Gunay berdiri tepat di depan pintu dengan tumpukan pakaian di bahu kanannya. Memandang Kanselir datar.
"L-lo ngapain?!" tanya Kanselir agak tergagap.
Gunay memandang pakaian di bahunya, lalu beralih ke Kanselir. "Angkat jemuran," jawabnya polos.
"Emang siapa yang suruh?!"
"Gue kan cuma mau bantuin, kayaknya mau turun hujan."
Kanselir tak tahu harus berkata apa lagi.
"Ini mau ditaruh di mana? Pegel nih tangan gue."
"Ta-taruh aja di situ!"
Ia menyingkir lalu menunjuk ke arah sofa. Pipi Kanselir sudah bersemu merah sedari tadi, cara bicaranya pun menjadi sedikit aneh.
"Ngapain lo ke rumah gue?" Kanselir bertanya lagi pada Gunay yang kini memunggunginya.
Setelah meletakkan pakaian itu di sofa, Gunay seperti teringat akan sesuatu dan langsung berjalan menuju teras.
Kemudian dia masuk lagi sambil menyodorkan kotak transparan yang tadi ia letakkan di lantai teras itu pada Kanselir. "Nih ... dari Kak Yanli."
Sebelum betul-betul menerimanya, Kanselir menatap lekat kotak cantik yang berisikan warna-warna cantik di dalamnya itu. Merasa tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Ini ...."
"Diterima, dong, lama banget elah." Gunay semakin menyodorkannya.
"Siapa, Sel?"
Mama Kanselir tiba-tiba datang dari balik punggung Gunay dan langsung bertanya.
Lantas Gunay berbalik dan tersenyum lebar pada wanita berdaster yang datang dari dapur itu hingga matanya menyipit. Menjawab dalam hati, Calon mantunya Tante.
Tapi pada akhirnya dia hanya menjawab, "Temennya Kanselir, Tante, salam kenal, nama saya Gunay." Gunay menyatukan kedua tangannya di depan dada.
"Ohh, cepet pulang, ya, soalnya dah mendung, ntar kamu kehujanan."
Setelah berkata begitu, mama Kanselir beranjak lagi dan berbalik menuju dapur.
"O-oke," kata Gunay canggung, Itu maksud ingin mengusir, kan?
"Sampein makasih buat Kak Yanli, tunggu apalagi? Pulang sana!!" Kanselir langsung merampas kotak berisi Turkish delight itu dari tangan Gunay sambil mendorong punggungnya keluar dengan perantara kotak itu.
"Nggak emak, nggak anak, sama aja pengen ngusir, ya?!"
Saat sudah tiba tepat di ambang pintu, Kanselir berkata dengan nada yang cukup tinggi, "Hati-hati di jalan!!" Kemudian menutup pintu itu keras-keras.
Di balik pintu, dia bersandar sambil memeluk kotak pemberian Yanli dengan sebelah tangan dan tangan lainnya yang menyentuh pipinya sendiri yang sudah memanas sedari tadi.
Kenapa? Kenapa dia jadi salah tingkah begini?
Lalu dipandanginya tumpukan pakaian yang diangkat Gunay tadi.
Seketika wajahnya malah semakin memerah saja. Berteriak dalam hati, Arggh ... di jemuran tadi 'kan ada banyak pakaian dalam gue!!
.
.
Setelah dari rumah Kanselir, bukannya langsung pulang, Gunay malah menyempatkan menonton pertandingan bola anak SMP di lapangan dekat rumahnya.
Jadilah ia sampai ke rumah dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan saat menuju jalan pulang.
"Kok lama banget pulangnya, Nay? Kakak kan cuma nyuruh nganterin makanan doang kok selama itu?" tanya Yanli saat mereka berkumpul di meja makan setelah selesai makan malam bersama. Saat itu Gunay baru saja selesai mandi dan menjadi yang terakhir makan.
"Nonton bola lagi dia pasti," sahut ayah Gunay yang juga ikut nimbrung di meja makan. Mengelap bibirnya lalu menenggak air minum.
Gunay hanya mengangguk memberikan jempol membenarkan ucapan ayahnya.
"Botol-botol yang ada di balkon itu, apaan, Nay?" Ayah tiba-tiba bertanya lagi.
"Oh itu? Itu ikan cupang punya Gunay, Yah."
"Kamu niat gak sih melihara ikan? Airnya sampe coklat gitu, mana botolnya botol sirup pula."
"Mereka jorok banget, Yah. Padahal baru kemarin Gunay ganti airnya."
"Ekhemm." Suara deheman Yanli terdengar dari sebelah kiri Gunay.
Gunay gelagapan. "Eh, maksud Gunay kakak yang ganti airnya."
"Kalo besok Ayah masih liat begitu, Ayah buang ya ikan-ikan jelek kamu itu!"
"Lah jangan dong, Yah! Gunay udah capek banget tau gak nangkepin mereka itu di selokan, main buang-buang aja."
"Ya makanya urusin betul-betul! Udah, Ayah mau masuk kamar dulu, PR kamu jangan lupa kerjain! Suka banget ngerepotin kakaknya, heran."
Gunay hanya memanyunkan bibirnya, lalu kemudian menatap kakaknya nanar.
