Seminggu kemudian, tepatnya di akhir minggu, Addly mengajak Yanli untuk jalan-jalan ke suatu tempat berdua. Menghabiskan waktu bersama menikmati manisnya menjadi pengantin baru.
Namun saat Gunay mendengar rencana itu, dia tiba-tiba datang di antara keduanya dan memaksa untuk ikut.
"Pokoknya Gunay ikut, titik! Takutnya Abang gak bisa jagain Kakak nanti. Gunay harus mastiin keamanan kakak!"
Addly sewot, dia mendelik ke arah Gunay. "Jadi kalau kamu ikut semuanya bakal aman gitu?"
"Ya iyalah!" Gunay melipat tangannya bangga. "Btw, Kakak sama Abang rencana mau pergi kemana?"
"Belum ada rencana, sih," jawab Addly. Dia tak peduli pergi kemana, asal bersama Yanli, semuanya akan terasa indah baginya.
"Oke, gimana kalo ke kebun binatang?" ujar Gunay memberi saran.
Namun, tampaknya saran itu tidak disambut baik oleh Addly. Dia berteriak marah, "Bisa-bisanya ngasih saran gak elit banget! Gak! Mending kita ke pekan raya aja."
"Hilih ... bosan, Bang, udah, ke kebun binatang aja, yah? Gunay kangen sama si Cancipin."
"Cancipin siapa?" tanya Addly heran mendengar nama yang tak biasa itu.
Dari sampingnya tiba-tiba Yanli menjawab, "Cancipin itu nama salah satu monyet yang ada di sana, dia favorit Gunay."
Addly menatap Gunay dengan pandangan aneh. Terbentuk garis-garis hitam yang samar di wajahnya.
"Pokoknya Gunay mau kita kebun binatang!" rengek Gunay lagi. Tingkahnya tidak jauh beda Seperti anak usia tiga tahun yang memaksa dibelikan permen.
"Iya-iya, kita ke kebun binatang. Ajak Dimas juga sekalian." Dengan segera Yanli mengiyakan. Dia memang tak pernah mampu untuk menolak permintaan adik tersayangnya itu.
Mata Addly melotot memandangi Gunay dan Yanli bergantian. Apakah dia sedang diabaikan? Kenapa tak ada yang meminta saran darinya?
Mata Gunay berbinar-binar. Namun sedetik kemudian ia menunduk, lalu mengangkat kepalanya lagi. "Ajak yang lain juga boleh kak?"
"Mau ajak siapa?" tanya Yanli.
"Uhm ... Kanselir sama Yumna, hehe."
Yanli tersenyum lembut."Boleh, tapi kalo mereka mau ya, kalau gak mau jangan dipaksa ya, Nay."
Gunay menggumam senang. "Mm!"
Dengan segera ia pergi ke kamarnya mengambil ponsel untuk menghubungi peliharaan tersayangnya, Dimas.
Setelah beberapa menit penuh cacian dan makian yang terlontar dari mulut suci Dimas di seberang telepon, akhirnya ia pun pasrah dan menyetujui ajakan Gunay.
Dengan semangat, ia pun langsung menghubungi Kanselir.
"Hal—"
"Ke kebun BINATANG, yuk, Sel?"
Belum selesai Kanselir berucap halo, Gunay sudah langsung memotong dan menekankan kata 'binatang' pada ucapannya.
Kanselir di seberang sana mendengus, "Gak! Males. Gue mau marathon nonton drama hari ini."
"Gue gak terima penolakan, ya! Pokoknya lo harus ikut! Ajak Yumna juga! Gue tunggu sampe jam 1."
"Lah, kok maksa?!"
"Ini Kak Yanli yang ajak loh? Tega lo nolak?"
"Tap—"
"Kalo lo gak mau, gue kasih tau Mirza kalo selama ini lo sering foto dia diam-diam!"
"Eh iya-iya, tadi gue mau bilang iya kok!"
Telepon langsung dimatikan.
Kanselir tersenyum kecut. Benar-benar sangat kesal pada orang yang baru saja menelponnya tadi. Bisa-bisanya dia diancam?!
Ya, ya. Dia tahu dia salah. Dia memang suka sekali memotret pemuda tertampan di kelasnya itu diam-diam. Soalnya dia memang tak pernah bisa tahan kalau udah lihat cowo ganteng. Apalagi sedang dalam pose yang 'waw'. Jiwa fangirl Kanselir kan meronta-ronta jadinya.
Tapi, bagaimana Gunay bisa tahu?! Apa bocah tengik itu selalu mengawasinya?
Di tempat lain, Gunay sudah tersenyum puas. Berpikir bahwa hari ini pasti akan jadi hari yang menyenangkan.
Dengan riang dia segera berganti pakaian sembari bersiul penuh kebahagiaan.
Saat ia turun, Yanli bertanya, "Mereka setuju buat ikut?"
"Setuju dong kak, senang banget malah. Apalagi Dimas."
"Gak dipaksa, kan?" tanya Yanli masih kurang yakin.
Gunay dengan semangat menjawab, "Enggak dong, Kak!" Matanya mengembang membentuk bukan sabit. Benar-benar merasa percaya diri dengan jawabannya.
Beberapa jam kemudian, tepat jam satu siang. Kanselir dan Yumna datang berbarengan.
Dimas sudah datang sedari tadi dan duduk sambil mengangkat kaki dengan tak berakhlak di sofa mewah Gunay sambil nyemil kacang polong yang selalu tersedia di meja.
Gunay yang juga sedang melakukan hal yang sama sontak berdiri menyambut keduanya dengan senyum cerah.
Baru saja Gunay akan membuka mulutnya untuk mengucapkan kata-kata ngawur, Kanselir sudah memotongnya dengan bertanya, "Mana Kak Yanli?"
