"Walau ada seribu kebenaran, akan kutemukan sebuah kemustahilan. Yang mengubah nyata menjadi fatamorgana."
****
"Assalamualaikum, Kinara. Hari ini kamu ada acara gak sayang? Kalau bisa bunda mau ketemu, bunda tunggu di rumah ya."
Kinara menyernyit membaca pesan teks itu. Kesambet apa Bunda Hana Wa pagi-pagi, pikirnya.
Kinara segera bangkit dari tempat tidur, hendak mandi dan bersiap-siap. Baru dua langkah, ia teringat sesuatu. Ia harus memastikan sesuatu hal. Dia membungkuk di depan nakas yang bertengger di sebelah ranjangnya.
Tangannya mulai mengobrak abrik isi laci berusaha menemukan benda yang ia cari dari sana.
Kinara menarik sebuah kotak kecil berwarna pink dengan balutan pita putih, mungkin seukuran kotak jam tangan. Menarik napas dalam, ia mulai memberanikan diri membuka kembali kotak yang ia temukan lima tahun silam.
Kotak yang tertinggal bersamaan kalung berbandul kunci dari cowok yang menyelamatkan hidupnya bertahun-tahun yang lalu.
Kinara terperanjat ketika melihat isinya. Ia membekap mulut dengan telapak tangan seraya menarik keluar sebuah polaroid, berisi foto seorang gadis bertuliskan.
"Happy birthday, Karisha."
Kinara terduduk lemas sembari menatap nanar pada benda di telapak tangannya, sebuah foto dan kamera polaroid berwarna Pink.
Kini semuanya semakin jelas, sebuah bukti dari kenyataan yang tak terbantahkan.
Kinara berjalan mundur dengan tertatih. Dia masuk ke kamar mandi menyiram tubuhnya dari air shower selama mungkin. Berusaha menghilangkan sesak dan rasa bersalah yang bersarang di dalam dadanya.
***
Begitu sampai di pekarangan rumah Dimas, Kinara dan Vero melepaskan helm lalu masuk ke dalam.
"Dim, PS yuk!" Mendengar tawaran itu, Dimas langsung melompat dari sofa.
"Gas, itu mah!"
Dasar cowo! PS Teross!
"Bunda mana?"
"Keluar bentar, lo di suruh bunda tunggu di kamarnya."
"Oke," Kinar melenggang menapaki anak tangga untuk sampai di kamar Hana.
Sebenarnya dia sedikit canggung dan tidak enak masuk kamar orang sendirian. Tapi belakangan ini Kinar sering mengunjungi ruangan itu dan mulai terbiasa dengan ,aal ruangan tersebut. Jika sudah bersama Ibu dari Kakak tingkatnya itu maka Kinar akan melupakan segalanya. Dia akan bercerita, bercanda hingga lupa akan sekelilingnya.
Hana orang yang asik diajak bicara, wanita itu selalu menempatkan diri sebagai seorang teman jika sudah berhadapan dengan Kinara. Dimas sangat beruntung memiliki ibu sambung seperti Hana.
Aroma violet memenuhi penciuman Kinar kala ia membuka pintu ber cat putih itu, berbeda dengan ruangan lainnya yang beraroma Apel. Kinar duduk di sofa yang ada di kamar Hana dan membiarkan pintu tetap terbuka.
Suasana kamar wanita itu sangat memanjakan mata, di sekeliling tembok di pajang beberapa lukisan hasil tangan Hana sendiri. Sementara di sisi lain ruangan disusun bingkai-bingkai foto keluarga mereka. Kinara tersenyum, Kamar ini menguarkan aura yang hangat dan nyaman.
Lelah menunggu, Kinara memutuskan untuk melihat-lihat beberapa koleksi yang ada di kamar Hana. Lancang memang melihat barang orang lain tanpa ada pemiliknya. Tetapi tidak apa-apa, Kinar tau batasan privasi seseorang, Hana juga tidak akan marah padanya.
Kinar mengambil lagi album foto yang di simpan Hana di laci mejanya. Walau sudah berapa kali membuka album itu, Kinar sama sekali tidak bosan. Dia sangat suka mengamati wajah lucu Vero sewaktu kecil, bersama Dimas dan Risha tentunya.
Setelah membuka lembar terakhir Kinar menutup kembali album kenangan tersebut. Hampir setengah jam ia menunggu namun belum ada tanda-tanda kedatangan Hana.
Kinara beranjak dari tempat duduknya hendak mengembalikan album tersebut ke tempat semula, namun setelah membuka kembali laci kayu itu ada yang menarik perhatian Kinara.
Anggaplah Kinara kurang ajar, karena dia memang sangat kurang ajar. Kini gadis itu dengan lancangnya menerobos privasi pemilik kamar tersebut. Tangan Kinara terulur meraih buku bersampul ungu dari dalam sana.
"Violetku"
kata itu tertulis di bagian atas buku bersampul ungu. Takut bercampur gugup sempat mengampiri Kinara, namun rasa penasarannya jauh lebih besar lagi. Tanggung lancang, Kinar menghela napas sembari meyakinkan diri.
Awalnya Kinara mengira buku itu semacam diary, namun setelah dibuka ternyata isinya lembaran foto yang di kolase alias album.
