Memikirkan itu, Sahrul yang masih berjalan di koridor tiba-tiba tersenyum.
Tak apa, sembari menunggu hal itu, dia akan terus memainkan perannya sebaik mungkin, menanti kapan datangnya hari itu. Atau mungkin, dialah yang akan memulainya pertama kali.
Tapi tunggu, situasi kali ini sudah berbeda, hubungannya dengan Gunay sekarang sudah renggang. Baguslah, itulah yang ditunggunya sejak lama, dia benar-benar muak selama ini, tersenyum dan tertawa seperti orang bodoh. Cuih, kejadian di gua itu hanyalah alasan saja, dia memang sengaja melakukan hal itu karena dia tahu bahwa Gunay akan bermain pahlawan dalam situasi seperti itu.
Heh, menjijikkan.
Lagipula, dia sudah lama tahu kalau gadis bernama Mingyan itu suka pada Gunay. Dan tampaknya, gadis itu memiliki attitude yang buruk pula. Dengan dia melakukan hal itu, gadis itu akan semakin jatuh hati pada Gunay, melakukan banyak hal untuk mendapatkan perhatian Gunay lagi. Dan karena hal itu pula, sudah pasti hubungan Gunay dengan Kanselir akan semakin renggang juga. Dia tahu betul, salah satu sumber kebahagiaan Gunay adalah gadis berhijab bernama Kanselir itu. Jika hubungan mereka renggang, bukankah Gunay akan menjadi sedih? Hahaha, dia benar-benar tak sabar menantikan hal dramatis itu.
.
.
.
Sore harinya, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan pagar yang begitu menjulang tinggi. Saking tingginya pagar tersebut, rumah dibaliknya bahkan tak kelihatan sedikit pun atapnya.
Pria muda tampan yang mengendarai mobil tersebut dengan sengaja membunyikan klakson mobilnya beberapa kali.
Akhirnya seorang security datang mendekat. Pria di dalam mobil itu membuka jendela mobilnya perlahan, menjulurkan kepalanya keluar.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Security itu bertanya sopan.
"Saya ingin bertemu dengan Nona Yanli," jawab pria itu dengan sopan pula.
"Bisa saya tahu Anda siapanya nona muda?"
Pria itu beberapa saat tertegun. Menurunkan pandangannya kebawah tampak berpikir. Merasa canggung untuk menegaskan statusnya. Lalu ia mengangkat wajahnya lagi dan membuka mulutnya, "Saya ...."
Titt tittt
Suara klakson yang memekakkan telinga seketika mengagetkan dua orang yang sedang berbicara.
Si security melihat ke arah datangnya suara, lalu memanggil dengan setengah berteriak, "Tuan muda!"
Sepeda motor yang luar biasa keren itu berhenti tepat di sebelah mobil yang berhenti.
"Kenapa, Mang?" tanya si pengendara yang dipanggil 'tuan muda' itu.
Pemuda yang berada di dalam mobil seketika melangkah keluar dan mendekat ke arah si tuan muda.
"Oh halo, kamu ... pasti Gunay, kan? Kenalin, nama abang, Addly," ucapnya mengulurkan tangannya.
Wajah Addly tampak sumringah saat menatap Gunay. Ekspresinya persis seperti dia baru saja bertemu adik kecilnya yang sudah lama terpisah.
"Abang, siapa?" Gunay membalas uluran tangan itu dengan enggan, lalu bertanya sambil memasang tampang curiga.
Kemudian si security menjawab,
"Katanya dia ingin bertemu dengan nona, Tuan."
"Ketemu sama kakak?"
Raut wajah Gunay semakin mengkerut, semakin merasa asing dengan kehadiran orang di hadapannya. Ia pun meraih ponsel di sakunya dan menelpon seseorang.
"Kak?"
Suara lembut seorang gadis terdengar dari seberang telepon. Padahal jarak mereka tidaklah terlalu jauh. Karena orang yang Gunay telepon kini sedang berada di dalam rumah.
"Kenapa, Nay? Udah jadi, 'kan beli bahan yang kakak minta?"
Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Gunay malah langsung bertanya, "Kakak kenal sama cowok yang namanya Addly?"
"Eh?"
"Enggak kan, Kak? Emang Gunay udah curiga banget sama nih orang, biar Gunay usir dulu dia."
"Tunggu, Dek! Jangan diusir, dia ... dia ... Kakak emang kenal sama dia, tolong ... izinin dia masuk ya, Dek."
"Hah? Sejak kapan Kakak punya kenalan cowok dewasa yang mencurigakan macam nih orang? Dia—"
Tuttt tuttt
Gadis di seberang telepon itu sepertinya terlalu gugup sampai tiba-tiba harus mematikan telepon dari adiknya.
Sementara Gunay, dia hanya mendengus sambil berkata pada si security, "Hmph! Biarin dia masuk Mang, kakak yang minta."
Gunay menyelipkan kembali ponselnya dan naik melajukan kembali sepeda motornya memasuki kawasan rumah yang mewah itu.
"Oh?" Si security berlari ke arah gerbang dan menekan sesuatu membuat gerbang akhirnya terbuka menjadi lebih lebar.
Addly tersenyum simpul lalu membawa masuk mobilnya.
Gunay mempersilahkan Addly yang masuk terlebih dahulu. Dari balik punggung Addly, Gunay terus menatapnya tajam seolah tak ingin melepaskan kecurigaan padanya. Addly yang menyadari hal itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Dasar bocah, batinnya.
.
.
.
Gunay benar-benar diliputi kebingungan melihat tingkah aneh kakaknya. Sejak pria asing bernama Addly itu datang ke rumahnya, Yanli terus-terusan tersenyum malu-malu, wajahnya senantiasa merona saat mereka berdua berbicara. Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka berdua?
Yang makin membuat Gunay heran adalah, Yanli sampai mengajak orang itu makan bersama di meja makan mereka!! Memangnya siapa dia?!
Kini mereka berempat sudah berkumpul di meja makan, ditambah Addly yang masih Gunay anggap orang asing itu.
Gunay sengaja mengambil tempat duduk di sebelah Yanli dan tak membiarkan Addly yang menempati duluan. Seolah takut kalau orang itu akan mengambil tempatnya. Benar-benar posesif.
Tiba-tiba Yanli membuka percakapan, bergantian memandang ayah dan adiknya, "Ayah, Gunay, Yanli mau ngomong sesuatu sama kalian."
"Ngomong apaan, Kak?" tanya Gunay sambil memasukkan sayap ayam yang masih utuh ke dalam mulutnya.
Tangan Yanli terulur ke pipi Gunay, mengelusnya lembut sambil tersenyum.
Gunay merasakan sesuatu yang tidak beres, merasa takut ucapan yang akan keluar dari mulut kakaknya adalah sesuatu yang dia pikirkan.
Setelah Yanli memperbaiki posisi duduknya, ia pun menjawab malu-malu sambil menatap ayahnya.
"Addly ... adalah pacarnya Yanli, Yah."
Mendengar itu, tiba-tiba sesuatu jatuh ke piring dan menimbulkan bunyi yang nyaring.
Klontang!
Sayap ayam yang masih setengah utuh langsung terjatuh dari mulut Gunay, dan mendarat tepat kembali ke piringnya. Tebakannya benar.
"Apa? Dia pacarnya kakak? Gak! Gak boleh!" Gunay memukul meja keras-keras. Merasa tidak terima.
Yanli sedikit terkejut, namun dia hanya tertawa kecil, lalu bertanya lagi dengan suara yang masih terkesan lembut, "Loh, kenapa?"
Gunay menatap kakaknya dengan alis yang bertaut, dan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran. "Abang ini mencurigakan banget, Kak! Mukanya kayak psikopat, ... tunggu dulu ... sudah berapa lama kakak kenal dia?"
Yanli menghela napas, menatap Gunay dengan lembut.
"Kayaknya kakak emang harus cerita, ya ..."
Tangannya mencubit pipi Gunay gemas, lalu mulai bercerita.
"Ingat gak waktu kakak minta kamu temenin ke perpustakaan dulu?"
Gunay tampak mengingat-ingat,
"Hmm tapikan waktu itu cuma ada kita berdu—oh, sama cewe temen sekelas Gunay juga."
"Iya, tapi sebelum itu, kakak mau nunjukin kamu buku, kan?"
"Oh? Jangan bilang kalo—"
"Iya, emang dia orangnya, dia orang yang meminta buku itu dari kakak."