Loading...
Logo TinLit
Read Story - Chapter Dua – Puluh
MENU
About Us  

Terlampau banyak suara yang tak hentinya menyebut sebuah nama di kepala. Benakpun turut serta memutar memori beserta rupa sesosok pemuda. Mata sembab yang juga mengalirkan kristal bening sejak beberapa hari lalu pun tidak absen. Sehingga pada akhirnya, memunculkan rasa gemas dalam dada.

Tanggung jawab menyelesaikan proposal tinggal di depan mata, sejujurnya ada rasa lega tak tertahankan. Mulai dari sini, setidaknya intensitas komunikasi akan berkurang. Hal yang tampaknya tidak buruk untuk diriku.

Untuk penyusunan proposal peminjaman tempat, memang sengaja aku berikan kepada Gea. Momen yang tepat dengan situasi yang meminta diriku untuk memberikan lebih banyak atensi ke kementerianku di BEM. Akan tetapi, terus terang bahwa aku tidak berani jika harus tiba – tiba menjauh dari kepanitiaan. Sungguh, bukan tipikalku. Oleh karena itu, menghubungi Narendra untuk meminta izin agar mengurangi keaktifan di kegiatan ini adalah tindakan yang kuambil. Tentu saja aku percaya diri melakukannya karena job – ku untuk saat ini hampir selesai. Hanya perlu sedikit koordinasi dengan Airra juga Gea.

"Iya, nggak papa, Rin. Makasih banyak."

Narendra memang menjawab izinku seperti itu, sehingga membuatku yakin bahwa komunikasi ini cukup. Namun, ternyata salah. Bahkan, kala berkomunikasi dengan Gea terkait administrasi, Narendra justru menanyakan apa yang disampaikan Gea padaku. Membuat dahiku mengernyit bingung, pasalnya dia seharusnya bisa menanyakan hal tersebut pada Gea sendiri.

Dengan bingung yang tidak kunjung pudar, apapun pertanyaan Narendra tetap kurespon. Suatu hal yang dikatakan oleh batinku dan berusa kuyakini adalah segala bentuk jawaban sebagai wujud menghargai Narendra yang sesama manusia. Karena menurutku, tidak ada manusia yang akan senang jika pertanyaannya, apalagi jika pertanyaan terkait kepentingan bersama, tidak mendapatkan respon hanya karena masalah emosi.

.

.

.

Benar, semua tindakan yang kuputuskan tampaknya keliru. Izin untuk sedikit mengurangi keaktifan selama persiapan Majlis Rohis III, kini telah menjadi omong kosong. Nyatanya, komunikasi dengan Narendra justru semakin berlanjut. Kabar dari Narendra yang mengatakan akan berangkat ke Semarang hanya untuk mencetak proposal kegiatan adalah salah satu bukti yang membuatku terheran.

Kupikir, setelah tiba di Semarang dan menyelesaikan urusannya, Narendra tidak akan kembali ke rumah hingga semester baru dimulai. Akan tetapi, jawaban Narendra membuatku tidak habis pikir. Dia sungguh – sungguh menghabiskan waktu dua jam untuk mencapai Semarang dan akan pulang saat dzuhur nanti.

"Beneran habis ini, kamu langsung pulang, Ren?"

"Iya, Rin. Lagian deket, dua jam juga nyampai," jawab Narendra dari seberang telepon.

"Kamu ini kenapa, sih, nggak minta humas yang di Semarang?" tanyaku gemas.

"Mas Arga nggak bisa, Rin, kalau hari ini. Padahal, timeline – mu pekan depan udah running. Jadi, aku nyesuaiin juga," penjelasan Narendra membuatku tersenyum. Mengagumi betapa bertanggungjawabnya orang ini.

Namun, di sisi lain, "maaf, Ren, aku jadi bikin kamu bolak – balik Semarang sama rumah." Timeline yang sengaja aku susun agar menghindarkan organisasi dari pinalti keterlambatan pencairan dana proker dan tidak membuat humas gelagapan, justru menyebabkan Narendra seperti ini secara tidak langsung.

"Jangan minta maaf, Rin. Justru, aku terima kasih buat yang udah kamu lakuin."

Narendra benar – benar pandai membuat emosiku berubah dengan sangat cepat. Kuakui itu. Kemarin, dirinya membuatku khawatir karena rencananya hari ini. Kemudian, beberapa menit lalu, Narendra membuatku merasa tak enak, namun sekarang dirinya berhasil menghilangkan perasaan tak nyaman itu hanya dengan ucapan terima kasih. Sesuatu yang sangat sederhana, namun membuatku merasa dihargai.

Dia pasti dididik oleh keluarga yang sangat menghargai sesama.

"Rin, ini yang print khusus tadi gimana, ya? Terus nyusunnya ini harus gimana, masih nggak paham aku. Video call aja, ya."

Tunggu sebentar!

.

.

.

Organisasi bukan sekadar tentang sekumpulan orang dengan tujuan yang sama. Bagiku, di tempat yang orang – orang sebut sebagai sebuah wadah, organisasi adalah salah satu alternatif menemukan sosok sefrekuensi. Pada kenyataannya, tak semudah dan tak sesederhana itu menemukan sosok dengan frekuensi yang sama. Nyatanya, tempat ini sungguh penuh kejutan.

Terdapat banyak kepala beserta pikiran dan sudut pandang, sehingga tidak ada yang bisa membatasi keberagaman tersebut. Latar belakang yang memiliki kisahnya sendiri, tentu tidak lepas dari setiap individu. Karakter yang heterogen dan tentu saja ego dalam setiap orang beserta tingkat kekeraskepalaan masing – masing. Komposisi dari beragam kombinasi pribadi banyak orang, sungguh luar biasa rasanya.

Sehingga, tidak heran apabila perbedaan tersebut mungkin saja dapat menggoreskan luka pada seseorang. Entah dari ucapan maupun tindakan, tidak pernah ada yang tahu dari mana luka tersebut akan datang. Namun, dampak yang didapat sungguh kentara karena tak semua orang bisa menutupinya dengan rapi.

"Kamu marah, ya, karena kemarin aku sama Farzan ke Jogja?"

Bisa – bisanya Aisya mengajukan pertanyaan itu. Juga bisa – bisanya pula air mataku langsung mengalir deras mendengarnya. Bibir bawah yang kugigit agar tangisku tak bersuara nyatanya malah membuat dadaku sesak. Untuk alasan yang tidak kuketahui dengan jelas, rasa sakit tetiba turut menyerang kepala.

Tenang, kendalikan dirimu dengan baik, diriku!

"Ha? Marah apa, sih, Mbak?" tanyaku dengan suara sestabil mungkin, bahkan sengaja kuberikan sedikit kekehan.

"Iya, kamu marah, Rin. Aku tahu itu, nggak papa. Kamu boleh banget buat terus terang," tutur Aisya.

Aku tersenyum getir, kemudian tertawa pelan.

"Mbak Aisya ini ngomong apa, sih? Aku, tuh, nggak marah, Mbak. Beneran, cuma agak deg aja, kok, bisa – bisanya pada milih nge – camp, padahal sosil tinggal besok. Belum lagi, Narendra yang masih harus survei sendiri. Rasanya, kaya lucu aja, Mbak. Tapi, sungguh aku beneran nggak marah," jelasku sambil beberapa kali terkekeh.

"Nggak ada yang minta Narendra survei sendiri, Rin."

Wah, pembelaan diri baru saja akan dimulai!

Setiap kata yang Aisya sampaikan dari seberang telepon, tidak satupun kulewatkan. Semuanya, kudengarkan dengan baik, namun tidak kucermati. Hanya memberikan kesempatan Aisya berbicara, menghargai waktu yang sudah sengaja dia luangkan. Akan tetapi, mungkin, karena kekecewaan yang telah terukir dan kepala yang masih riuh, aku tidak berusaha memahami penjelasan Aisya.

Penjelasan tentang perencanaan dari jauh hari, namun justru menjadi tepat ketika Hari H karena perubahan tanggal sosialiasi, juga enggan kupahami. Raut wajah Narendra kala itu terlampau membekas hingga membuatku selalu sakit kala terbayang, padahal sudah tak ingin kuingat. Bahkan, permintaan maaf dari Aisya, hanya sebatas penerimaan tanpa rasa lebih. Aku menghargai maaf yang dia sampaikan, namun tidak sampai menghilangkan kekecewaan dan rasa sakit dalam hati. Memang tidak mungkin memaafkan begitu saja, tampaknya memang saat ini waktulah yang kuperlukan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Amherst Fellows
6469      1752     5     
Romance
Bagaimana rasanya punya saudara kembar yang ngehits? Coba tanyakan pada Bara. Saudara kembarnya, Tirta, adalah orang yang punya segunung prestasi nasional dan internasional. Pada suatu hari, mereka berdua mengalami kecelakaan. Bara sadar sementara Tirta terluka parah hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang dipikirkan Bara, ia mengaku sebagai Tirta dan menjalani kehidupan layaknya seorang mahasis...
Only One
1098      751     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
ALMOND
1106      636     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Solita Residen
1887      950     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Bifurkasi Rasa
147      125     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Trip
952      480     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
A & O
1681      800     2     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...
Dream Of Youth
754      492     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
Matahari untuk Kita
1108      559     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Cinta untuk Yasmine
2391      1019     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...