. Apa yang bisa kukatakan padanya? Mengatakan bahwa Devan bahkan tidak ingin menggenggam tanganku? Apa itu bahkan termasuk perlakuan tidak pantas?
Aku menghela napasku. “Tidak ada hal seperti itu.” Ucapku. “Lalu bagaimana bisa tidak ada hal yang terjadi antara kalian?” Tanyanya lagi. “Mungkin sebentar lagi akan ada sesuatu.” Jawabku. “Apa maksudmu?” Aku pun meletakkan cangkirku, “Devan mengajakku pergi ke suatu tempat akhir pekan ini.” Ucapku. “Benarkah itu? Tapi Henry tidak mengatakan apapun soal ini, apa itu berarti dia yang menyiapkannya sendiri?” Tanya Ayahku.
Henry Widarta. Dia adalah Ayah Devan yang sekaligus merupakan ayah mertuaku. Dia merupakan salah satu pendiri dari Askara Harsa Group yang saat ini merupakan salah satu eksekutif perusahaan. Dia adalah orang yang biasanya menyiapkan kegiatan ‘Kencan wajib’ kami. “Ya, Devan memang bilang bahwa dia yang menyiapkannya.” Jawabku. Raut wajah Ayah seketika berubah. “Haha anak itu akhirnya bergerak juga.” Ucapnya sambil tertawa lantang. “Aku sempat berpikir bahwa dia hanyalah pria culun yang mengikuti perintah ayahnya tapi ternyata nyalinya boleh juga.” Sambungnya. “Kumohon kecilkan suaramu...”
Setelah mengobrol cukup lama, Ayah pun pamit kembali ke kantornya. “Bersenang-senanglah akhir pekan ini. Sesekali kabari ayahmu ini.” Ucapnya sebelum pergi. “Tenang saja pasti kulakukan, jangan terlalu memaksakan dirimu yah.” Balasku. Ayahku tersenyum mendengarnya, “Sherin-ku memang sangat perhatian~” Dia mulai lagi. “Sudah, cepat kembali ke kantor sana.” Ucapku sembari mendorongnya masuk ke mobil.
“Akhirnya bisa bernapas lega.” Gumamku. Aku pun kembali ke ruanganku setelahnya. “Aina, apa jadwalku setelah ini?” Tanyaku menghampiri Aina. “Hanya tersisa pertemuan dengan klien jam 3 nanti, Nona.” Jawabnya. “Baiklah.” Aku menganggukkan kepala, “Dan bukankah sudah kubilang jangan memanggilku dengan sebutan formal seperti itu?” Ucapku. Aina menatapku. “Bukankah Nona menyuruh Ketua Pimpinan untuk bersikap formal? Jadi kenapa Nona tidak ingin dipanggil dengan panggilan formal?” Tanggapnya. Kalimatnya ada benarnya tapi aku tidak tahu Aina bisa menjawab seperti ini. Tapi tak bisa mengelak, aku menyukai sifatnya yang berani seperti ini. Ini lebih nyaman dari pada hubungan kaku dan canggung. “Kurasa kau benar tapi, apakah setidaknya kita bisa bicara santai saat berdua? Umur kita juga tak berbeda jauh kan? Anggap saja seperti berteman?”
“Apa kau akan memecatku jika aku menolak?”
“Mana mungkin begitu—“
“Kalau begitu aku menolak.”
Aina kembali ke meja dan melanjutkan pekerjaannya. “Apa aku baru saja ditolak mentah-mentah?” Batinku. Aku pun berjalan masuk ke ruanganku, melewati Aina yang tampak sibuk bekerja—atau bekerja agar dia terlihat sibuk.
Matahari terbenam tanpa disadari. Sinar bulan seketika menerangi gelapnya malam. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu persatu, hampir terlihat seperti barisan kunang-kunang terbang melintasi jalan. “Dan ini yang terakhir.” Ucapku sembari menandatangani dokumen terakhir yang ada dimeja. “Akhirnya selesai!” Sahutku. Aku pun beranjak dari kursi dan mulai melakukan sedikit peregangan.
Ponselku berdering. “Siapa lagi yang menelepon...” Gumamku sembari meraih ponselku yang ada di meja. Aku membaca nama kontaknya dan tersenyum tanpa sadar. “Ibu, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?” Ucapku. “Aku baik-baik saja, bahkan lebih baik setelah mendengar suaramu. Sherin tidak pernah berubah ya, masih saja bersemangat.” Ucapnya. “Masa sih, padahal aku merasa sudah banyak berubah lho.” Tanggapku. Wanita yang sedang berbicara denganku di telepon bernama Rieka Anindira, istri dari Ayah Devan, yang berarti dia tak lain dan tak bukan adalah Ibu mertuaku. “Kudengar Ibu akan pulang minggu depan?” Tanyaku. “Kenapa? Apa kau rindu padaku?” Balasnya sambil tertawa ceria. “Ya, aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu. Jadi bermainlah denganku sesampainya kau disini oke?” Ucapku. “Lihat dirimu, kau bahkan tidak memberi wanita tua sepertiku waktu istirahat.” Ucapnya. “Kau masih begitu cantik jadi kau belum tua.” Balasku. “Gadis muda, tua dan cantik itu adalah kedua hal yang berbeda. Walau aku tua sekalipun, tidak akan kubiarkan wajahku menjadi jelek dan keriput.” Katanya. “Wah aku sampai tidak mampu berkata-kata...” Komentarku. Tawa kami berdua pun pecah. Entah bagaimana aku selalu merasa nyaman dengannya, aku menganggapnya sudah seperti ibuku. Aku masih ingat raut wajahnya yang terlihat bingung mendengar saat pertama kali aku memanggilnya Ibu. Kalau dipikir-pikir, sudah lama sejak terakhir aku tertawa seperti ini. Setelah resepsi pernikahan, Ibu tiba-tiba saja pergi ke luar negeri dan tinggal sementara disana. Beberapa kali aku menelepon tapi selalu masuk ke kotak suara. Sampai akhirnya ayah Devan mengatakan bahwa untuk sementara Ibu tidak bisa dihubungi lalu akupun menyerah dan hanya bisa menunggu. Aku tidak tahu apa alasannya tapi aku yakin Ibu pasti punya alasannya sendiri. “Aku harus menyambutnya dengan senyum lebar saat dia kembali nanti.” Pikirku.
“Bagaimana dengan Devan? Apa anak itu memperlakukanmu dengan baik?” Tanya Ibu. Rasanya aku ingin mengadukan segala keluhku kepadanya tapi kurasa ini bukanlah waktu yang tepat jadi aku mengurung niatku kembali. “Hubungan kami baik-baik saja. Dia orang yang baik, kami bahkan akan pergi bersama akhir pekan ini.” Ucapku. “Baguslah jika begitu, sepertinya aku hanya terlalu khawatir.” Tanggapnya. Syukurlah dia mempercayai kata-kataku. Walau sebenarnya hal yang kukatakan juga tidak sepenuhnya salah. Sikap Devan memang acuh tak acuh tapi dia tidak melakukan hal apapun padaku. Dia hanya sangat menghindari kontak fisik dan situasi dimana hanya ada kita berdua. Tapi diluar itu, dia memperlakukanku dengan sangat baik. “Bahkan melakukan hal diluar kebiasaannya untukku...”
“Sherin? Sherin, apa kau disana??”
“Ah maaf bu, sepertinya aku melamun.”
Ibu tertawa lagi. “Ya, tidak heran. Ini juga sudah malam, apa kau masih dikantor?” Tanyanya. “Sepertinya tidak ada yang ibu tidak tahu ya.” Tanggapku. “Intuisi seorang wanita jangan pernah kau tanyakan haha, kalau begitu cepatlah pulang dan beristirahat. Aku akan mengabarimu saat aku pulang.” Ucapnya. “Baiklah, aku tunggu kabarnya, selamat malam.” Pamitku. Aku pun menutup telepon dan bersiap untuk pulang. Begitu aku keluar dari ruangan, aku melihat Aina masih ada di mejanya. “Aina, belum pulang?” Tanyaku. “Saya masih harus memeriksa beberapa dokumen, Nona silahkan duluan sa—“ Aku meraih dokumen-dokumen yang ada dimeja Aina lalu menaruhnya di lemari besi di belakang mejanya. “Nona, apa yang kau lakukan?” Tanyanya dengan bingung. “Kau adalah sekretarisku. Jika aku pulang, maka kau juga harus pulang. Selesaikan dokumen itu besok.” Kataku padanya. Alasanku yang sebenarnya adalah aku tidak ingin melewati lorong lobi sendirian. Aku tidak sadar sedari tadi tapi sudah tidak ada orang lagi disini. Hanya aku dan Aina. Bukannya takut, tapi lebih baik berjaga-jaga, kan?”