Yanli tersenyum lembut, seolah mengerti tatapan adiknya itu.
"Gak apa, kakak gak pernah ngerasa direpotin, kok. Hari ini ada PR, gak?"
"Ada kak, tapi gapapa, kali ini biar Gunay sendiri yang ngerjain, Kakak kerjain aja tugas kuliah Kakak yang pasti udah numpuk juga."
"Yakin?"
"Mm!!"
"Udah, kerjain sana."
Gunay mengangguk, memundurkan sedikit kursi lalu beranjak berdiri dan masuk ke kamarnya.
Ia membolak-balik bukunya. Oh! Ternyata besok ada PR bahasa Inggris yang bakal dikumpulkan. Gunay menatap soal-soal di depan matanya cukup lama, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Kanselir kan pinter Bahasa Inggris, liat punya dia aja besok, hehe.
Gunay tersenyum simpul, merasa bebannya kini berkurang.
.
.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya menjelang akhir semester, guru biologi mereka—Pak Agus, masuk kelas dengan tangan kosong. Biasanya guru teladan satu itu akan senantiasa membawa tas ransel berat penuh buku dan alat tulis setiap ada kelas.
"Pada pertemuan kali ini tidak ada pelajaran, tapi bapak ingin menyampaikan sesuatu pada kalian." Ia mulai berbicara saat sudah benar-benar duduk di kursi guru lalu melanjutkan lagi, "Minggu depan, kita akan mengadakan penelitian ke hutan milik negara di pinggiran kota tepatnya di Desa Jati. Tugas kalian nanti adalah mencari 10 jenis tanaman herbal yang berada di hutan itu, mengumpulkannya lalu membuat laporan tentang tanaman tersebut. Tugas ini akan dihitung sebagai nilai praktikum kalian, jadi lakukanlah yang terbaik. Oh iya, karena ini memang acara dari sekolah, maka semua wajib ikut tanpa terkecuali, minggu lalu adalah giliran kelas IPA 1 dan mereka melakukannya dengan sangat baik, saat giliran kalian nanti, buktikanlah kalian bisa lebih dari mereka."
Semua murid tampak mencerna perkataan guru tersebut lalu mulai saling bisik.
"Apa ada yang kurang jelas?" tanya Pak Agus memastikan melihat tak adanya respon yang jelas dari para murid.
"Pak!" Seorang gadis yang duduk di depan mengangkat tangannya.
"Ya?"
"Apa ... hanya bapak yang jadi pengawas kami? Tak ada ... guru lain misalnya?"
"Iya, hanya bapak, memangnya kenapa?"
"Bukan maksud apa, Pak, tapi ... apa Bapak yakin bisa mengawasi kami semua? Bertigapuluh enam? IPA 1 kan hanya dua puluh orang sedangkan jumlah kami hampir dua kali lipat dari jumlah mereka."
"Apa kalian masih perlu diawasi? Sudah sebesar ini masih perlu dijagai? Jagalah diri kalian sendiri, lagipula tak ada yang berbahaya di hutan itu."
"Ta-tapi, Pak ..."
"Hahahah anak mami emang gitu, Pak," tiba-tiba suara Sahrul terdengar dari arah belakang. Lalu dia meneruskan, berbicara ke arah gadis itu, "Kenapa lo gak suruh papi atau mami lo ikut sekalian? Itung-itung bisa jagain kita juga ahahahhah."
Tawanya seolah mempengaruhi yang lain, beberapa anak laki-laki pun ikutan tertawa, namun Dimas dan Gunay hanya menatap Sahrul heran. Kenapa dia sangat menyebalkan?
"Sudah-sudah, Katya tak perlu cemas, tak akan ada hal-hal buruk yang terjadi, kau tenang saja."
Gadis bernama Katya itu hanya mengangguk lemah kemudian menunduk, ada sedikit rasa sakit saat ia ditertawakan oleh yang lain. Bukankah kecemasannya adalah hal yang wajar? Kenapa mesti ditertawakan?
Beberapa saat berlalu kemudian suara seseorang terdengar lagi dari arah sudut, "Berapa lama kita akan pergi, Pak?"
"Hanya satu hari namun tidak bermalam, kita berangkat jam tujuh dan akan kembali jam enam sore, itu sudah dihitung dengan waktu di perjalanan."
Lalu suara lain terdengar, "Apa perlu bawa bekal, Pak?"
"Tidak perlu, karena sekolah akan menyiapkan makanan yang akan kita makan bersama nanti, cukup bawa air minum saja jika haus di perjalanan."
Pertanyaannya-pertanyaan lain pun mulai ditanyakan hingga semua murid merasa cukup puas dan merasa paham dengan perjalanan mereka nantinya.
"Lo dengar gak tuh, Sel? Gak boleh bawa barang yang gak perlu kata pak guru, jadi lo gak boleh bawa novel lo kesana, ya," kata Gunay sambil menarik-narik bagian belakang jilbab Kanselir.
Sebelumnya ada murid yang bertanya barang apa saja yang perlu dibawa, namun Pak Agus hanya menjawab cukup bawa barang yang perlu dibawa.
"Ck. Siapa juga yang mau baca novel di tengah hutan." Kanselir hanya mendecak sembari menyingkirkan bagian belakang jilbabnya dari tangan jahil itu.