"Aniara, lihat, aku membuat sesuatu yang baru!"
Sebuah label dari kain dengan motif terbuat dari jahitan benang warna-warni disodorkan padanya. Secara keseluruhan, jahitannya membentuk gambar sepetak bunga berbagai warna.
"Woah, sejak kapan kau menjahit?"
"Aku belajar sendiri! Semua orang memujimu karena kau berbakat seni. Aku mau dipuji juga, jadi aku mencari sesuatu yang bisa kulakukan."
"Kau tahu aku tidak suka pujian-pujian itu."
Kekehan riang. "Tentu saja aku tahu, kau mengeluhkan hal itu lima kali sehari. Tetap saja, aku merasa sedikit ditelantarkan. Jadi, ini solusinya!"
"Solusimu … menjahit."
"Yeap. Lagipula, aku melakukan ini karena aku kangen padamu. Aku tidak bisa menggambar sepertimu, jadi aku biasanya mengingatmu dengan menjahit."
Jeda sejenak. "Dia."
"Hmm?"
*
Aniara terbangun dengan perlahan, seperti mekarnya sekuntum bunga setelah siraman hujan. Ia mengerjapkan matanya yang terasa lengket dan meregangkan anggota tubuhnya ke segala arah, meringis ketika punggungnya mengeluarkan bunyi.
Itu tadi adalah tidur terdamai yang ia dapatkan semenjak insiden Tidur Tiga Hari. Mimpinya memang masih aneh, lebih lagi karena ia bisa mengingat jelas kata per kata yang diucapkan dua orang di dalam mimpinya, tetapi setidaknya ia tidak mati atau sekarat.
Ia berdiri dan beranjak untuk memberi makan Buron – yang tampaknya telah tak sengaja menginjak palet catnya karena ada tapak kaki warna-warni di sekeliling kamar – dan pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri, melirik tiruan Windu yang digantung di dinding.
Dirga telah mengambil foto lukisan itu dari berbagai sudut agar bisa 'dijual' di akun media sosialnya, lalu sahabatnya itu memutuskan untuk menggantungnya di dinding.
"Biar kamarmu kelihatan sedikit estetik," katanya, sedikit menghina. Aniara hanya memandangnya dengan skeptis, tapi pada akhirnya tidak mau repot menurunkan lukisan itu.
Ia masuk ke dalam kamar mandi dan melihat pantulan dirinya di cermin. Hmm. Betapa satu kali tidur yang nyenyak bisa memperbaiki penampilannya – kantung matanya tidak lagi segelap corengan arang dan kerut di dahinya tidak sedalam sebelumnya. Kedua matanya juga lebih cerah.
Andai saja setiap mimpi aneh yang ia dapat bisa berefek seperti ini….
Ah, tidak ada gunanya berandai-andai. Lebih baik ia bersegera mandi dan makan. Perpustakaan kota sebentar lagi buka dan Aniara punya kebiasaan untuk hanya merasakan antusiasme pada suatu hal jika ia adalah orang pertama yang datang. Dirga menyebutnya kompetitif. Aniara menyebutnya 'tidak ingin diganggu'.
Setelah menyisir rambutnya membentuk belah tengah – Dirga selalu mengejeknya, tapi Aniara selalu mengatur rambutnya seperti itu sejak kecil dan ia tidak pernah punya dorongan untuk mengubahnya – ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas, lalu melenggang keluar kos-kosan.
Ia mendongak ke atas, mengecek cuaca.
Langitnya cerah, dengan tanda-tanda akan hujan di kejauhan. Entah kenapa, Aniara merasa bahwa ini adalah pertanda.
*
Dirga: Hei, kau sudah lihat berita terbaru?
*
Perpustakaan masih sepi ketika Aniara melangkah memasuki pintu depan. Ia mengeluarkan kartu perpustakaan yang telah berdebu di dalam dompetnya dan menyerahkannya pada resepsionis. Ia diperbolehkan masuk tanpa ada masalah.
Yang pertama kali diincarnya adalah seksi sejarah. Ia berjalan melewati sela-sela lemari buku yang gelap karena cahaya matahari dari jendela tak mampu menembus deretan buku sampai plakat bertuliskan 'SEJARAH' berada tepat di depannya. Ia menjalankan jari di sepanjang punggung buku, menelaah judul-judul yang mungkin bisa membantu pencariannya. Beberapa menit kemudian, ia telah duduk di area membaca dengan sebuah tumpukan buku setinggi betisnya.
Buku pertama tidak memberikan informasi yang diinginkannya, hanya berisi sejarah singkat mengenai perkembangan seni di dunia. Buku kedua terfokus hanya pada lukisan abstrak dan surealisme. Buku ketiga berisi biografi Leonardo Da Vinci. Buku keempat….
Buku keempat adalah sebuah katalog setebal batu bata berisi semua lukisan yang pernah ditemukan di seluruh dunia sejak lima abad yang lalu. Setiap lukisan hanya diberi tempat setengah halaman, tetapi tetap lebih menjanjikan daripada buku-buku sebelumnya.
Ia membaca daftar isi dengan saksama, memastikan tidak ada nama yang terlewat. Matanya melebar begitu melihat nama Windu tercetak di bawah jari telunjuknya. Halaman 511. Ia segera membalikkan halaman, mengabaikan lukisan-lukisan lain yang ia lewati.
Awalnya, ia tidak ingin terlalu berharap, karena sejauh ini informasi yang ia dapatkan adalah nihil. Namun keraguannya lenyap seketika begitu melihat gambar lukisan yang sangat familier terpampang di sana, dengan beberapa paragraf berisi sejarah lukisan itu di bawahnya.
'Lukisan ini ditemukan di ruang bawah tanah sebuah vila tua di pinggiran kota X pada tahun 19XX, diletakkan di dalam sebuah koper agar terlindung dari cuaca. Tidak ada tanda pengenal sang pelukis, meskipun nama lukisan itu, Windu, telah dituliskan di bagian belakangnya. Diperkirakan kanvas yang digunakan adalah buatan tangan dan bukan dibeli. Diduga dari nomor yang tertera di bagian belakangnya bahwa Windu mempunyai beberapa saudara, namun telah hilang atau dimusnahkan.'
Kanvas yang digunakan adalah buatan tangan. Aniara mengerutkan kening. Detail yang aneh, tetapi menarik perhatiannya. Di mimpinya tadi malam, bukankah salah satu orang yang hadir memiliki hobi menjahit? Apakah ia juga membuat kanvas untuk si pelukis?
Dan juga, 'Windu mempunyai beberapa saudara, namun telah hilang atau dimusnahkan'. Itu cocok dengan mimpi yang sebelumnya, ketika seseorang memberi perintah untuk mencari dan membakar suatu lukisan.
Aniara menutup buku itu dengan sedikit kepuasan dan lebih banyak pertanyaan. Jadi, teori tentang mimpi-mimpinya terhubung dengan semua kejadian ini bisa dibilang telah terbukti. Sekarang, apa? Apa yang harus ia cari dari hubungan itu? Siapa orang yang terus menerus muncul itu? Teman 'Aniara' dari dunia lain? Kenapa ia memburu lukisan-lukisan 'Aniara'? Bagaimana caranya masuk ke dunia ini dari dunianya? Apa ia bisa kembali?
"Augh," erangnya sambil meletakkan buku itu di meja. Masih ada tiga buku lain yang harus ia periksa, tapi pikirannya terlalu kusut untuk memproses halaman lain, jadi ia mengeluarkan ponselnya, berniat untuk mengecek pesan masuk dan beristirahat sejenak.
Pesan dari Dirga muncul paling awal. Aniara mengerutkan kening dan membuka pesan itu.
… Berita terbaru?
Ia segera membuka situs berita lokal, megira akan melihat berita tentang kebakaran atau kematian walikota atau semacamnya. Alih-alih, penemuan jaket sang pencuri menyambutnya di halaman depan.
Jaketnya dari bahan denim, ditemukan di sebuah bangku taman, dan dikenali oleh manajer pameran itu sendiri, Rahani, yang sempat melihat penampilan si pencuri secara langsung di pameran.
Aniara melewati kronologi penemuan jaket serta kesaksian dari Rahani sampai ia berhenti di foto jaket itu yang disertakan di dalam artikel.
Sesuai deskripsinya, jaket itu terbuat dari bahan denim berwarna kelabu kebiruan pucat, dengan tudung biru tua dan kancing-kancing berwarna cokelat. Di bagian dada kanan jaket terdapat beberapa label bordiran yang dijahitkan ke sana. Penasaran, Aniara memperbesar foto itu agar bisa melihat semua labelnya dengan jelas.
Label berbentuk persegi yang dijahitkan paling atas, dekat dengan tudung biru tua, membuat Aniara tercenung. Berbentuk persegi berwarna merah muda, bagian tengah label itu dipenuhi jahitan berbentuk sepetak bunga. Lavender ungu di sebelah kanan, bunga matahari kuning paling depan, bunga melati Jepang yang berwarna putih dan kecil-kecil, dan bunga hydrangea berwarna biru.
Ia pernah melihat penataan ini. Sepetak bunga dari benang, berwarna-warni.
"Siapa kau…?" ia bergumam, dua jari menahan foto jaket itu agar tetap terfokus pada bordiran yang sama. Dengan helaan napas panjang, ia melepaskan jarinya sehingga foto itu kembali ke ukuran normal, dan membuka kontak untuk menghubungi Dirga.
*
"Ini semua seperti main catur empat dimensi," Dirga mengeluh ketika Aniara menemui sahabatnya itu di rumahnya yang … lebih besar daripada kamar kosnya.
"Kau kan suka main catur," kata Aniara. "Aku masih ingat kau sampai menyimpan dendam pada penjaga pos ronda di tempat kita tinggal dulu."
"Dia curang, aku tahu itu," desis Dirga dengan geram. "Tapi ah, sudahlah, dia toh sudah mati."
Meninggal, Aniara nyaris mengoreksinya. Kemudian, ia mengerjap. Huh. Dia tidak pernah sebelumnya memiliki dorongan untuk mengoreksi kosakata Dirga yang suka seenaknya, karena dirinya sendiri juga seperti itu. Kenapa tiba-tiba….
"Jadi, sekarang terbukti, ya, pencuri itu sama dengan orang misterius yang muncul terus di mimpimu?" kata Dirga, mengalihkan topik. Ia memijat batang hidung sambil mengernyit. "Ugh, dari semua bukti yang kau berikan, kenapa aku paling percaya pada yang paling tidak relevan? Bordiran di jaket. Astaga."
"Kau selalu curigaan sejak kecil," Aniara berkomentar. "Entah trauma mendalam apa yang melekat di otakmu." Belakang kepalanya segera dikenai pukulan wadah kue. Selagi ia mengaduh, Dirga meletakkan wadah kue itu di atas meja di antara mereka dan duduk.
"Aku sudah membuat iklan lukisanmu di medsos. Sengaja kulabeli sebagai lukisan tiruan – takutnya ada yang mengira aku dan kaulah yang mencuri lukisan aslinya Ada beberapa orang yang tertarik, tapi kau lihat sendiri saja nanti, soalnya aku tidak punya insting pelacak sepertimu."
"... Apa kau menyebutku anjing?"
Dirga menatapnya dengan melebarkan mata agar wajahnya terlihat polos. "Kok, kau berpikir begitu?" tanyanya, sebagai balas dendam. Aniara memutar mata.
"Tapi serius, Anya, apa kau baik-baik saja? Kalau kau terlalu fokus mengejar orang ini, kau tidak akan punya waktu memperhatikan kesehatanmu sendiri."
"Hah? Aku oke-oke saja, kok."
"Itu karena kau tidak ada istirahat selama ini," kata Dirga tajam.
"Aku tidur!" protes Aniara.
"Setiap kali kau tidur, kau mimpi buruk. Pada akhirnya, tubuh dan pikiranmu tetap lelah. Belum lagi pola makanmu tidak keruan." Dirga bersandar ke sofa mahalnya dan menyuap sepotong kue bolu. "Kau mau tahu saranku?"
"Tidak," jawab Aniara kesal, tapi tangannya tetap menerima kue bolu yang disediakan Dirga.
"Saranku, kau berhenti dulu menyelidiki semua ini selama satu hari penuh. Kau hentikan semuanya selama 24 jam saja, gampang 'kan? Setelah itu, kita lanjut," kata Dirga, mengabaikan protes Aniara seperti biasa.
Kepala Aniara tersentak. "Aku tidak bisa melakukan itu! Bagaimana kalau semua petunjuknya lenyap sementara aku luntang-lantung di rumah? Bagaimana kalau ingatanku terhapus?" ia menyergah, sadar bahwa nada suaranya sedikit histeris.
Dirga mengangkat sebelah alis, kalem dan tidak antusias, seperti suasana hatinya yang biasa. "Ya, tinggal kuingatkan. Kau tidak sendirian mengejar orang ini, Anya. Aku mungkin masih ragu, aku akui itu, tapi kau tahu aku akan tetap membantu."
Aniara menatap sahabatnya lama-lama. Ia teringat pada sensasi puas pagi ini, ketika ia berhasil mendapatkan tidur nyenyak pertamanya sejak mimpi-mimpi aneh itu dimulai. Teringat pada raut wajahnya yang terlihat jauh lebih sehat di cermin.
Ia merengut, tapi tidak bisa membantah. "Biar kulihat dulu daftar orang-orang yang mau membeli lukisannya," pintanya. Tanpa pikir panjang, Dirga merogoh saku untuk mengeluarkan ponselnya dan melemparkannya pada Aniara. Ia menyumpah ketika lututnya terbentur meja saat menangkap benda itu dari udara.
Sebuah gambar tangkapan layar tertera di layar, menunjukkan nama akun serta foto profil orang-orang yang tertarik pada lukisannya. Jumlahnya tidak lebih dari enam.
Aniara seketika melihat satu orang yang dikenalnya.
Novaspareparts.135. Nova.
"Yang ini," ujarnya. "Cek yang ini duluan."
Dirga berdiri dan mengintip layar ponsel dari balik bahu Aniara. "Hei … aku baru ingat, bukannya itu langganan komisimu?"
Ilustrasi-ilustrasi bertema lama. Seorang anak kecil sebagai subjeknya. Gaya mengetik yang aneh.
"Iya," jawab Aniara. "Jadi, dahulukan dia."