Siapa yang benci
kena prank? —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Sore itu ketika hanya Anan yang pertama kuperhatikan menongkrong di pelataran rumahnya. Meski kemudian aku menjadi sangat berhati-hati semenjak tahu Jo dan Anan setara jenis sentimensinya kalau ada aktivitas memilih di salah satu antara mereka.
Hingga tak ada batasan di kemudiannya setelah melihat Anan menjadi pilihan yang aman —selama Jo tak tampak menghuni sedikit pun pelataran di rumahnya. Jadi, tempat tinggal sebelah kirilah yang kudatangi. Anan segera menyadari hal tersebut hingga tak berfokus pada ponsel lagi, melainkan menunggu kecapaianku dengan tatapan yang tak beralih.
Untung aku tak terpeleset atau terjungkir balik. Biasanya hal seperti itu lumrah terjadi kalau kita tahu ada yang memperhatikan, sampai aku kasih bukti bahwa kenaturalan yang menghiasi tubuhku sangatlah beraura positif.
"Ngapain?" Sama seperti Jo yang permulaannya begini, dia tanya.
Singkat aku menggeleng. "Enggak apa-apa, mau main aja," jawabku setelah duduk di sebelahnya.
"Lu kayak enggak ada kerjaan," ujar Anan yang tertawa kemudian.
"Iya, makanya gue gabut. Kayak ... bingung mau ngelakuin apa."
"Emang tugas sekolah lu udah selesai?"
Aku diam sebentar untuk meneguk gumpalan air yang hampir membuatku tersedak. "Belum." Kemudian aku jawab begitu.
Kami berpandangan dengan makna mengejek yang tersirat begitu kuat. Lalu setelahnya tertawa dan menikmati obrolan ringan yang baru saja terucap beberapa dialog.
"Lu mau tau enggak?" Anan pun tanya setelahnya.
"Apa?" Sembari meredakan sesuatu yang masih saja mau aku tertawakan, pandangan kami tak sejalur lagi dan dimenangkan oleh sang langit berserta antek-anteknya di atas sana.
"Gue pernah baca teori pengetahuan umum yang menyatakan kalau jantung buaya muara berdetak cuma satu tiap empat puluh detik. Hal ini jauh berbeda dibandingkan jantung gue yang berdetak kencang ketika berada di sebelah lu."
"Mweh?"
"Jinjja." Anan sok kekoreaan setelah melihat keterkejutanku.
Sebenarnya aku tidak serius-serius sekali mendengar ilmu pengetahuan umum yang keluar dari mulut siapa pun. Saat guru menjelaskan saja aku durhaka, bahkan ketika Anan tadi juga rada begitu. Bedanya di penghujung kalimat, dia membuatku terbungkam dalam kesenyapan yang terlanjur meminta acuh dan terdobrak bersamaan dari hasil omongan itu.
Sudah seperti telur tambuk.
"Hehe." Anan menyengir dan mendorong bahuku. "Tepuk tangan kek lu kayak enggak pernah digombalin orang aja," katanya mengalihkan pembicaraan.
"Lah gombal lu?" Kagetku.
"Ngapa respon lu kayak belum pernah diginiin?!"
"Iya emang enggak pernah."
"Lah?"
"Jinjja."
"Kalo jantung yang berdetak kencang?"
Saat itu, aku masih belum mengerti apa maksud gejala yang dipertanyakan Anan. Aku hanya mengiyakan dengan begitu polos, sampai beberapa kali dia memukul bahuku lagi karena sudah menganggap jatuh cinta pada manusia yang tak berpengalaman.
Aku mengakui tuduhan itu. Bahkan sejak percakapan di antara kami mengenai detak jantung, aku akan selalu kewalahan mengendalikannya kalau sudah berhubungan tentang Anan.
Sama seperti sekarang. Rekor buaya muara tak ada apa-apanya ketimbang jantungku yang berdetak tak karuan di hadapan lelaki tersebut. Mimik wajahku sepertinya sudah minggat entah ke mana, soalnya selama menunggu kesadaran Anan, aku diam seperti manusia kerasukan setan batu.
Sudah satu jam semenjak aku dan Mama menunggu kesadarannya, sedangkan Kak Novan bersama Jo di IGD sana. Aku tidak tahu apa yang membedakan mereka berdua hingga beradanya di ruang terpisah begini. Padahal bagiku, dua-duanya sama saja terluka parah.
"Mama tinggal sebentar, dipanggil dokter itu." Mama yang duduk di sebelah mengelus puncak kepalaku, kemudian beliau pergi hingga menyisakan aku dan Anan saja di ruangan ini.
Tempatnya tak begitu terang, tapi juga tak gelap-gelap sekali. Aku masih bisa merasa diselimuti ruangan bercat putih tapi versi yang agak temaram. Tidak ada pasien lain di sini, padahal beberapa kasur tersusun rapi di dalamnya. Dan aku bersyukur, setidaknya Anan tak terganggu dengan kehadiran beberapa orang yang mungkin menyebabkan beberapa suara.
Tapi aku juga begitu mengasihani kondisi laki-lakiku ini, kepalanya tak memiliki rambut lagi. Seluruhnya dicukur habis, dan sudah digantikan oleh perban warna putih yang melilit rapi di atas sana. Dia tidak punya penutup luka yang lain seperti Jo, itu hanya benar-benar di kepala saja.
Mungkinkah dia tidak memasang helmnya ketika di jalan?
Pertanyaan itu akan kusampaikan padanya saat Anan bangun dan juga sudah sehat nanti, yang pasti aku tahu kalau dia sudah bangun, soal sehat aku yakin akan menyusul. Sesaat aku mungkin bodoh tak segera panggil dokter atau Mama, rasanya ingin sekali egois agar Anan percaya kalau aku akan selalu ada untuk apa pun kondisi yang dia rasa. Maka dari itu tangan yang kugenggam erat sedang membalas perlakuanku dengan begitu mengharukan.
Aku menangis ketika dia berhasil menatapku. Sesegukan seperti pertama kali melihatnya di sini tadi, menunjukkan kehancuran yang mungkin menjadi bahan kekhawatiran Anan bahwa dia memang sudah menyakiti aku.
"Jangan nangis."
Tidak bisa. Aku ingin terus menangis, bahkan lebih parah ketimbang sebelumnya.
"Gue mimpi kalo kita jadi," curhatku.
"Sama."
Aku menutup kedua mataku pakai lengan kanan, semakin terisak. "Katanya bakal balik. Gue nungguin," aduku kemudian.
"Maaf," lirihnya dengan begitu pelan, bahkan jenis suaranya saja sudah tidak seperti Anan pada umumnya.
Hal itu membuatku merengek lagi, ingin sekali memukul Anan seperti biasa. Ingin dia mengaduh karena tanganku bersedia dicap sebagai orang yang kurang berperikemanusiaan. Juga ingin dia tahu, duniaku terasa hancur sekali sekarang.
"Gue seneng ternyata lu bangun," kataku. Di balik rasa yang berkecamuk, tetap ada kebahagiaan yang mendominasi dengan cukup kuat. "Gue takut banget dari tadi, Anan. Lu lamaaaaaa banget bangunnya." Memang bukan jenis obrolan ringan untuk seseorang yang baru bangun seperti Anan, tapi aku benar-benar ingin dia tahu hal itu.
"Ah lupakan, intinya gue seneng sekarang."
Jika ada yang lebih manis selain gula dan kue ulang tahun, mungkin itu adalah saat Anan tersenyum. Namun aku tak menemukan itu di wajahnya, dia benar-benar membuatku semakin sedih karena berekspresi datar dan mata yang sayu.
"Gue ... juga." Tapi mulutnya mengatakan hal yang lain, sehingga aku tahu kalau Anan memang sedang kehilangan fungsi sensorik dari syaraf di tubuhnya. "Gue seneng ... karena ... lu cinta pertama dan terakhir gue," katanya yang nyaris menutup mata.
Kukatakan sebagai nyaris sebab pergerakannya pelan sekali, seperti dia yang enggan netranya tertutup. "Anan?" Beberapa kali aku melihat usahanya untuk terus menatapku.
"Asyhadu ...." Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi aku tahu apa yang sedang dia ucapkan.
Aku mengigit bibir bawah sambil membenamkannya di balik tepalak tangan kanan, menatap ke langit-langit dan menjatuhkan buliran bening dari mataku. Benar-benar masih tak ingin percaya, tapi aku berusaha melawan rasa itu.
Kuhapus air mataku, kupeluk tubuhnya, dan mendekatkan wajah ke telinganya. "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah." Aku membisikinya, dengan pelan sampai tiga kali.
Sampai aku tahu Anan menarik napasnya dengan begitu panjang dan juga kuat, dadanya agak mengembung, lalu menjadi kempis saat napasnya dikeluarkan. Aku bangkit untuk menatapnya, di mana mata Anan sudah begitu redup. Langsung kupegang tangannya sambil menangis, dia sempat membalasku, sampai akhirnya benar-benar menutup mata dan pegangan yang ada di tanganku melemah.
"Anan?" Panggilku, kini sambil menepuk bahunya. "Anan, kenapa?" Meski usahaku memuncak, dia tidak punya perubahan yang lebih baik ketimbang sebelumnya.
Padahal aku tahu apa yang terjadi, tapi di sini lain aku juga menolak fakta itu.
"Anan, bangun!" Aku menggenggamnya kuat-kuat, menyuarakan tangis dengan intonasi tersakiti yang kupunya supaya dia merasa tak tega memperlakukanku begini. Namun meski begitu, dengan kurang ajarnya Anan membuatku terus merasa hancur.
"Anan, kenapa, Anan?"
"Anan jangan bercanda!"
"Anandra!"
"Lu tidur lagi? Atau efek obat rumah sakit?"
"Anan jangan ditahan napasnya! Jangan!"
"Anan bernapas ayok!"
Semua permintaanku tak ada yang terkabul satu pun, aku mulai panik.
"Jangan tinggalin gue, lu bilang bakal balik tadi. Ayo balik ke rumah! Kita belum makan seblaknya. Heum? Gue juga belum jawab pertanyaan lu. Bangun, Anan!"
Tapi Anan tidak bangun.
"Anaaannnn!" Kehebohanku menarik perhatian dua perawat yang melewati ruangan ICU, salah satunya bergegas memeriksa, sedangkan yang satunya berlari memanggil dokter.
Tak lama Mama juga datang, bersama Tante Ratna yang sepertinya baru sampai di sini. "Nak?" Beliau berdiri di seberangku, sambil memegang pipi anaknya dengan tangan gemetar. "Ini Bunda, Nak," kata beliau lagi.
Aku mungkin bodoh karena berharap Anan akan membuka mata lagi, sebab sampai tangis Tante Ratna pecah sekali pun, dia masih membiarkan kami untuk merasakan kesedihan itu. "Yuk Anaknya Bunda Yang Ganteng, buka mata, Nak." Tante Ratna masih memanggilnya dengan begitu lembut, sedangkan aku sudah tak berdaya hingga jatuh ke lantai dan tersedu-sedu.
"Anaaaaaan! Anaaaannn." Aku menyebutnya seperti orang gila, hingga Mama berjongkok dan mengelus-elus kedua pundakku. "Anan pergi, Ma! Anan enggak mau bangun," aduku pada beliau, sedangkan Mama tak mampu berkata apa-apa selain menangis kecil.
"Adek enggak mau Anan pergi, Ma! Tolong bilangin ke dia."
"Sayang, sudah, Nak." Mama langsung memelukku.
"Enggak boleh!" kataku, "Jangan pergi! Anan jangan pergi!"
Tapi siapa perduli? Bahkan Anan yang mengaku cinta padaku saja membiarkan kegilaan ini sampai rasanya aku sudah kehilangan akal.
Aku merasa tak mampu menjalani hidup.
Tbc;