Untuk kesekian kalinya, aku ingin menyampaikan keberatan pada orang – orang. Memang aku mempercayai dan merasa tenang dengan pembagian job panitia yang berada di dalam RSG. Gea sebagai salah satu sekretaris kegiatan memang dipercayai untuk bagian registrasi bersama denganku, sementara Aulia ada di dalam memegang job time keeper. Sedangkan Devi beberapa kali berlalu – lalang bersama anak konsumsi untuk mengkoordinasi. Namun, justru karena berada di luar sini, aku bisa melihat bagaimana panitia yang justru memenuhi meja registrasi alih – alih peserta yang melakukannya.
Gerah adalah hal yang kurasakan sekarang. Oleh karena itu, sebelum kalimat tidak enak di telinga keluar dari lisan, aku memilih mengambil presensi panitia dan running.
Di mulut RSG mataku menangkap sosok Narendra di atas panggung. Kembali sosoknya yang kali ini sebagai MC mengalihkan atensiku. Anehnya, kali ini ketika bersitatap aku justru memalingkan wajah. Untuk alasan apapun itu, heh, aku malu!
"Mbak, Mbak," aku menoleh ke deretan calon kader rohis yang kali ini diikutsertakan sebagai panitia teknis, "itu presensi, ya?"
Aku mengangguk lalu menyerahkan map presensi pada pemuda yang tingkatnya tepat di bawahku. Sembari menanti mereka semua mengisi, aku mengecek ponsel untuk memberi Airra kabar. Tampaknya kegiatan ini akan baik – baik saja sampai selesai.
"Udah, Mbak Rinka," ucap calon kader yang tadi, sungguh aku lupa siapa namanya.
"Oke, makasih, ya."
Momen ketika aku berbalik, ternyata Narendra tepat di hadapanku dan berhasil membuat tersentak. Kaget pasalnya beberapa menit lalu dia sedang pemanasan di depan. Tidak ada percakapan apapun sampai aku akhirnya sadar bahwa tangan kanan Narendra sudah menengadah.
"Oh, iya, presensi. Ini," ucapku menyerahkan presensi padanya.
Gawat, gawat, gawat!
Rasanya grogi dan seperti mati kutu. Sungguh, tidak pernah aku menjadi segrogi ini padahal hanya menyerahkan barang kecil. Tetapi, kurva yang terukir tipis tepat ketika aku tersentak tadi membuat diri ingin berteriak.
Menyebalkan, kau membuatku malu!
.
.
.
Daya baterai sosial yang sudah terkuras membuatku ingin kembali ke kost sekarang juga. Pasalnya, tidak hanya mengkoordinasi registrasi, aku juga turut membantu komunikasi dengan bagian konsumsi. Bahkan baru kuingat, bahwa belum sesuap nasipun masuk ke dalam perut sejak adzan maghrib berkumandang sebagai tanda buka puasa sunahku.
Kepala dan lengan kiri sudah terkulai lemas di meja registrasi. Rasanya ingin berbaring kemudian tidur. Suara bising lalu – lalang di sekitar perlahan mulai menjadi sunyi. Tinggal beberapa detik lagi kesadaranku nyaris di atas awan, namun suara yang terasa begitu dekat dan lebih nyaring dari yang lain membuat mataku terbuka. Masih setengah sadar mataku menangkap lengan berbalut warna biru tengah sibuk melakukan sesuatu tepat di depan mata.
"Sakit kamu, Rin?"
Mataku berkedip beberapa kali, kemudian sedikit melirik ke atas dan mendapati sosok pemuda menatap ke arahku. Tangannya memang sibuk melipat kain, namun mata tersebut begitu fokus dengan sorot yang entah bagaimana terlihat bingung dan apakah itu kekhawatiran?
"Enggak, Ren, cuma agak nggak enak badan aja. Lha, kamu gimana? Udah enakan?" jawabku kemudian balik bertanya dengan suara lirih.
"Aman, Rin, udah mendingan. Orang kemarin cuma ngantuk," ucap Narendra.
