Berbanding terbalik dengan segala kekayaannya dan kekayaan nenek buyutnya, pakaian yang dikenakan Dirga ketika menjemput Aniara dari kos-kosan sama sekali tidak terlihat seperti pakaian mahal.
"... Apa aku mau tahu dari mana kau dapat kaus partai?" tanya Aniara skeptis setelah masuk ke dalam mobil Dirga.
Dirga tersenyum miring. "Kakekku."
"Terus, jaket denim bobrok?"
"Yanto, sepupu."
"Sandal jepit?"
"Beli sendiri."
Bahkan pakaian Aniara pun masih lebih enak dipandang daripada Dirga, meskipun sama-sama terlihat seperti orang buangan. Setidaknya Aniara tidak memakai kaus partai berwarna mencolok.
Aula kampus yang digunakan sebagai lokasi pameran masih sepi. Mengingat jamnya, Aniara tidak heran. Ia melirik Dirga, masih kesal dengan desakannya tadi pagi, tapi sahabatnya itu tetap memakai senyum santainya selagi memarkir mobil.
"Masuknya tidak perlu pakai tiket, 'kan?" tanya Aniara. Agak terlambat, karena mereka berdua sudah terlanjur berada di sini.
"Tidak, sih, tapi kita harus memakai gelang supaya tidak dikira masuk tanpa izin," jawab Dirga. "Ayo."
Mereka mendaftarkan nama dan mendapatkan gelang masing-masing tanpa ada hambatan, lalu resepsionis yang sama mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam aula.
Ada lusinan lukisan di dalam aula itu, dipajang menggantung di dinding atau di kuda-kuda berkaki tiga. Aniara memperhatikan beberapa lukisan terdekat, setengah penasaran dan setengah tidak yakin apa yang harus dia lakukan.
"Jadi … apa benar-benar ada lukisan Van Gogh di sini atau…?" tanyanya pada Dirga, yang sedang membaca plakat di bawah sebuah lukisan bertema neraka.
Sahabatnya mendengus sebelum menyahut. "Mana ada. Kau pikir pihak sana mau meminjamkan lukisan seberharga itu ke sini hanya untuk pameran kecil? Pameran ini isinya karya pelukis lokal, juga lukisan kuno yang ditemukan di sekitar kota. Lagipula, pameran lukisan Van Gogh tidak mungkin gratis."
"Huh." Aniara ingin membalas lebih, tetapi sebuah lukisan di dinding menarik perhatiannya dan ia berjalan ke sana.
Lukisan itu berukuran 50,8 × 60,90 sentimeter, dibingkai dengan kayu segelap tanah basah.
Napas Aniara tercekat ketika melihat isi lukisan itu dengan jelas.
Seorang anak kecil berpakaian kuno terlukis dengan cat minyak di sana, sedang duduk di atas pohon dan memegang seutas tali tipis yang terhubung ke sebuah layang-layang berbentuk kupu-kupu. Lukisan itu tidak terlihat halus seperti lukisan lain yang dipajang di sekitarnya. Bahkan mata amatir Aniara yang lebih terbiasa melihat warna-warna digital yang mulus bisa melihat perbedaannya. Cat di lukisan itu kasar dan membentuk gelembung-gelembung udara kecil. Garis-garis warnanya tumpang tindih dengan arah goresan yang berbeda. Sang anak laki-laki, objek utama lukisan itu, bahkan terlihat seperti dua gambar anak kecil yang dijadikan satu karena pewarnaannya yang berantakan.
"Ah, tertarik dengan yang ini?" sebuah suara berkata, mengejutkan Aniara yang tak mendengar kedatangan pemiliknya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita berpakaian rapi dengan pin nama tersemat di dadanya bertuliskan 'manajer'. Di bawahnya, ada tulisan nama 'Rahani'.
Aniara menggeleng. "Saya cuma penasaran melihat teknik pewarnaannya," ucapnya.
Rahani tertawa. "Banyak yang bilang begitu. Kalau menurut pendapatmu sendiri, bagaimana?"
"Tidak rapi," jawab Aniara tanpa ragu, "tapi perspektif, komposisi, dan pemilihan warnanya bagus. Toh pada akhirnya lukisannya berakhir dipajang di pameran juga, jadi saya rasa jelek atau tidak bagi saya, tidak berpengaruh."
"Pengamatanmu bagus," sahut Rahani. "Lukisan ini dibuat baru-baru ini."
Aniara mengerutkan kening. Lukisan itu terlihat tua. "Oh, ya?" Tatapannya jatuh ke plakat informasi yang ada di samping lukisan dan memutar matanya begitu membaca bahwa lukisan itu diperkirakan dibuat seratus tahun yang lalu. "Saya tidak sadar satu abad yang lalu bisa disebut 'baru-baru ini'."
Rahani tertawa. "Lukisan ini masih terbilang muda. Beberapa lukisan lain yang dipamerkan, umurnya ada yang sampai tiga abad," jelasnya.
Aniara mengangguk, kembali membaca plakat. "Windu," gumamnya. Ia menoleh kepada Rahani. "Kenapa namanya Windu? Itu artinya delapan tahun, 'kan? Apa anak yang dilukis umurnya delapan tahun?"
"Oh, tidak ada yang tahu. Pelukisnya saja tak bernama dan kabarnya ia bersama lukisan-lukisannya yang lain lenyap di dalam sebuah kebakaran. Teori yang paling populer adalah lukisan ini dikerjakan selama delapan tahun," jelas Rahani.
"Oh…." Aniara tidak yakin harus merespons bagaimana, sehingga ia hanya memperhatikan lukisan itu lagi, menyapu pandangannya ke titik-titik yang sebelumnya telah ia lihat.
Semakin lama ia mengamati lukisan itu, semakin nyata pemandangan yang ada di dalamnya. Aniara merasa seakan bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan layang-layang itu. Ia seakan bisa merasakan kasarnya dahan pohon yang diduduki si anak kecil. Melihat langit yang cerah dengan tanda-tanda akan hujan di kejauhan.
Tangannya bergerak hendak menyentuh lukisan itu, memicu ledakan-ledakan sekecil atom di sinapsisnya. Saraf di ujung-ujung jarinya terasa seperti sedang terbakar, membuat jari jemarinya berkedut seperti orang kejang.
"Hei!" tangan kasar Dirga menyambar tangannya menjauhi lukisan itu. Aniara refleks menelan teriakan protes yang muncul di tenggorokannya. "Kau mau apa? Jangan pegang-pegang! Kalau rusak, memangnya kau mampu ganti rugi?"
Tangan Aniara melemas, jatuh menggantung di sisi tubuhnya. Setelah yakin ia tidak akan seenaknya mencoba menyentuh lukisan itu lagi, barulah Dirga melepaskan genggaman di sekitar lengannya.
"Apa yang spesial sih, sampai kau melamun seperti tadi?" tanya Dirga. "Kupikir kau tidak tertarik dengan lukisan tua."
Dan … itu pertanyaan yang bagus, bukan? Kenapa ia, yang biasanya hanya akan memperhatikan sekitar tanpa mendekatinya, tiba-tiba hendak–
Hendak apa? Hendak apa ia tadi? Menyentuh lukisannya? Mengambilnya dari dinding?
"Entah," jawabnya singkat, pandangannya kembali tertarik ke pemandangan di dalam lukisan layaknya serbuk besi ke magnet.
Satu alis Dirga terangkat. "Oke…," gumamnya, jelas tidak percaya pada penjelasan minimal Aniara. "Jangan diulangi. Aku tidak mau kita kena masalah."
"Mm."
Akhirnya, Dirga memutuskan bahwa ia tidak cukup mempercayai Aniara untuk tidak mengganggu lukisan-lukisan lain dan Aniara jadi diseret-seret oleh Dirga sepanjang sisa kunjungan.
Begitu Dirga selesai menariknya ke lukisan terakhir, mereka melangkah melewati pintu keluar, disambut udara dingin pengap yang sudah jadi bagian dari keseharian warga kota.
Ketika Aniara mendongak ke atas sambil menyipitkan mata melawan matahari, langitnya cerah, dengan tanda-tanda akan hujan di kejauhan.
"Ah." Aniara menoleh ke arah Dirga yang sedang memandangi ponselnya. Sahabatnya itu menoleh ke arahnya dengan pandangan meminta maaf. "Sori, Anya, aku harus jemput Mama dari pelabuhan."
Aniara menggeleng. "Santai. Aku bisa pulang naik bus."
"Tidak apa-apa, nih?"
"Umurku dua puluh tiga, sialan, kalau cuma pulang pakai bus ya jelas tidak apa-apa," sahut Aniara sambil memutar mata.
"Tinggimu sekarang masih sama dengan tinggimu waktu SMA. Ya jelas aku khawatir," kata Dirga, pura-pura dipenuhi kebaikan hati. Sambil nyengir, ia menghindari sikutan dari Aniara. "Ih, adek jangan marah, dong."
"Lama-lama kau kujual juga di online shop," gerutu Aniara. "Ya sudah, kalau begitu aku duluan. Bus siang datangnya enam menit lagi."
"Kau hapal jadwal bus?"
"Dirga, tidak semua orang bisa masuk ke dalam mobil kapan pun mereka perlu ke mana-mana."
"Kau menyindir?"
Aniara menelengkan kepala dan tersenyum polos. "Kok kau berpikir begitu?"
Dirga mendengus. "Terserahmulah."
Aniara memberi satu lambaian terakhir pada Dirga sebelum ia berlari-lari kecil keluar dari area kampus. Untungnya, tubuhnya yang atletis hasil bermain voli di SMA membuat larinya kuat dan cepat, sempat mencapai halte bus sebelum busnya sampai.
Bus kota sampai di halte setelah lima menit, yang mana selama lima menit itu ponsel Aniara terus bergetar dengan pesan masuk dari Dirga, menanyakan apakah busnya sudah datang dan apakah Aniara sudah sampai rumah dengan selamat.
"Kau kedengaran seperti ibuku," gumam Aniara sambil mengetik dan berjalan menaiki bus. Seseorang menabrak bahunya, hampir membuatnya menjatuhkan ponsel serta dirinya sendiri. "Ah! Maaf," ia menambahkan, refleks.
"Mm," gumam lelaki yang menabraknya. Wajahnya tertutup lidah topi, tetapi anggukan sopannya terlihat jelas. Dengan sedikit terburu-buru, lelaki itu melanjutkan langkahnya turun dari bus.
Aniara mengambil tempat duduk di barisan tengah, di samping jendela, lalu melepaskan jaketnya yang ia letakkan di tempat duduk di sampingnya agar tidak ada orang yang duduk di sana dan mengganggunya.
Ayunan bus yang melalui jalanan berliku-liku bagai membuai Aniara. Rintik hujan mulai turun, mendarat di kaca jendela dan mengiringi bunyi mesin bus. Ada pesan masuk dari Dirga. Aniara melepas sepatu, menaikkan kedua kakinya ke atas tempat duduk, dan merebahkan pipinya di atas kedua lutut.
Gemuruh guntur terdengar dari kejauhan. Mata Aniara menutup, tenang dengan kenyataan bahwa halte di dekat kos-kosannya adalah perhentian terakhir bus itu, sehingga ia tidak mungkin melewatinya tanpa sengaja.
*
Home > Kriminalitas > Lukisan Berumur….
LUKISAN BERUMUR SERATUS TAHUN DICURI DARI PAMERAN LOKAL HITUNGAN JAM SETELAH DIBUKA
Kamis, XX Oktober 20XX