Beberapa bulan yang lalu, tepatnya ketika Yanli dan Gunay berjalan-jalan di akhir pekan dan singgah di perpustakaan umum ....
Saat itu Yanli sedang asik memilah buku-buku, jemarinya menyusuri satu per satu ujung buku yang tersusun rapi. Kemudian pandangannya terhenti, sebuah buku dengan sampul putih serta judul yang lucu menarik perhatiannya. Ia meraih buku itu, lalu terlintas senyum di wajahnya.
"Gunaay ... liat, deh, buku ini kayaknya cocok buat kamu," panggilnya pada Gunay yang duduk cukup jauh di balik sekat.
Sembari menunggu kemunculan Gunay, Yanli membolak-balik buku yang berjudul '10 Cara Menjadi Dewasa' itu.
Tiba-tiba seseorang menyentuhkan ujung jarinya pelan ke bahu Yanli. Gadis itu pun menoleh.
"Ya?"
Seorang pemuda tampan dengan kaus simple berwarna putih diam terpaku menatap Yanli. Seolah sekeliling Yanli sedang bermekaran bunga-bunga, membuat pemuda tersebut membeku beberapa saat. Sangat cantik, pikirnya.
"Ada apa, ya?" tanya Yanli sekali lagi.
"Eng ... bo-boleh aku ambil bukunya?" tanya pemuda itu spontan sambil menunjuk buku di genggaman Yanli.
"Ini?"
Pemuda itu mengangguk, "Y-ya, aku perlu buku itu."
Pemuda itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan buku itu, awalnya dia mengira bahwa Yanli adalah petugas perpustakaan dan berniat untuk menanyakan letak buku untuk judul tertentu.
Tapi setelah melihat Yanli yang ternyata adalah pengunjung juga, ditambah dengan kekagumannya pada pandangan pertama pada gadis itu, dia menjadi salah tingkah. Tanpa sadar mulutnya pun berucap kalau dia menginginkan buku itu.
"Oh, nih." Yanli memberikan buku itu sambil tersenyum.
Wajah pemuda itu seketika merona, bahkan rona merah itu sudah menjalar hingga ke leher dan telinganya.
Ia membalik badan dan pergi dengan langkah cepat tanpa mengucapkan apapun.
Yanli menatapnya heran. Sesaat kemudian, suara Gunay pun terdengar dari arah belakang, seperti sedang berbicara dengan seseorang. Yang saat itu adalah Mingyan.
.
.
.
"Jadi ... itu pertemuan pertama Kakak dengan abang muka psikopat ini?" tanya Gunay menatap Addly dan Yanli bergantian.
"Iya," jawab Yanli tenang.
"Itukan baru lima bulan yang lalu, Kak! Lagian, masa kalian langsung pacaran setelah ketemu sekali?"
Yanli tertawa kecil, "Enggak, dong, setelah itu kami bertemu lagi beberapa kali, dan minggu lalu ...." Wajah Yanli memerah, ia pun membuang wajahnya, malu.
"Minggu lalu dia nembak Kakak, gitu?" tanya Gunay sewot.
Ayah Gunay yang sedari tadi makan dengan hening sambil menonton kebawelan anak bungsunya itu mulai angkat bicara, "Kamu kok berisik banget sih, Nay? Emang kenapa kalo kakak pacaran? Dia kan udah 22 tahun, udah mau lulus juga, Addly juga kelihatannya anak baik-baik."
"Tapi, Yah—"
"Udah, udah, Ayah kasih izin buat kalian berdua, kok."
Senyum Yanli seketika mengembang, namun orang di sebelahnya malah melotot tak percaya.
"Ayahh!"
"Kenapa? Kamu takut kalo kakakmu pacaran dia jadi gak peduliin kamu lagi, hm? Makanya belajar mandiri, dong, manja banget!"
Mendengar itu, wajah Gunay malah semakin gelap saja. Ia ingin mengomel lagi saat tiba-tiba suara Addly mengejutkan mereka bertiga.
"Tapi ...."
Mereka bertiga menatap Addly hening.
"Tapi saya tak ingin jadi pacar Yanli, Om."
"Maksudnya?" tanya ayah Gunay terheran.
"Saya ... saya ingin jadi suaminya, Om, saya mau menikah dengannya."
Tiga orang itu seketika membeku.
Gunay memecah keheningan dengan menghantam meja dengan keras.
"Nggak!! Jadi pacar kakak aja Gunay gak setuju, sekarang abang mau nikahin kakak? Gak! Gunay gak mau!"
Ayah Gunay tak menghiraukan bacotan anak bungsunya itu, dia hanya menoleh ke arah Addly sambil bertanya, "Kenapa kamu mau nikahin anak saya?"
"Maaf kalo saya terlalu tiba-tiba, Om. Tapi saya benar-benar merasa cocok dengan Yanli. Dia ... dia adalah perempuan yang sangat langka," kata Addly menatap Yanli sendu.
Orang yang dibicarakan hanya menyembunyikan wajahnya yang sudah sangat merah.
"Apa tidak lebih baik kamu membawa keluargamu dahulu? Om kan belum mengenal keluargamu dengan baik."
Addly menunduk lemah. "Ayah saya sudah meninggal, Om. Sedangkan ibu saya sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dan saya ... saya hanya punya adik laki-laki yang seusia dengan Gunay."
"Oh? Bisa kamu ceritakan detailnya pada Om?"
Addly terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab.
"Saya ..."
"Kalau tidak mau tak apa, Om gak maksa ka—"
"Gak, Om, saya akan cerita."
Dia mengehela napas, "Ayah saya ... dia meninggal karena dihukum mati, karena ... dia adalah seorang mantan mafia."
Mulut Gunay ternganga, tak percaya dengan yang barusan ia dengar.
"... Ibu saya masuk rumah sakit jiwa karena depresi."
Tangan Gunay menghantam meja lagi dengan semangat.
"Tuh, kan, Yah! Dia itu anaknya mantan mafia! Emang Ayah mau kakak nikah sama orang yang latar belakangnya kaya gitu?!"
Gunay yakin bahwa ayahnya pasti setuju dengannya kali ini. Kemudian ia meraih gelasnya ingin minum setelah lelah berteriak. Dia menunggu lama, sampai akhirnya ayahnya tiba-tiba berkata, "Baik, jadi kapan akadnya dilaksanakan?"
Pernyataan ayahnya itu membuat Gunay menyemburkan air yang baru saja ia minum.
"Hah? Ayah ngerestuin mereka?!"
"Iya," jawab Ayahnya santai.
"Tapi kenapa, Yah?"
"Dia jujur, ayah suka pria yang jujur."
"Hnng???"
"Sudahlah, kamu ini kok sewot banget. Ayah ngasih restu itu gak asal-asalan, sebenarnya ayah sudah kenal Addly lama, dia ini bekerja di perusahaan milik rekannya ayah."
Gunay, "...."
"Dia itu manager bagian divisi keuangan, dan sangat dipercayai oleh rekan ayah itu, ayah bahkan pernah meminta addly agar bekerja di bawah perusahaan kita melalui rekan ayah itu. Tapi, dia bilang addly menolak dan sudah nyaman di posisinya sekarang. Dia ini seorang yang sangat pekerja keras, ayah sangat senang bahwa dialah pria beruntung yang berhasil merebut hatinya kakakmu."
Addly yang di puji-puji merasa malu, namun ada perkataan Ayah Gunay yang membuatnya terkejut.
"Apa? Jadi Om yang meminta saya untuk bekerja di perusahaan Alderan Company?" Dia tiba-tiba teringat. "Oh? Kenapa saya bisa tidak sadar? Yanli Alderan ... Alderan Company ...."
Dia berbicara-bicara sendiri, lalu bertanya lagi, "Jadi Om adalah Pak Yaman Alderan? Pemilik perusahaan besar itu?"
Pak Yaman hanya tersenyum sambil mengangguk.
"... betapa beruntungnya saya ..."
"Gak! Abang gak beruntung karena Gunay gak pernah setuju buat—"
"Jadi kapan mau dilaksanakan akadnya?" tanya Pak Yaman memotong perkataan Gunay.
"Semua saya serahkan ke Yanli, Om."
"... uhmm ... terserah Ayah saja ..."
jawab Yanli malu-malu.
"Aduh kalian ini, kok malah Ayah, sih? Harusnya kan kalian aja."
Mata Addly berbinar cerah mendengarnya. Dengan semangat ia memberi saran. "Gimana kalau bulan dep—"
"Minggu depan aja," ucap Pak Yaman tiba-tiba menyela pembicaraan.
Garis-garis hitam muncul di sekitar mata Gunay, dia membatin, Ini yang ngebet nikah sebenarnya siapa, sih?
"Baik! Saya akan mengantar maharnya besok! Oh? Apa perlu kita menyewa gedung?" tanya Addly bersemangat.
"... uhmm kayaknya gak perlu, yang sederhana saja ...." Yanli menyarankan.
"Kok gitu? Wajib lah! Pernikahan kakak itu harusnya jadi yang paling meriah sepanjang tahun ini!
"Eh?"
Semua orang seketika menoleh ke arah Gunay yang tiba-tiba ikut nimbrung.
"Jadi kamu udah setuju, nih?" tanya Yanli menggoda adiknya itu.
"Y-yah, apa boleh buat," jawabnya sambil membuang muka.
Yanli mencubit pipi Gunay gemas lalu berkata lagi, "Yaudah, karna Gunay yang minta, gak apa deh di gedung. Tapi gak usah terlalu berlebihan, ya."
Addly mengangguk semangat.
Gunay membuka suara lagi, bertanya, "Abang bilang tadi punya adik seusia Gunay, namanya siapa? Sekolah di mana?"
"Oh, namanya Sahrul, dia sekolah di SMA dekat rumah, Havers High School."
Mata Gunay melebar dan mulutnya terbuka sedikit.
"Iyakah? Gunay kan juga sekolah di situ, kenal sama Sahrul gak, Nay?" tanya Yanli menyenggol lengan Gunay.
"Kenal, Kak! Kenal banget malah, dia itu temen sekelas Gunay!"
Gunay menjawab dengan wajah berbinar.
"Oh bagus, dong," jawab Yanli tersenyum.
Melihat senyum itu, lagi-lagi Addly jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya.
"Oke, Gunay sekarang gak terlalu ngambek, seneng juga rasanya punya temen yang akhirnya jadi saudara." Gunay balas tersenyum sambil memikirkan berbagai keseruan yang akan terjadi jika dia dengan Sahrul akhirnya akan menjadi saudara.
Namun ia tak tahu, orang yang ia pikirkan justru sedang berpikiran untuk berusaha menjatuhkan dirinya dan menghancurkan hidupnya.