Dahiku mengernyit.
"Ha? Ngantuk apa? Orang matamu keliatan banget orang sakit, lho," balasku dengan suara agak naik dari sebelumnya.
Kekehan Narendra justru membuatku mendengus. Namun, ketika aku bersiap kembali untuk menutup mata, seruan Narendra sontak membuatku bangkit dan duduk dengan tegak.
"Rinka katanya mau foto!"
"Heh!" aku menyeru Narendra, kemudian menoleh cepat pada beberapa panitia yang sibuk mengabadikan potret bersama masing – masing anggota divisinya. "Bukan, gitu. Narendra yang bilang," sergahku.
Suara tawa Narendra bahkan sampai membuatku bersungut – sungut. Bahkan tawa kecil yang tak kunjung reda bersama raut kemenangan di wajah akhirnya membuatku mendesis sebal. Deretan kalimat protes siap meluncur dari lisanku, namun tertahan ketika suara Nadila memanggil.
"Rinka, mau foto? Ayo, ayo, kita foto kelompok mentoring bareng," ajak Nadila penuh semangat.
Anggota kelompok mentoring yang mentor – nya adalah Nadila sudah berkumpul. Hanya Airra, yang memang tidak hadir kegiatan, dan aku yang tidak di sana.
"Ayo, Rin!" seru Gea.
Aku tergoda, kemudian berseru "ih, mau!"
Ketika berbalik untuk berpose, mataku langsung bertemu dengan Narendra. Masih dengan wajah cerah selepas tawanya tadi, kali ini ekspresinya berhasil menular. Dadaku menghangat dan membuat bibirku mengukir kurva. Mungkin setelah ini aku harus berterima kasih padanya.
Benar, terima kasih atas kejahilannya. Mood yang tadi meminta istirahat kini telah meningkat pesat. Aku tertawa dalam hati, ah, tiba – tiba rasanya menyenangkan!
.
.
.
Nyatanya, pemikiran akan kejadian menyedihkan yang hadir setelah perasaan kupu – kupu menjadi pemikiran negatif yang tanpa sadar mengendap di kepala. Emosi asing sekaligus familiar seperti yang pernah kurasakan dulu, kini kembali muncul ke permukaan.
Kepala begitu pening tak sengaja memikirkan berbagai kejadian beruntun yang hadir tanpa jeda. Sesungguhnya, tidak terlalu banyak menurut kepalaku, namun seolah kepala jauh ingin meledak dari sebelumnya. Bahkan tak tahu sudah berapa kali bisik pertanyaan mengalun menanyakan sudah menangis atau belum hari ini. Lucu rasanya kala seseorang biasanya mendapat pertanyaan seberapa bahagia atau seberapa bersyukurnya seseorang atas hari yang panjang. Namun, di sudut hatiku sesungguhnya tidak sedikitpun menginginkan pertanyaan tersebut karena dengan penuh kesadaran, aku tahu bahwa hal tersebut hanya membuat dada kian sakit. Cukup kepala saja yang ingin meledak, tolong dada jangan turut berdenyut apalagi berteriak seolah diremas.
Kali ini, apa yang membuatmu menangis?
Tampaknya, aku tahu mengapa karena bahkan ketika raga hanya berbaring di atas peraduan, sosok yang saat ini muncul di benak membuat kepala berputar. Sosok yang dengan caranya sendiri berhasil membuat seorang aku cemas bukan main, akan tetapi tidak tahu mengapa bisa secemas ini. Sudah tidak terikat dengan kegiatan apapun, namun anehnya figur dengan rahang tegas tersebut begitu mendistraksi diri.
Jika dipikirkan kembali, peluang jumlah kader angkatan dua puluh satu yang akan lanjut dua periode tidaklah lebih dari tiga jika seorang Adinata Narendra tidak demikian. Masih tetap dengan kekhawatiran dan keraguan yang sama, membayangkan rohis tanpa sosoknya sungguh tidak terbayangkan. Aku tidak tahu siapa lagi memangnya yang dapat dipercaya untuk posisi tersebut.
"Nay," panggilan bapak yang tengah berkunjung ke kost membuyarkan renunganku.
"Dalem, Pak?"
Tangan besar bapak terangkat untuk mengusap puncak kepalaku lembut. Seulas senyum yang menghiasi wajah milik sosok berusia lebih dari separuh abad tersebut menular padaku.
"Bapak emang ndak ngasih izin Naya buat ikut rohis atau BEM lagi, tapi Bapak tahu Naya udah dewasa, udah paham mana yang boleh diambil mana yang nggak," ujar bapak membuatku sedikit menunduk.
Keresahan yang tak juga pudar membuat liurku berubah pahit. Sesungguhnya, di sudut hati terdalam, hasrat untuk lanjut hanya karena Airra dan Narendra. Seolah, jika tidak ada dua orang itu, enggan dalam hati sulit dibantah.
"Tapi, Bapak, di sisi lain Naya pingin lanjut rohis. Naya pingin membersamai Airra. Terus, ya, Bapak, jadi ada dua orang, nih, yang disiapin buat jadi ketua. Nah, Naya pingin bantu dan menyokong mereka juga lewat admin sama keuangan," tuturku berterus terang.
"Naya jadi ketua admin? Bapak ndak ngasih izin buat Naya di depan, tapi kalau Naya bener diminta jadi wakil mereka, monggo."
Penuturan bapak yang berbanding terbalik dari sebelumnya membuatku menengadah tak percaya. Sorot mata yang begitu tegas tersebut membuatku membalas dengan mata membelalak terkejut. Kalimat berikutnya yang dituturkan bapak kurang lebih membuatku mengerti bahwa bapak mendukung harapanku untuk mencoba bergerak di belakang layar.
"Tapi, Naya, Bapak cuma kasih izin buat jadi wakil mereka, nggak kalau sampai ketua admin."
Cukup sulit sesungguhnya karena aku sangat yakin bahwa posisi yang tak lama lagi akan ditawarkan padaku pastilah di antara wakil ketua umum atau Ketua ADK. Hendak di tempat manapun, sesungguhnya kedua hal tersebut masihlah posisi depan hanya berbeda lingkup saja. Namun, bukankah begitu egois dan serakah jikalau aku hanya akan melanjutkan dua periode apabila ditawari salah satu dari posisi tersebut?
.
.
.
"Sekarang kamu yakinnya, gimana, Rin?" tanya Airra berbisik di tengah kuliah praktikum.
Mendongak dari lembaran jurnal akuntansi di atas meja, mataku bertemu dengan milik Airra yang duduk di sebelahku.
"Aku punya satu keputusan hampir bulet, Ra," jawabku membuat Airra terkesiap.
Raut wajah yang memasang ekspresi berpikir tersebut membuatku mengulas senyum.
"Tapi, Ra, aku masih perlu jawaban. Tujuanku kalau emang lanjut, ya, buat kamu sama ketua yang mau aku sokong, dan kamu juga yang paling tahu kalau ada sistem yang mau aku ubah. Termasuk tentang alumni sama divisi yang mau aku hapus, inget, kan?" tuturku.
Airra mengangguk mengerti. Cukup lama sampai dia terdiam tidak melakukan apapun, termasuk kembali ke lembaran jurnal praktikumnya. Sorot mata menerawang dengan ekspresi berpikir itu membuatku menghela napas. Jauh di dalam lubuk hatiku, ada dugaan bahwa Airra pasti menyimpan tujuan dan alasan lanjut tidaknya untuk periode kedua.
"Rin," panggil Airra, "aku sebenarnya juga ada keinginan buat lanjut. Salah satunya, emang buat kamu, tapi jujur aku bingung selain itu mau buat apalagi. Sesuatu yang juga pingin aku ubah itu, kalau kamu nggak ada, aku bingung harus gimana. Sayapmu ini nggak bisa terbang kalau kamunya nggak ada."
