"Kak Genan tunggu! Kenapa main tinggal aja sih."
"Akira cuman bercanda kok, jangan marah."
"Genandra!" Mereka berdua dikejutkan dengan kedatangan murid perempuan yang berdiri di hadapan Genandra seraya membawa sebuket bunga.
Wajahnya tampak gugup ketika tatapannya saling beradu dengan laki-laki tampan itu.
"Hm?" deham Genandra menunggu perkataan yang ingin gadis itu ucapkan, walaupun ia sudah bisa menebak apa maksudnya.
"Gu... gue," ujarnya terbata-bata sedikit menundukkan kepala.
"Eh ada apa ini, Akira boleh gabung gak?" Akira langsung merangkul lengan Genandra dan memeluknya. Mata siswi itu seketika melotot, melihat Akira dan Genandra begitu dekat.
Sebagai seorang perempuan, Akira bisa menebak apa isi kepalanya. Dan dia tidak akan membiarkan rencananya itu berjalan mulus, ia harus bisa menunjukkan kalau perempuan yang pantas memperjuangkan Genandra hanya dirinya seorang.
"Wah ini bunganya buat aku sama Kak Genan ya, makasih," ujar Akira langsung menyahut buket bunga tersebut dari tangan gadis itu.
"Ge.. Genan, lo?" bingungnya merasa tidak percaya, memang sejak kapan Genandra punya pacar? Dia tidak pernah mendengar soal berita ini sebelumnya, kalau memang benar, pasti satu sekolah sudah dibuat heboh.
"Heh lo siapa?" bentaknya mendorong Akira kasar.
"Lo jangan bikin rumor gak jelas ya! Sejak kapan lo jadi pacarnya Genandra," pungkasnya membuat Akira bingung harus menjawab apa, sedangkan Genandra hanya diam tidak mau ikut campur dalam masalah ini.
"Me... memang harus diumbar? Enggak kan, terus apa urusannya Kakak harus tahu soal hubungan aku sama Kak Genandra. Jadi sekarang mending Kakak relain aja ya, karena Kak Genan sudah ada yang punya."
"Heeh, awas lo ya!" kecam siswi itu menunjuk kepada Akira, lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Ternyata selain jago bikin orang marah, lo juga jago drama ya," ujar Genandra melepaskan tangan Akira dari lengannya.
"Gue pikir derajat wanita itu tinggi. Ternyata gue salah, setelah gue bertemu dengan perempuan seperti itu lo," sarkasnya menatap wajah Akira dengan tatapan sinis.
"Lo tahu ini apa?" ujar Genandra mengambil buket bunga yang Akira pegang. Lalu meremasnya hingga rusak lalu membuangnya ke dalam tong sampah yang berada di dekat sana.
"Sama macam lo, murahan." Bagaikan sambaran petir di siang hari, hati Akira hancur seketika terutama pada kata murahan yang diucapkan oleh mulut Genandra sendiri.
"Gue beri saran lebih baik mulai sekarang lo berhenti ngejar-ngejar gue, karena sampai kapanpun juga, lo sama sekali gak ada artinya di mata gue," Genandra mengambil beberapa langkah, sedangkan Akira tetap mematung di tempat.
"Ternyata susah banget ya, suka sama orang sedangkan dia sendiri gak punya perasaan sama sekali ke kita,"ujar Akira membuat langkah Genandra terhenti.
"Berasa ngejar angin tahu gak."
"Akira gak pernah minta supaya Kak Genan mau jadi pacar Akira, aku cuman minta Kak Genan mengakui perasaan cinta Akira. Dan sekarang, Kakak malah bilang aku murahan?" Akira melihat punggung Genandra dengan mata berkaca-kaca, laki-laki itu enggan untuk membalikkan tubuhnya.
"Kalau Kak Genan memang sama sekali gak punya perasaan sama Akira, lalu kenapa setiap perlakuan Kakak, seolah-olah menunjukkan bahwa Kakak itu juga suka sama Akira! Kenapa Kak Genan selalu beri aku harapan!" bentak Akira meluapkan semua emosinya yang selama ini ia pendam.
"Setelah memberi rasa yakin, Kakak langsung menjatuhkan Akira begitu saja, dengan sikap dingin dan kata-kata jahat Kakak. Apa hati Akira terlihat seperti mainan Kak?"
"Bukan," balas Genandra memutar tubuhnya menghadap Akira.
"Tapi hati lo yang bermasalah, lo terlalu menganggap kalau semua perlakuan gue ke lo itu terlalu berlebihan. Biasakan pakai otak, bukan pakai perasaan."
"Dan tadi lo bilang kalau gua cuman kasih lo harapan, memang sejak kapan? Jika cinta lo ke gue cuman bikin lo sakit, kenapa lo gak pergi aja cari cowok lain? gue akan senang terima hal itu."
Akira mengerutkan keningnya, entah kalimat apalagi yang mesti ia ucapkan, dirinya sudah kehabisan kata-kata. Sekali lagi dan sekali lagi, entah sudah berapa ribu kali, Genandra menghancurkan hati Akira berkeping-keping.
"Jangan salahkan dia, tapi memang aku yang bersalah. Mencintai dirinya, hingga seolah-olah berpikir kalau dia juga memiliki rasa yang sama."
********
"Akira kenapa? Pulang-pulang kok cemberut gitu mukanya?" tanya Arzan menyambut kepulangan Adiknya di depan pintu rumah, Akira nampak tidak bersemangat sama sekali.
"Akira capek mau langsung tidur," balasnya seraya berjalan melewati Arzan menuju ke kamarnya.
"Oke, nanti jangan lupa makan ya! Sudah Kakak masakin tinggal ambil aja di dapur."
"Hm," balas Akira lalu menutup pintu kamar.
"Tumben pulang sekolah lemes, biasanya semangat," gumam Arzan.
********
"Kok makanannya masih utuh, dia gak makan?" Arzan kembali mengecek makanan yang tadi ia masak, kondisinya masih utuh tidak berkurang sedikitpun. "Emang gak laper?"
Arzan merasa khawatir sebab sejak awal Akira pulang dari sekolah, gadis itu hanya mengunci diri di dalam kamar saja.
"Akira Akira!" panggil Arzan mengetuk-ngetuk pintu kamar Akira beberapa kali.
"Akira!" panggil Arzan sekali lagi, akan tetapi tidak ada sahutan jawaban dari dalam kamar.
Beberapa detik Arzan menunggu, tapi tidak ada yang membukakan pintu. Laki-laki itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Akira yang memang tidak terkunci.
Ketika sudah berada di dalam kamar Adiknya, Arzan melihat gadis itu sudah tidur pulas seraya memeluk boneka pinguin, ia merasa tidak tega untuk membangunkannya.
"Tidur ternyata," gumam Arzan menaikkan selimut Akira sampai menutupi setengah tubuhnya. Arzan membelai lembut pucuk kepala Akira sambil tersenyum. "Peri kecil Kakak manis banget kalau tidur."
"Hah, nanti aja deh aku suruh dia makan, mungkin emang lagi kecapekan anaknya," hela Arzan, lalu menemukan sebuah surat di atas nakas sebelah lampu tidur samping kasur Akira.
Arzan mengambil surat itu, dilihat dari model tulisannya, sepertinya Akira sendirilah yang menulisnya. Arzan membacanya dengan seksama, mulai awal hingga akhir, dan kata yang paling dirinya ingat adalah nama seseorang yang tertulis di sana.
"Genandra, siapa dia?" batin Arzan bertanya-tanya, ternyata surat itu berisi tentang perasaan Akira kepada laki-laki tersebut. Bahkan Arzan baru mengetahui, kalau Adiknya itu sedang terlibat dalam masalah percintaan.
"Jadi, Akira suka sama dia," sambungnya melihat ke arah Akira, lalu diam-diam memasukkan surat tersebut ke dalam saku celananya, dan segera pergi keluar dari dalam kamar.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda