"Si biru tak akan lengkap bila tidak ada awan, si bintang juga tak akan indah kalau tiada sang bulan. Begitupun manusia, butuh waktu lebih agar bisa lepas dari masa lalunya."
********
Di aula sekolah orang-orang nampak sibuk menata kursi, meja, panggung beserta peralatan lainnya karena sebentar lagi rapat wali murid beserta pembagian rapot akan dilaksanakan.
Semua anak datang ke dalam aula bersama orang tuanya di sisi mereka. Sedangkan Akira, dia harus ditemani oleh Arzan—Kakak laki-lakinya, sebab kedua orang tuanya yang tidak bisa hadir karena sibuk bekerja di luar kota.
Para tamu diminta untuk duduk di kursi-kursi yang telah disediakan oleh panitia, dan rapat pun berlangsung.
Kepala sekolah sedang menjelaskan, program apa saja yang akan dilakukan setelah kenaikan kelas, mengenai pembayaran daftar ulang, serta administrasi lainnya.
Setelah selesai, sekarang tibalah waktunya untuk pembagian rapot, nama murid akan dipanggil satu-persatu lalu diminta untuk maju ke depan mengambil buku rapot mereka secara bergantian.
"Kak," cemas Akira mendengar namanya disebut, Arzan berdiri dari kursinya berjalan ke depan untuk mengambil rapot sang Adik.
"Waduh, nilai gue bagus gak ya?" batin Akira gugup, ia takut kalau sampai mendapatkan nilai yang buruk dan mengecewakan Kakaknya. Selama ini Arzan lah yang membiayai pendidikan Akira, Akira akan merasa bersalah jika tidak bisa membuat dia bahagia.
"Kenapa wajahnya tegang begitu?" tanya Arzan setelah kembali mengambil rapot Akira lalu duduk di samping kursi gadis itu.
Arzan mulai membuka buku rapot tersebut, untuk mengetahui nilai-nilai hasil belajar Akira selama ini. Dia tersenyum kecil, lalu membelai lembut kepala sang Adik.
"Gak apa-apa, udah bagus kok nilainya. Kelas sebelas ditingkatkan lagi ya!" ujar Arzan begitu lembut, Akira tahu kalau nilainya tidak sebagus itu. Tapi melihat perlakuan baik Arzan, gadis itu hanya bisa mengangguk dan berjanji akan belajar lebih tekun lagi.
"Iyah Kak," jawab Akira.
Semua rapot telah selesai dibagikan, sekarang waktunya untuk mengumumkan siapa saja yang berhasil mendapatkan gelar sebagai bintang sekolah.
"Baiklah, Bapak Ibu sekalian serta teman-temanku semua, di sini saya sebagai pembawa acara akan mengumumkan nama-nama siswa yang mendapatkan gelar sebagai bintang sekolah tahun ini," ucapnya menggunakan mikrofon.
"Kira-kira siapa nih ya yang dapat juara? Apa masih sama seperti tahun lalu?" semua siswa-siswi terlihat tegang seraya berdoa di dalam hati mereka masing-masing.
"Oke, tidak perlu berlama-lama lagi, saya umumkan dimulai dari juara ketiga bintang sekolah kita tahun ini yang berhasil diraih oleh.... Dehaan Ismail Putra," semua orang bertepuk tangan memberi selamat, pemilik nama itupun mulai naik ke atas panggung dengan perasaan bangga.
"Selanjutnya, juara kedua kita tahun ini diraih oleh....." pembawa acara tersebut dengan sengaja menjeda perkataannya sedikit lebih lama, agar semakin menambah suasana menegangkan.
"Baiklah, saya ucapkan selamat kepada...." menarik ancang-ancang.
"Genandra Mahavir Aditama," mendengar Genandra sebagai juara kedua membuat semua orang terkejut karenanya, bagaimana tidak, biasanya anak itu selalu meraih gelar juara pertama.
"Ge-Genan," kejut Alam melihat ke arah Genandra, ia hanya mengangkat kedua bahunya lalu berjalan ke depan untuk naik ke atas panggung.