Penuturan Airra membuatku kembali berpikir. Entah bagaimana mulanya, sosok Narendra yang tiba - tiba muncul dalam benak membuat tersentak. Aku sangat yakin bahwa tidak satupun anggota rohis yang tidak menyadari bahwa Narendra diprospek menjadi ketua umum selanjutnya. Rasanya, aku ingin mendengar dari Narendra langsung mengenai gambarannya untuk rohis kedepan. Cara Narendra memandang sistem rohis saat ini, beberapa kali aku curiga bahwa dirinya pasti tidak setuju. Keingin mengubah sistem itu bersama dengan pandangannya, linier atau tidaknya dengan pemikiranku, aku ingin tahu. Di dalam diri bahkan telah muncul ketakutan jikalau Narendra ternyata tidak memiliki pemikiran dan visi yang sama, lantas mengapa aku harus lanjut jikalau sosok yang ingin kusokong ternyata berbeda jalur?
Narendra memang memiliki rasa ketidaksetujuan akan sistem rohis saat ini. Suatu hal yang sangat Narendra sadari bahwa sistem yang diterapkan oleh Farzan beserta dua orang wakilnya saat ini sesungguhnya sudah tidak linier. Benar, bukankah dengan orang yang ingin aku dan Airra dukung, kita sudah satu suara? Lantas, apa yang membuat ragu? Bahkan, tujuan asliku dan Airra lanjut belum terucap, namun ketidakpastian ini membuat berpikir ulang dan mengurungkan niat.
Ya, suara Narendra. Entah dari sudut manapun mencoba untuk ditelaah, apapun yang dia sampaikan tidak ada sedikitpun indikasi kalau dirinya akan lanjut dua periode. Ketidaksengajaan dengan Galih yang tiba - tiba muncul di posko pun, nyatanya tidak memberikan dampak apapun. Baik Narendra maupun Galih yang keduanya sama - sama diprospek, satupun tidak ada kecondongan pada jawaban "ya, aku lanjut."
Semuanya menggantung!
"Rin."
Panggilan Airra hanya kujawab dengan gumaman, bingung harus merespon bagaimana. Tekadku goyah di sini. Mungkinkah seharusnya kudengarkan nasihat Nadila untuk lanjut bukan untuk seseorang?
Hei, diriku!
Tempatmu berada saat ini adalah organisasi rohis yang mana niat berada di dalamnya adalah untuk mendekat ke Sang Pencipta. Niat lurus karena untuk menggapai tempat - Nya. Dibersamai maupun membersamai orang - orang dengan niat serupa yang saling mengingatkan dan saling memperbaiki diri agar tidak semakin jauh dari syariah di tengah akhir zaman yang kian menggila. Niatan untuk berdakwah dan mulia tersebut, bukankah sangat tidak pantas jikalau kamu memilih lanjut karena seseorang, Rin?
Akan tetapi, tidakkah kamu ingin mendengarkan suara otakmu juga? Jika kamu tetap berada di sini, bukan dengan sosok yang ingin kamu dukung, bukan sosok yang kamu percayai, bahkan bukan sosok yang kamu kehendaki untuk memimpinmu, lantas ketua mana yang akan kamu patuhi, Rin? Sosok manusia yang benci diperintah dan hanya mengizinkan orang - orang tertentu untuk memerintah dirimu, bukankah kamu akan jadi sosok pemberontak nantinya jika ketua setelah Farzan bukan orang yang kamu inginkan? Memang terkadang, arogansi dalam diri seringkali menguap di luar kendali menjadikan diri seperti ini. Namun, coba pikirkan kembali, Rin! Rasanya, untuk apa kamu memustukan lanjut dua periode jika bukan bersama orang - orang yang linier dengan tujuanmu? Bukankah akan sangat sulit berjalan selama setahun dengan orang - orang yang bahkan tidak sevisi dengan inginmu? Untuk waktu selama itu, memangnya kamu berkenan, Rin?
Ahh, ya, aku pasti tidak waras jika tetap lanjut, namun orang - orang yang sevisi dan kuduga akan setuju dengan tujuan asliku tidak berada di sampingku, kan?