Terlampau banyak suara yang tak hentinya menyebut sebuah nama di kepala. Benakpun turut serta memutar memori beserta rupa sesosok pemuda. Mata sembab yang juga mengalirkan kristal bening sejak beberapa hari lalu pun tidak absen. Sehingga pada akhirnya, memunculkan rasa gemas dalam dada.
Tanggung jawab menyelesaikan proposal tinggal di depan mata, sejujurnya ada rasa lega tak tertahankan. Mulai dari sini, setidaknya intensitas komunikasi akan berkurang. Hal yang tampaknya tidak buruk untuk diriku.
Untuk penyusunan proposal peminjaman tempat, memang sengaja aku berikan kepada Gea. Momen yang tepat dengan situasi yang meminta diriku untuk memberikan lebih banyak atensi ke kementerianku di BEM. Akan tetapi, terus terang bahwa aku tidak berani jika harus tiba – tiba menjauh dari kepanitiaan. Sungguh, bukan tipikalku. Oleh karena itu, menghubungi Narendra untuk meminta izin agar mengurangi keaktifan di kegiatan ini adalah tindakan yang kuambil. Tentu saja aku percaya diri melakukannya karena job – ku untuk saat ini hampir selesai. Hanya perlu sedikit koordinasi dengan Airra juga Gea.
"Iya, nggak papa, Rin. Makasih banyak."
Narendra memang menjawab izinku seperti itu, sehingga membuatku yakin bahwa komunikasi ini cukup. Namun, ternyata salah. Bahkan, kala berkomunikasi dengan Gea terkait administrasi, Narendra justru menanyakan apa yang disampaikan Gea padaku. Membuat dahiku mengernyit bingung, pasalnya dia seharusnya bisa menanyakan hal tersebut pada Gea sendiri.
Dengan bingung yang tidak kunjung pudar, apapun pertanyaan Narendra tetap kurespon. Suatu hal yang dikatakan oleh batinku dan berusa kuyakini adalah segala bentuk jawaban sebagai wujud menghargai Narendra yang sesama manusia. Karena menurutku, tidak ada manusia yang akan senang jika pertanyaannya, apalagi jika pertanyaan terkait kepentingan bersama, tidak mendapatkan respon hanya karena masalah emosi.
.
.
.
Benar, semua tindakan yang kuputuskan tampaknya keliru. Izin untuk sedikit mengurangi keaktifan selama persiapan Majlis Rohis III, kini telah menjadi omong kosong. Nyatanya, komunikasi dengan Narendra justru semakin berlanjut. Kabar dari Narendra yang mengatakan akan berangkat ke Semarang hanya untuk mencetak proposal kegiatan adalah salah satu bukti yang membuatku terheran.
Kupikir, setelah tiba di Semarang dan menyelesaikan urusannya, Narendra tidak akan kembali ke rumah hingga semester baru dimulai. Akan tetapi, jawaban Narendra membuatku tidak habis pikir. Dia sungguh – sungguh menghabiskan waktu dua jam untuk mencapai Semarang dan akan pulang saat dzuhur nanti.
"Beneran habis ini, kamu langsung pulang, Ren?"
"Iya, Rin. Lagian deket, dua jam juga nyampai," jawab Narendra dari seberang telepon.
"Kamu ini kenapa, sih, nggak minta humas yang di Semarang?" tanyaku gemas.
"Mas Arga nggak bisa, Rin, kalau hari ini. Padahal, timeline – mu pekan depan udah running. Jadi, aku nyesuaiin juga," penjelasan Narendra membuatku tersenyum. Mengagumi betapa bertanggungjawabnya orang ini.
Namun, di sisi lain, "maaf, Ren, aku jadi bikin kamu bolak – balik Semarang sama rumah." Timeline yang sengaja aku susun agar menghindarkan organisasi dari pinalti keterlambatan pencairan dana proker dan tidak membuat humas gelagapan, justru menyebabkan Narendra seperti ini secara tidak langsung.
"Jangan minta maaf, Rin. Justru, aku terima kasih buat yang udah kamu lakuin."
Narendra benar – benar pandai membuat emosiku berubah dengan sangat cepat. Kuakui itu. Kemarin, dirinya membuatku khawatir karena rencananya hari ini. Kemudian, beberapa menit lalu, Narendra membuatku merasa tak enak, namun sekarang dirinya berhasil menghilangkan perasaan tak nyaman itu hanya dengan ucapan terima kasih. Sesuatu yang sangat sederhana, namun membuatku merasa dihargai.
Dia pasti dididik oleh keluarga yang sangat menghargai sesama.
"Rin, ini yang print khusus tadi gimana, ya? Terus nyusunnya ini harus gimana, masih nggak paham aku. Video call aja, ya."
Tunggu sebentar!
.
.
.
Organisasi bukan sekadar tentang sekumpulan orang dengan tujuan yang sama. Bagiku, di tempat yang orang – orang sebut sebagai sebuah wadah, organisasi adalah salah satu alternatif menemukan sosok sefrekuensi. Pada kenyataannya, tak semudah dan tak sesederhana itu menemukan sosok dengan frekuensi yang sama. Nyatanya, tempat ini sungguh penuh kejutan.
Terdapat banyak kepala beserta pikiran dan sudut pandang, sehingga tidak ada yang bisa membatasi keberagaman tersebut. Latar belakang yang memiliki kisahnya sendiri, tentu tidak lepas dari setiap individu. Karakter yang heterogen dan tentu saja ego dalam setiap orang beserta tingkat kekeraskepalaan masing – masing. Komposisi dari beragam kombinasi pribadi banyak orang, sungguh luar biasa rasanya.
Sehingga, tidak heran apabila perbedaan tersebut mungkin saja dapat menggoreskan luka pada seseorang. Entah dari ucapan maupun tindakan, tidak pernah ada yang tahu dari mana luka tersebut akan datang. Namun, dampak yang didapat sungguh kentara karena tak semua orang bisa menutupinya dengan rapi.
"Kamu marah, ya, karena kemarin aku sama Farzan ke Jogja?"
Bisa – bisanya Aisya mengajukan pertanyaan itu. Juga bisa – bisanya pula air mataku langsung mengalir deras mendengarnya. Bibir bawah yang kugigit agar tangisku tak bersuara nyatanya malah membuat dadaku sesak. Untuk alasan yang tidak kuketahui dengan jelas, rasa sakit tetiba turut menyerang kepala.
Tenang, kendalikan dirimu dengan baik, diriku!
"Ha? Marah apa, sih, Mbak?" tanyaku dengan suara sestabil mungkin, bahkan sengaja kuberikan sedikit kekehan.
"Iya, kamu marah, Rin. Aku tahu itu, nggak papa. Kamu boleh banget buat terus terang," tutur Aisya.
Aku tersenyum getir, kemudian tertawa pelan.
"Mbak Aisya ini ngomong apa, sih? Aku, tuh, nggak marah, Mbak. Beneran, cuma agak deg aja, kok, bisa – bisanya pada milih nge – camp, padahal sosil tinggal besok. Belum lagi, Narendra yang masih harus survei sendiri. Rasanya, kaya lucu aja, Mbak. Tapi, sungguh aku beneran nggak marah," jelasku sambil beberapa kali terkekeh.
"Nggak ada yang minta Narendra survei sendiri, Rin."
Wah, pembelaan diri baru saja akan dimulai!
Setiap kata yang Aisya sampaikan dari seberang telepon, tidak satupun kulewatkan. Semuanya, kudengarkan dengan baik, namun tidak kucermati. Hanya memberikan kesempatan Aisya berbicara, menghargai waktu yang sudah sengaja dia luangkan. Akan tetapi, mungkin, karena kekecewaan yang telah terukir dan kepala yang masih riuh, aku tidak berusaha memahami penjelasan Aisya.
Penjelasan tentang perencanaan dari jauh hari, namun justru menjadi tepat ketika Hari H karena perubahan tanggal sosialiasi, juga enggan kupahami. Raut wajah Narendra kala itu terlampau membekas hingga membuatku selalu sakit kala terbayang, padahal sudah tak ingin kuingat. Bahkan, permintaan maaf dari Aisya, hanya sebatas penerimaan tanpa rasa lebih. Aku menghargai maaf yang dia sampaikan, namun tidak sampai menghilangkan kekecewaan dan rasa sakit dalam hati. Memang tidak mungkin memaafkan begitu saja, tampaknya memang saat ini waktulah yang kuperlukan.