Seperginya dari kantin, Akira melewati koridor sekolah menuju kembali ke kelasnya—sepuluh IPS 3. Dengan perasaan kecewa dan hati yang terluka sebab perlakuan kasar Genandra kepada dirinya.
"Kak Genan kenapa sih, bisa sebenci itu sama gue," pikir Akira menghentakkan kakinya sepanjang jalan. Memang sesulit apa sih menghargai pemberian orang lain? Inilah konsekuensi yang harus Akira hadapi sebab telah mencintai kulkas lima pintu berjalan.
"Padahal gue udah capek-capek buatin bekal itu pagi-pagi, berkhayal kalau nanti dia bakalan seneng terima bekal dari gue, eh nyatanya malah-"
Deg!
Ucapan Akira seketika berhenti, rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya sangat keras.
"Argh," ia mengerang kesakitan, jari-jarinya semakin meremas kuat dadanya yang sesak. Sampai, sebuah cairan merah pekat berlendir keluar dari dalam mulutnya.
"Da-darah?!"
Seketika wajah gadis itu berubah menjadi pucat, pandangan Akira perlahan mulai buram. Tubuhnya pun jatuh dan terkulai lemas di atas lantai. "Apa ini sudah waktunya aku pulang, Tuhan?" ucap Akira sebelum semuanya berubah menjadi hitam.
********
-Di ruang UKS.
"Akira, akhirnya lo bangun juga," heboh Hari mendapati Akira sudah siuman. Dia terlihat begitu senang melihat sahabatnya telah kembali sadar.
"Lo bikin gue khawatir banget tahu gak, gue pikir lo beneran mau mati," tangis Hari sesegukan, sambil menggoyang-goyangkan lengan Akira.
Kening Akira berkerut, mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian sudut ruangan UKS, lalu kembali menatap ke arah sahabatnya itu yang masih dengan sikap yang menurut dia terlalu berlebihan.
"Gue gak jadi mati Ri?" polos Akira membuat Hari mendelik. What?! Gak salah denger nih?
"LO BENERAN MAU MATI RA!!!" pekik Hari begitu keras, membuat gendang telinga Akira hampir pecah rasanya.
"Ish biasa aja kali Ri, kalau begini gue bisa beneran mati gara-gara suara lo," sebal Akira mengorek telinganya yang nyut-nyutan.
"Hehehe, maaf Ra gue gak bermaksud," senyum gadis itu tanpa dosa.
"Berapa lama gue pingsan?" tanya Akira sekilas melirik ke arah jam dinding.
"Tiga jam," jawab Hari santai.
"What tiga jam Ri!" kaget Akira membentuk angka empat dengan jari tangan kanannya.
"Tiga Ra," tutur Hari membenarkan, dengan menidurkan satu jari di tangan Akira.
"Terus, siapa yang bawa gue ke sini? Gak mungkin lo kan, lo mana kuat angkat badan gue sendirian," tanya Akira.
"Owh, Kak Genan," jawab Hari langsung bisa melihat perubahan ekspresi wajah Akira.
"A-apa, Ka.... Kak Genandra?" ulang Akira terbata-bata dengan tubuh sedikit gemetar.
"Ja-jadi, tadi yang bawa gue ke sini Kak Genan," batin Akira dengan kondisi pipi merona merah, jantungnya berpacu cepat, Akira membayangkan bagaimana tubuh dia dibopong oleh Genandra pada saat gadis itu pingsan.
"Iya Kak Genan, ekspresi lo biasa aja kali sampai merah begitu mirip tomat. Untung aja lo masih hidup, jadi gak perlu deh gue sama satu kelas iuran buat beli kain kafan."
"Ngawur!" cetus Akira reflek memukul kepala Hari, membuat anak itu meringis kesakitan sambil menggosok-gosok kepalanya tepat di mana Akira memukul. "Gua jitak kepala lo ngomong gitu lagi."
"Iya-iya Ra, kasar banget sih jadi cewek, sahabat sendiri dipukul sampai benjol kepala gue," balas Hari lalu menyodorkan sebuah tas ransel berwarna pastel kepada Akira.
"Nih tas lo! Baik kan gue bawain tas lo," sambung Hari sedikit meninggikan intonasi suaranya.
"Oke thanks, kok lo bawain tas gue ke sini sih? Emang pelajarannya udah selesai?" tanya Akira sambil menerima tas ransel tersebut.
"Ya sudahlah Jubaedah, lihat sekarang sudah sore. Lo pikir gue tiga jam nungguin lo di sini gak ninggalin pelajaran? Sekarang semua anak sudah pada pulang cuman tinggal lo sama gue," jawab Hari.
"Owh gitu, makasih banyak ya Hari besti ku ter the best muach muach, udah rela nungguin gue di sini sendirian."
"Jijik Ra, sumpah," balas Hari merasakan bulu kuduknya berdiri.
********
Di sebuah rumah mewah terletak di tepi jalan, nampak sepeda motor ninja berwarna hitam memasuki pintu gerbang.
Pak satpam membukakan pintu gerbang tersebut untuk memberi jalan motor itu masuk, Genandra memarkirkan sepeda motornya di depan tangga dekat air mancur rumah. Melepaskan helm full face yang ia kenakan, serta membersihkan sedikit debu-debu kecil yang menempel di jaket kulitnya.
Setelah selesai, ia menaiki anak tangga yang menjadi penghubung dengan pintu rumahnya. "Assalamu'alaikum, Genan pulang!" salam Genandra sembari membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam, anak ganteng Bunda sudah pulang," kedatangannya disambut hangat oleh Nyonya Sena—Ibu kandung dari Genandra.
"Gimana sekolahnya hari ini, lancar?" tanya Nyonya Sena kepada Genandra.
"Alhamdulillah Bunda, lancar-lancar aja," balas Genandra sopan.
"Ngomong-ngomong, Bunda mau pergi ke mana tumben pakaiannya rapi banget?" tanya Genandra melihat Nyonya Sena memakai gaun putih, dengan sedikit sapuan make up serta tercium wewangian parfum.
"Iya, Bunda sama Papa sebentar lagi mau berangkat ke kondangan nya teman Bunda, kamu di rumah aja ya sama Adik kamu," jawab Nyonya Sena.
"Emang Viola sudah pulang Bun? Bukannya sekolah dia pulangnya agak malam ya?" ucap Genandra bertanya, karena Viola—Adik perempuannya itu bersekolah di sebuah universitas ternama serta memiliki jadwal yang cukup sibuk.
Dulu, sebenarnya Nyonya Sena dan Tuan Arga juga ingin menyekolahkan anak laki-lakinya di sana, akan tetapi Genandra menolak dan lebih memilih sekolah pilihannya sendiri.
"Kata siapa, tuh!" Nyonya Sena menunjuk ke arah tas ransel dan jas almamater yang tergeletak di atas meja ruang tamu.
"Adik kamu sudah pulang dari tadi, kata dia di sekolahnya lagi ada acara, jadi pulangnya lebih cepat," sambung Nyonya Sena, membuat Genandra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya sudah, sekarang kamu pergi ke kamar, ganti baju terus makan, Bunda sudah siapin semuanya di meja makan," suruh Nyonya Sena lalu pergi meninggalkan Genandra.
"Oke Bunda."
//Ting// tiba-tiba, Genandra merasakan ada sesuatu yang bergetar di saku celananya, ia mengambil benda pipih itu dari dalam sana dan mengecek notif pesan yang baru saja masuk ke dalam handphonenya.
Ternyata, ada beberapa pesan beruntun yang muncul di layar handphonenya berasal dari seseorang, Genandra yang cukup melihatnya saja sudah malas.
+620812345678
Nomor tidak dikenal:
"Hi Kak Genan!"
Nomor tidak dikenal:
"Mmmm, makasih ya udah mau tolongin Akira tadi waktu pingsan di sekolah. Semoga Kak Genan gak keberatan ya waktu gendong tubuh Akira, xixixi."
Nomor tidak dikenal:
"Sekali lagi makasih ya Kak, Kak Genan jangan lupa makan sama istirahat juga. Jangan bosen-bosen ya dapat pesan dari Akira, papay!"
"Cih norak," sinis Genandra tersenyum smirk membaca pesan dari perempuan itu, bahkan Genandra pun enggan untuk menyimpan nomor Akira, menurutnya hal itu hanya akan memenuhi isi kontaknya saja dan tidak berguna sama sekali.
"Mungkin lain kali gue harus blokir nomor dia," pungkas Genandra memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda