Dua bulan sudah berlalu, dan Yanli pun sudah mendapatkan gelar sarjananya dua hari yang lalu.
Seperti yang Yanli janjikan sebelumnya, ia akan ikut bersama suaminya setelah wisudanya. Dan kemarin adalah hari dimana Yanli benar-benar meninggalkan Gunay dan ayahnya sendiri tanpa dia di rumah besar ini.
Gunay dan Pak Yaman tengah duduk berhadapan dengan atmosfer hening di meja makan. Mereka menatap sarapan mereka seolah tak ada minat. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Pak Yaman berusaha memecah keheningan, berbicara kepada Gunay, "Cepet habisin sarapannya, Nay, ntar kamu telat ke sekolah."
Gunay hanya mengangguk sambil menyuapi makanan di hadapannya perlahan ke dalam mulut.
Pak Yaman menatap Gunay sendu, sedikit ikut merasa sedih. Seolah dia melihat kembali Gunay yang dulu baru saja kehilangan bundanya. Diam, hening, tak ada semangat hidup.
Pak Yaman pun berbicara lagi, "Kamu kan masih bisa singgah ke rumah Bang Addly tiap pulang sekolah."
Gunay mengangkat kepalanya, "Tapi kan ...."
"Udah lah, Kakakmu masih hidup, dia sehat! Jangan bertingkah seolah-olah kamu gak bakal bisa liat dia lagi selamanya."
Gunay meletakkan sendoknya lalu beranjak berdiri, mendekat ke ayahnya lalu mencium tangannya sekilas. "Gunay berangkat sekolah dulu, Yah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
.
.
.
Jam pelajaran pertama adalah kimia. Yang mana masih tetap dibawakan oleh guru ter-killer seantero sekolah—Bu Nova.
Bu Nova mengajak para murid ke laboratorium kimia untuk memperkenalkan beberapa zat dan larutan serta fungsinya ke para murid.
"Ini adalah metanol, atau bisa juga disebut dengan spiritus, zat yang sangat berbahaya, bersifat mudah menguap, mudah terbakar, dan juga beracun. Jangan coba-coba menyentuhnya tanpa ada aba-aba dari saya."
"Baik, Bu," jawab para murid serentak. Terkecuali satu orang, yang kini sedang tersenyum simpul di tengah-tengah para murid itu, seolah baru saja memikirkan ide yang sangat luar biasa.
Mereka menghabiskan waktu satu jam di dalam lab, setelah itu, Bu Nova pun menggiring mereka kembali ke dalam kelas dan menugaskan mereka merangkum semua yang telah ia sampaikan.
Di antara semuanya, Sahrul adalah yang terakhir keluar dari dalam ruang laboratorium.
Saat tak ada yang melihatnya, dengan cepat tangannya meraih botol spiritus yang tergeletak di atas meja lab. Botol itu langsung ia sembunyikan di dalam kantongnya.
Banyak murid yang sudah masuk ke dalam kelas dan sudah menduduki bangku mereka masing-masing. Namun tiba-tiba, Bu Nova teringat sesuatu.
Gunay yang terlambat masuk karena baru saja izin ke kamar mandi langsung jadi target suruhan Bu Nova, "Gunay, tolong pergi dan kunci lab kimia, saya tadi lupa menguncinya."
Gunay yang mendengar namanya dipanggil dengan segera menurut dan mendekat ke meja Bu Nova. Kunci pun di lemparkan ke hadapannya. Gunay mengangguk dan mengambil kunci tersebut.
Saat kakinya hampir mencapai ambang pintu, Bu Nova berbicara lagi, "Kunci cepat tanpa menyentuh apapun," ucapnya dengan nada dingin.
Gunay berbalik ke arahnya, mengangguk patuh sambil berkata lembut, "Baik, Bu."
Langkah kaki Gunay cepat dan panjang-panjang. Ia pun sampai ke laboratorium itu. Benar saja, pintunya masih menganga terbuka. Tanpa berniat melakukan hal apapun yang tak disuruh, Gunay dengan segera menutup pintu laboratorium itu dan menguncinya.
Hanya beberapa menit sampai akhirnya ia kembali lagi ke kelas dan mengembalikan kunci itu ke Bu Nova lagi.
"Ini Bu kuncinya," kata Gunay sembari meletakkan kunci itu dengan sopan ke atas meja Bu Nova.
Bu Nova memicingkan mata padanya, menatapnya curiga, "Kau tidak menyentuh apapun, kan?"
Gunay menggeleng pelan sambil mengedipkan matanya. "Tidak, Bu."
"Duduk dan kerjakan tugasmu! Tugas itu dikumpulkan sekarang." titah Bu Nova tanpa menatap Gunay.
Namun Gunay tiba-tiba merasa tidak adil. "Tapi Bu, saya kan disuruh mengunci lab, jadinya saya kehilangan waktu beberapa menit, gimana saya bisa langsung selesaiinnya cuma dalam waktu sesingkat itu?!"
Mata Bu Nova masih terfokus ke bukunya. Dia menjawab dengan acuh tak acuh, "Itu masalahmu, saya tidak peduli."
Tubuh Gunay langsung membeku. Dia menggigit bibirnya untuk menahan amarah. Akhirnya dia cuma bisa berucap lirih. "Baik Bu, terima kasih," ucapnya dengan sedikit nada sarkas.
Bu Nova tak menjawab.
Gunay pun kembali ke tempat duduknya. Saat ia sudah benar-benar duduk, dia menepuk bahu Dimas kasar. "Contek punya lo ya, Beb."
Dimas menepis tangan Gunay kasar. "Beb-beb mata lo, gue belum selesai njing, udah jangan gangguin gue, gue lagi fokus ini."
Gunay mendengus sebal.
Dia beralih ke gadis yang duduk di depannya. "Sel, Sel!"
Suara Kanselir terdengar dari depan. "Apakah kita saling kenal?"
Guang mendengus lagi. Tak ingin menyerah, dia pun menggoncang-goncang bangku Yumna.
Yumna membalik badan. "Maaf Nay, punya aku aja liat dari Kansel, dia gak ngijinin buat kasih ke kamu katanya."
Bibir Gunay melengkung ke bawah, tampak seperti akan menangis.
Saat Gunay masih diliputi kebingungan hendak berbuat apa, seorang gadis melangkah diam-diam dari arah belakang dan mendekatinya.
"Nih, Nay, liat punya aku aja," ucap gadis itu sambil menyodorkan bukunya.
Saat Gunay mendongak, dia melihat wajah Mingyan yang sedang tersenyum manis ke arahnya.
Tentu saja dia tak akan menolak rezeki, dengan cepat dia menyambar buku yang Mingyan sodorkan itu dan dengan cepat menyalinnya. "Makasih," ucap Gunay balas tersenyum.
Di sisi lain, Kanselir memutar kepalanya sedikit. Entah kenapa agak sedih melihat Gunay ketika menerima buku Mingyan. Padahal tadinya dia hanya ingin mengerjai Gunay sedikit dan membuatnya agak kesal.
Selama Gunay meminta contekan darinya, dia tidak pernah benar-benar menolak. Hanya kali ini dia mencoba bercanda, tapi tidak menyangka kalau Gunay akan begitu mudah menyerah.
Setelah melihat Gunay meminta contekan pada Yumna tadi, dia sebenarnya sudah mengangkat catatannya untuk diberikan pada Gunay. Tapi sayang, pada akhirnya Mingyan berhasil mendahuluinya.
.
.
.
Jam pelajaran selanjutnya adalah pelajaran olahraga. Namun, pak guru olahraga tak dapat hadir hari ini sehingga para murid dibiarkan bebas melakukan aktivitasnya di luar ruangan begitu saja.
Mingyan duduk sendirian di bawah pohon menatap anak laki-laki yang sedang bermain basket di kiri, dan anak perempuan yang bermain voli di kanan. Kakinya masih sakit, sebab itu ia memutuskan hanya duduk dan menonton.
Tiba-tiba ia merasa jenuh, ia pun beranjak berdiri dan berniat untuk kembali ke kelas dan beristirahat.
Ia berjalan perlahan dengan tergopoh-gopoh, kelasnya yang berada di lantai dua benar-benar membuatnya kesulitan.
Tepat saat hampir mencapai pintu kelas, matanya tiba-tiba menangkap seseorang yang tak asing.
Mata Mingyan melebar, seketika dia pun menahan napas.