"Oh, lagi di dapur sama Bang Addly siapin bekal. Duduk dulu aja nona-nona manis."
Tepat saat Kanselir hendak berjalan ke arah sofa, Yanli dan Addly sudah datang dari arah dapur sambil membawa beberapa rantang berisi cemilan.
"Kanselir sama Yumna udah datang ya, langsung ke mobil aja, yuk?"
Kedua gadis itu serentak mengangguk.
Selama di perjalanan Gunay tak pernah bisa diam. Mulutnya terus mengoceh dan menjahili Kanselir terus menerus.
Dimas yang duduk di sampingnya cuma memutar bola matanya dengan malas. Sedangkan Yanli dan Addly hanya menggeleng pasrah.
Kebun binatang tak terlalu jauh dari pusat kota, hanya butuh kurang lebih 50 menit perjalanan menggunakan mobil dari rumah Gunay.
Segera setelah mereka sampai. Gunay langsung berjalan mendahului yang lain. Dia menarik serta Dimas di rangkulannya.
"Seru kan Mas, ke kebun binatang?" tanya Gunay semangat. Tanpa melihat kening Dimas yang sudah membentuk perempatan.
Senang mata lo, batin Dimas mencela.
Sedangkan di tempat lain, Addly sudah tenggelam dalam pikirannya. Kenapa berasa lagi bawa anak SD pariwisata, sih?
Sedangkan Yanli di sampingnya hanya tersenyum-senyum melihat kedua adiknya itu. Saat Addly menoleh, dia merasa seolah perutnya sedang terisi begitu banyak kupu-kupu. Tak apa dengan kelakuan menyebalkan adik iparnya itu, yang penting dia bisa terus melihat senyum Yanli yang indah ini saja sudah lebih dari cukup.
Mereka berenam kini sudah memasuki kawasan kebun binatang. Tujuan utama Gunay tak lain adalah monyet favoritnya yang bernama 'Cancipin' itu.
Tangannya masih menarik Dimas erat. "Liat Mas! Mirip sama lo, kan?"
Monyet kecil yang bergelantungan itu menatap Gunay dan Dimas polos.
"Iya mirip, serah lo aja deh," desah Dimas pasrah. Benar-benar lelah dengan kelakuan sahabatnya sekaligus sepupunya itu.
"Eh, kok lo gak ngamuk? Gak asih ah."
Dimas menggigit bibirnya geram.
Kini Gunay beralih ke Kanselir.
"Liat Sel, ini namanya Cancipin."
"Lo tau darimana namanya Cancipin? Gak ada tulisannya tuh di kandangnya."
"Emang gak ada, itu nama yang gue kasih buat dia. Kamu suka kan, Pin?" tanya Gunay ke monyet itu.
Monyet itu tak menjawab. Tangannya tanpa Gunay sadari sudah keluar dari pembatas dan menarik rambut Gunay.
"Aw!" Gunay mengerang. Merasa sakit rambutnya ditarik begitu.
"Tuh berarti dia gak suka sama nama yang lo kasih," ujar Dimas memanas-manasi.
Setelah rambutnya terbebas dari genggaman si monyet, Gunay mendelik marah padanya. "Kamu gak suka? Yaudah bikin nama sendiri aja!"
Gunay masih sibuk-sibuk memaki-maki monyet itu ketika semua orang di belakang diam-diam meninggalkannya sendirian.
Saat Gunay berbalik, tak ada seorangpun di belakangnya. Hanya beberapa pengunjung yang kebetulan lewat.
Gunay mendesah berat. Dia kini benar-benar merasa sudah dicampakkan.
Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Gunay menemukan mereka lagi. Dia pura-pura ngambek dengan cara diam beberapa saat tanpa berbicara.
Mereka berkeliling kebun binatang beberapa lama, kemudian memutuskan singgah ke rumah makan untuk sekedar mengisi perut. Cemilan yang dibawa Yanli tadi sudah habis selama di perjalanan, jadinya tak ada lagi yang tersisa untuk mereka makan sekarang.
Hingga mereka berenam berkumpul di rumah makan, Gunay masih memutuskan tetap ngambek dan tak bicara.
Yang lainnya merasa agak ngeri dengan atmosfer sunyi ini. Biasanya hanya Gunay lah yang memecah keheningan di antara mereka.
Dimas tak tahan lagi, dia pun menepuk bahu Gunay cukup kuat. "Lo gak lagi kesurupan hantu monyet, kan?"
Gunay tak menjawab, hanya melirik Dimas sebentar lalu membuang mukanya lagi.
Dalam hati Gunay sebenarnya sudah sangat tak tahan. Mulutnya sudah sangat gatal ingin mengoceh.
Akhirnya ia pun menyerah juga. "Kenapa sih harus ninggalin Gunay tadi?"
"Kamu, sih, asik sendiri sama monyetnya. Jadi Dimas ngajak pergi, deh," jawab Yanli.
Mata Gunay langsung berkilat merah, dia menatap Dimas tajam. "Jadi lo pelopor rencana busuk itu?!"
"Iya, haha." Dimas menjawab santai. Tanpa menyadari bahwa tangan Gunay dari belakang sudah melayang ke kepalanya.
"Sakit woi!" protes Dimas.
Dengan cepat Dimas langsung membalasnya. Dan mereka pun berakhir saling pukul.
Kanselir tak membiarkan satupun momen terlewat. Tangannya dengan cepat memotret kedua pemuda yang sedang adu jotos itu.
Yumna ikut terkikik-kikik melihatnya. Yanli dan Addly pun ikut tersenyum.
Semoga saja kebahagiaan ini akan senantiasa bertahan lama. Pikir mereka.