Dua hari berlalu semenjak kejadian Pot beton. Siang itu Vero langsung mengantar Kinara pulang, gadis itu juga diberikan izin untuk tidak mengikuti kegiatan PKKMB sementara waktu. Bukan Vero berbaik hati, tapi Kinar yang memaksanya untuk bertanggung jawab. Menurut Kinar dirinya tidak akan mendapat sial kalau saja Vero tidak memberinya hukuman sialan itu. Kinara sampai mengarang cerita kalau kakinya akan lumpuh jika dipaksakan berjalan.
Tiga atau bahkan sudah lima kegiatan yang dilewatkan Kinara hanya untuk bermalas-malasan di rumah. Kinara sudah berniat untuk hibernasi selama waktu izinnya. Tubuhnya butuh istirahat sebelum menghadapi dunia perkuliahan yang mungkin akan sedikit melelahkan.
Kemana semua kenangan bermuara?
Ketika tak lagi menghuni ruang kepala,
Kemana semua canda dan tangis yang berderai?
Ketika hati dan pikiran terasa sunyi dan mati.
Kinara menatap lamat-lamat tulisan di sticky note nya yang menempel di jendela kaca. Sepertinya sudah hampir lima tahun dia menulis kalimat itu, kertasnya sudah hampir usang, warnanya memudar namun tintanya masih terlihat baru.
Seperti luka, ingatannya sudah hampir lupa, tetapi luka akan selalu menganga.
Notifikasi ponsel memecah renungan Kinar, buru-buru dia menyambar benda pipih menyala itu dari atas nakas.
Annatasya Kalila
Kinar Lo kapan masuk? Gada temen :(
Kangen ya? Tunggu habis Ospek.
Gila ya lo, lo pikir bakal dapet izin dari kampus?
Ya gue tinggal boong pura-pura masih sakit, gampang kan? wkwk
Gak bisa! Curang itu namanya.
Kinara terkekeh membayangkan ekspresi cemberut Anna di seberang sana, sengaja dia mengabaikan pesan Anna yang terakhir.
Berisik! Udah Ah gue mau mandi.
Ya ampun Ki lo belum mandi? Bener-bener jorok lo, anak gadis mandi tengah hari.
Bawel!! Gue itu lagi menyelamatkan masa depan Anna, air itu disimpan untuk anak cucu kita nanti. Jadi gak boleh boros air, pake parfum aja udah wangi.
Gila gila gak ngerti lagi gue sama lo sumpah
Udahan! Mau lanjut tidur lagi udah gak mood mandi. Bye!!
Anna adalah salah satu hal yang sangat disyukuri Kinar di dunia ini. Kinar tidak pernah lupa betapa Anna lebih banyak mengalah setiap kali bermain bersama ketika mereka kecil dulu. Dibanding Kinara, Anna jelas jauh lebih dewasa.
Kinara sudah selesai merapikan Kamarnya, kini ia siap berangkat menuju tempat yang sangat ingit ia kunjungi. Yah, Kinar berbohong soal dirinya yang belum mandi. Dia hanya ingin menggoda Anna. Meski sering disebut pemalas, Kinar tidak pernah mandi diatas jam 6 Pagi. Kecuali dua hari lalu saat kejadian pot sial itu menimpanya.
Setelah membenarkan pakaiannya, Kinar meraih kerudung hitam di atas kasurnya, lalu turun menemui Mang Didi di halaman. Ia sempat berpapasan dengan Alan, namun Kinar belum sempat menyapa karena Abangnya terlihat buru-buru.
Setelah kurang lebih setengah jam di perjalanan, Kinara tiba di sebuah lahan yang luas dengan gapura sebagai pintu masuknya.
"Non Kinar beneran mau kesana sendiri?" tanya Mang Didi sesaat setelah menghentikan laju kendaraannya.
"Iya Mang, Kinar bisa sendiri Mamang tunggu disini aja."
Dengan langkah yang bergetar Kinar masuk ke tempat itu, tiba-tiba saja paru-parunya tidak berfungsi dengan benar, dadanya sesak dan cairan bening mulai menggenang di pelupuk matanya.
Padang rumput hijau dan kamboja merah menyapa pandangan Kinar, di sekitarnya terdapat beberapa gundukan tanah yang masih terlihat baru. Orang yang ingin ditemuinya berada disini, di bawah salah satu pohon kamboja berbunga putih dengan nisan batu yang memuat nama orang terkasihnya. Makam itu sangat terawat, karena dibersihkan setiap hari dan ditaburi bunga setiap minggunya.
