"Beberapa tanaman herbal yang gue kumpulin tadi ada yang berfungsi menghentikan pendarahan dan mencegah infeksi."
Mulut Dimas hanya menganga sedikit setelah mendengar penuturan Mirza. Ia benar-benar tak menyangka manusia es ini ternyata punya kepedulian yang cukup besar juga.
Tepat di depannya, Mirza mulai menggiling beberapa tanaman dari kantung itu.
"Semoga Gunay udah sempet keluar sebelum gempa tadi." Dimas berbicara lirih dengan pandangan kosong.
Mirza tak menanggapinya, ia hanya terus menggiling sampai tanaman itu dirasa cukup halus. Setelah itu, Mirza tiba-tiba berdiri dan membuka pakaiannya sendiri.
"Mau apa lo sekarang?" tanya Dimas panik, wajahnya seketika pucat.
Pakaian luarnya sudah ia lucuti sendiri, dan masih ada kaus putih tipis yang menutupi tubuhnya. Namun kaus putih itupun segera ia lucuti juga.
Ia pun mengoyak kaus putih itu menjadi potongan kecil dan panjang. Barulah kemudian ia memakai kembali pakaian luarnya.
Tanaman herbal yang sudah ia haluskan itu ia taruh tepat di atas kain putih itu. Kemudian mendekat ke Dimas dan melilitkannya di kaki Dimas yang terluka.
Setelah merasa ikatannya sudah cukup erat, Mirza pun beranjak agak jauh dan duduk.
"Kenapa lo lakuin ini?"
Sedari tadi Dimas hanya melongo keheranan melihat perlakuan baik Mirza, seketika perasaan bersalah timbul dalam benaknya.
"Karena lo temen gue."
Temen? Padahal selama ini gue gak pernah sedikit pun nganggap lo temen gue.
Perasaan Dimas justru malah bertambah tidak enak setelah mendengar jawaban itu.
"Maafin gue." Dimas berucap lirih.
"Hm?"
"Maaf kalo selama ini gue memperlakukan lo gak seperti selayaknya seorang teman."
"Hmm." Mirza hanya menggumam rendah. Dan atmosfer hening pun muncul lagi di antara mereka.
.
.
Gunay berjalan tertatih-tatih dengan Mingyan di punggungnya.
Sahrul sudah berlari jauh lebih dulu di depan mereka. Seolah ingin menghindari interaksi dengan Gunay.
Akhirnya Sahrul lebih dulu sampai di tempat peristirahatan yang sudah ditentukan oleh Pak Agus. Tempat mereka semua seharusnya berkumpul.
Tampak semua murid satu kelas itu sudah berkumpul di tempat itu, wajah mereka semua terlihat pucat, mungkin karena efek gempa barusan. Hal ini sudah di luar perkiraan.
"Sahrul?" Pak Agus terlihat panik dan langsung berlari mendekat ke Sahrul. Wajahnya tampak cemas dikarenakan melihat penampilan Sahrul yang berantakan.
"Apa yang terjadi?"
Sahrul berhenti, ia membungkuk memegangi kedua lututnya dengan napas yang masih tak beraturan.
Sesaat kemudian, pandangan Pak Agus kini beralih ke seseorang di belakang Sahrul yang melangkah berat dengan seorang gadis di punggungnya.
"Gunay?"
Mata Kanselir langsung membulat melihat kehadiran orang itu, hampir saja ia akan berlari mendekati pemuda itu, namun seketika terhenti, karena merasa tindakannya kurang pantas.
Niat Kanselir malah didahului Pak Agus, dia mendekat lalu meraih gadis yang tak sadarkan diri di punggung Gunay itu dan menggendongnya, kemudian membawa ke tempat peristirahatan lalu membaringkannya.
Setelah Gunay melihat Pak Agus membaringkan gadis itu, bukannya duduk dan beristirahat, dia malah menarik tangan pak Agus dan berbicara dengan tergesa-gesa.
"Pak ... Dimas ... tolongin Dimas, Pak!" ucapnya terputus-putus sambil menunjuk-nunjuk ke arah hutan.
"Dimas? Dimas kenapa, Gunay?" tanya Pak Agus yang juga tampak cemas, lalu dia tiba-tiba teringat, "Oh iya, bukannya ada satu orang lagi selain Dimas yang tak di sini?Siapa? Mirza bukan?"
"I-iya Pak! Mirza juga sama Dimas! mereka ... mereka kejebak dia gua, Pak!"
Seketika tatapan semua orang membeku.
"Gua? Di mana ada gua di hutan ini?" Pak Agus bertanya heran. Karena dari yang dia tahu, tidak pernah ada gua di hutan ini.
