"Apa kau ingat, Rahani bilang kalau lukisan itu dinamai Windu karena ia diselesaikan dalam waktu delapan tahun? Apa kau tahu bahwa itu salah dan tebakanmu yang benar, bahwa ia dinamai Windu karena anak kecil di dalam lukisan itu berumur delapan tahun?"
"Ha? Apa kau diberitahu Dirga?"
"Aku melihatmu."
"Di pameran?"
"Di rumah."
"Oh…."
Hujan turun. Lengan bajunya tidak basah.
"Kenapa anaknya berumur delapan tahun? Kenapa tidak … ah, mana kutahu, sembilan? Lima belas?"
Orang di sebelahnya menoleh. Ia melihat dirinya sendiri, dengan rambut yang lebih acak-acakan. Seorang petualang (?).
"Karena dia hanya hidup selama itu," jawabnya. "Kau pikir kenapa?"
Hujan semakin deras. Ada ikan tersangkut di antara ranting pohon. Sebuah pedang menebasnya, tak berpemilik.
"Mana kutahu, kenapa bertanya padaku?"
*
novaspareparts.135: yo
novaspareparts.135: aku maoe memesan komisi lagi. hasil yang kau berikan sebelumnya memuaskan seperti biasa
novaspareparts.135: *mau
*
Api mengelilinginya, membakar lantai dan dinding kayu. Ia duduk, menonton genangan cat di lantai berubah menjadi jendela ke sebuah tempat lain.
"Aniara, keluar dari sana!"
Ia menoleh, kesal. "Kau pikir aku tidak sedang berusaha?!" ia balas berteriak, tetapi suaranya tertelan oleh bunyi kaca jendela yang jatuh dan pecah. Pohon buah di luar roboh dengan bunyi yang lebih gaduh.
"Aniara!"
"Apa?!"
"Rama ada di luar! Katanya kalian mau main bersama!"
Api padam. Ruangan membesar. Langit-langit meninggi. Sebuah senyum lebar merekah bersamaan dengan mekarnya bunga pertama pohon di luar jendela.
*
Dirga: Hei, apa kau sudah lihat berita terbaru?
Dirga: Hei??
Dirga: Internetmu mati?
*
Kuas berlumur cat menyapu permukaan kanvas dari arah yang berbeda. Merah dan kuning bertemu dan meleleh, menyatu. Biru dan cokelat. Hijau dan putih. Wadah cat tersebar di sekitar kakinya. Kulitnya sudah penuh cipratan cat.
Kalau sudah begitu, apakah dia juga bisa disebut sebuah karya seni?
Pintu dibuka dari luar. Sesosok bayangan kecil melangkah masuk sambil menyenandungkan lagu nina bobo yang setiap malam mengantarnya tidur. Tatapannya tak beralih dari kanvas, bahkan ketika lantai di sebelahnya dibebani tubuh orang lain. Matahari di luar tenggelam, membenamkan dunia pada malam. Tidak ada cahaya untuk melukis.
Sebuah kepala disandarkan pada bahunya. Ia menyikutnya tapi kepala itu tak jatuh. Pemiliknya tertawa keras, memecahkan fokus rapuh yang melingkupi ruangan sejak tiga minggu (delapan bulan? Dua tahun? Sepuluh hari?) yang lalu.
"Ooh, apa itu yang kau lukis?"
"Entah. Menurutmu?"
"Kalau dari sini … kelihatannya seperti bunga teratai." Lukisan itu berubah, menuruti komentar asal itu. "Nah, kalau dilihat dari sini, hmm…."
"Apa?"
Orang itu terkikik. "Mirip hidung kerbau!"
"Kau–!"
Orang itu tergelak, berlari menjauh dan ruangan itu lenyap, digantikan lapangan rumput setelah hujan, becek dan licin.
Ia mengejar dan mengejar, namun orang itu tak mampu ia raih.
Guntur menggelegar.
Ia menoleh ke belakang dan melihat sebuah rumah yang terbakar, dengan lukisannya terpajang di pintu depan.
*
novaspareparts.135: halo? apa kau sedang sibuk? akunmu tiedak aktif sejak tiga hari yang lalu. aku harap kau baik-baik sadja
novaspareparts.135: *tidak
novaspareparts.135: *saja
15 pesan baru dari Dirga
*
"Anya! Any– sialan, Aniara!"
Awalnya, Aniara mengira panggilan itu berasal dari mimpinya, seperti yang telah terjadi akhir-akhir ini. Namun, guyuran air dingin yang menyusul jelas bukan mimpi.
Terkesiap, ia tersentak bangun dan refleks menendang orang yang berada di samping tempat tidurnya. Setelah mendengar suara mengaduh yang familier dan ember plastik biru yang juga familier, barulah Aniara sadar bahwa Dirga-lah yang telah membangunkannya.
"Mana apinya?" ia refleks bertanya, teringat pada kebakaran yang–
Dirga memberinya tatapan aneh bercampur khawatir. "Hah? 'Api' matamu! Kau ini masih mimpi atau bagaimana?"
Aniara meringis dan menggelengkan kepala untuk menghilangkan grogi bekas tidur. "Ugh, iya, iya, aku sudah bangun, jangan teriak-teriak."
"Ringan sekali kau bilang begitu," kata Dirga, kecemasan di wajahnya berubah menjadi kekesalan. "Apa kau tahu, berapa lama kau tidur?"
"Dirga, aku tidur seperti biasa, astaga," erang Aniara. "Kau ini ribut-ribut kenapa, sih?"
"Seperti biasa? Seperti biasa? Kau tidur selama tiga hari, Aniara! Aku pikir kau mati di kos-kosan!" sergah Dirga. "Ponselmu mati, kata Ibu kos juga kau tidak keluar-keluar dari kamar. Buron sampai kelaparan!"
… Tiga hari? Mustahil. Dirga pasti bergurau. Ia harus bergurau. Aniara tidak mungkin tidur selama itu tanpa terbangun sekali pun karena rasa lapar atau panggilan alam lainnya.
"Dirga, jangan bercanda," ujarnya pelan-pelan dengan nada membujuk, "aku baru bangun. Kalau kau bercanda aneh-aneh, aku belum bisa menangkap."
"Bercan–" Dirga memutus kalimatnya sendiri dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dengan kasar. Ia menyalakannya dan menunjukkan layarnya pada Aniara.
Waktu yang tertera di layar adalah jam sepuluh pagi, hari Minggu.
Minggu.
Hari terakhir yang diingat Aniara adalah Kamis.
"Aku tidak bercanda," kata Dirga, emosinya mulai surut perlahan-lahan, kerutan di keningnya berubah kembali menjadi kerutan khawatir alih-alih marah. "Anya, kau sakit? Kalau kau sakit, seharusnya kau meneleponku, jangan malah pingsan di kos-kosan."
Aniara menggeleng, mulutnya membuka dan menutup tanpa ada kata-kata yang keluar. Pada akhirnya, yang berhasil ia sebut hanyalah, "Buron?"
"Sudah kuberi makan," Dirga menenangkan. "Dia kelaparan, tapi karena sejak awal dia gendut, dia tidak sampai sakit atau apa, cuma resah saja."
Mendengar kata 'makanan', bunyi keruyuk keras terdengar dari perut Aniara. Dirga mendengus, bayang-bayang sebuah cengiran muncul di wajahnya.
"Kebiasaan, yang kau pikirkan selalu kucingmu dulu. Kau sendiri juga tiga hari tidak makan apa-apa … kalau kau memang ketiduran selama itu." Ekspresinya berubah serius lagi. "Kau memang tertidur selama tiga hari penuh, 'kan? Atau apa kau sempat bangun?"
Aniara bangkit dari tempat tidurnya dan terhuyung sedikit saat mencoba berjalan. Dirga dengan sigap menstabilkannya dengan genggaman di bahu.
"Kalaupun aku sempat bangun, aku tidak ingat sama sekali," jawabnya.
"Dan kau tidak sakit?"
"Entah, ya."
Tangan yang tadi membantunya berdiri bergerak memukul belakang kepalanya, melampiaskan kekesalan Dirga dengan satu gerakan ampuh.
"Hei!" protes Aniara.
Merasa belum cukup, Dirga menjitak keningnya keras-keras. "Jangan kira aku sudah tidak marah padamu. Sikapmu yang tidak pedulian itu suatu hari bakal jadi sebab kematianmu, tahu," omelnya. "Sekarang serius, kau merasa ada yang sakit atau tidak?"
"Kepala," gumam Aniara.
"... Gara-gara kupukul atau gara-gara…?"
"Karena dipukul."
Dirga mendengus dan mengibaskan tangan. "Kalau itu biarkan saja. Oh, ya, ponselmu lagi dicas, tuh, baterainya habis total."
"Biar kutebak, pesan darimu pasti sampai puluhan," gerutu Aniara sambil meraih ponselnya dan menekan dalam-dalam tombol daya untuk menyalakan benda itu. Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar hebat seperti disetrum bersamaan dengan bergulirnya lusinan notifikasi dari kontak yang sama. Aniara mendongak dan menyipitkan mata ke arah sahabatnya. Dirga hanya mengedikkan bahu.
Aniara kembali menunduk menatap layar ponsel. Kedua alisnya terangkat ketika melihat notifikasi dari akun yang pernah memesan komisi darinya di antara lusinan pesan Dirga. Ia menekan notifikasi yang paling bawah dan layarnya berubah, menunjukkan pesan dari akun itu.
novaspareparts.135: apa poen yang terjadi, semoga kau baik-baik saja
novaspareparts.135: *apa pun
Mau tak mau Aniara menjadi sedikit lebih tenang. Kejadian yang dialaminya memang aneh dan mungkin dia harus memeriksakan diri ke dokter untuk memastikan bahwa otaknya tidak bermasalah, tapi setidaknya dia punya orang-orang yang mengkhawatirkannya.
Anyarart: Aku baik, trims, sedang sibuk
novaspareparts.135: baguslah
Anyarart: Kalau masih tertarik, masalah komisi bisa kita bicarakan malam nanti?
novaspareparts.135: boleh
"Oi, kau mau kuantar mencari makanan, tidak? Jangan sampai kau makan makanan instan setelah tiga hari tidak makanan!"
Aniara segera mematikan ponselnya. "Iya, iya, sabar sedikit, kenapa?!"
"Aku sudah sabar tiga hari!"
"Jangan diungkit terus!"
*
novaspareparts.135: oh, ya, apa kau kenal denganku? atau ingat sesuatu?
*
Satu pesan telah dihapus.