Gunay sebenarnya tahu, mereka berdua ini hanyalah orang-orang yang baru dikenalnya ketika baru masuk universitas. Wajar mereka tidak mengetahui sedikit pun tentang masa lalunya yang pahit. Masa lalu yang membuatnya berakhir dengan mengurus keponakannya seorang diri.
Semua tragedi itu terjadi ketika dia masih SMA. Di mana orang-orang ini belum dijumpainya sekali pun. Lagi pula, dia memang tidak pernah berniat untuk menceritakannya pada siapapun.
Tapi Dimas yang paham akan situasi ini merasa perlu bertindak sesuatu. Dia pun berdiri, memegang pundak Gunay. "Udah, Nay. Gue yakin mereka gak ada maksud buat nyinggung lo."
Dimas juga mengerti posisi Ozi dan Doni. Sebelumnya mereka juga sering bercanda beberapa kali. Tapi pada dasarnya memang Gunay sudah bertemperamen kasar sejak masuk kuliah. Harusnya mereka bisa mengerti itu, dan bukannya malah semakin memancingnya.
Dia pun hanya memberi isyarat kepada dua orang temannya melalui alisnya. Meminta mereka untuk segera memahami situasi.
Yang duluan berbicara adalah Doni, dia berdiri sambil berkata tulus, "Maafin gue, Nay. Gue emang suka asal ceplos orangnya."
"Iya, Nay, gue juga." Ozi menyahut. "Gue gak maksud apa-apa. Cuma pengen ngajak lo seneng-seneng sesekali. Oh, kalo lo gak keberatan, gimana kalo lo ajak ponakan lo ke tempat futsal? Kita bisa ajak dia main juga. Ngajarin dia haha, gimana?"
Ozi memang tipe orang seperti ini, emosinya statis, cepat sekali berubah. Cepat juga merubah suasana keadaan sekitar.
Gunay menatap hening ketiga temannya, tersenyum kecut, tiba-tiba menepuk pipinya sendiri. "Gue kenapa sih!"
Dia pun duduk kembali dengan tenang, lalu berkata pada ketiga temannya, "Kita futsalnya weekend ini aja. Bener kata Ozi, gue bisa bawa Rayhan ke tempat futsal sesekali, pasti dia seneng."
Mereka berempat tersenyum. Ketiga temannya seketika menghela napas lega. Untuk menyurutkan emosi Gunay memang butuh usaha ekstra. Dia ini sudah seperti tuan putri jantan yang mana emosinya mudah sekali berubah-ubah. Sesaat kemudian, mereka pun mulai bercengkrama lagi seolah perdebatan tadi tidak pernah terjadi.
Ketika Gunay menyesap es tehnya melalui pipet, matanya tak sengaja menangkap seorang gadis dengan jilbab panjang yang baru saja memasuki kantin.
Tanpa sadar dia bergumam, "Kanselir ...."
Dimas di sebelahnya yang sedang bermain ponsel mendengar gumaman itu, dia menoleh mengikuti arah pandang Gunay. "Hah? Mana?"
Setelah mendapati arah pandang Gunay, Dimas memicingkan matanya untuk melihat gadis itu lebih jelas. "Bukannya Kanselir lagi kuliah di Turki? Kok ada di sini?"
Gadis yang mereka lihat itu sedang menghadap belakang, jadi tidak bisa mengatasi keraguan mereka.
Setelah beberapa saat, gadis itu pun akhirnya membalik badan. Seketika wajah kedua pemuda itu jatuh. Gadis itu bukanlah yang seperti mereka pikirkan, bukan Kanselir. Itu hanyalah gadis jurusan lain yang juga biasa mengenakan jilbab panjang dan rok lebar.
Gunay mendesah sedih. Dimas di sampingnya menepuk-nepuk pundaknya meledek, "Halu lo udah ngeri banget, Nay. Semua cewe yang pake pakaian kayak gitu lo sangka Kanselir."
"Ck, lo juga kan ikutan liatin dia tadi," ujar Gunay tak terima.
"Haha, gue kan juga penasaran. Btw, lo gak ada niat nyusul dia ke Turki? Ntar kalo dia kecantol sama bule Turki gimana?"
"Lo jangan nakut-nakutin, dong."
"Hahah, udah-udah, gak usah sedih, gue bantu doa, kok. Supaya dia ada niatan balik lagi ke sini."
Dua orang pemuda di depan mereka merasa perlu nimbrung dalam percakapan ini. Ozi bertanya, "Kalian ngomongin Kanselir? Sumpah ya, gue dari dulu penasaran banget, gimana rupa cewek idaman tuan muda kita ini."
Doni mencoba serius, "Nay, kita nih temen lo. Ceritain lah masa lalu lo, gimana lo deket sama Kanselir, teman atau musuh lo pas SMA, sampe gimana lo akhirnya jadi gak mood sama segala hal gini. Biar kita ngertiin perasaan lo, jangan ada yang disembunyiin."
Gunay terdiam sebentar, menghela napas. Menceritakan masa lalunya berarti sama dengan mengingatnya kembali. Dia tidak ingin mengingat kenangan itu lagi, tidak sama sekali.
Tapi, masa lalunya sebenernya tidak semuanya buruk. Ada beberapa benang-benang biru yang tidak sedikit pun ingin dia lupakan. Kenangan manis yang seringkali terbayang dalam mimpinya. Berharap itu akan terjadi lagi, tapi sayang, semua itu tetap hanya mimpi dan mimpi.
Sejujurnya tidak masalah jika menceritakan sedikit kenangan manis itu, membaginya dengan teman-temannya.
Dia pun mengangguk, mengangkat kepalanya lalu menatap mereka bergantian. "Gue gak mau cerita."
Ketiganya serentak menghempas meja kesal.
Tapi Dimas di sampingnya tiba-tiba berujar, "Kalo Gunay gak mau cerita, biar gue yang cerita."
Dua orang lainnya terlihat senang. Dimas menatap Gunay untuk melihat reaksinya, tapi dia hanya diam menandakan persetujuan.
Jadi dia pun mulai membuka mulut, untuk membuka cerita dimulai dari kenangan yang menurutnya manis bagi Gunay.
.
.
.
Enam tahun yang lalu.
Di pagi hari yang cerah, dua gadis cantik dengan hijab panjang yang menutup dada mereka sedang berjalan berdampingan memasuki gerbang sekolah mereka.
Salah seorang gadis itu adalah Kanselir, dan di sebelahnya adalah sahabatnya yang bernama Yumna.
Kedua gadis itu memiliki gaya berpakaian yang sama namun fisik yang cukup berbeda.
Kanselir sedikit lebih pendek dari Yumna dan kulitnya putih. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan lemak di pipi yang menggantung. Sementara Yumna, kulit wajahnya yang eksotis dan wajahnya yang tirus semakin menambah kesan manis dalam dirinya.
Di atas gerbang sekolah mereka itu, tertulis dengan sangat indah ukiran nama sekolah tersebut, Havers High School. Sangat elegan. Di sekitar ukiran itu, dihiasi berbagai macam lampu warna-warni yang sedang redup, tapi pasti akan sangat indah di malam hari.
Titt tittt!!!
Tiba-tiba suara klakson sepeda motor mengejutkan dua gadis itu membuat mereka dengan refleks menyingkir ke pinggiran gerbang.
Tittt
Tittt
Suara bising itu tak henti-hentinya memenuhi indra pendengaran mereka berdua. Sangat memekakkan telinga hingga membuat emosi.
Sekumpulan anak laki-laki yang mengendarai sepeda motor dengan berbagai merek datang berbaris-baris bergerombolan seperti sedang konvoi. Pengendara paling depan mengendarai kendaraan yang tampak paling mahal di antara yang lainnya. Melirik sejenak ke arah dua gadis itu, menatap mereka dengan angkuh seolah ingin berkata, keren kan gue.
Tatapan menjengkelkan anak laki-laki itu membuat suasana hati Kanselir yang sudah buruk bertambah makin buruk. Dia pun menghentakkan kakinya ke tanah dengan marah. Berteriak keras pada pemimpin gerombolan itu, "Gunay!!!"