"Paman!!"
Suara kekanakan seorang bocah laki-laki membuyarkan lamunan pemuda tampan yang sedang sibuk memandangi sebuah foto di atas meja belajarnya.
Terlihat titik-titik bening melekat pada bulu matanya yang panjang. Dia berkedip sekali, titik bening itu pun menghilang dalam sekejap. Terserap oleh pori-pori di bawah kelopak matanya.
Dengan sekali tarikan ingus, pemuda itu meletakkan foto tersebut ke atas mejanya lalu menoleh pada si bocah. "Kenapa, Rayhan?"
Mata yang menatap anak bernama Rayhan itu tentu bukanlah mata yang baru saja memandang foto tadi dengan begitu sendu. Sorot matanya begitu cerah, tidak lupa sebaris senyuman yang melengkung untuk menghiasi wajah tampannya itu. Seperti apapun usahanya, jejak-jejak kemerahan di hidungnya jelas tidak bisa menutupi kalau dia baru saja menangis.
"Anterin Ray ke sekolah dong, Paman!" kata bocah itu sambil menarik-narik tangan pemuda yang dia panggil 'paman' itu.
Pemuda itu pun beranjak berdiri, lalu setengah berjongkok di depan Rayhan. Tangannya terulur ke dada keponakannya itu untuk membetulkan dasinya yang miring. "Kok tumben, biasanya juga minta antar kakek."
Rayhan mengerucutkan bibirnya. "Kakek bilang ada urusan mendadak di kantornya, jadinya dia udah berangkat duluan subuh-subuh tadi."
"Oh gitu, yaudah." Pemuda itu menegakkan tubuhnya kembali, menegaskan perbedaan tinggi yang mencolok antara dirinya dengan bocah laki-laki yang palingan baru berusia lima tahun itu.
"Paman juga ada kuliah pagi ini, sekalian aja kalo gitu." Dia berbalik lagi ke arah meja belajar untuk mengambil ranselnya yang ia taruh di atas meja.
Ketika tangannya baru saja meraih ujung tas, pandangannya jatuh lagi pada foto yang tergeletak menghadap ke atas itu. Sekali lagi menatap ketiga orang di dalam foto dengan sendu.
Tiga orang di foto itu tampak begitu bahagia, senyum di wajah mereka seperti menyiratkan kedekatan hubungan antara ketiganya. Lelaki sembrono yang tersenyum nakal di antara dua wanita cantik itu tidak lain adalah dirinya sendiri. Sementara dua lainnya ... adalah dua wanita paling berharga di hidupnya. Dua wanita yang tak akan pernah tergantikan selamanya.
Pemuda itu mengedipkan kedua matanya sembari menghela napas, merasa harus mengakhirinya hari ini. Jika dia terus bernostalgia seperti ini, bisa-bisa keponakannya terlambat masuk sekolah nantinya.
Setelah menyandang tasnya di satu bahu, dia berbalik dan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan bocah itu. "Ayo," ajaknya.
Bocah itu tersenyum sambil menyambut uluran tangan pemuda itu. Mereka pun menuruni tangga sambil terus saling menggenggam.
Selama di perjalanan, kedua paman dan keponakan itu hanya terus saling diam tak bersuara.
Rayhan sepertinya memang tipe anak yang tenang namun pemikir. Terlihat dari gerak bibirnya yang tampak komat-kamit seperti sedang melafalkan sesuatu.
Sementara pamannya, dengan wajah datar dan penampilannya yang begitu kaku, tampak memancarkan aura yang begitu suram yang sangat terasa bahkan dari kejauhan.
Sebenarnya, penampilan itu kini hanyalah cangkang kosong. Pemilik raga itu sepertinya sudah lama pergi berkelana jauh. Entah dalam makna kiasan, atau mungkin dalam makna harfiahnya.
Atau bisa jadi, jiwa dari raga itu, sudah terbawa paksa oleh sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari dirinya. Dengan begitu, jiwa itu pun pada akhirnya memaksa ikut bersamanya.
Entah masa lalu seperti apa, yang membuat penampilan itu berubah menjadi cangkang kosong seperti ini.
Dia diam dan terus diam, lapisan memori kenangan lama tak henti-hentinya terus terputar dalam ingatannya. Saat sebuah kaca bening melayang dan menggores sebuah kulit yang tipis, darah merah yang mengucur, detak jantung yang melambat, pisau yang terhunus, kata-kata terakhir yang ....
"Paman!"
Mobil tiba-tiba mengerem, membuat dua orang di dalam mobil terpental maju lalu mundur tanpa kendali.
Hampir saja mereka menabrak angkutan umum yang tiba-tiba berhenti di depan mereka, jika saja Rayhan tidak membuyarkan lamunan pemuda itu.
Akhirnya mobil itu pun berhenti tepat di depan gerbang taman kanak-kanak yang bentuk bangunannya tidak terlalu besar, namun terlihat sangat indah dan dipenuhi warna dari luar dan dalamnya.
Rayhan langsung meraih pergelangan tangan Pamannya itu lalu mencium punggung tangannya dengan santun. Tangan satunya pemuda itu terulur ke kepala si bocah, mengacak-acak rambutnya gemas.
"Duh, rambut Ray jadi berantakan, nih!" Rayhan menyentuh kepalanya, berusaha merapikannya lagi dengan tangan.
Pemuda itu tersenyum simpul. "Yaudah, sana masuk! Ntar telat lho."
"Em!! Dah, Paman, assalamualaikum," pamit bocah itu melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum kemudian berbalik dan menuruni mobil dengan terburu-buru.
Di depan gerbang itu, berdiri beberapa guru-guru yang menyambut para muridnya dengan ceria. Menanti tangan-tangan kecil itu untuk menciumi punggung tangan mereka.
"Wa'alaikumussalam," jawab pemuda itu dengan sedikit tersenyum. Punggung Rayhan sudah cukup jauh dari pandangannya, sementara matanya masih menatap lekat ke kejauhan.
Dia memikirkan sekali lagi betapa menggemaskannya keponakannya itu. Benar-benar tidak menyangka, dia yang dulunya seorang pemuda begajulan bisa membesarkan Rayhan seorang diri-mungkin dengan sedikit bantuan ayahnya.
Rayhan yang dulunya hanyalah sebesar toples acar kini sudah tumbuh sebesar itu. "Hah ...." Dia menghela napas, merasa bahwa hal ini benar-benar sesuatu yang patut untuk dibanggakannya.
Tiba-tiba senyum manis Rayhan tadi terlintas di benaknya. "Mirip, bener-bener kaya senyumnya kakak," ucap pemuda itu lirih sambil menunduk lemah.
Setelah cukup lama tenggelam dalam pikirannya, ia pun melajukan mobilnya ke arah lain, teringat bahwa hari ini dia ada kelas pagi di kampusnya.
Universitasnya tidak begitu jauh dari rumahnya. Karena memang dia tinggal di kota dan kampusnya pun berada tepat di tengah kota. Dalam beberapa menit, dia pun akhirnya sampai.
Mobil mewahnya ia parkirkan di tempat khusus parkir universitas.
Ketika baru saja menutup pintu mobilnya, pendengarannya tiba-tiba menangkap suara langkah yang terkesan terburu-buru mendekat ke arahnya sembari memanggil namanya dengan keras.
"GUNAY!!"
Si pemilik nama pun langsung membalik badan, dan mencari arah datangnya suara cempreng itu.
"Dimas?"
Setelah menyadari yang datang ternyata Dimas, sahabat bobroknya sejak masih menjadi janin, dia pun membuka pintu mobilnya lagi, teringat bahwa tasnya masih ada di dalam.
Dengan kepala yang masih menjulur ke dalam, Gunay bertanya tak acuh, "Kenapa?"
Dimas menyandarkan sebelah tangannya ke bagian atas jendela mobil, menyesuaikan napas sebelum menjawab, "Hari ini ... hari ini ... gak ada kelas, Nay! Si Pak Bot-eh, maksudnya Pak Nahwan, gak bisa masuk katanya."
"Trus kenapa lo sampe lari-lari gitu kalo cuma ngasih tau ini? Lo kan bisa telpon gue, Mas." Gunay menutup pintu mobilnya dengan keras.
Dimas mencoba berdiri tegak, masih dengan napas yang tersengal-sengal, menjawab lagi, "Bukan gitu, gue lari gara-gara dikejar-kejar adek tingkat kita yang centil itu. Ya ampun, dia bener-bener bikin gue takut."
Gunay membuat tawa yang tertahan di mulutnya, "Lo, sih, siapa suruh berurusan sama cewe kayak gitu."
"Gue mana tau kalo dia bakal se-agresif itu." Dimas membuat ekspresi jijik. "Gue jadi nyesel ikut campur masalah dia waktu itu."
"Yaudah, ke kantin ajalah kita," ajak Gunay, tangan kirinya merangkul bahu pemuda yang sedikit lebih pendek darinya itu.
"Kalo cewe itu datang ke kantin gimana?" tanya Dimas takut kalo dia akan dibuntuti sampai kantin.
"Tenang, kalo ada tanda-tanda dia dateng, kita langsung kabur."
"Oke, deh," ujar Dimas setuju.
Keduanya pun berjalan dengan tangan yang saling merangkul, tertawa, saling ejek, mereka berdua memang selalu sedekat ini.
Ada satu orang dimana hanya dengan dia Gunay menunjukkan sikap aslinya. Seolah jiwa pemilik cangkang kosong sebelumnya itu seakan kembali ketika yang mengajaknya berbicara adalah sahabat sekaligus sepupunya ini-Dimas. Ayah mereka berdua adalah saudara kandung dan juga sangat dekat sejak kecil. Tentu saja mereka berdua akan meneruskan kedekatan ayah mereka itu.
Pemuda yang sebaya dengannya ini sudah selalu bersamanya sejak dalam ayunan. Mereka bahkan sudah seperti satu tubuh, dan Dimas juga selalu ada untuk Gunay baik di kala susah maupun sulit.
Keluarga Gunay juga keluarganya, rumah Gunay juga rumahnya. Tapi Gunay masih jauh lebih beruntung darinya, walau bunda Gunay juga cepat pergi, tapi setidaknya dia masih mempunyai ayah dan kakak yang sangat menyayanginya. Beda dengan Dimas, dia hanyalah seorang anak yang malang yang terlalu cepat kehilangan kedua orang tuanya.
Ketika Dimas berusia enam tahun, orang tuanya mengalami sebuah kecelakaan ketika baru saja pulang dari pertemuan dengan klien.
Dimas saat itu sedang menginap di rumah Gunay karena tidak ingin tinggal sendirian di rumahnya. Namun siapa sangka, ketika orang tuanya mengantarkannya ke rumah pamannya, seolah-olah kalau mereka sedang menitipkan anak mereka tidak hanya untuk satu malam, tapi justru untuk selamanya.
Ketika mendapati kabar tentang orang tuanya, awalnya Dimas kecil hanya termangu, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan kata 'meninggal'.
Sampai akhirnya kedua mayat orang tuanya tiba di hadapannya. Dingin, tak bergerak, tak bersuara. Dimas kecil menangis sejadi-jadinya. Memanggil mereka berdua, mengguncang-guncang tubuh orang tuanya. Tetap, tak ada sahutan. Teriakan histeris bocah itu benar-benar menarik simpati orang-orang di sekitarnya.
Gunay juga sudah mengalami itu sebelumnya, bahkan dia masih jauh lebih kecil dari itu. Ketika usianya masih benar-benar membutuhkan kasih sayang penuh seorang ibu, dia justru kehilangannya begitu cepat.
Kakaknya hanyalah gadis kecil yang juga masih polos, hanya berusia lima tahun lebih tua dari Gunay. Tapi dia dipaksa untuk menjadi kakak sekaligus ibu bagi adiknya saat itu. Sehingga di usia kecilnya, dia harus memaksa kepribadiannya untuk lebih dewasa dari umurnya.
