Orang di seberangnya itu tak lain adalah sepupu sekaligus sahabat yang selalu ada hampir di sepanjang hidupnya.
Itu adalah Dimas.
Dengan tangan kanan menggenggam seikat bunga segar, Dimas berjalan menuju Gunay.
Saat tepat mereka berdiri berhadapan, Dimas terus melanjutkan langkahnya dan berhenti tepat di kedua makam yang baru saja dibanjiri Gunay dengan air matanya.
Dimas juga sering mendatangi tempat ini, tapi tidak sesering Gunay. Tapi kali ini, pertemuan ini tampaknya bukanlah sebuah kebetulan.
Dia meletakkan bunga segar itu hanya pada makam kakak sepupunya, Yanli.
Tak banyak bicara, Dimas langsung bangkit dan mendekati Gunay lagi. Dia memegang bahunya. "Nay...."
"Gue punya dua kabar buat lo, satu baik dan satunya lagi...."
Gunay lantas menoleh, langsung penasaran. "Kabar apaan?"
"Gak nyaman bicara di sini, kita cari tempat lain dulu."
Dua orang itu pun beranjak dari tempat pemakaman tersebut. Menaiki kendaraan mereka masing-masing untuk menemukan sebuah cafe yang sudah buka di pagi-pagi begini.
"Lo mau denger yang mana dulu?"
Dimas bertanya pelayan baru saja mengambil pesanan mereka.
Gunay tampak tidak sabar, dia menjawab spontan, "Yang mana aja."
"Oke, gue ngasih tau kabar yang baiknya dulu aja."
Dimas menutup matanya sembari menghela napas. Sedetik kemudian, senyuman simpul terbentuk di sudut bibirnya.
Gunay merinding. "Dih, kenapa lo senyum-senyum?"
Senyuman Dimas makin menjadi. "Minggu depan gue mau ngelamar cewe yang gue suka."
Muka Gunay berubah jelek, benar-benar tidak menyangka. "Lo... sejak kapan naksir sama cewek?"
"Kenapa? Lo cemburu, hah? Jangan sampe lo beneran baper sama gue, ya." Dimas bergidik ngeri.
Gunay melipat tangannya sambil memutar bola mata.
"Gak... Gue cuma nggak nyangka aja, selama ini gue gak pernah tau lo naksir sama cewe, lo kan gak pernah cerita."
"Ya iya, kalo gue cerita, bisa-bisa tu cewek lo bikin nggak nyaman dan malah ikut kabur ke luar negeri kaya Kanselir."
Dimas tidak bermaksud menyinggungnya tapi bulu mata Gunay jatuh ketika mendengar nama gadis itu lagi.
"Udah ... gak usah sok melow gitu. Lu mau denger kabar yang satunya lagi nggak?"
Gunay mengalihkan pertanyaan. "Tunggu dulu, siapa cewek malang yang mau lo lamar itu?"
"Lo kenal dia juga."
"Siapa? Cewek sekampus kita?"
Dimas menggeleng. "Netnot. Lebih tepatnya cewek satu SMA kita."
"Siapa sih? Kasih tau ajalah." Gunay mulai tidak sabar.
Dimas menghela napas sebelum akhirnya menjawabnya. "Yumna."
Alis Gunay bertaut bingung. "Yumna? Sahabatnya Kanselir?"
Alis Dimas naik untuk mengiyakan.
"Yang bener aja lo? Sejak kapan kalian deket?"
"Kalo gue ceritain panjang lebar pun, lo gak bakalan ngerti sih. Jadi gue ceritain intinya aja. Jadi dulu tuh, Mirza, lo masih ingat Mirza kan? Cowok terganteng di kelas kita?"
Gunay berdecak, "Lo gak usah ingetin lagi."
"Nah, jadi dia tuh ternyata sebenarnya naksir sama Yumna sejak lama, bukan Kanselir. Dia sempet curhat ke gue waktu kami berdua kejebak di dalam gua. Dia bilang gue mirip banget sama cewek yang disukainya, Yumna."
Gunay mulai pusing mendengarkan cerita Dimas. Tapi dia tiba-tiba menyadari sesuatu. Benar juga, Dimas dan Yumna memang mirip, Dimas benar-benar terlihat seperti Yumna versi laki-laki.
Sepertinya kata-kata seperti "Jodoh adalah cerminan diri" tidak salah juga.
Tapi tunggu, jadi dulu cowok sok ganteng bernama Mirza itu sering curi-curi pandang ke arah Kanselir karena naksir dengan teman semejanya? Sialan, pantas saja Kanselir sampe baper karena mengira Mirza liatin dia.
"Terus?" Gunay penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
"Sejak saat itu kami jadi temen, dan dia sering bertingkah aneh ke gue. Mentang-mentang gue mirip sama cewek yang dia suka, gue malah diperlakukan kaya cewek itu, kan gue jadi merinding, njing."
Bisa gak, gak usah pake kata njing? Gue dah tobat, njing.
Gunay mencoba mengabaikan kata kasar pemuda di depannya itu, merasa bahwa dia kini sudah tobat dan tak akan mengucapkan kata-kata seperti itu lagi.
Minuman pun akhirnya datang, Gunay menyesap Red Velvet-nya sambil terus mendengarkan cerita Dimas.
"Demi kebaikan bersama, akhirnya gue ceritain dah tuh ke Yumna kalo Mirza naksir dia dan suka merhatiin dia diam-diam."
Kebaikan bersama mata lo, itu mah lo-nya aja yang ember. Gunay berkata dalam hati sambil terus menyesap minumannya tanpa ekspresi.
"Jadi gimana ceritanya lo bisa deket sama Yumna?"
Dimas mengaduk-aduk cappucinonya. "Nah itu dia, selama gue ghibahin Mirza sama dia, kita jadi deket. Dia malah suka sama gue." Pemuda itu tersenyum bangga.
Gunay tidak percaya melihat dari ekspresi Dimas. Tapi sudahlah, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain.
"Jadi, kabar buruknya apa?"
Dimas yang sedang minum tiba-tiba sedikit tersedak. "Siapa bilang gue mau ngasih tau kabar buruk?"
Mata Gunay menatapnya bingung. "Tapi tadi lo bilang ...."
Dimas menegakkan tubuhnya menatap Gunay dengan sedikit senyum simpul. "Iya, satu kabar baik, dan satunya lagi kabar baik banget."
"Soal apa? Kalo buat lo, gue turut bahagia, ya." Gunay memaksakan senyumnya.
Mana mungkin ada "kabar baik banget" untuknya? Tidak ada, dan tidak akan pernah ada lagi.
Orang-orang yang dicintainya sudah pergi meninggalkannya sejak lama.
Dimas tampaknya bisa sedikit membaca pikiran Gunay. "Nay dengerin dulu, ini ... ini soal Kanselir."
Kepala Gunay langsung terangkat mendengar nama gadis itu. Dia menatap Dimas meminta penjelasan.
"Minggu depan Kanselir balik ke Indo, Nay."
"Kanselir ... balik?"
Gunay langsung menegakkan tubuhnya. Matanya berkaca-kaca.
"Dia bener-bener balik? Gue pikir ... gue pikir dia bakal selamanya di Turki."
Melihat gairah Gunay yang kembali, Dimas tersenyum tipis. "Iya Nay, Yumna yang bilang ke gue. Katanya studi Kanselir di Turki udah selesai, dan dia gak berniat tinggal lebih lama lagi di sana. Orangtuanya gak betah juga tinggal di sana. Jadi mereka sama-sama balik lagi ke Indonesia."
Gunay tidak tahu lagi apa ini mimpi ataukah benar-benar nyata. Dia sampai mencubit pipinya sendiri. Ugh, sakit rupanya.
Ini bukan mimpi.
Kanselir benar-benar akan kembali.
Bibirnya bergetar dan pandangannya menjadi buram. Butir-butir air di pelupuk matanya mulai menghalangi penglihatannya.
Cinta pertamanya itu akan kembali lagi ....
Gadis yang dia cintai setelah kakaknya itu akan datang lagi ....
Gunay tidak tahu harus merespon bagaimana kebahagiaan yang melonjak tiba-tiba ini.
Seminggu lagi, dia akan bisa melihat gadis itu dalam seminggu lagi.
.
.
.
Seminggu telah berlalu.
Gunay berlama-lama duduk di tepi tempat tidurnya. Duduk terpaku seperti patung kayu. Dia sangat gugup.
Pintu kamarnya diketuk pelan oleh sebuah tangan kecil. Kepala dengan rambut hitam agak panjang itu muncul di ambang pintu, mengintip pamannya ke dalam.
"Paman?"
Kepala Gunay terangkat, menatap keponakannya yang semakin tumbuh besar itu. "Kenapa, Rayhan?"
Rayhan masuk dengan hati-hati dan mendekati pamannya. Mengulurkan tangannya minta digendong.
"Paman mau ke mana?"
Gunay melihat ke dirinya sendiri yang terlihat memakai pakaian rapi. Dia pun tersenyum ke arah bocah itu, "Mau ke bandara, mau jumpai temen lama paman."
Rayhan melingkarkan tangannya di leher Gunay. "Ikut."
Bagaimana bisa Gunay menolaknya, keponakannya ini sudah terbiasa mengekor padanya kemana pun. Jadinya dia hanya tersenyum mengiyakan.
Di bandara, sudah ada Dimas dan Yumna. Dua orang yang berencana menikah bulan depan itu tampak begitu akrab. Tidak terlihat seperti calon pengantin, lebih seperti dua orang sahabat yang dengan senang hati saling memaki satu sama lain.
Yumna di sini untuk menyambut sahabatnya dan orang tua sahabatnya. Sementara Dimas di sini untuk menemani Yumna.
Tapi Gunay .... Apa yang dia lakukan di sini? Memangnya Kanselir siapanya dia? Bukankah di masa lalu mereka sudah menyelesaikan semuanya?
Gunay menggeleng, mencoba untuk menebalkan wajahnya. Dia benar-benar rindu pada gadis itu. Sudah lima tahun tapi wajah gadis itu masih saja selalu terbayang di benaknya.
Dengan mencoba mengeraskan hati dan menebalkan wajah setebal-tebalnya, Gunay akan memberanikan diri untuk melamar gadis pujaannya itu setelah dia membuktikan kalau gadis itu benar-benar kembali.
Setelah hampir satu jam, Yumna menerima telepon kalau pesawat yang ditumpangi Kanselir dan orang tuanya telah mendarat.
Jantung Gunay semakin berdegup kencang. Menanti orang yang akan hadir di balik pintu bening itu.
Dari jauh, tiga orang tampak berjalan kian mendekat. Semuanya masih tampak buram di mata Gunay.
Rayhan di gendongannya begitu manja karena terus memeluk lehernya dengan erat dan terus bersandar di dadanya. Tapi Gunay tidak keberatan sama sekali, seolah bebannya telah hilang melihat gadis dengan jilbab menjulur itu semakin mendekat ke arah mereka.
Dari kejauhan, Yumna langsung mengejar Kanselir dan memeluk sahabatnya itu begitu erat. Air mata jatuh di sudut mata keduanya. Melampiaskan rindu yang begitu terpendam selama ini. Di sisi lain, kedua orang tua Kanselir tersenyum melihat dua sahabat itu.
Setelah melepaskan pelukannya, Yumna berbalik dan memberi salam pada ayah dan ibu Kanselir. Sementara Kanselir menyapu pandangannya pada orang di sekitar itu. Dia melihat Dimas, lalu tersenyum ke arahnya.
Kemudian dia melihat Gunay ... dengan seorang bocah di gendongannya.
Mata keduanya saling menatap. Seolah menyampaikan betapa pilunya yang mereka rasa selama perpisahan.
Kanselir memaksakan senyumnya sambil berkata, "Gunay ... sudah menikah, ya?"
Mendengar itu, Yumna dan Dimas turut menatap ke arah dua orang itu. Masing-masing mencoba memberi tahu yang sebenarnya tapi justru didahului Gunay.
Dia menatap keponakannya itu, mengelus rambutnya. "Ah, ini Rayhan, anak kakak ...."
Bulu mata Kanselir jatuh mendengar itu, dia tersenyum lagi. "Oh, jadi dia keponakan kamu. Padahal bagus kalau kau sudah menikah, perempuan mana yang bakal nolak laki-laki baik dan humoris seperti Gunay."
Perkataan itu dia ucapkan tanpa emosi, begitu datar. Seperti seorang wanita tua yang menasihati pemuda yang terlalu lama membujang.
Gunay berpikir, gadis ini seperti bukan Kanselir yang dikenalnya. Dari nada bicaranya seperti menyiratkan sindiran. Apa sebenarnya maksudnya?
"Apa ... Kenapa lo ngomong gitu?"
Rayhan di gendongannya tampak mengantuk. Dia mengeratkan pelukannya pada leher Gunay dengan mata yang semakin sayu.
Sebelum Kanselir menjawab pertanyaan Gunay, seorang pria muda tiba-tiba menyusul di belakang mereka. Pria tinggi dengan kulit putih dan mata biru, membawa koper dengan beberapa bungkus makanan di tangannya.
Ketika Kanselir membalik, pria itu tersenyum padanya, dan dibalas dengan senyuman yang lebih manis lagi oleh Kanselir.