Dirga memastikan Aniara pulang dari rumahnya membawa sekotak kue bolu yang masih utuh. Awalnya sahabatnya itu menolak, tapi begitu Dirga meyakinkannya bahwa Mama telah sengaja membelikan satu kotak hanya untuknya, Aniara menghela napas panjang dan menerima.
"Ingat janjimu," katanya sambil mengantar Aniara ke pintu depan. "Besok, jangan ke mana-mana. Kulacak kau pakai GPS. Kalau sampai kau ternyata keluar rumah dan tidak istirahat, kau akan kusekap di sini supaya Mama bisa memberimu makan."
"Itu penculikan, ilegal, dan kau akan masuk penjara," balas Aniara datar.
Dirga menyeringai. "Hanya kalau aku ketahuan."
"Jangan lupa juga–"
"Merekam pertemuanku dengan Nova. Ya, aku ingat. Jangan khawatir, kalaupun aku lupa, kamera pengawas pasti merekam semuanya." Dirga menyandarkan tubuh ke ambang pintu. "Pokoknya kau besok santai saja, biar aku yang mengurus semuanya. Sekarang … ada yang mengantarmu pulang, tidak?"
Aniara mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengangguk. "Ada, aku sudah pesan ojol. Sebentar lagi sampai."
"Oke, sip kalau begitu."
Dirga tetap menemani Aniara di ambang pintu sambil mencerocos tentang pertandingan catur yang ia tonton kemarin malam di TV sampai ojek online yang dipesan sahabatnya datang. 'Mencerocos'. Sebenarnya, lebih cocok disebut 'mengomel'.
Setelah Aniara pulang, Dirga meregangkan tubuh ke atas seperti seekor kucing rumah yang mengantuk, lalu mengambil ponselnya dari meja dan masuk ke dalam kamar.
Harus diakui, orang yang dipisahkan sendiri oleh Aniara tadi – Nova? Aniara memanggilnya Nova, entah kenapa – bisa terbilang aneh. Ia tidak memakai kata-kata yang kasar maupun bernada memaksa ketika bertanya pada Dirga apakah lukisan itu bisa dijual padanya, tetapi jelas bahwa ia benar-benar menginginkannya.
Dan lagi, kenapa orang itu selalu mengetik pesan dengan ejaan Indonesia lama? Dirga merasa seperti sedang disuruh membaca teks sejarah.
Ia membuka kontak Nova dan mengetik sebuah pesan.
Dirga: Ya, halo, barangnya masih ada. Saya ada waktu besok jika mau bertemu, apa bisa?
Sambil menunggu balasan, Dirga merebahkan diri di tempat tidur dan menghembuskan napas panjang. Meskipun dia bilang bahwa ia sekarang percaya dengan teori dunia lain yang diutarakan Aniara, masih ada sedikit skeptisme di dalam hatinya.
Ah, tapi apa pentingnya, benar atau tidak? Jelas-jelas ada sesuatu yang mencurigakan di sini, supernatural ataupun bukan, dan Dirga sudah berjanji akan terus terlibat. Dia adalah orang yang logis pada dasarnya, tapi Aniara adalah sebaliknya dan Dirga sudah terbiasa dengan itu sejak ia berumur delapan tahun.
Ia hanya pernah meninggalkan Aniara satu kali ketika ia pindah rumah dan dia tidak berencana menambah jumlah itu sekarang.
Ponselnya berdenting.
novaspareparts.135: besok bisa. di mana lokasinya?
Dirga membagikan lokasi
Dirga: Datang jam berapa pun bebas. Saya seharian di rumah terus
novaspareparts.135 menyukai satu pesan
Dirga menutup percakapan dengan Nova dan iseng membuka kontak Aniara, mengirimkan pesan yang berisi satu kata saja padanya: 'Tidur'.
Sebuah voice note berisi suara meongan Buron selama lima belas detik dikirim Aniara sebagai balasannya. Dirga nyengir. Ia meletakkan ponsel di atas nakas dan merebahkan diri.
Sekarang … tinggal menunggu besok.
*
Kamera pengawas? Cek. Nomor Aniara di speed dial? Cek. Kamera kecil untuk diselipkan di saku baju? Cek. Kue dan teh untuk menyambut tamu? Cek.
Aniara pasti akan mendengus tertawa mendengar yang terakhir, tapi hei, Dirga dibesarkan dengan tata krama.