"Baiklah, sekarang juara pertama kita sebagai bintang sekolah SMA negeri 1 tahun ini. Saya ucapkan selamat kepada....."
"Selamat untuk Pamungkas Alam Atharrayhan, dimohon segera naik ke atas panggung untuk menerima tropi."
"Gu... gue?!" batin Alam sangat terkejut, sang Ayah yang duduk di sebelahnya hanya menyunggingkan senyum.
Sekarang, ketiga juara itu sudah berdiri di atas panggung, kepala sekolah mengalungkan masing-masing anak sebuah medali dan memberikan sertifikat penghargaan. Khusus untuk juara pertama, mendapatkan tropi tambahan yakni piala.
"Selamat Lam," ujar Genandra dengan pandangan lurus ke depan.
********
Akhirnya, acara pun telah selesai dilaksanakan. Semua orang dipersilahkan untuk meninggalkan aula sekolah.
"Genandra!" teriak Alam menghampiri Genandra yang berada tak jauh di depannya.
"Iya?" balas Genandra seraya membalikkan badan.
"Ko... kok bisa lo juara dua sih Gen? Harusnya kan lo yang dapat piala ini," ucap Alam masih tak percaya kalau dialah yang menjadi bintang sekolah.
"Namanya juga manusia Lam, pasti ada naik turunnya, mungkin sekarang memang rezeki lo yang dapat juara pertama. Santai aja, bawa piala itu pulang dan tunjukkan ke Ayah lo kalau anak kandungnya juga pantas buat dibanggakan," balas Genandra.
"Tapi untuk kali ini aja ya, tahun depan gue rebut piala itu balik," sambungnya, lalu kembali pergi melanjutkan langkahnya.
"Thanks bro," gumam Alam tersenyum, menatap ke arah punggung Genandra yang semakin menjauh.
********
Di luar sekolah, Akira berdiri seorang diri di dekat gerbang. Sebelumnya, Arzan yang sudah berpamitan kepada dirinya kalau ada urusan kampus penting yang mesti ia selesaikan.
"Mau kemana?" tanya Genandra berdiri di samping tubuh Akira, ternyata laki-laki itu juga belum pulang.
"Mau beli makanan sama buku," jawab Akira memandang ke arah minimarket di seberang jalan.
Karena masih ada beberapa kendaraan motor yang berlalu lalang, membuat Akira harus menunggu sebentar sebelum menyebrang. Setelah dirasa sepi, barulah dia mulai melangkahkan kakinya.
"Tunggu!" henti Genandra langsung memegang tangan Akira, sontak dirinya dibuat terkejut dengan apa yang laki-laki itu lakukan. "Jangan nyebrang sendirian!" ucapnya.
"Gue temenin," tangan mereka berdua saling berpegangan, Genandra menuntun Akira untuk menyebrang jalan. Gadis itu hanya bisa menundukkan kepala untuk menyembunyikan perasaan malunya.
Setelah selesai membeli makanan dan dua buah buku, mereka memutuskan untuk kembali lagi ke sekolah. Sama seperti sebelumnya, Genandra kembali menuntun Akira untuk menyebrang jalan.
Genandra mengajak Akira untuk pergi ke kelasnya, melanjutkan belajar mengajar mereka yang kemarin sempat tertunda.
Dengan satu buah meja dan dua kursi yang saling berhadapan, suasana sepi, beserta semilir angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela-jendela kelas sampai membuat tirai tirai putih itu melambai-lambai karenanya.
Ditengah-tengah mereka belajar, tiba-tiba saja Akira melepaskan kacamatanya, karena merasa pengelihatannya mulai buram ketika memakai benda tersebut.
"Kenapa dilepas kacamatanya?" tanya Genandra melihat Akira menaruh kacamata tersebut di atas meja.
"Kata dokter, minus mata Akira sudah berkurang, jadi sudah boleh lepas kacamata," balas Akira.
"Kak Genan kenapa?" sambungnya bertanya, seraya menatap wajah Genandra.
"Genan."
Deg!
"Aleena," Batin Genandra, tiba-tiba sesosok Akira yang ada di hadapannya berubah menjadi Aleena. "Ah, otak gue kenapa sih! Dia Akira Genan, bukan Aleena, dia sudah meninggal."
"Kak!" panggil Akira merasa khawatir.
"Gue minta pakai kacamata lo lagi," lirih Genandra pelan namun tajam.
"Tapi Kak mata Akira sudah-"
"Gue minta pakai kacamata Lo lagi!" titah Genandra membentak seraya menggebrak meja. "Lakukan yang gue bilang."
Akira terdiam sejenak, baru kali ini dia dibentak oleh laki-laki. "Kenapa?" tanya Akira, nada suara gadis itu mulai berubah menjadi lebih dingin.
"Apa hal ini membuat Kak Genan teringat kembali dengan masa lalu Kakak? Masa lalu bersama Aleena," ujar Akira membuat mata Genandra membulat.
"Tahu darimana lo soal nama itu?"
"Bukan dari siapa-siapa, Akira hanya menemukan coretan ini di halaman buku terakhir Kakak dan foto ini juga," balas Akira menunjukkan selembar kertas tersebut kepada Genandra beserta sebuah foto.
Dengan segera Genandra langsung membuka buku catatannya, ternyata benar ada halaman yang hilang dan bekas robekan kertas di sana.
"Aku tahu ini tidak sopan, tapi hal yang Kak Genan lakukan kepada Akira itu juga tidak benar."
"Kak Genan hanya menggunakan Akira sebagai boneka, agar bisa mengenang kembali masa-masa indah bersama dengan kekasih Kakak dulu. Dan Akira pikir.... itu jahat," ucap Akira membuat Genandra terdiam seribu bahasa.
"Kak, ini Akira bukan Aleena. Kami berdua adalah dua gadis yang berbeda, Kak Genan tidak bisa menggunakan Akira, agar bisa mengingat kembali masa lalu Kakak."
"Lalu kenapa lo masih mencintai seseorang, sedangkan orang itu sampai sekarang tidak bisa lepas dari masa lalunya?" balas Genandra.
"Kenapa lo gak pergi aja dan tinggalin gue sendirian! Kenapa lo suka sama cowok yang punya trauma masa lalu macam gue!"
"Gue cinta sama Aleena, bahkan setelah dia pergi gue gak tahu lagi harus buka hati untuk siapa," mendengar pengakuan dari Genandra, hati Akira terasa hancur. Cairan bening itu rasanya ingin tumpah sekarang juga, tapi Akira lebih memilih untuk menahannya dan hanya senyuman yang dia tunjukkan.
"Akira tidak pernah menyangka, kalau ternyata Kakak anaknya setia juga ya," ujar Akira tersenyum lebar.
"Akira jadi iri, melihat Aleena diperlakukan begitu spesial oleh Kakak, bahkan ketika dia sudah pergi saja Kak Genan masih sayang."
"Ra, gue minta berhenti perjuangin gue, gue takut lo akan semakin sakit hati nantinya," pinta Genandra merasa sedih, meminta Akira agar lebih baik menyerah saja.
"Tidak," Akira menggelengkan kepala.
"Sampai kapanpun Akira akan tetap cinta sama Kakak, kalau bisa Akira bakal bantu Kakak agar bisa lepas dari trauma itu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Akira takut, waktunya saja yang tidak cukup," ucap Akira menerawang jauh menatap langit biru di luar jendela.
"Oh ya, Akira pulang dulu ya kak. Makasih atas waktunya," Akira membereskan semua buku-bukunya yang tergeletak di atas meja, memasukkannya ke dalam tas.
Gadis itu berjalan keluar dari dalam kelas Genandra, dan di sanalah tumpahan air mata begitu deras membasahi pipi Akira. "Hiks," tangisnya pelan, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil mengepalkan tangan.
"Tidak apa-apa Akira, jangan nangis, lo sudah janji bakal senyum terus kan?" lirih Akira mengusap air matanya itu dengan punggung tangan.
"Masih ada hari esok Akira, lo harus bisa memanfaatkannya dengan baik. Setelah itu, semuanya akan selesai."
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda