-Kelas sebelas MIPA 1.
Terlihat seorang pemuda mengenakan baju seragam SMA dengan dasi sedikit melorot ke bawah, berjalan masuk ke dalam kelas dengan langkah santai. Menghampiri dua temannya yang berada di dekat jendela kelas, duduk ditempatnya masing-masing.
"Pagi Ayah!" sapa Novan, sanggup membuat perhatian seisi kelas tertuju kepada anak itu. Ini masih terlalu pagi untuk penyakit Novan kumat, biasanya agak siangan sih.
"Ayah Genan sama Ayah Alam gimana kabarnya?" sambung Novan cengar-cengir, menggerakkan alisnya naik turun. Dikira keren kali ya?
//Pak// Alam memukulkan buku paket setebal lima puluh halaman pada kepala Novan, berharap otaknya kembali lurus pada tempatnya. "Ayah Alam kok pukul Novan sih!" sebal Novan menggosok-gosok kepalanya, "jadi rusak kan model rambut gue," Novan memerlukan waktu dua jam lebih hanya untuk menata rambutnya itu, dan hanya butuh waktu satu detik saja bagi Alam untuk merusaknya.
"Lo makin lama makin gak waras ya Van, jangan-jangan lo pasien rumah sakit jiwa yang kabur dan nyamar jadi murid di sini," balas Alam.
"Ayah Genan, Ayah Alam jahat," Novan mengadu kepada Genandra yang duduk di sebelah Alam, meminta agar laki-laki itu membela dirinya.
"Masuk akal juga sih yang dibilang sama Alam, mungkin lo memang benar pasien rumah sakit jiwa yang kabur," Novan menekuk wajahnya mendapati Genandra malah membela Alam.
"Ah, Ayah Genan kok malah belain Ayah Alam sih!" sebal Novan.
"Ya lo itu yang kenapa Van, pagi-pagi main panggil orang Ayah, geli Ahmad!" sahut Alam emosi.
"Ahmad nama bapak gue! Ngefans lo," timpal Novan ikut tersulut.
"Emang kenapa sih? Cewek-cewek boleh tuh panggil temen mereka Bunda, masa gue gak boleh panggil sahabat gue sendiri Ayah."
"Itu beda Novan, cewek mah biasa panggil Bunda ke temen mereka, kalau cowok nanti kelihatannya aneh, lo paham gay kan?" ujar Alam masih berusaha untuk bersabar menghadapi sikap Novan.
"Owh gay, gurunya si rock Lee di anime Naruto itu kan?"
"Lo itu emang polos atau cuman pura-pura aja sih?"
"Gua pergi dulu ya," sela Genandra, setelah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Kemana?" tanya Alam.
"Sekarang jadwalnya gue piket OSIS di gerbang depan, gue cabut dulu."
"Oke hati-hati! Kalau nanti ada anak cewek yang kena hukuman jangan lupa mintain nomer whatsapp nya ya," ujar Novan.
"Siap, gue mintain nomer whatsapp nya Bu Mira guru bahasa ya, janda anak dua Van. Lo kan doyannya sama tante-tante," goda Genandra lalu segera pergi keluar dari dalam kelas.
Sebelum pergi ke depan pintu gerbang sekolah, Genandra menuju ke tempat OSIS terlebih dahulu untuk mengambil jas almamater berwarna merah dengan logo OSIS di bagian dadanya.
Setelah selesai, Genandra pun kembali ke tujuan awalnya yakni gerbang sekolah untuk melaksanakan piket.
Sesampainya di sana, suasananya cukup sepi hanya ada Pak satpam serta beberapa anak yang baru saja masuk ke dalam sekolah. Padahal sepuluh menit lagi gerbang akan ditutup, terkadang Genandra merasa heran kepada anak-anak itu, mengapa mereka sama sekali tidak bisa menghargai waktu? Dan tidak bisa menanamkan sikap disiplin pada diri sendiri.
"Pagi Pak!" sapa Genandra kepada Pak satpam tengah duduk di kursi pos satpam menikmati kopi panasnya.
"Pagi nak, waduh Mas ketua OSIS, mau piket ya," balas Pak satpam tersenyum kepada Genandra.
"Haha, iya nih Pak."
"Silahkan dilanjut minum kopinya Pak, saya mau pergi ke sana dulu."
"Iyah nak siap, semangat ya!" balas Pak satpam lalu melihat Genandra melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang sekolah.
Tugas anak itu hanya berdiri di sana, sambil mengawasi siswa-siswi yang datang terlambat dan memberikan mereka hukuman.
Beberapa menit berlalu, Genandra masih belum mendapati anak yang datang terlambat, sebentar lagi juga bel masuk akan segera berbunyi.
"Kayaknya pekerjaan gue sudah beres," pikir Genandra berencana untuk kembali ke kelas.
Di saat tubuhnya sudah berbalik ke belakang, samar-samar telinga Genandra mendengar seperti suara langkah kaki seseorang sedang mengendap-endap.
"Mau ke mana?" pergok Genandra kepada seorang siswi yang berjalan seperti maling, tidak bersuara sama sekali.
Gadis yang tertangkap basah itu pun tersenyum ke arah Genandra, melihat aksinya digagalkan olehnya.
"Aku... aku mau ke kelas Kak," jawabnya kikuk, sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu gerbang sekolah, berharap Genandra bisa meloloskan dirinya.
"Jam berapa sekarang?" balas Genandra dingin.
"Jam tujuh lebih," ucapnya menundukkan kepala, seraya menangkupkan kedua tangan.
"Jadwal jam masuk sekolah jam berapa?"
"Ja-jam tujuh tepat Kak," jawab siswi itu sekali lagi.
"Lo itu sudah SMA sudah besar, bukan anak SMP lagi. Harusnya sudah paham dan gak perlu gue omelin supaya sadar, sekarang ikut gue! gue mau beri lo sanksi, sebagai hukuman perbuatan ceroboh lo ini."
"Ta-tapi Kak, Akira beneran gak ada niatan buat datang telat." Ya, siswi yang sedang berhadapan dengan Genandra saat ini adalah Akira. Genandra kembali berjalan masuk ke dalam sekolah, tidak mendengarkan penjelasan sama sekali dari gadis itu.
Sekarang, mereka berdua telah sampai di lapangan upacara, Genandra mengambilkan sebuah sapu dan diberikannya kepada Akira.
"Sebagai hukuman, lo sapu lapangan upacara ini sampai bersih," ujar Genandra menyodorkan sapu tersebut kepada Akira, mata gadis itu membulat sempurna.
"Sendirian?"
"Ya iyalah, kan cuman lo yang telat."
"Kak Genan, Kak Genan gak mau bantuin Akira nyapu juga?"
"Lapangan upacara ini luas loh Kak, masa harus Akira yang sapu semuanya sendirian. Lagipula Akira ini cewek, Kakak tega lihat anak gadis bersih-bersih lapangan upacara sendirian?"
"Aku juga baru selesai mandi tadi pagi, nanti badan Akira bau asem kalau sampai keringetan, mataharinya juga panas banget sekarang."
"Lo bawel banget sih, kalau memang gak mau dapet hukuman ya jangan dateng telat!" kesal Genandra sedikit membentak.
"Gue gak mau tahu, kerjakan hukuman ini sekarang juga, dan gue gak mau dengar semua alasan basi lo itu lagi," sarkas Genandra memberikan paksa sapu tersebut, membuat Akira yang menerimanya sedikit terdorong ke belakang.
"Setelah istirahat pertama, gue bakal datang ke sini lagi untuk lihat lapangan upacara ini sudah bersih atau belum. Kalau masih kotor, gue akan beri lo hukuman dua kali lipat," ucap Genandra pelan namun tajam, melihat wajah Akira yang sudah berkeringat di bagian pelipisnya.
"Cih, modelan kayak gini mau suka sama gue," lirihnya tersenyum smirk, namun masih bisa terdengar jelas oleh Akira. Laki-laki itu berbalik badan, dan berjalan pergi begitu saja.
Perlahan Akira mulai mengangkat kembali kepalanya, menyaksikan punggung orang yang dia cintai mulai menjauh, Akira tersenyum kecil menatap tubuh tinggi itu. "Kalau bukan sekarang, nanti gue bakal buat Kak Genan jatuh cinta sama Akira," gumam Akira berharap.
"Dan semoga.... hari itu masih sempat."
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda