"Duka manusia itu sangat penuh kasih sayang. Berdoa, memberi bunga, membersihkan makam…," kata Diya suatu hari, memperhatikan orang-orang yang sedang berziarah. "Aku membakar lukisan saudaraku saat berduka."
"Kau membakarnya karena kau tidak ingin dia terluka," kata Asa. "Itu juga kasih sayang."
"Hm."
"Tapi kalau kau bertemu dengannya lagi, ada baiknya kau memberikan syal yang kau rajut untuknya itu padanya sebagai permintaan maaf."
"Aku tidak akan bertemu dengannya lagi."
"Cuma pendapat pribadi saja, kok."
*
"Aniara, sebelum kau pulang. Ini untukmu."
"Apa ini? Syal…?"
"Aku merajutnya sendiri … aku tahu cuaca di sini tidak terlalu cocok untuk memakai syal, jadi aku mengerti kalau kau tidak–"
"Akan kupakai, terima kasih. Ini bagus."
"Ah."
…
"Jadi, di antara kalian, siapa yang lebih tua?"
"Yah, waktu kami pertama kali lahir, aku yang lahir lebih awal, jadi aku yang lebih tua."
"Hah? Lalu ratusan tahun yang kujalani itu apa? Jelas-jelas aku yang lebih tua!"
"Itu tidak dihitung! Temanmu sendiri yang menulis kalau itu anomali, jadi kau curang kalau menghitung tahun-tahun ketika aku mati!"
"Lalu kau mau mendasarkan usia kita pada tanggal lahir lima ratus tahun yang lalu?"
Dirga tertawa terpingkal-pingkal. "Sudah, sudah, ayo kita pulang, Anya. Dah, Diya, kami akan berkunjung."
"Kau sengaja bertanya seperti itu supaya kami bertengkar!"
"Ya memang. Kau pikir aku benar-benar peduli siapa yang lebih tua di antara kalian?"
"Tapi aku yang lahir duluan–"
"Anya, diamlah sebelum kulempar kau ke selokan. Sana pergi peluk saudaramu sekali lagi sebelum kita pulang."
"... Tunggu aku di mobil."
"Pasti, Anya. Pasti. Pergilah sana. Selama kita masih punya waktu.")