Di halaman pertama terdapat gambar diri Hana yang mengenakan gaun putih pernikahan bersama seorang lelaki yang wajahnya berbeda dengan ayah Dimas. Walaupun belum bertemu langsung Kinara sudah hapal dengan pigur yang potretnya terpajang di rumah ini.
Kinar menyadari satu hal, mungkin lelaki itu suami lamanya Hana. Dia jadi ingat percakapannya dengan Vero tempo hari. Bahwa dulu Bunda Hana memiliki suami dan seorang anak, namun suaminya meninggal di tahun ke enam pernikahan mereka.
Setelah Foto pernikahan itu Kinara mendapati coretan tangan di lembaran putih kosong.
Dalam diam kurapalkan berjuta semoga,
Dalam sunyi kepeluk bayang-bayang memori,
Dalam rindu kusapa nama yang tak lagi ada,
Dalam sujud kubisikan untaian cinta,
Semoga kamu bahagia.
E.P
"Anjay... baper gue," Kinara tidak bisa menahan senyumnya untuk tidak mengembang sempurna.
Selain keibuan Bunda Hana sepertinya tipikal wanita yang romantis, apa kata-kata itu untuk suaminya? Masa bodo, untuk apa juga Kinara tau.
Kinar tak henti-henti tersenyum memandangi potret bahagia keluarga lama Hana. Paras Wanita itu nampaknya tidak berubah, dari dulu sampai saat ini tetap cantik dan awet muda. Ada banyak foto Hana dan suaminya, serta seorang bayi perempuan. Lagi-lagi Kinar tersenyum, bayi kecil itu terlihat menggemaskan.
Halaman berikutnya terus menampilkan potret bayi perempuan yang bertumbuh kembang, mulai dari duduk hingga bisa berdiri. Sebersit rasa cemburu menghampiri dada Kinara kala melihat Hana memeluk hangat anak tersebut. Kinar rindu mamanya, Kinara rindu pelukan seorang ibu.
Iris matanya terus berpindah sampai sebuah potret menghentikan senyumannya. Di sana, di halaman terakhir album bersampul ungu. Terdapat seorang gadis kecil yang menyedot segala perhatiannya.
Dalam waktu singkat dadanya bergemuruh, dunianya seakan berhenti berputar. Gemetar, Kinara menarik keluar gambar dua dimensi yang mampu memburamkan penglihatannya dengan genangan air.
Tidak, dia tidak mungkin salah mengenali. Sosok itu, anak kecil yang terkurung di dalam bingkai persegi itu. Itu dirinya, itu Kinara.
"Lo ngapain?" Suara Dimas mengembalikan kesadarannya, Kinara tersentak sampai album tersebut terjatuh dari tangannya.
Dengan suara serak Kinara berujar, "kak Dimas itu siapa?" Tunjuknya pada potret di bawah sana.
"Itu Anak Bunda, namanya Embun."
Tenggorokan Kinar tercekat, hampir saja ia luruh ke bawah kalau tangannya tidak sigap bertopang pada meja.
"Lo dapet darimana buku itu?" Lidah Kinara kelu membuatnya tak mampu berkata-kata. Tubuhnya melemas dihantam segala kemungkinan bersama teka-tekinya.
"Ki lo kenapa?" Tanya Dimas khawatir melihat wajah Kinar yang tiba-tiba pucat pasi.
Kinar berlalu melewatinya. Bingung, Dimas menatap punggung gadis itu hingga hilang sempurna dari pandangannya.
Dimas berjongkok ingin membereskan barang pribadi Ibunya yang berceceran di bawah. Dimas Baru ingin memasukan album tersebut ke dalam laci ketika sebuah kesadaran menamparnya kuat-kuat. Napasnya tercekat, sebuah teka-teki mungkin akan terbongkar dengan foto tersebut.
Dimas tidak begitu yakin, namun melihat raut yang ditunjukkan Kinara barusan seperti sebuah bukti yang tak terbantahkan.
****
Kinara menuruni tangga dengan terus memegangi dadanya yang berdebar. Susah payah ditahannya sesak yang berusaha mendobrak dinding pertahanannya. Sampai di anak tangga yang terakhir, tubuhnya melemas lalu luruh ke lantai.
"Kinar!" Vero berseru demi melihat Kinar yang terduduk di lantai sambil memejamkan mata.
"Ki Lo kenapa?" Tanpa disangka cairan bening meluncur dari sudut mata Kinara. Dia menangis tanpa membuka matanya. Kinara sendiri tidak tahu kenapa dia bisa menangis padahal dia tidak tau apa-apa tentang foto yang disimpan Hana itu. Kinara terus menangis tanpa suara, badannya juga kaku seolah membeku.
"Ki," panggil Vero lagi yang kini sudah berjongkok.
"Kak Vero...." Kinara melirih, Vero memegang pundak Kinar. Detik berikutnya Kinara membuka mata dan langsung memeluk Vero begitu erat. Vero sedikit terkejut namun berusaha membalas pelukan tersebut.
"Pulang," lirih Kinara.
"Tapi Kenapa Ki?"
"Aku mau pulang." Kinara kembali menangis hingga air matanya membasahi kaus Vero. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan bahu cowok itu dengan terus terisak.
"Iya udah, kita pulang sekarang."