"Terkadang, aku juga butuh seseorang."
———
Tanpa terasa tiga hari lagi ujian akan berakhir. Violin tengah berjalan di lorong tempat les. Lalu saat sampai di depan pintu, dia membukanya. Tatapannya langsung tertuju pada Cakra yang tengah menatap ke papan tulis. Lalu, tepat di sebelah pemuda itu, Naya duduk di sampingnya.
Lagi-lagi Violin merasa dadanya berdenyut saat menatap hal tersebut. Lalu, akhirnya dia berjalan masuk ke dalam kelas. Cakra bahkan tidak terlalu memperhatikan jika dia sekarang sudah duduk di depannya. Violin mengambil buku dan membukanya. Dia tidak punya waktu untuk mengurus perasaan aneh ini.
Lalu mapel pertama selesai, Naya keluar bersama teman-teman satu les sewaktu istirahat. Sekarang, hanya menyisakan Cakra dan Violin yang ada di kelas. Dia mendongak, menatap punggung Cakra di depannya yang bahkan tidak menatap ke arahnya sama sekali. Lalu perlahan, bibirnya terbuka.
"Cakra."
Cakra terlihat agak tertegun sesaat. Lalu, dia menoleh ke belakang. Sudut matanya melebar saat melihat Violin yang duduk di belakangnya.
"Loh? Lin, kapan kamu datang?" Tanyanya.
Violin tersenyum miris. "Kamu aja ga nyadar."
Cakra tersenyum lebar. Lalu, dia malah beranjak dari tempatnya, dan duduk tepat di sampingnya. Violin sedikit terkejut karena hal yang barusan pemuda tersebut lakukan.
"Kukira ga masuk."
"Toh paling sama aja kalau ga masuk." Jawab Violin.
Lalu, gadis itu menundukkan kepalanya. Tangannya yang memegang buku mengepal kuat. Entah kenapa rasanya ada hal yang dia pendam, tetapi dia berusaha untuk memberitahukannya. Cakra menatapnya sedikit bingung.
"Kra, kayaknya aku suka kamu."
Violin menoleh dan menatap wajah sahabatnya yang tampak terkejut di tempatnya. Violin memalingkan kepala lalu menunduk. Dia memejamkan matanya, rasa gugup meliputi dirinya dan debaran aneh di dadanya. Cakra terdiam. Lalu, dia juga ikut menatap ke arah lain. Tidak ada yang berbicara hampir tiga menit. Sampai akhirnya, Cakra mengangkat suaranya.
"Aku tidak merasakan perasaan seperti perasaanmu padaku, Violin."
Rasa debaran di dadanya makin melambat. Bahkan, Violin merasa jika sekarang tubuhnya sedikit bergetar. Tiba-tiba manik matanya mulai berkaca-kaca. Dia memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Lalu, menatap ke arah Cakra di sampingnya yang justru menatap ke arah lain. Tatapan pemuda itu tanpa ekspresi, sama sekali.
"Sepertinya sejak dulu aku hanya menganggapmu sebagai teman."
"Violin!"
Violin memaksakan sebuah senyum di wajahnya walaupun itu terlihat seperti senyum yang menyedihkan. "Kamu punya orang yang kamu suka kan, Kra?"
Cakra menoleh. Sedikit tertegun karena menatap mata Violin yang berkaca-kaca. Namun, dia akhirnya menjawab.
"Iya. Aku punya orang yang aku suka."
Violin tersenyum sembari mengangguk mengerti. Lalu, dia menatap ke depan. "Apa orang tersebut adalah Naya?"
"Bagaimana kamu tahu?"
"Perasaan engga bisa dibohongi, Kra."
Cakra hanya terdiam menanggapi. Lalu, dia beranjak dari tempatnya. Violin hanya menatapnya seolah mengerti. Mungkin setelah ini, hubungannya dengan Cakra akan canggung.
"Aku mau ke kamar mandi dahulu."
Namun sebelum pergi, Violin justru memegang bajunya sejenak. Cakra kembali berbalik dan menatapnya agak bingung. Violin mengulurkan salah satu tangannya, seolah hendak bersalaman.
"Balas uluranku dong."
Selanjutnya, tangan Cakra membalas jabatan tangan Violin yang masih terduduk di bangkunya.
Violin tersenyum tulus. "Makasih."
Ada hal aneh saat Violin mengatakan hal barusan. Tampak seperti ucapan selamat tinggal. Lalu, uluran tangan tersebut langsung dilepas oleh Violin.
"Mungkin setelah ini aku bakal sering ngilang, haha." Violin terdiam sejenak. "Toh ini lebih baik buat kamu sama Naya. Kalau aku menjauh, orang-orang gaakan ngolokin kita lagi kan. Kamu pasti risih."
Cakra hanya terdiam dengan wajah kosong. Bingung harus berkata-kata seperti apa.
"Ya sudah, sana ke kamar mandi." Suruh Violin sembari mendorong tubuh Cakra.
Dia melambaikan tangannya saat Cakra menutup pintu kelas. Lalu, sekarang hanya menyisakan dirinya yang sendirian di dalam kelas. Suhu yang sangat dingin karena air conditioner meremang membuat tubuhnya menggigil. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Violin meneteskan air matanya.
Satu tetes. Dua tetes. Lalu, air mata terus turun dari sudut matanya. Violin berusaha untuk mengusapnya, tetapi dia tidak bisa mengindahkan perasaan patah hati di dalam dadanya. Dia terus mengusap matanya sendiri, berharap air matanya berhenti turun, tetapi tidak bisa.
Cinta bertepuk sebelah tangan adalah hal yang menyakitkan baginya.
Bahkan dahulunya, Violin sudah pernah ditolak secara tidak langsung oleh Aden. Hal lama yang sangat ingin Violin lupakan. Benar, dua tahun yang lalu.
Mytha tiba-tiba muncul dan langsung memeluk dirinya yang masih terduduk di bangku. Violin menangis terisak di perut Mytha, merangkulnya cukup erat. Mytha hanya bisa terdiam dengan menaruh tangannya di atas kepala Violin, berusaha menenangkan gadis itu.
"Karena pertemanan bisa berubah asing karena sebuah perasaan."
"Seolah semua hal yang kau lakukan dengannya itu tidak pernah ada."
"Jangan sukai.. sahabatmu sendiri."
Dan sekarang, Violin tengah berada di meja belajarnya sendirian. Di dalam kamarnya yang cukup luas dengan kasur yang besar. Violin justru memilih dengan melipat kedua tangannya di atas meja belajar, di sampingnya terdapat buku-buku. Lalu, dia menaruh kepalanya di atas kedua lipatan tangannya tersebut. Mytha yang duduk di sampingnya hanya menatapnya lembut.
"Seharusnya aku mendengarkan kata-katamu dahulu."
"Gapapa. Toh, perasaan engga ada yang tahu bukan. Aku agak engga percaya waktu kamu bilang kamu suka dia. Soalnya kalian berdua memang cocoknya sebagai teman, engga lebih."
"Diam. Kau makin membuat perasaanku sakit." Jawab Violin dengan intonasi suara kesal.
"Lagipula, bagaimana tiba-tiba kamu suka dia coba?"
Violin terdiam atas pertanyaan Mytha yang ditunjukkan padanya. "Aku merasa nyaman bersama dengannya."
"Nyaman dalam hal apa?"
Violin bangun dari tempatnya dan menatap ke arah Mytha lembut. "Aku selalu bercerita banyak hal padanya. Bahkan rahasia-rahasia kecilku ataupun besar. Dia tahu banyak hal soal aku, dan aku juga tahu banyak hal soal dia. Aku sama dia saling nyaman satu sama lain. Tapi ya, perasaan jelas beda."
Violin menundukkan kepalanya. "Padahal kukira, kalau kita deket mungkin.. mungkin aja dia punya perasaan ke aku. Ternyata engga sama sekali."
Dia mendongakkan kepalanya. "Aku terlalu berharap ya?"
Mytha hanya menatapnya.
Violin memiringkan kepalanya sembari tersenyum miris. "Kamu kan selalu bilang kalau aku gak boleh berharap sama manusia, setelah aku dicampakkan sama Aden dulu..."
Mytha hendak membuka bibirnya tetapi tertahan oleh Violin kembali.
"Aku ngerasa, walaupun aku baru aja suka sama Cakra, tapi perasaanku ke Aden dulu.. ga bakalan ada yang bisa ngalahin, haha. Walaupun ya berakhir aku jatuh cinta sendirian."
Violin menutup wajahnya dengan tangannya sendiri. "Terkadang aku bertanya-tanya bagaimana orang bisa menyukai seseorang dan mendapatkan balasan. Aku tidak pernah merasakan semua hal itu. Jatuh cinta sendirian itu menyakitkan sekali."
Tangan Mytha terulur untuk menepuk-nepuk punggung Violin. Dia tersenyum kecil, berharap Violin bisa tenang dengan hal yang dia lakukan.
"Aku benci perasaan seperti ini."
Tinggal satu hari sebelum ujian. Violin masuk ke dalam tempat lesnya, tetapi dia merasa canggung karena hanya ada dirinya dan Cakra di sana. Setelah kejadian kemarin, Violin sudah jarang berbicara dengan Cakra, entah itu di dunia nyata ataupun virtual.
Mereka berdua seolah menjadi asing.
Setelahnya, Naya masuk ke dalam kelas. Les hari ini cukup sepi, hanya ada mereka bertiga di dalam kelas. Violin duduk di barisan bagian pojok, begitu jauh dari mereka. Sementara, Naya dan Cakra duduk bersebelahan. Violin hanya dapat menatap kedua sejoli tersebut yang saling melemparkan senyum satu sama lain.
Mereka seperti sebuah kabel, ada sesuatu yang membuat mereka terhubung.
Jam istirahat. Violin langsung keluar dari kelas dan membeli sebuah corndog di sebelah tempat les. Dia duduk di atas kursi. Matanya menelisik ke arah sekitar. Dia menatap kendaraan yang lalu lalang di jalan raya di sebelahnya.
Mytha duduk di depannya, entah sejak kapan. Terus menatap ke arah dirinya dengan senyum manis. Tetapi ekspresi Violin masih tetap sama. Bahkan terdapat sisa hitam di matanya karena kemarin terus-menerus menangis.
Saat kembali pun, dia berpapasan dengan Cakra juga Naya yang baru beli jajan bersama. Di sana Violin makin muak, lalu akhirnya berjalan mendahului mereka. Bahkan setelah jam pelajaran kedua berakhir, dia segera menjadi orang pertama yang langsung meninggalkan kelas.
Dan saat ini, Violin berbaring di kasurnya. Kakinya berada di atas, sementara tubuhnya dia taruh di bawah. Matanya menatap ke atap rumahnya sendiri.
"Aku bersumpah aku ingin keluar dari tempat lesku."
Mytha yang duduk di bawah, di sampingnya, menatapnya bingung. "Kenapa?"
"Aku muak terus-terusan ketemu mereka. Yang ada malah aku engga fokus ke pelajaran."
Mytha mengganti posisinya lebih santai. "Ya sudah, sana bilang ke Ibumu."
"Menurutmu apa Ibu akan menerimanya?" Tanya Violin.
Mytha terdiam berpikir sejenak. "Kenapa tidak?"
Violin mengganti posisi kepalanya dan menatap lurus ke depan. Bibirnya masih tertutup rapat. Sementara pikirannya sedikit berkabut.
"Asalkan kau bisa menjelaskan dengan baik tentang keadaan di les yang membuatmu tidak nyaman, mungkin Ibu akan membantumu. Toh, ini berkaitan dengan pelajaran bukan? Ibu selalu mengutamakan pembelajaranmu di atas apapun."
Violin tersenyum kecil, begitu pula Mytha. Mereka saling melempar satu sama lain, sampai akhirnya memalingkan kepala. Senyum Violin makin merekah, seiring dengan angin dari balkon rumahnya bertiup. Mytha di sebelahnya memejamkan matanya, merasa nyaman dengan posisinya sekarang.
"Aku berakhir asing dengan Cakra." Ujar Violin, dia bersuara setelah lama berdiam. Tatapanya mengarah ke depan kosong, terlihat sedikit sedih.
"Padahal hampir setiap hari aku saling mengirim pesan dengannya. Kita membicarakan banyak hal karena sefrekuensi. Tetapi, pada akhirnya dia sama saja dengan orang lain.."
"... Semua orang akan meninggalkanku perlahan-lahan." Lanjut Violin dengan nada pelan, sedikit bergetar. Tampaknya dia mulai meneteskan air matanya lagi.
"Dia orang yang paling dekat denganku, melebihi Kak Celia, ataupun orang tuaku sendiri. Dia mengetahui banyak hal tentangku, setengah hidupku sudah kuceritakan padanya, tapi.. tapi.. itu semua berakhir tidak ada artinya.."
Mytha hanya menatap ke arah Violin yang menangis terisak di sampingnya. Gadis itu menundukkan kepalanya. Tangannya memegang erat bajunya sendiri yang terarah pada dadanya. Dia merasa dadanya terus berdenyut sakit.
"Kenapa dia memilih orang lain padahal aku selalu ada di sampingnya?"
Mytha terkejut karena kata-kata Violin barusan yang begitu menyakitkan. Dia segera mendekati Violin dan merangkul pundaknya. Violin makin terisak di tempatnya, seiring dengan sebuah tepukan pelan di punggungnya oleh tangan Mytha.
Hanya dirinya yang bisa merasakan tangan transparan tersebut.
"Selama hidupku dalam menyukai seseorang, aku tidak akan pernah mendapatkan balasan.. entah itu Aden ataupun Cakra.."
———
Sekarang adalah sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Di meja makan yang cukup luas dengan beberapa kursi, hanya ada dua orang yang duduk di atasnya. Orang tersebut adalah Ibu, juga Violin. Mereka tengah makan bersama tanpa ada yang berbicara sedikit pun.
Violin tengah mengaduk-aduk makanannya tanpa nafsu. "Ibu."
Ibu mendongakkan kepalanya seiring dengan sendok berisi makanan yang sudah terarah pada mulutnya. "Kenapa?" Tanyanya.
"Bolehkah aku berpindah les? Aku merasa sedikit tidak nyaman akhir-akhir ini."
Ibu menatapku lekat. Lalu, menaruh sendoknya kembali ke piring. Tatapan kami berdua saling bertemu.
"Kenapa?"
Violin tahu jika itu adalah kata-kata pertama setelah dia menyuarakan pendapatnya. Itu artinya Ibu butuh sebuah kejelasan lagi.
"Aku menyukai temanku sendiri yang berada di sana tetapi berakhir tertolak. Maaf jika kekanak-kanakan."
Terlihat Ibu membentuk lengkung senyum. "Karena itu rupanya."
Violin menundukkan kepalanya. "Iya."
"Bagaimana jika kau masih bertahan di les itu, tetapi tidak mengikuti jam pembelajaran utama? Mungkin kau bisa meminimalisir jika tidak bertemu dengan mereka."
Violin menganggukkan kepalanya kecil. "Bisa kok bu."
"Lalu biarkan Ibu untuk memberitahu satu hal saja."
Violin mendongakkan kepalanya, melihat ke arah Ibu. "Apa?"
"Saat remaja memang ada banyak hal yang bisa digali, bahkan memiliki perasaan yang seperti itu sangatlah wajar. Hanya saja berbeda dengan orang dewasa, perasaan kalian masih terlalu kecil, bahkan bisa dibilang kekanak-kanakan. Perasaan itu bisa sangat besar bahkan membuat orang yang jatuh cinta pada masa remaja tergila-gila karena sebuah omongan cinta. Tetapi, berakhir dengan hanya sebuah hubungan yang tidak bisa dipastikan benar atau tidak adanya. Kenapa? Tentu saja karena keberadaan kalian yang belum dewasa tersebut."
Violin menundukkan kepalanya sembari menyerap kata-kata Ibu barusan.
"Pedulikan dirimu sendiri. Jika ada sebuah lagu dimana kau diciptakan untuknya, jangan pernah percaya hal itu. Hal yang tidak pasti harus ditepis, lalu menimpa hal yang pasti bisa dibuktikan keberadaannya. Itu adalah imipianmu, cita-citamu. Jika perasaanmu tertolak, tidak apa-apa sakit hati, tapi jangan terlalu larut dalam hal itu. Karena perasaan yang berlebihan itu membahayakan. Awalnya kau sangat menyukainya, tetapi setelah perasaanmu tertolak, kau sangat membencinya. Bahkan sekedar melihat wajahnya kau merasa jika hari ini adalah hari yang terburuk untukmu."
