"Aku takut takdir akan bekerja sedemikian rumit, merubah indah menjadi sulit. Merenggut tawa, menyisakan sakit."
-Aleasha Kinara-
****
"Kenapa kita ke sini, Kak?"
Kinara mengernyitkan dahinya ketika motor yang mereka tumpangi berhenti di pintu masuk TPU.
"Gue belum sempat ngenalin Lo ke seseorang, jadi sekarang gue bawa lo ke orang spesial di hidup gue."
Vero melepaskan helmnya, begitu juga dengan Kinara.
Sebelum memasuki lahan pemakaman, Vero membawa Kinara menuju kedai bunga terlebih dahulu. Usai membayar sebuket lily, dia menuntun Kinara menapaki jalanan menuju tempat peristirahatan orang tersebut, Karisha.
Perasaan Kinara selalu tidak menentu setiap kali pergi ke tempat seperti ini. Pemakaman merupakan salah satu tempat yang paling ia benci setelah rumah sakit.
Bukan... bukan karena aura angker yang ditakutinya, tapi bagi gadis itu pemakaman adalah gambaran luka dan kehilangan.
"Lo cewek pertama gue ajak ke sini." Demi mendengar kalimat itu, Kinara menggenggam tangan Vero.
"Untuk satu ini, Lo lebih butuh digenggam kak."
"Assalamualaikum, Karisha," ucap Vero lembut seraya mengelus nisan dan meletakan buket lily di atasnya.
"Apa kabar, sha? Kali ini gue gak dateng sendiri. Gue bawa orang spesial di samping gue. Iya, dia pacar gue," jeda Vero dengan senyum kegetiran mengembang di wajahnya.
"Dia cantik tapi nyebelin, bawel dan berisik banget, satu lagi dia ceroboh akut sama kaya Lo."
Dada kinara bergumuruh, ia tidak tau harus senang atau sedih mendengar pernyataan itu. Rasanya ia tidak pantas untuk terlalu bergembira.
Pelan, Kinara bersuara. "Hai kak." Perasaan bersalah mengerubunginya tanpa ampun ketika kata pertama keluar dari bibirnya. "Saya Kinara, pacarnya Kak Vero. Sahabat kakak lebih nyebelin, rada sinting dan gengsian." Vero terkekeh mendengar timpalan Kinara, memperkenalkan dirinya.
Obrolan mereka benar-benar satu arah, namun mereka tetap senang melakukannya. Seolah nama yang di sapa, bisa mendengar semuanya. Tempat itu benar-benar sepi dan sunyi, hanya suara kedua remaja itu yang mengisi udara kosong.
Tak kalah dari Vero, Kinara kelihatan sangat antusias berbicara di depan nisan batu tersebut. Gadis itu menceritakan semua yang telah mereka alami, mengadu semua kehebohan dan keusilan yang Vero lakukan padanya dulu.
Mulai dari pertemuan mereka di Bandara yang sangat tidak romantis, hukuman di pohon trembesi, insiden pot memalukan yang mengakibatkan lutut Kinara terluka parah, kejailan vero yang mengguyurnya dengan seember air, serta hari-hari panjang yang telah mereka habiskan. Kinara hampir menceritakan semuanya.
Hampir satu jam berada sisi makam Karisha, mereka memutuskan untuk kembali.
"Gue pamit ya, Sha. Gue bakal sering ke sini. Yang tenang di sana, gue sekarang udah bahagia."
"Kak, Kinar pulang dulu ya. Kinar seneng banget udah di ajak ke sini. Nanti juga Kinar bakal sering jenguk Kak Risha."
"Saya janji akan jaga Kak Vero untuk Kakak. Maaf untuk segalanya, Kak. Maaf telah terlibat dalam ikatan takdir menyedihkan ini." Lirih Kinara dalam diamnya. Rasa bersalah kini semakin memainkan perannya.
****
Anna memusatkan perhatian pada sekelilingnya. Keadaan rumah Kinar masih sama, tidak berubah sama sekali mulai dari tata letak interior, warna cat dinding bahkan gordennya pun tidak berganti walau sudah bertahun-tahun lalu ia tidak berkunjung ke sana. Hanya satu hal yang berubah, suasana. Kehangatan yang dulu ikut ia rasakan bersama keluarga sahabatnya itu telah hilang sempurna. Gadis itu tersenyum nanar pada pigura putih yang memuat foto keluarga Kinara.
"Orang yang lo cari gak ada."
Tanpa menoleh pun, Anna sudah tau siapa pemilik suara berat itu. Cowok yang pernah membuat debaran gila di dadanya bertahun-tahun silam. Cowok hangat yang kini berubah sedingin es dan sekaku batu karang.
"Tiga hari lalu Kinara di rumah sakit kan?" Timpal Anna tanpa membalikkan badan.