"Buruan, Pak! Kita selamatin mereka!"
Gunay benar-benar tak tahan lagi, kecemasannya sudah di ambang batas, dia sangat khawatir dengan keadaan Dimas mengingat gempa yang terjadi bertepatan saat dia keluar dari kolam tadi.
"Baik, bapak akan panggil penjaga di hutan ini, kamu tunjukkan tempat mereka nanti, tunggu di sini, oke?"
Pak Agus pun berlari pergi memanggil penjaga yang biasa berjaga di sekitar hutan ini. Meminta bantuan mereka.
Gunay terduduk lemas di bangku kayu tempat peristirahatan itu.
Pandangannya kosong sesaat sebelum sebuah tangan menyodorkan sebotol minum ke depan wajahnya.
Gunay menatap gadis cantik berhijab itu, raut wajahnya juga tampak gelisah.
"Makasih," kata Gunay sembari meraih botol minum itu dan langsung menenggaknya hingga habis.
Tepat dibelakang mereka, Sahrul masih saja menatap Gunay sinis, bibirnya berkedut dan gigi-giginya bergemeretakan, terlihat tidak senang.
Beberapa menit kemudian, Gunay, Pak Agus, serta dua orang penjaga yang dibawa, langsung bergegas menuju gua dengan dipandu Gunay.
Akhirnya mereka pun sampai tepat di mulut Gua, tempat mereka awalnya masuk. Para penjaga itu sudah berjaga-jaga dengan membawa tali tambang yang sangat tebal menuju ke tempat itu.
Gunay berteriak memanggil sahabatnya itu dengan perasaan harap-harap cemas.
"DIMAS!!"
Seketika suara Gunay yang menggema mengejutkan dua orang yang sedang sama melamun di dalam gua.
Dimas terduduk, wajahnya begitu cerah mendengar suara itu.
"Gunay?"
Lalu ia menjawab dengan suara yang keras, "GUNAY!! GUE MASIH IDUP NAY! TOLONGIN GUE!!"
"JALAN KE MULUT GUA, MAS! KAMI UDAH SEDIAIN TALI INI!"
"LO LUPA KAKI GUE LUKA?!"
Gunay pun seketika tersadar, hampir saja ia melupakan fakta bahwa kaki Dimas sedang terluka akibat hantaman batu yang menimpa kakinya.
Namun saat ia ingin berkata sesuatu lagi, tiba-tiba matanya membulat lebar melihat seseorang yang sudah berdiri tepat di bawah tali di dalam gua. Bukan seseorang, lebih tepatnya seseorang yang sedang menggendong seseorang.
Itu Mirza, ia menggendong Dimas di depannya. Dengan gaya bridal style.
Bikin malu gue aja lo, batin Dimas mengumpat dalam hatinya.
.
.
Beberapa saat sebelum Mirza menggendong Dimas.
"Apa?" tanya Dimas heran melihat Mirza yang berjongkok memunggunginya.
"Gue gendong."
"Gak! Gue gak mau lo gendong di punggung, mending gue ngesot."
Saat Dimas benar-benar akan melakukan ucapannya dan ingin ngesot menuju mulut gua, sebuah lengan sudah mengangkat punggungnya dan tangan satunya lagi mengangkat kedua lututnya.
Mata Dimas membelalak lebar, sontak berteriak, "Lo ngapain?!!"
"Tadi lo bilang gak mau gue gendong di punggung."
"Ya gak gini juga!! Lagian lo kan bisa bopong gue!!"
"Lo gak ngingetin gue, dan gue juga gak kepikiran."
.
.
"Hiks ... lo selingkuh dari gue, Mas," ucap Gunay lebay saat Dimas sudah naik ke atas mulut gua.
"Selingkuh gundulmu!!" tangan kanan Dimas pun melayang ke kepala Gunay.
"Ughh ...." Gunay mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya. Namun, Gunay malah membalas dengan tangannya yang langsung meraih pundak Dimas, dan membopongnya berjalan.
Walau dipukul begitu, Gunay tak marah sedikit pun. Dia justru sangat bahagia sahabatnya ini baik-baik saja tak seperti perkiraannya.
"Lo gak baku hantam sama dia kan pas di gua tadi?" tanya Gunay saat mereka masih di perjalanan.
"Ya enggaklah, kalaupun mau gue pasti bakalan kalah."
"Emang sih ... kalopun kaki lo gak luka gini lo tetep aja pasti bakalan kalah hahahahahah."
Sekali lagi tangan Dimas melayang ke kepala Gunay.