"Mama, Kinar datang." Kinar bermonolog setelah meletakkan sebuket bunga krisan putih di atas nisan Mamanya.
Kinara memejamkan mata cukup lama tak sanggup menahan buliran air matanya untuk tidak turun. Kepalanya terasa sakit saat kenangan demi kenangan buruk itu muncul lagi setelah berusaha keras untuk menghapusnya. Rasanya kepergiannya ke Swedia tidak lah cukup untuk menghapus jejak pilu masa lalunya. Saat kepergiaan Ibundanya dan saat kebahagiaan terbesarnya direnggut secara paksa.
'Oh Tuhan, untuk sekian kalinya Aku merasa kau tidaklah adil. Mengapa masih kau hadirkan luka ini setelah sekian lama aku mencoba menutupnya?'
"Maafin Kinar Ma, karena baru datang jenguk Mama," tutur Kinar disela isakan kecilnya. Setelah hari pemakaman ibundanya, Kinar tidak pernah lagi mengunjunginya. Alasannya tentu karena dia tidak sanggup, ia hanya akan menyalahkan dirinya sendiri jika datang ke tempat ini.
Kinara tersenyum kecut mengusap nisan Mamanya. Padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi larut dalam luka lama. Entahlah, keputusannya untuk kembali kembali ke Jakarta merupakan hal yang tepat atau malah sebaliknya.
"Tuhan yang menciptakan manusia Tuhan juga yang menjemput manusia kembali padanya."
Kinar mengangkat kepala setelah kalimat itu memenuhi indra pendengarannya. Di seberang sana terdapat seorang wanita berpakaian serba hitam, entah siapa Kinar tidak bisa melihatnya dengan jelas juga tidak mengenalinya. Kepalanya terlindung kerudung hitam dan matanya juga tertutup kacamata berwarna hitam. Setelah mengucapkan kata itu pada Kinar, wanita itu berlalu meninggalkan lahan pemakaman.
'Takdir terlalu jahat.' Lanjut Kinar dalam hati.
****
Vero merapatkan jaketnya karena angin malam semakin menusuk tulang. Di sebelahnya seorang pemuda bernama Dimas hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka sedang berada di balkon rumah Dimas, jelas saja udaranya terasa dingin.
"Gak ada yang lebih menarik dari langit malam apa?"
"Bintang nya lagi bagus, gue jadi inget dia." Mata Vero menarawang jauh, menatap hampa gemintang dan rembulan yang menggantung di atas sana.
"Vey life must go on, Lo harus bisa move on. Lo berhak bahagia, sampe kapan jiwa Lo tertahan di masa lalu?"
Vero tersenyum getir.
"Gue gak akan pernah bisa lupain dia, lo tau itu Dim,"
Dimas menghela napas, "seenggaknya Lo bisa bahagia Ver, dia juga berharap itu."
Vero memejamkan mata, mengenyahkan segala ingatan yang berseliwer saling berebut tempat di kepalanya.
Karisha Ananta, Karisa.. Aleasha Kinara
Vero membuka matanya ketika nama terakhir itu bergaung memenuhi tempurung kepalanya. Kinara bukan orang dari masa lalunya. Kinara gadis yang baru diketahuinya belum lama ini. Gadis dengan mata sebening embun, wajahnya yang bersinaran, bibir mungilnya yang mengerucut. Tanpa sadar, Vero mengulas senyum tipis. Imajinasinya mengajak untuk mengingat detail gadis itu, cara nya berbicara, cara nya bergaya dan tatapan matanya. Tatapan yang hampir sama dengan gadis yang mengusik pikiran Vero belasan tahun ini.
"Dim," panggil Vero. Dimas bergumam.
"Lo tau gak Kinara dulunya sekolah dimana?"
Dimas menautkan alis ketika Vero membahas nama seorang cewek, sejak kapan Vero peduli dengan sekitarnya.
"Kinara, cewek yang nabrak pot bunga itu? Sejak kapan Lo jadi kepo?" Dimas tertawa mengejek.
"Gak tau kenapa gue ngerasa muka nya familiar, apa gue pernah kenal ya? Atau dia satu SMA sama kita?" Tanya Vero kembali.
"Setau gue Kinara sekolah nya gak di sini deh, kalo gue gak salah inget kemaren anak-anak pada bilang Kinara itu sekolahnya di luar negeri."
"Gitu ya? Apa karena tatapan nya mirip Risha ya makanya gue ngerasa familiar?"
"Bisa jadi, makanya Lo harus move on biar gak ngerasa semua cewek itu Risha."