Melihat Dimas seperti itu, Gunay hanya memegang tangan kakaknya erat, berkata, "Kakak, kasihan Dimas."
Gadis sebelas tahun di sebelah Gunay ikut memandang Dimas dengan iba. Dia pun beralih ke adiknya dan mengelus rambutnya lembut.
Sejak saat itu, Dimas benar-benar tinggal di rumah Gunay sampai umurnya lima belas. Setelah itu, rumah aslinya yang sudah di tinggalkan selama sembilan tahun itu akhirnya dia tempati seorang diri. Perusahaan milik ayahnya sebelumnya juga dihibahkan sementara pada orang kepercayaannya. Sampai ketika usianya benar-benar matang nanti, dia akan mengambil alihnya kembali untuk diteruskan.
Beberapa meter di depan sana sudah terlihat kantin yang tampaknya sedang sepi.
Mereka berdua pun masuk, menyusuri segala sudut untuk menemukan tempat paling nyaman. Namun begitu mereka baru saja melangkahkan kaki untuk menuju ke suatu tempat, terdengar suara dua orang pemuda memanggil, "Woi! Sini, Nay!"
Dua orang pemuda itu adalah teman-teman Gunay dan Dimas sejak masuk universitas. Mereka adalah anak-anak satu jurusan dengan mereka dan seringkali bersama. Gunay biasa memanggil mereka dengan Ozi dan satunya Doni.
Mereka berdua ternyata sudah duduk sejak tadi untuk menunggu Gunay dan Dimas. Ozi membuka percakapan, "Kelas kosong nih sampe sore, gimana kalo kita futsal?"
Gunay menjawab sambil memainkan ponselnya, "Gak dulu, Zi. Gue mau lanjut ngerjain tugas habis ini."
"Halah bentaran doang, tugas tuh cepat selesai kalo ngerjainnya mepet. Ngapain ngerjain di awal?"
"Zi." Gunay meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap Ozi. "Lo tuh bentar lagi udah mau semester akhir. Pikirin tuh mata kuliah lo yang ngulang mulu. Kapan lulusnya lo kalo masih mikir gini terus?"
Ozi tampang tersinggung dengan ucapan Gunay barusan, "Lo makin tua kok makin gak asik sih, Nay! Apa coba yang lo cemaskan? Lo sama Dimas udah punya perusahaan yang bakal diwarisi. Gimana pun telatnya gue lulus nanti, lo sebagai temen kan mesti nampung gue di kantor lo."
Gunay tampak mendengus, "Maksud lo, karena lo temen gue, gue harus nerima orang kayak lo yang suka nunda-nunda kerjaan? Gimana hancurnya nanti perusahaan gue?"
Ozi tampak meremas kedua tangannya, sangat geram.
Sementara Doni yang merasakan aura tak menyenangkan dari dua orang itu, pun membuka suara, "Eh udah-udah, woy! Gunay cuma bercanda kok, Zi. Gak usah marah. Gunay pasti sibuk ngurusin keponakannya yang masih kecil. Entar kita futsalnya pas weekend aja, oke?"
Sesaat mereka berdua memang tak berbicara apa-apa lagi. Tapi Doni malah melanjutkan ucapannya, "Untuk poin pertama gue setuju sih sama Ozi, lo makin tua makin gak asik aja, Nay! Udah kayak duda beranak satu yang ditinggal mati istri aja lo, hahaha."
Dimas tahu kalo temannya itu sedang bercanda. Tapi ucapan Doni barusan sangat meyakinkannya kalau bakal ada bencana yang terjadi beberapa saat lagi.
Benar saja, meja tiba-tiba dihempas begitu kuat dengan kepalan tangan kanan. Tiga orang yang duduk di meja itu seketika tersentak kaget. Gunay sudah berdiri dengan mata yang memerah. "B*ngsat lo semua!"
Urat-urat di matanya mencuat, buku-buku jarinya memutih. Kalimat 'Ditinggal mati istri' itu benar-benar menghancurkan ketenangan Gunay. Bagaimana tidak? Istri yang mereka katakan itu adalah saudara perempuannya! Kakaknya sendiri!