"Kamu ada untuk dirimu sendiri. Kamu hidup untuk dirimu sendiri. Saat mati pun kau akan mati sendirian. Begitu banyak hal yang membuatmu berakhir sendirian, kenapa kau justru mengharapkan seseorang yang tidak mengharapkanmu?"
Violin meremat tangannya yang berada di atas celana pahanya. Tatapannya terarah ke bawah sempurna. Kata-kata Ibu masuk ke dalam telinganya, lalu terserap di otaknya cukup lama. Dadanya makin berdenyut, perasaannya makin patah.
"Aku mengerti.. Ibu.."
"Ibu akan izinkan kamu untuk tidak mengikuti jam pembelajaran sewaktu les. Tetapi sebagai gantinya, kau harus sering melakukan les tambahan, mengerti?"
Violin menganggukkan kepalanya.
Ibu membentuk senyum. "Sudah hampir jam setengah tujuh. Cepat berangkat sana."
————
"Cara untuk menghilangkan perasaan? Itu mudah? Pertama hilang ingatan dulu."
Violin langsung menoyor pelan kepala Mytha yang duduk di sampingnya. Keramik kamar mandi begitu dingin. Sekarang mereka tengah berada di kamar mandi, duduk di sana, seperti biasa.
"Kamu nyuruh aku jatuh dari tangga terus hilang ingatan kaya di novel-novel?"
Mytha tertawa kecil sembari memegang kepalanya. Lalu, dia melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya mengarah ke depan sok serius.
"Toh lho, kamu pernah dicampakkan Aden. Move on dari Cakra paling juga mudah kok. Easy, easy, santai."
Violin menanggapinya dengan putaran bola mata.
Mytha yang tidak terima menepuk keramik kasar walaupun berakhir tangannya kesakitan sendiri. "Tapi kan bener! Kamu udah pernah ditolak juga sebelumnya!"
"Apakah itu hal yang harus dibanggakan?!"
Mytha tersenyum hingga giginya terlihat. "Kasihannya sahabatku, kalau percintaan dapatnya nice try melulu. Hahhaha!"
Violin memalingkan kepalanya. Tatapannya terarah ke depan dengan kesal.
"Jadi sudah ke berapa, Violin? Awalnya Aza, terus, Aden, sekarang Cakra."
"Berisik Mytha!"
Mytha tertawa di tempatnya. Lalu, dia tersenyum tulus pada Violin. "Tetapi, aku bersyukur kalau kamu hampir baik-baik saja sekarang."
"Baik, apa?" Tanya Violin tidak paham.
Mytha menghembuskan nafasnya. "Kau bahkan sudah berteman dekat dengan Aneisha dan Meifa. Walaupun mungkin kau tidak menyadarinya, kau tahu."
Violin terdiam sejenak, lalu dia menundukkan kepalanya. Tatapannya terarah pada lengannya sendiri yang ada di atas paha. Lalu perlahan, dia mulai melipat ujung bajunya. Di sana, tepat di lengannya, terlihat banyaknya bekas silet yang begitu banyak dan meninggalkan bekas.
Violin mengarahkan jarinya dari tangan sebelahnya untuk mengelus tangannya sendiri.
Tiba-tiba Mytha sudah duduk dengan menyandarkan kepalanya pada bahu Violin. Ada sudut wajah yang begitu lega setelah mengetahui kondisi Violin.
"Semoga walaupun kau anti-sosial yang introvert, kau masih dapat memiliki teman."
Violin tersenyum menanggapi Mytha. Lalu, dia bernafas lega. "Semoga hidupku makin baik-baik saja."
"Tidak usah pikirkan orang lain, hanya dirimu sendiri. Ingat hal itu." Mytha tersenyum tulus.
Setelahnya, ujian semester pertama berakhir. Violin mendapatkan nilai yang tidak terlalu sesuai dengan ekspektasinya, hingga membuat dirinya dimarahi oleh Ibu. Namun, Violin menganggap hal itu bukanlah kegagalan lalu kembali berjuang dengan semester dua. Bahkan saat dia pergi ke luar kota bersama kedua orang tuanya, Violin membawa buku. Terkadang manik matanya juga menatap ke sekitar sejenak untuk merilekskan pikirannya sendiri.
Setelah perasaannya pada Cakra menghilang, hidupnya makin terasa bebas.
Di semester dua, dia pindah les. Bahkan di tempat lesnya yang baru, dia menemukan teman yang akrab dengannya. Annisa, namanya, setiap waktu di tempat les, bahkan di jam tambahan, Violin akan selalu bersama dengannya. Anak-anak kelas perlahan juga mulai mengajak Violin berbicara, tidak seperti dahulu. Serta, persahabatan antara Aneisha dan Meifa makin erat.
Di semester dua, hidup Violin terasa lebih hangat.
"Mytha, kayaknya aku bakal jarang ke sini deh."
Violin berujar sembari menoleh pada Mytha yang ada di sampingnya. Gadis itu tersenyum miris pada Mytha.
"Baik, aku paham kok." Mytha menganggukkan kepala mengerti.
Violin merasa bersalah pada Mytha. "Ini bukan berarti aku tidak membutuhkanmu karena aku sudah memiliki banyak teman sekarang. Hanya saja.."
"Aku mengerti Violin."
Violin terdiam dengan wajah bersalahnya, sementara Mytha tersenyum tulus ke arahnya. Setelahnya, tangannya terarah pada kepala Violin. Lalu, membelainya pelan.
"Itu hal yang sangat baik untukmu, Violin."
Setelahnya, Violin bisa merasakan tangan Mytha yang mulai memudar. Dia mendongak dan melotot kaget saat Mytha perlahan memudar. Potongan-potongan dari tubuh gadis tersebut menjadi sebuah butir-butir yang mengambang pada udara.
"Peranku selesai Violin. Kau bisa lebih bahagia sekarang."
Setelahnya, Violin hanya bisa melihat butiran-butiran tersebut yang mengambang ke atas. Violin berdiri dari tempatnya, lalu mengangkat tangannya ke udara ke arah butiran tersebut. Dia seolah merasakan sebuah tangan dari butiran tersebut yang menyentuh tangannya.
"Aku mencintaimu selalu, Mytha."
Setelahnya, butiran tersebut mulai pergi melewati ventilasi jendela. Violin terus memandang butiran tersebut hingga akhir. Dia menerbitkan sebuah senyum dimana adanya rasa kelegaan dan syukur.
"Mytha.. diriku sendiri.." Ujarnya lirih.
Violin bergerak untuk masuk ke dalam perpustakaan yang cukup dekat dengan kamar mandi favoritnya. Lalu saat menelisik ke arah rak-rak, dia melihat Cakra ada di sana. Violin menelan ludahnya, buku yang dia inginkan ada di atas pemuda yang tengah duduk diantara rak tersebut. Pada akhirnya, Violin bergerak masuk ke dalam sela-sela rak dan berdiri mengambil buku di atas Cakra.
"Violin."
Violin merasakan ada denyut aneh saat Cakra memanggil namanya seperti itu. Lalu, dia menoleh ke arah pemuda tersebut. Namun, gadis itu segera memalingkan kepalanya dan berjalan pergi.
Cakra berdiri dari tempatnya. "Violin. Kau mengabaikanku selama ini. Apakah karena saat itu?"
Violin sedikit frustasi di tempatnya. "Tidak ada yang perlu kukatakan padamu. Aku pergi."
"Aku berbeda dengan orang-orang yang pernah kau sukai sebelumnya. Aku sahabatmu, Violin." Ujar Cakra dengan wajah sedikit sedih.
Violin berbalik, jaraknya dengan Cakra cukup jauh walaupun mereka satu celah diantara rak-rak. Violin mengambil nafasnya.
"Kau tidak berbeda, Cakra." Violin mengambil nafasnya. "Selamat sudah berpacaran dengan orang yang kau sukai, semoga kalian berhubungan selalu."
Selanjutnya, Violin hanya melangkah pergi. Saat berjalan menuju keluar dari perpustakaan, Violin mengusap air matanya agar tidak terlihat oleh orang lain. Setiap langkah dari dirinya, adalah langkah dimana dirinya harus merelakan seseorang demi seseorang itu sendiri.
Perasaan itu ada bukan karena sebuah paksaan.
"Jika kau tidak nyaman dengan seseorang, maka sebisa mungkin jauhi dirinya. Kau terlalu berharga untuk tidak merasa nyaman pada sesuatu, entah tempat, ataupun hal lain. Prioritaskan dirimu sendiri, bukan orang lain."
—
—
—
—
—