Aina pun menurut dan mematikan komputernya. Kami pun berjalan melewati lorong bersama. “Aina, kamu pulang dengan apa?” Tanyaku sembari terus melangkah. “Saya pulang dengan bus.” Jawabnya. “Bus? Ini sudah jam sepuluh lewat lho.” Kataku. Mata Aina terbelalak. Sepertinya dia tidak melihat jam dari tadi. “Bagaimana jika pulang denganku?” Usulku. “Tapi Nona, atasan yang mengantar bawahannya itu sedikit—“ Aku menghentikan langkah kakiku. “Aina.” Panggilku. “Iya, Nona?” Jawabnya. “Coba sebutkan jam kerjamu sesuai kontrak.” Ucapku. “Jam kerja saya sesuai kontrak yaitu dimulai dari jam 9 pagi hingga 9 malam, Nona.” Jawabnya. “Dan sekarang jam berapa?” Sambungku. “Hampir jam 11...” Jawabnya lagi. “Apa kau tahu artinya?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya. “Kurasa tidak..?”
“Itu artinya kau tidak perlu menganggapku atasan karena ini sudah diluar jam kerja resmimu.” Jelasku sambil menyengir tipis. Aina tampak menghela napas. “Jadi bagaimana, apa kau mau pulang dengan calon temanmu ini?” Tanyaku. Aku melihat Aina tersenyum sekilas sebelum dia memalingkan wajahnya. “Kalau begitu saya yang menyetir.” Katanya.
Kami pun pergi menuju parkiran. “Nona, kuncinya.” Ucap Aina sembari menjulurkan telapak tangannya, meminta kunci mobil. “Aina, apa kau benar-benar bisa mengemudi?” Tanyaku cemas. “Akhir-akhir ini aku memang jarang melakukannya—“ Aku meraih kembali kunci mobilku. “Kurasa sebaiknya aku saja yang menyetir, aku sungguh tidak keberatan—“ Belum sempat menyelesaikan kalimatku, Aina mengambil kembali kunci itu dari genggamanku. “Tapi saya yang keberatan.” Aina membuka pintu penumpang bagian depan. “Masuklah, Nona.” Katanya. Akupun akhirnya hanya bisa pasrah dan masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintuku, Aina pun masuk dan duduk di kursi pengemudi. Aku buru-buru memasang sabuk pengamanku. “Kita berangkat.” Ucapnya sembari menekan gas.
Jauh dari perkiraanku, Aina mengemudi dengan mulus. Layaknya sudah memiliki jam terbang yang tinggi. “Apa kau sering mengemudi mobil sebelumnya?” Tanyaku. “Saya sering membantu di bengkel mobil ayah, saya belajar mengemudi di sana.” Jawabnya sembari tetap memfokuskan pandangannya kedepan. “Jika kamu sudah semahir ini, kenapa kamu tidak melanjutkan bengkel ayahmu?” Sambungku, semakin penasaran. “Ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, ibu menjual bengkel ayah untuk menghidupi aku dan adik laki-lakiku.” Jelasnya. “Ah maaf, seharusnya aku tidak bertanya.” Responku dengan spontan. “Tidak masalah, itu semua di masa lalu.” Katanya. Bagaimana bisa dia mengalami luka seperti itu diusianya yang masih terbilang muda? Dunia memang tidak pernah pandang bulu. “Lalu, apa yang membuatmu mengambil pekerjaan ini? Jangan salah paham, aku sangat senang kau ada disini hanya saja aku hanya berandai-andai...” Entah mengapa aku sedikit gugup. “Bangunan tempat ayahku membuka bengkel adalah salah satu fasilitas milik A&H Business Realty. Ayah adalah penyewanya. Saat Ayah meninggal, pihak perusahaan datang memberi bela sungkawa. Bahkan membantu membayar biaya pemakaman Ayah. Mereka melakukan sebanyak itu hanya untuk seorang penyewa. Dari situlah aku berpikir, sepertinya akan menyenangkan bisa bekerja di perusahaan yang seperti itu.” Katanya. Aku terkejut. Selama ini aku hanya berpikir bahwa Aina hanyalah gadis 24 tahun biasa yang senang karena mendapat pekerjaan di perusahaan yang bisa kukatakan, cukup besar. Tapi tak kusangka dia memiliki pemikiran seperti itu. Kurasa aku masih belum sepenuhnya peka terhadap para pegawaiku. “Aina, akan kupastikan kau tidak menyesal sudah memilih kami.” Kataku padanya. Aina tersenyum. Ini kali pertama aku melihatnya tersenyum sejak dia bekerja disini. Senyumannya begitu manis dan terasa hangat. “Kuharap begitu, Nona.” Ucapnya.
Kami pun sampai di depan tempat tinggal Aina. Ternyata dia tinggal di salah satu apartemen susun yang ada di kabupaten sebelah. “Kalau begitu, saya pamit ya Nona.” Katanya sembari keluar dari mobil. “Beristirahatlah, selamat malam.” Ucapku. Aina beranjak pergi setelah mendengarnya. Sesaat sebelum aku menginjak gas, ponselku bergetar. Sepertinya ada pesan yang masuk. Aku pun membuka ponsel itu dan betapa terkejutnya aku melihat nama pengirim yang muncul di notifikasi. ‘Tuan Teka-teki’. Itu adalah nama kontak Devan di ponselku. Aku menamainya seperti itu karena dia selalu melakukan hal yang sama sekali tidak bisa kutebak. Dia seperti Teka-teki berjalan bagiku. Sama hal nya seperti sekarang. Aku sama sekali tidak bisa menebak isi pesan yang dia kirim. “Lho? Pesannya hilang?” Gumamku. “Apa dia menghapus pesannya?” Aku paling tidak suka dengan rasa penasaran ini, haruskah aku mengirim pesan dan bertanya tentang itu? Argh tidak, harga diriku tidak akan membiarkanku bertanya.
Setelah berdebat dengan diriku tentang bagaimana aku menangani situasi ini, akhirnya aku memutuskan untuk menanyakannya begitu sampai di rumah. Aku pun menginjak gas dan langsung melesat pulang. Rumahku masih ada di dalam rute dari rumah Aina jadi tidak perlu waktu terlalu lama untuk sampai ke rumah. Begitu sampai aku langsung melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah. “Aku pulang.” Ucapku begitu membuka pintu depan. Devan sudah berdiri di depanku sejak aku membuka pintu. Napasnya terdengar sedikit tersengal, apa dia habis berlari?
“Kau pulang lebih malam dari biasanya, apa terjadi sesuatu?” Tanyanya. “Pekerjaanku lumayan menumpuk dan aku juga sempat mengantarkan karyawanku dulu.” Jelasku. “Mengantar?” Tanyanya dengan nada tanya yang terdengar aneh. “Iya, tadinya dia pulang naik bus tapi jam operasinya sudah lewat. Jadi aku menawarkan bantuan. Apa ada yang salah?” Ucapku. Nada bicara Devan sedikit menggangguku. “Tidak ada yang salah, pegawaimu yang mana?” Tanyanya lagi. Tidak biasanya Devan banyak bertanya seperti ini. “Sekretaris baruku, namanya Aina.” Jawabku. Raut wajahnya seketika menjadi lebih santai. Tidak setegang tadi. “Begitu ya, ngomong-ngomong apa kau sudah makan?” Tepat setelah dia bertanya, perutku berbunyi setelahnya. “Kenapa harus bunyi sih...” Gumamku. “Sepertinya belum.” Katanya. Sangat terlihat bahwa dia sedang menahan tawa. “Kau—awas jika kau berani tertawa.” Kataku. Dia pun menutup mulutnya rapat-rapat. “Ekhem cepatlah berganti, aku sudah memasak makan malam.” Ucapnya sembari melangkah ke dapur. “Kau memasak makan malam?!” Ucapku terkejut. “Kenapa kau terkejut?” Tanyanya. “Kenapa aku terkejut katanya...” Gumamku. “Devan, apa kau salah minum obat hari ini?” Tanyaku heran. “Aku bahkan tidak menyentuh obat.” Jawabnya dengan raut wajah serius. Dia meninggalkanku yang masih mencoba mencerna sikapnya itu. “Tadi ajakan kencan dan sekarang makan malam? Apa dia baru saja tersambar petir?” Gumamku sendirian di ruang tamu.
Aku mengganti bajuku dengan pikiran yang masih keheranan. “Apa jangan-jangan kepalanya terbentur sesuatu? Atau mungkin dia melakukan perjalanan ke masa depan dan menyesali perbuatannya?” Segala kemungkinan yang bahkan tidak masuk akal sama sekali berlalu-lalang di otakku. “Padahal awalnya dia yang meminta dicarikan orang untuk memasak, kenapa sekarang tiba-tiba...” Pikirku. Begitu kami sampai di rumah ini, dia langsung mengusulkan untuk mencari beberapa orang untuk bertugas mengurus rumah. Aku langsung setuju saja karena kupikir tidak ada ruginya juga. Aku juga bisa lebih santai dan punya waktu untuk mengurus pekerjaanku. Tapi sudah seminggu ini, Bu Nina—orang yang bertugas di bagian dapur, mengambil cuti. Awalnya aku mengusulkan untuk memakai jasa catering. Bukan apa-apa, tapi aku sadar bahwa diriku tidak terlalu bisa memasak. Walau sebenarnya aku tidak keberatan jika Devan memang ingin aku memasak. Tapi tidak kuduga, Devan justru menawarkan dirinya sendiri. Devan memang bekerja di bidang makanan dan minuman. Lebih tepatnya dia membuka sebuah kedai kopi. Di kedainya, dia menjual berbagai jenis roti, makanan berat seperti nasi dan pasta, dan tentunya kopi. Seluruh resep berasal dari dia sendiri. Jadi bisa dibilang—atau bahkan sudah bisa dipastikan—kemampuan memasaknya jauh lebih baik dari pada aku. Tapi memasak untuk orang rumah adalah permasalahan yang berbeda. Selain dia harus memasak untukku juga, Devan pun harus meluangkan lebih banyak waktu. Aku tidak menyangka bahwa dia tidak keberatan dengan hal itu. Mungkin ini adalah sesuatu yang wajar bagi pasangan yang sudah menikah, tapi kupikir itu adalah kasus berbeda untuk kami yang dijodohkan.
“Maaf, harusnya aku mengabarimu kalau aku lembur.” Kataku sambil berjalan ke arah dapur. “Tidak masalah, duduklah.” Ucapnya dengan kedua tangan memegang piring yang berisi lauk yang baru saja dimasaknya. Aku langsung mengambil piring-piring itu dari tangannya dengan spontan. “Biar aku saja.” Ucapku. Devan pun menyerahkan piring-piring itu. Walau Devan sudah seminggu memasak sarapan dan menyiapkan bekal, baru malam ini dia juga memasak makan malam. Sebelumnya aku yang memasak karena merasa enggan jika menyerahkan semua urusan kepadanya. Aku pun duduk dan mulai menyantap makan malam. Setelah menelan suapan pertama, aku baru sadar ternyata aku sedang kelaparan. “Kau tidak makan?” Tanyaku pada Devan yang hanya duduk diam di depanku. “Aku sudah makan.” Jawabnya singkat. Suasana menjadi begitu hening tanpa sepatah pun kata. Aku pun berusaha makan secepat mungkin, tidak tahan dengan semua kecanggungan ini.
Hari itupun berakhir begitu saja. Setelah selesai makan, kami pun pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ya, kamar masing-masing. Untuk bergandengan tangan saja dia tidak mau, tidak mungkin dia mau tidur sekamar denganku. Akupun langsung memejamkan mata setelah membersihkan diri. “Hari ini terasa cukup melelahkan...”
Alarmku berbunyi tepat pukul 07.00 pagi. Terdengar ada suara bising dari luar. Sepertinya Devan sedang membuat sarapan. “Oh iya, aku belum menanyakan pesannya kemarin...” Gumamku. Aku pun beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. “Sudah bangun?” Tanyanya begitu mendengar langkah kakiku. Aku hanya menganggukkan kepala, masih belum sepenuhnya sadar. “Ada yang mau kutanyakan.” Ucapku membuka obrolan. “Kenapa kau menghubungiku kemarin?” Tanyaku. “Oh pesan itu?” Katanya sambil terus mengerjakan pekerjaannya. “Itu hanya pesan salah kirim, tidak perlu kau pikirkan.” Sambungnya. “Ah begitu ya.” Responku sebelum beranjak dari sana. Salah kirim? Bukankah itu lebih aneh? Dengan siapa dia mengirim pesan saat hampir tengah malam begitu? Apa mungkin membahas urusan biasa di jam segitu? Argh pikiranku semakin tidak karuan sebaiknya kuhentikan saja.
Aku pergi ke taman belakang. Karena aku bangun tepat waktu, aku punya waktu untuk menyiram tanaman-tanamanku yang ada dibelakang. Biasanya Pak Husen akan menggantikanku jika aku tidak sempat. “Maaf karena kemarin aku meninggalkan kalian.” Ucapku sembari menyiram. Bagian belakang ini adalah hal yang paling menarik minatku saat melihat rumah ini. Aku sangat menyukai tanaman sedari dulu. Aku bahkan berhasil menanam pohon mangga saat aku masih di bangku SMP. Sekarang pohon mungil itu sudah tumbuh begitu besar di halaman rumah orang tuaku. Disini aku mulai menanam berbagai jenis tanaman mulai dari sayur hingga buah. Hasil sayur dan buah itu bisa diolah ataupun langsung dikonsumsi. Walau kami punya cukup uang untuk membeli bahan makanan, akan lebih baik jika bisa dihemat. Lagian akan jauh lebih sehat jika mengonsumsi hasil kebun sendiri.
Setelah selesai menyirami semua tanaman itu, aku pun bersiap pergi bekerja. Aku pun memakan sarapan buatan Devan seperti biasa. “Apa kau tidak makan lagi?” Tanyaku melihat dia berjalan ke arah pintu depan. “Aku akan memakan bekalku saja.” Katanya sembari melangkah keluar rumah. “Aku duluan.” Pamitnya. “Kita bahkan tidak bisa makan bersama.” Ini juga salah satu dari sekian hal yang aku tidak mengerti tentangnya. Aku masih bisa mengerti jika dia tidak ingin bersentuhan fisik. Kurasa memang ada beberapa orang yang merasa risih akan itu, tapi bahkan dia tidak makan bersamaku? Satu-satunya saat dimana kami bisa makan bersama hanyalah dihari kami menikah atau saat berkencan, itupun aku harus memaksanya berkali-kali sebelum akhirnya dia ikut makan. Aku tidak ingin mengeluh awalnya tapi jujur saja, ini membuatku lelah.
Akupun pergi bekerja seperti biasa. Tidak ada yang begitu istimewa hari ini. Hanya tumpukan dokumen yang menunggu dan sejumlah rapat yang harus dihadiri. Tapi kurasa kesibukan ini juga berguna. Aku bisa mengalihkan pikiranku dengan seluruh pekerjaan ini. Setidaknya ini lebih baik dari pada terus meratap sendirian.
Tak terasa akhir pekan pun datang. Seperti janji, hari ini aku akan menemani Devan pergi ke suatu tempat. Aku memang menyetujui ajakannya ini tapi aku sama sekali tidak tahu tempat seperti apa yang ingin dia kunjungi denganku. Kira-kira tempat seperti apa ya? Hatiku terasa berdebar setiap aku memikirkannya. “Rasanya aku sedikit gugup...” Gumamku sembari menyisir rambutku. Aku pun melihat penampilanku di cermin kamar. Aku memakai dress berwarna merah polos dengan sedikit renda dibagian bawahnya. Aku juga memakai blazer berjaga-jaga jika cuaca terasa dingin. “Haruskah aku memakai perhiasan?” Aku pun mengambil liontin zamrud dan memasangnya di leherku. “Kurasa begini lebih baik.” Aku pun keluar kamar, bersiap untuk berangkat. “Sepertinya kau sudah siap?” Devan menungguku di pintu depan. Sepertinya dia juga berhias. Devan memakai kemeja putih, sepertinya berbahan polyester dengan bawahan celana kain berwarna hitam. Dia juga memakai jam tangan silver di tangan kirinya. Berbeda dengan yang biasanya dia pakai untuk bekerja. “Apa kau tidak akan memberi tahuku tujuan kita?” Tanyaku. “Apa kau ingin aku beri tahu?” Ucapnya balik bertanya. Pertanyaan seperti apa itu? Aku menghela napas. “Ayo berangkat.” Kataku tidak menghiraukan pertanyaannya. Kami berduapun masuk ke dalam mobil. Devan duduk di kursi pengemudi dan aku di kursi penumpang. Setelah memasang sabuk pengaman masing-masing, Devan pun menginjak gas.
Tempat pertama yang kami datangi tampaknya adalah sebuah restoran. “Aku sengaja tidak memasak makan siang hari ini.” Katanya sembari memarkirkan mobil. Sepertinya Devan mempersiapkan kegiatan ini lebih dari yang kukira. Ini juga kali pertama kita dapat makan bersama tanpa harus aku yang memaksa. "Lagi-lagi pria ini tidak bisa tertebak sama sekali..." Batinku. Kami pun turun dan melangkah masuk ke dalam. Restoran itu bergaya Italia dengan desain semi outdoor. “Permisi, saya sudah revervasi sebelumnya.” Ucap Devan kepada pegawai yang sedang menyambut tamu. “Atas nama siapa sebelumnya?” Pegawai itu menanggapi. “Devan Julio Widarta.” Jawab Devan. “Baik, silahkan lewat sini.” Pegawai itupun mengantar kami ke bagian rooftop. Lalu dia meletakkan dua buku menu sebelum kembali turun. “Wah lihat pemandangan ini.” Pemandangan langit sangat berbeda saat di atas. Matahari yang bersinar dibalik awan-awan tebal seperti sedang malu melihat kami. Langit berwarna biru cerah yang terasa begitu menyejukkan hati. “Apa kau menyukainya?” Tanya Devan. “Apa kau gila? Aku sangat menyukainya.” Jawabku kegirangan. Beberapa pelanggan melihat kearahku. “Apa suaraku terlalu lantang?” Batinku. Devan terlihat hanya menggelengkan kepalanya.
Kamipun memesan beberapa menu. Karena ini adalah restoran italia, tentu saja pizza adalah sebuah keharusan. Kami memesan Pizza Margherita, Fettucine Carbonara, dan Creamy Chicken Gnocchi. Lalu untuk minumannya aku memesan Lime Mojito sedangkan Devan memesan Ristretto. Setelah selesai memesan, kami berdua pun terhanyut menikmati pemandangan langit yang terhampar luas di depan mata. Beberapa waktu berlalu, pesanan kami pun tiba. “Silahkan menikmati.” Ucap Pegawainya setelah menatanya dimeja. Aku salah fokus dengan minuman Devan. Minuman Devan terlihat mirip seperti espresso yang disajikan dengan cangkir kecil. “Apa kau pernah mencoba Ristretto?” Tanyanya menyadari aku yang memerhatikan minumannya sedari tadi. “Belum, apakah mirip dengan espresso?” Tanyaku balik. “Ya sederhananya ristretto adalah espresso versi italia, walau begitu takaran mereka berbeda. Ristretto memiliki takaran air yg lebih sedikit.” Jelasnya. Aku menganggukkan kepala sembari mendengarkan. “Kalau begitu itu pasti pahit sekali...” Ucapku. “Mau mencobanya?” Tanyanya. “Tidak, terimakasih.” Jawabku dengan kecepatan kilat. Satu-satunya kopi yang bisa kutangani adalah kopi cream, jadi tidak mungkin aku bisa menangani kopi sepahit itu.
Ditengah-tengah kami yang sedang menyantap menu makan siang kami, tiba-tiba ponselku bergetar. “Apa kau tidak akan memeriksanya?” Kata Devan. “Nanti saja.” Kataku. Tentu saja aku tidak ingin menganggurkan semua makanan ini hanya demi menjawab beberapa pesan. Tapi ternyata ponselku terus bergetar tanpa henti. “Mungkin sebaiknya kau melihatnya dulu, mana tahu itu pesan penting.” Devan memberi saran. Aku dengan berat hati meletakkan alat makanku dan memeriksa pesan apa itu. “Pengirimnya nomor tak dikenal...” Batinku. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak. “Sepertinya hanya pesan spam.” Kataku sambil kembali meletakkan ponsel kembali. Devan hanya mengangguk tanpa menanyakannya lebih lanjut. Kami pun melanjutkan makan siang kami.
Setelah selesai makan, kami pun beranjak pergi dari tempat itu. Tempat selanjutnya adalah sebuah teater. “Tak kusangka Devan suka menonton teater...” Gumamku pelan sembari melihat sekeliling. “Sepertinya teater ini cukup ramai.” Ucapku. “Aku mendengar bahwa ada satu pertunjukan teater yang sangat bagus, mungkin itu alasan kenapa teater ini ramai.” Jelas Devan menanggapi kalimatku. “Pertunjukan tentang apa itu? Apakah kita akan menontonnya juga?” Tanyaku penuh rasa penasaran. “Ya, untuk apa lagi aku mengajakmu kesini?” Katanya. Aku begitu kegirangan. Aku tidak tahu dengan Devan, tapi aku sangat menyukai pertunjukan teater. Bagiku semua aktor yang bisa bermain teater dengan baik pasti memiliki kemampuan akting yang baik pula. Bagaimana tidak? Teater itu pertunjukan secara langsung lho. Para aktor sama sekali tidak boleh berbuat kesalahan.
Kami pun duduk di bangku tengah. Untungnya Devan memilih letak bangku yang sempurna. Aku jadi penasaran pertunjukan seperti apa yang akan kita tonton. Disaat aku sibuk dengan segala kegiranganku, ponselku masih terus bergetar. Tapi aku membisukan dering dan tidak menghiraukannya. “Aku itu sedang sibuk tahu...” Batinku. Satu jam berlalu. Pertunjukan teater pun selesai. “Tadi itu sedih juga.” Ceritanya tentang sebuah kisah cinta yang ternyata memiliki akhir yang tidak bahagia. Aku biasanya tidak terlalu menikmati cerita seperti ini, tapi kali ini aku bahkan hampir menangis. “Kurasa sudah waktunya kita keluar.” Ucapku sembari menoleh ke arah Devan sebelum aku dibuat terkejut oleh kedua matanya yang sangat merah. Devan memalingkan wajah segera begitu mata kami bertemu. “Apa dia tadi...menangis?” Batinku tidak percaya.
Kami memutuskan untuk duduk sejenak dibangku taman yang ada didekat gedung teater. Aku pun kembali mengecek ponselku. Nomor tadi masih terus mengirim pesan. “Kurasa aku harus memeriksanya...” Batinku. Aku pun izin untuk membeli minum sebentar. “Ya, sebaiknya aku memberi waktu untuk Devan menenangkan diri juga.” Gumamku sembali melangkah menjauh dari taman. “Tapi tak kusangka dia akan menangis...sepertinya terlalu banyak hal yang belum kuketahui”. Untungnya ada kedai minum di dekat taman. Aku pun memesan 2 minuman kemudian menunggu di meja. “Sebaiknya cek disini saja...”
Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan pesan spam ini. Aku pun membuka pesan itu. Ada belasan chat atau mungkin puluhan. Tapi yang membuatku terkejut bukan jumlah pesannya. Tapi isi dari pesan itu.
“AKU TAHU SESUATU TENTANG PERISTIWA YANG MENIMPA IBUMU.”
“AKU TAHU SESUATU YANG TIDAK KAU TAHU.”
“JANGAN MENGABAIKANKU, APA KAU INGIN PERISTIWA ITU TERULANG?”