— — —


Violin, gadis anti-sosial...Read More >>"> Coneflower (d r e i :: a friendship?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Coneflower
MENU
About Us  

"Aku muak dengan setiap hal yang ada di kehidupanku." 

 

————

 

Sudah hampir tiga hari Violin menjalani hari-harinya di SMA. Selama tiga hari tersebut dia terus bersama dengan Sarah, Bella, juga Lina. Mereka membicarakan apapun dan dimanapun. Setiap istirahat, Violin akan bersama mereka untuk membeli jajan bersama. Bahkan, jika ada proyek kelompok yang bisa membuat kelompok sendiri, mereka akan satu kelompok. 

 

Hal ini membuat Violin agak senang karena merasa punya orang di sekitarnya. Sarah juga cukup baik padanya, padahal Violin mengira jika gadis itu akan tampak seperti preman karena dandanannya yang tomboy. Kemudian, Bella yang selalu memulai pembicaraan gosip terbaru dengan heboh, dan Lina yang akan terus mengomentarinya. 

 

Walaupun senang, sebenarnya Violin sadar akan sesuatu. Dia merasa dirinya hanya sebuah extra-friend bagi mereka bertiga. Saat bersama mereka, Violin akan tertawa saat Bella mulai membicarakan hal-hal yang seru. Dia menjadi pendengar dalam percakapan mereka. Karena sejujurnya, bicara pun mereka tidak akan dengar ataupun akan disela. 

 

Sekarang mereka sedang membeli di kantin. Bella, Sarah, juga Lina hendak membeli bakso. Karenanya, mereka mengantri di depan stan bakso yang cukup ramai dengan siswa siswi kelaparan. Awalnya, Violin juga mengantri bersama mereka. Namun, pandangannya justru tertuju pada stan makanan di sebelahnya, stan mie ayam. 

 

"Eh, Rah, aku beli mie ayam di stan sebelah ya. Tungguin aku, oke?" Ujarnya pada Sarah berpamitan. 

 

Sarah hanya mengangguk, "Iya, Lin." Dia menjawab sembari berusaha menyerobot siswa siswi yang makin ramai. 

 

Violin keluar dari kerumunan tersebut, lalu berpindah di stan mie ayam yang lumayan tidak terlalu ramai. Setelah mengatakan pesanannya, penjual mengambil mie ayam yang ada di belakang. Selanjutnya, dia menyerahkan pesanannya, sementara Violin segera membayarnya. 

 

Violin berjalan di koridor kantin. Lalu, dia melihat ke arah stan bakso yang sudah tidak terlalu ramai. Violin berjalan ke depan stan bakso lalu menoleh ke sekeliling. Sarah, Bella, juga Lina tidak ada. Violin berpikir, mungkinkah mereka sudah kembali ke kelas lebih dulu. Padahal tadinya, dia meminta Sarah untuk menunggunya. 

 

Tangan Violin yang memegang mangkok mie menggenggam erat. Tatapannya berubah kosong. Dia berhenti di tempatnya, sembari di sekelilingnya banyak orang-orang yang berlalu lalang. Violin menundukkan kepalanya. 

 

"Teman-teman kalian meninggalkanku?" 

 

Padahal selama ini saat mereka bersama, pasti akan menunggu jika salah satu masih membeli. Saat Sarah belum kembali untuk membeli makanan di stannya, Lina juga Bella akan menunggunya, bahkan Violin juga menunggunya bersama mereka. 

 

Namun sekarang semua meninggalkan dirinya. Seolah kehadiran Violin tidak dibutuhkan diantara mereka bertiga. Violin lupa, mereka bertiga adalah teman karib semasa sekolah dasar. Dan di sana Violin tidak ada. Mungkin karenanya kehadiran Violin tidak begitu berarti di perkumpulan mereka. 

 

Violin samar-samar merasakan adanya tangan yang memegang tangan miliknya yang tengah memegang mangkok mie. Kemudian, dia bisa mendengar suara lembut seseorang yang selalu ada di sisinya. 

 

"Violin, ayo dimakan mie nya, nanti dingin lho." Ujar Mytha dengan cukup lembut. "Ayo kita cari bangku untuk makan, jangan makan di kelas, nanti mengembalikannya jauh."

 

Violin menghembuskan nafas kesal. Kemudian, dia berbelok ke arah ruang makan kantin. Violin menoleh ke sekeliling, dia menelisik semua bangku untuk mencari bangku yang kosong. 

 

"Eh, aku lihat seseorang." Ujar Mytha di sampingnya. 

 

Violin menoleh ke arah samping. "Siapa?" 

 

Seketika matanya langsung membola saat melihat ada sesosok pemuda bertubuh jangkung tengah makan sendirian. Violin tersenyum kecil, itu sahabatnya, Cakra. Kemudian, dia melangkah cepat ke arah bangku tersebut. Violin menaruh mangkoknya di meja, membuat pemuda itu menoleh ke arahnya. 

 

"Hei! Cakra!" Panggilnya sembari duduk di kursi seberangnya. Gadis itu begitu bahagia saat akhirnya bisa menemukan sesosok teman. Bahkan kesedihannya seolah menghilang begitu saja saat melihat Cakra.

 

Violin mengambil sendok serta garbu yang ada di mangkoknya. Kemudian, dia mengambil mie dalam garbunya, setelahnya dia memakannya dengan gembira. Cakra yang ada di depannya hanya terdiam, lalu dia meneruskan makan siang nasi goreng yang dia beli. 

 

"Kau sedang apa? Sendirian?" Tanya Cakra setelah makanannya tertelan. 

 

Violin mengangguk cepat, sembari tersenyum padahal mulutnya tengah mengunyah. "Ya, biasalah." Jawabnya. 

 

"Dimana teman-temanmu? Kau bercerita punya perkumpulan teman, katamu." Cakra bertanya lagi. 

 

Violin tersenyum miris karena Cakra malah menanyakan hal tersebut. Dia menghembuskan nafas perlahan. Lalu, mengambil es teh Cakra, kemudian meminumnya. Cakra yang melihat itu hanya bisa melongo terkejut. 

 

"Ah! Sudahlah. Kenapa kau malah mengingatkan hal itu coba?" Tanya Violin dengan nada kesal. Lalu, dia mengembalikan es teh Cakra yang sudah tidak tersisa. 

 

Cakra menatap ke arah minumannya dengan tatapan miris. Lalu, dia menoleh pada Violin. "Aku kan hanya bertanya. Ngomong-ngomong aku minum apa kalau kamu ngehabisin minumku, Lin?" 

 

"Minum apa saja kan bisa. Toh uangmu banyak kan, kau bisa beli di kantin lagi noh." Jawab Violin santai. 

 

Cakra tidak mengatakan apapun, dia hanya meneruskan makannya yang sudah tersisa seperempat.

 

"Kau bisa bersosialisasi di kelas engga?" Tanya Violin tiba-tiba. 

 

Tangan Cakra yang memegang sendok seketika berhenti bergerak. Kemudian, pemuda itu menundukkan kepalanya. Violin yang menyadarinya, menoleh ke arahnya. 

 

Tangan Violin bergerak untuk melambai di depan wajah Cakra. Sepertinya pemuda itu melamun karena tidak menyadarinya. Selanjutnya, Violin meraih gelas yang sudah tidak bersisa, lalu mendekatkannya pada dahi Cakra. 

 

Cakra tersadar dengan terkejut. "Eh, apa?" Tanyanya. 

 

"Nah kan, melamun. Pasti jawabannya engga bisa bersosialisasi." Ujar Violin. 

 

Cakra murung di tempatnya. "Jangan bilang seperti itu dong." 

 

Violin tertawa kecil di tempatnya. Dia melipat kedua tangannya di meja. "Sama kok teman, tenang. Kamu punya teman senasib nih, aku orangnya." Dia menunjuk dirinya sendiri. 

 

"Tapi kamu bilang punya perkumpulan teman itu. Berarti kamu kan bisa bersosialisasi." Ujar Cakra. 

 

Violin memutar bola matanya ke atas. Lalu, dia menaruh kepalanya di atas kedua lipatan tangannya. "Aku muak. Aku tidak dianggap di perkumpulan itu." Jawabnya. 

 

"Bagaimana bisa?" 

 

"Mereka tidak menganggapku ada sedari awal. Aku seolah hanya angin lalu bagi mereka, aku benci itu. Tetapi, aku tetap bersama mereka." 

 

"Kenapa?" 

 

"Ya karena aku butuh teman! Tetapi.. sudahlah." Violin murung di tempatnya sembari menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. 

 

Cakra menatapnya dengan ekspresi andalannya. "Memang apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" 

 

"Mereka tidak mengizinkanku berbicara, saat aku akan bicara selalu disela ataupun tidak didengarkan sampai akhir. Kemudian, mereka tidak menungguiku, aku ditinggal sendirian di kantin. Makanya sekarang aku ada di sini, makan bersamamu. Kalau aku engga ngeliat kamu tadi, pasti aku makan sendirian sekarang." Cerita Violin. 

 

Cakra hanya diam mendengarkan.

 

"Mereka sudah begitu sangat akrab bahkan tanpaku mungkin. Sepertinya perkumpulan mereka bukanlah tempatku, pada akhirnya aku juga kembali sendirian." Lanjut Violin. 

 

"Engga apa-apa." 

 

Violin bangun dari tempatnya. "Apa maksudmu dengan engga apa-apa?!" Dia mengatakan dengan nada agak meninggi. 

 

"Kalau engga nyaman, mending jauhi aja. Cari tempat dimana kamu dihargai, bukan memaksakan diri di tempat dimana kamu tidak dihargai." Jawab Cakra dengan nada lembut. 

 

"Nah, masalahnya tempat itu lho siapa. Aku engga akrab sama anak-anak kelas kecuali mereka, tapi aku juga engga akrab banget sama mereka juga sih. Cuma, orang-orang yang kuajak ngomong selama ini itu mereka. Tapi, tapi.. Ah! Aku muak!" Violin kembali menaruh kepalanya diantara lipatan tangannya kembali. 

 

Cakra meminggirkan piring kosongnya ke samping. "Seharusnya ada pergantian tempat duduk bukan? Di kelasku tiap minggu sih, apa di tempatmu belum diumumkan?" 

 

"Hei, ini baru tiga hari di SMA. Apa sudah ada yang seperti itu coba?" Tanya Violin dengan nada kesal. 

 

"Ada, kelasku." 

 

"Heleh! Berisik!" 

 

Cakra tersenyum kecil. "Ya sudah ganti teman aja." 

 

"Enak sekali ya ngomongnya. Anti sosial sepertiku ataupun sepertimu pasti akan kesulitan mencari teman. Berhubungan dengan orang lain itu.. sangat sulit! Mengakrabkan diri dengan seseorang itu sulit. Aku tidak tahu apa yang bisa kubicarakan dengannya. Pasti akhirnya tidak sepaham, lalu pembicaraan pun tidak bertahan lama. Tahu-tahu besoknya dia sudah ada teman baru." 

 

"Wah keren sekali bahkan sampai hafal alurnya." Cakra malah memuji sembari tertawa. 

 

"Bocah ini! Aku sedang tidak bercanda tahu!" Violin berteriak sembari memegang sendok seolah hendak akan memukul wajah Cakra dengan sendok itu. 

 

Bel istirahat berbunyi dengan nyaring. Cakra dan Violin yang tengah berbicara seketika kembali ke kelas. Saat perjalanan kembali ke kelas pun, mereka masih berjalan bersampingan sampai akhirnya Cakra berbelok sementara Violin berjalan lurus. Setelah berbicara dengan sahabat karibnya tadi, suasana hati Violin sudah cukup membaik. 

 

 

————

 

 

Saat ini jam kosong, Violin tengah berada di suatu perkumpulan lain di kelasnya. Dia cuma ikut-ikutan untuk mendengarkan apa yang tengah mereka bicarakan. Violin berusaha untuk bersosialisasi dengan anak-anak kelasnya. 

 

Namun setelah beberapa menit di sana, Violin menyadari jika sedari tadi dia tidak paham apa yang mereka bicarakan. Terlebih, sepertinya mereka agak sulit bicara karena ada dirinya. Itu terlihat dari lirikan mata mereka pada Violin yang seolah berkata ada orang lain di sini. Mungkinkah mereka tidak percaya padanya, sekarang? 

 

Violin meminta izin pada ketua kelas untuk keluar dari kelas. Lalu, berjalan ke kamar mandi yang menuruni tangga. Setelahnya, dia melakukan aktivitas di dalamnya. Lalu, keluar dari toilet. 

 

Mata Violin tertuju pada sebuah tempat untuk duduk di depan toilet. Selanjutnya, dia duduk di sana sembari menormalkan nafasnya. Violin menundukkan kepalanya, lalu mengusap wajahnya pelan. 

 

Dia terlihat lelah. 

 

"Ada apa? Ada yang ingin kau bicarakan?" Tiba-tiba Mytha sudah ada di sampingnya. Gadis berambut panjang itu duduk salah satu kakinya berada di atasnya. Kepalanya menengadah ke atas, matanya menatap ke arah langit-langit atap. 

 

Tiba-tiba malah terdengar suara isakan tangis dari Violin. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kemudian, menangis terisak di sana. 

 

"Aku lelah. Aku lelah dengan semua ini." Ujarnya. 

 

Mytha melirik sedikit, lalu menatap ke arah atas lagi. "Ada apa?" 

 

Violin masih menangis di tempatnya. Mytha hanya terdiam, dia mendengarkan seluruh tangisan Violin. Setelah seminggu berada di SMA, saat ini Violin mengeluarkan isi hatinya yang selama ini dia pendam. 

 

"Entah berada diantara orang-orang, ataupun sendirian terdengar begitu menyesakkan." Jawab Violin masih dengan isak tangisnya. 

 

Mytha menoleh ke arah Violin. Tatapan gadis itu cukup lembut dan dalam. "Kenapa?" Tanyanya. 

 

"Saat berada diantara orang-orang, aku seolah tidak ada di hadapan mereka. Setiap aku berbicara, perkataanku disela bahkan tidak didengar sekalipun. Lalu, aku merasa tidak dihargai. Katanya kita harus menghargai orang, maka orang itu juga akan menghargai kita. Tapi tidak! Aku membantu mereka, sekecil apapun ku bantu, bahkan tugas kelompok bukan milikku ku bantu. Aku melakukan hal yang ku bisa agar bisa dihargai. Aku mengantar mereka jika mereka butuh bantuanku, entah itu ke kamar mandi, ruang guru, kantin. Kenapa jika aku yang meminta tidak pernah terpenuhi? Bahkan sepatah kata pun aku berbicara, aku tidak didengarkan." 

 

"Mereka.. hanya membutuhkanku saat dibutuhkan lalu dibuang begitu saja. Seperti saat ada tugas ataupun pekerjaan rumah. Mereka akan datang padaku, meminta arahan ataupun contekan. Lalu, lalu, aku ditinggalkan setelahnya.." 

 

Mata Mytha berkaca-kaca mendengar kata-kata dari Violin. Sekarang, Violin menangis di antara kedua kakinya yang dia angkat. Gadis itu menyembunyikan wajahnya yang menyedihkan dibalik seragam SMA-nya yang keren.

 

Tangan Mytha terangkat, lalu perlahan dia memegang pucuk kepala Violin. Setelahnya, dia mengelus-elus pelan kepala Violin. Mytha mulai mendekatkan dirinya pada Violin. Lalu, dia memeluk Violin dari samping. Kepala Mytha bersandar pada rambut pendek milik Violin. Tangannya masih mengelus-elus rambut Violin. 

 

"Mytha, aku menyedihkan bukan?" 

 

"Engga." 

 

"Aku benar-benar menyedihkan."

 

"Tidak, Violin."

 

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjalani hidupku dengan seperti ini. Aku tidak tahu." 

 

"Kau menjalani hidupmu dengan benar. Jangan khawatirkan itu." 

 

Violin menurunkan kedua kakinya yang memakai celana. Lalu, dia menoleh ke samping. Mytha berada di sampingnya, bahkan tersenyum ke arahnya. Violin menarik Mytha dalam pelukannya. Lalu, dia menyembunyikan wajahnya dalam tubuh teman ilusinya tersebut. 

 

"Aku berharap bisa hidup di dunia ini dimana aku tidak memikirkan apapun. Aku berharap bisa hidup di dunia mimpiku, Mytha." 

 

Mytha tersenyum kecil, "Kau tidak akan bisa, Cheryl." 

 

Violin melepas rangkulannya. "Kenapa tidak bisa? Seharusnya bisa lah!" 

 

"Kau harus hidup di dunia nyata, bukan dunia khayalan." Jawab Mytha. 

 

"Kenapa harus? Aku bahagia di dunia ini, aku bahagia punya teman sepertimu." 

 

"Violin, sadarlah." 

 

Violin menggenggam tangan Mytha yang ada di depannya. Dia menundukkan kepalanya, "Kamu.. temanku yang selalu ada di sisiku. Walaupun kamu engga nyata dan cuma ada di pikiranku, tetapi bagiku keberadaanmu sangat nyata. Saat aku terpuruk, saat aku senang, kau selalu ada di sampingku. Iya, aku tahu aku selalu membuatmu ada di manapun karena diriku sendiri yang membuatmu ada di sana. Kamu memang tidak nyata, tapi kamu hidup di dalam diriku, Mytha." 

 

Mytha meneteskan air matanya. "Violin.." 

 

"Entah mahluk apa sebenarnya dirimu, entah itu hantu, jin, atau mungkin benar-benar hanya orang ku buat. Asalkan itu dirimu, artinya kamu teman dekatku, Mytha. Itu kamu, Mytha." 

 

Violin tersenyum kecil. "Aku bahagia punya teman sepertimu walaupun kamu engga nyata sekalipun. Aku berharap engga sadar sama sekali agar aku bisa merasakan keberadaanmu. Karena nantinya saat aku sadar.." 

 

Mytha menunggu Violin mengatakan selanjutnya. 

 

".. aku akan benar-benar kesepian karena hal yang sebenarnya terjadi adalah aku sendirian." 

 

Mytha tersenyum lembut. Lalu, dia menarik Violin dalam pelukannya. Mytha memeluk Violin cukup erat. Bahkan, dia memejamkan matanya sesaat sembari menepuk-nepuk punggung Violin. Violin hanya terdiam di tempatnya. Lalu, perlahan dia juga membalas pelukan dari Mytha. Dia meletakkan tangannya pada punggung teman ilusinya. 

 

"Kau tidak sendirian Violin." Ujar Mytha lirih. "Kamu punya aku.." Lanjutnya. 

 

Setelahnya, dia melepaskan rangkulannya. Lalu, menatap Violin cukup intens. 

 

"Saat kamu sendirian, lihatlah ke samping, aku selalu ada di sampingmu dimanapun kamu berada." 

 

Mytha merupakan orang yang paling berharga bagi Violin. Walaupun Mytha hanyalah sesosok teman yang dia buat sendiri, dia menganggap Mytha seolah benar-benar nyata ada di hadapannya. Rasa kesepian yang mengutuk dirinya sendiri membuatnya memiliki sebuah teman ilusi. Sebuah teman pikiran yang tidak akan pernah menghilang. 

 

Sama sekali, tidak akan pernah menghilang. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Selfless Love
3820      1111     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
HURT ANGEL
101      78     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
I Hate My Brother
339      237     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
After School
897      614     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Dialog Tanpa Kata
8806      3148     19     
Romance
Rasi mencintai Sea dalam diam Hingga suatu hari Sea malah dinikahi oleh Nolan kakak dari Rasi Namun pernikahan Sea dan Nolan yang terlihat aneh Membuat Rasi bebas masuk ke kehidupan Sea Bahkan selalu menjadi orang pertama saat Sea membutuhkan bantuan Akankah Sea berpaling pada Rasi atau lagilagi perasaan Rasi hanya sebuah dialog dalam hati yang tak akan pernah terucap lewat kata Sea pada Rasi Ras...
Sunset in February
751      408     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Something about Destiny
109      93     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
SOSOK
77      68     1     
Horror
Dunia ini memang luas begitu pula seisinya. Kita hidup saat sendiri namun bersama sosok lain yang tak terlihat. SOSOK adalah sebuah cerita yang akan menunjukkan sisi lain dunia ini. Sebuah sisi yang tak terduga dan tak pernah dipikirkan oleh orang-orang
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1006      395     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
Gareng si Kucing Jalanan
5118      2526     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...