"Maksudmu ibuku tidak mengajari anaknya tata krama, begitu?" Aniara di dalam pikirannya berkata.
"Ibumu terlalu sibuk menjagamu supaya tidak jatuh ke selokan gara-gara suka kabur," sahut Dirga dengan kalem. Di dalam pikirannya, Aniara akan marah-marah. Aniara yang asli hanya akan melengos.
Ponselnya berdenting dari dalam saku.
novaspareparts.135: saya sudah sampai di depan rumah
novaspareparts.135 mengirimkan foto
novaspareparts.135: benar yang inie?
Ah, lagi-lagi gaya mengetik yang aneh itu. Sebelum Nova sempat mengirimkan pesan lagi untuk mengoreksi kesalahannya, Dirga segera mengirimkan konfirmasi, tak lupa mengatakan bahwa ia akan membukakan pintu depan.
Kamera pengawas? Cek. Nomor Aniara di speed dial? Cek. Kamera kecil untuk diselipkan di saku baju? Cek. Kue dan teh untuk menyambut tamu? Cek.
Dirga membuka selot yang mengunci pintu depan. Ada bunyi langkah kaki di luar dan siluet seseorang di kaca jendela yang buram. Dirga membuka pintu.
Wajah akrab Aniara balik menatapnya.
Di ujung lidah Dirga sudah nyaris terlontar sebuah omelan karena sahabatnya itu mengabaikan kebutuhannya untuk istirahat, tapi kemudian ia melihat celana jins dan sweater yang dipakai orang itu, serta rambutnya yang dipotong pendek.
Aniara akan lebih memilih tidak makan sebulan daripada memakai celana jins.
"Rama," orang itu mendesis tajam, telah memproses keadaan lebih cepat dari Dirga. Ia berbalik, hendak lari. Dirga bertindak mengikuti insting dan merenggut bagian belakang sweater orang itu.
Dirga mungkin tidak suka berolahraga, tetapi pengalaman bertahun-tahun menjadi penghalang agar Aniara kecil tidak tercebur atau jatuh telah melatih refleksnya dengan baik. Ia harus berterima kasih pada sahabatnya untuk itu.
"Siapa kau?!" Dan lagi…. "Bagaimana kau tahu namaku?!"
Orang itu – Nova??? – tidak menjawab. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan dan melepas sweater-nya. Di bawah itu, ia memakai baju kaus polos. Detik setelahnya, Dirga tertinggal menatap kaburnya orang itu dengan sweater tak bertuan di tangan.
"..."
Ia menatap sweater di tangannya. Warnanya merah, dengan bordiran kecil dari benang hitam di bagian lengan. Jahitannya sangat rapi.
Dirga mengangkat sweater itu ke dekat wajah, menyipitkan mata untuk membaca satu kata yang dibordir di sana.
Diya.
... Diya? Apa itu? Sebuah nama? Sebuah organisasi? Merek pakaian?
"Mungkin aku mimpi," ujarnya sambil memejamkan mata dan memijat pelipis. "Mungkin aku terbentur dan gegar otak. Apa-apaan…."
Ia mengeluarkan kamera kecil dari dalam saku dan mengeluarkan kartu memori darinya dengan hati-hati. Ia memasukkan kartu kecil itu ke dalam slot di ponselnya dan menunggu sampai rekamannya terproses sambil menenggak teh panas seperti air putih untuk menenangkan diri.
Mungkin dia berkhayal. Mungkin ia telah tak sengaja menghirup uap cat di kos-kosan Aniara. Mungkin ia terlalu sering memikirkan masalah ini sampai otaknya memproses hal lain dengan kacau.
Tidak mungkin 'kan–
Video rekaman tadi muncul. Ia langsung menekan tombol play.
Wajah orang itu muncul di layar ponsel dengan resolusi tinggi. Kerutan samar di antara alisnya. Bentuk matanya. Hidungnya. Semuanya persis Aniara. Namun nyatanya ia bukan Aniara, karena Aniara sedang berada di kamar kosnya, tidur dan bermain dengan Buron.
"Rama," desis kembaran Aniara di video itu. Tidak ada orang yang pernah memanggil Dirga dengan 'Rama' seumur hidupnya. Tapi kenapa nama itu terdengar agak – sedikit, seperti bayang-bayang samar di dasar sungai, tak tergapai dan nyaris tak terlihat – familier. Dari mana ia pernah mendengarnya? Kapan? Siapa?
Apa yang sebenarnya sedang terjadi sekarang?