Alan juga tetap di tempatnya, berdiri di anak tangga dengan punggung yang bersandar ke senderan tangga.
"Katanya sahabat, harusnya Lo tau."
Anna tersenyum remeh, mengepal erat hingga kukunya menghujam telapak tangan.
Bi Iim yang baru saja muncul dari dapur, kembali memutar arah. mengurungkan niatnya memberi minuman ke Anna. Lebih baik dia tidak berada di antara mereka berdua.
"Kali ini karena trauma sialan itu lagi kan? Heh!" Ketus Anna dengan nada sedingin mungkin.
"Gak usah sok tau, tau apa lo tentang keluarga gue?"
"Santai Mas, galak amat!" Ejek Anna tanpa nada bercanda.
"Mau sampe kapan kak? Sampe kapan Lo kaya gini ke Kinar?" Kali ini nada tajam itu sedikit melunak, namun penuh penekanan di setiap hurufnya.
Alan tidak menjawab, tatapan matanya nyalang seolah ingin menerkam musuhnya telak. Bersedekap tangan, cowok itu mengalihkan pandangan pada Anna yang memunggunginya di balik Sofa.
"Lo gak tau kan separah apa akibat dari perlakuan buruk lo ke Kinar? Lo gak tau kan kak! Kalau selama ini lo udah ngehancurin mental adek Lo sendiri! lo gak sadar atau emang pura-pura gak sadar bahwa adek Lo udah hampir gila karena kejadian itu, tapi lo..." Anna tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, sebagai gantinya air matanya menetes menahan sesak dan amarah yang ia tahan sedari tadi.
"Gak usah ikut campur terlalu banyak, gue peringatin lo!"
Gadis itu diam sesaat, kemudian bangkit dari duduknya. Puas menyeka air mata sialan itu, Anna berbalik menatap dingin lawan biacaranya.
"Ceritanya lagi ngancem nih mas nya? Kalau gue gak mau berhenti ikut campur, lo mau apa kak? Mau buat hidup gue kaya kinar? Mau buat gue lebih suka memilih mati daripada hidup kaya Kinar?!"
"Bagus dong, seenggaknya gue gak perlu ngeliat mukanya lagi."
"Egois lo kak! Sakit lo!" Putus Anna meninggalkan rumah itu dengan kilatan emosi yang tercetak jelas di wajahnya.
***
Pemakaman bukan satu-satunya tempat yang ingin dikunjungi Vero, namun masih ada tempat lain yang ingin ia datangi bersama Kinara.
"Sumpah bagus banget." Senyum Kinara merekah sesaat setelah turun dari Motor besar Vero. Pukul tujuh malam, mereka telah berada jauh dari pusat kota.
Gadis itu menatap penuh takjub pada ratusan lampu warna warni yang disusun di sepanjang jalanan pasar malam. Ya, kali ini Vero membawanya ke sebuah pasar malam. Ini namanya bukan hanya keinginan Vero, tapi juga Kinara.
Kini gantian Vero yang menggandeng tangan Kinara.
"Mau di sini aja?" goda Vero pada Kinara yang masih mematung takjub pada pemandangan sekitarnya. Anggap saja Kinara gadis ternorak malam ini, pasalnya ini adalah kali pertamanya setelah tujuh tahun ke taman hiburan.
Kinara terkekeh menampilkan wajah gemasnya yang persis anak kecil, membuat Vero mengacak puncak kepala gadisnya itu.
Entah sebanyak apa gadis itu tersenyum malam ini, Vero bahkan tidak bisa menghitungnya. Ada perasaan senang ketika mata sebening embun itu berbinar bahagia di hadapannya.
Mereka benar-benar mengeliling hampir setiap sudut pasar malam. Tak lupa mencoba hampir seluruh wahana permainan, mulai dari kora-kora yang berhasil membuat Kinara memuntahkan isi perutnya ke kaus Vero, bianglala, rumah hantu yang membuat Vero pucat pasi ketakutan, kereta kuda, lempar ring, bahkan bola air yang membuat Vero geleng-geleng kepala, menyaksikan sisi kekanakan Kinara.
Lelah akhirnya menjumpai mereka jua. Kinara mengikat rambutnya menjadi satu, menyeka sebagian keringat yang mengalir di dahi dan lehernya.
Hawa malam tetap sukses membuat keduanya gerah rupanya. Itu karena tubuh mereka terbalut jaket couple biru langit yang di pilih Kinara. Tak hanya kostum mereka saja yang telah berubah namun satu hal yag tak kalah membuat Vero menggeleng pasrah. Ialah bando rusa yang melingkar di kepalanya, juga bando berbentuk telinga kelinci yang dikenakan Kinara.
Jangan tanya bagaimana reaksi Vero ketika Kinara memaksakan ide gilanya itu. Sekarang saja mereka telah menjadi tontonan banyak orang berkat suara berisik Kinara yang nyaris tidak bisa diredam.
Kinara mengecek jam di layar depan ponselnya, hampir tengah malam namun pasar malam masih saja ramai, bahkan bertambah ramai.
"Capek ih, ke sana yuk Kak!" keluh Kinara lalu mengajak Vero duduk di salah satu bangku penjual es krim. Melepas sedikit penat. Saat ini di tangan keduanya terdapat cotton candy berwarna biru dan pink.
Kinara menengadah menatap bulan sabit yang menggantung di atas lampu-lampu kecil. Mata sebening embunnya berbinar bak gemintang di atas sana.
Ketika Kinara menoleh, ia mendapati wajah tegas Vero yang tengah mengamatinya dalam. Kinara bisa merasakan darahnya berdesir hebat, jantungnya memicu dua kali lebih kuat. Vero tersenyum, menatap lekat-lekat tepat di manik Kinara, membuat pemilik iris itu ikut terperangkap dalam mata pekat Vero.
Senyum gadis itu lagi-lagi menyungging sempurna, jiwanya merekam sosok di depannya lekat. Cahaya kecil yang muncul di balik pepohonan di belakang Vero menyedot perhatian Kinara. Entah datang dari mana kerlip kecil keemasan itu. Jumlahnya ada banyak, bertebaran di balik ranting pepohonan.
"Kalau gak mampu jadi rembulan yang menerangi Alam, cukup jadi kunang-kunang yang menghiasi langit malam." Kinara menoleh demi mendengar potongan kalimat itu.
"Sok puitis kali bang jago ini ... najis!" Ledek Kinara lalu terkekeh puas.
Di hadapannya Vero tersenyum, "nyokap pernah bilang itu waktu gue kecil. Satu-satu kenangan yang gue ingat sama ibu kandung gue."
Tawa gadis itu pudar. Kinara tersenyum getir sebelum Vero melanjutkan. "Katanya kita gak harus jadi sempurna untuk bisa bahagia."
"Bahagia itu sederhana ya kak, sesederhana malam ini yang bakal gue rekam dalam memori selamanya," sahut Kinara.
Gadis itu kini berdiri, mendekati ratusan kelip cahaya yang mulai menjauhi mereka. Tangannya menengadah seolah ingin menyambut hewan-hewan kecil itu. Vero ikut berdiri di sampingnya, memusatkan perhatian pada kawanan kunang-kunang yang semakin jauh di atas mereka.
Detik berikutnya, suara ledakan terdengar bersahutan diiringi letupan cahaya menggantikan kilauan kunang-kunang. Sorak sorai kian ramai bersamaan tepuk tangan. Vero tersenyum lebar, ketika ia menoleh barulah ia tersadar. Wajah Kinara sudah pucat pasi, ketakutan tampak jelas dari sorot milik Kinara.
"Ki.. Kinar?" Mata Kinara kini menatap Vero, tatapan yang sarat luka dan ketakutan.
Samar, ingatan Vero terbentur pada malam inaugurasi berbulan-bulan lalu. Tatapan itu, persis sama. Tak lama ingatannya beralih pada cerita masa lalu Kinara, tentang trauma terberatnya.
Sigap Vero menyangga kedua bahu Kinara, membantunya tetap berdiri. Hampir saja gadis itu jatuh terkulai di tanah. Tiba-tiba saja kedua telapak tangan Vero menutup telinga Kinara, membuat mata yang sempat terpejam itu kembali terbuka.
"Jangan larut lagi dalam luka lama, Ki. Lo gak bersalah atas takdir orang lain. Lo gak boleh kalah apalagi hancur oleh masa lalu. Jangan merasa takut atau kesepian lagi, gue selalu di sini, di samping lo." Tepat setelah Vero selesai mengucapkannya, air mata Kinara meluruh.
Tetes, demi tetes hingga akhirnya berubah isakan. "Lo gak boleh kalah sama trauma itu, lo gak boleh lemah karena Zona itu, Ki. Percayalah, semuanya udah berlalu. Trauma itu cuma sugesti dari rasa takut dan bersalah yang harusnya gak lo miliki."
Vero menarik tubuh itu ke dalam rengkuhannya, membiarkannya terisak dalam hangat peluknya.
Ledakan susul menyusul itu berhasil teredam di kepala Kinara, perlahan ketakutannya berkurang, berganti hangat yang menyalur di seluruh tubuhnya.
Pada dasarnya, Kesedihan, ketakutan, penyesalan, hanya bisa diredam dengan saling menguatkan. Seperti yang dilakukan kedua anak manusia itu. Mereka telah meletakkan kepercayaan pada satu sama lain, dengan membiarkan keduanya masuk ke zona rawan, kerapuhan masing-masing.
Kini mereka saling berbagi kekuatan. Sebelum bertempur dengan luka yang bahkan belum mereka sadari.