Read More >>"> Niscala
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Niscala
MENU 0
About Us  

1

 

Ini bukan cerita sinetron. Apalagi drama korea. Ya, malam ini aku menangis terisak-isak. Sampai suamiku kebingungan, istrinya yang sejak tadi sibuk menatap layar laptop, sambil sesekali mengernyitkan dahi, tiba-tiba menangis. Diambilnya HP dari tanganku. Seketika dahinya pun ikut mengerut. Tangan kirinya mulai mengusap pelan-pelan pundakku yang masih larut dalam kesedihan.

"Ibu, maafkan Mirna. Ibu pasti kecewa. Ibu pasti sedih. Dan ibu pasti ngga akan menyangka, kalau semua ini bisa terjadi. Mirna ngga jadi kuliah kedokteran. Bulan Desember lalu, Mirna sakit, beberapa kali chek up ngga ketemu penyakit apapun. Sampai Mirna disarankan untuk chek up ke dokter Obgyn."

"Rasanya seperti disambar petir ketika tahu hasil pemeriksaan dokter. Usianya sudah empat bulan. Ya, empat bulan bayi mirna berada di dalam rahim mirna, bu. Senang, karena dianugerahi seorang anak. Banyak perempuan yang harus berusaha keras untuk memiliki anak. Sedih, pasti. Bagaimana bisa Mirna melanjutkan hidup, sementara mirna mengandung tanpa status pernikahan. Ditambah, Arfan tidak mau bertanggungjawab. Bahkan dengan marahnya, dia menyalahkan mirna yang tidak mau menggugurkan anak ini."

"Bagaimana bisa anak ini digugurkan? Sementara mirna tahu perjuangan ibu begitu gigih untuk memiliki keturunan setelah sembilan tahun menikah. Mirna tidak ingin menambah dosa. Tetapi, apakah Mirna sanggup menjadi ibu tunggal bagi bayi tak berdosa ini?"

"Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu."

Begitulah bunyi pesan yang Mirna kirim kepadaku. Hatiku benar-benar hancur. Meski sudah dua tahun lalu Mirna lulus dari sekolah, tetapi dia adalah anakku, siswaku. Ada rasa gagal menjadi pendidik, menjadi ibu baginya. Anak yang begitu aktif, pintar, ceria, harus mengalami masa sulit seperti itu. 

Rasa marah dan kecewa tertutupi dengan rasa iba. Usianya masih terlalu muda untuk ini semua. Tetapi beras telah menjadi bubur, tentu mustahil berubah menjadi nasi. Tuhan yang punya kuasa, kita hanya hamba yang tak berdaya.

Masih terbayang-bayang senyum mirna di lorong kelas ketika bertemu denganku. Masih tergambar diingatanku bagaimana ia bercerita sambil menangis, bercerita tentang kerinduannya kepada ayah. Sosok laki-laki yang selalu mencintainya itu pergi untuk selamanya, saat mirna naik ke kelas XII. Dan masih sangat jelas suaranya di telingaku, saat ia bercerita tentang mimpi-mimpinya menjadi seorang dokter. Kini, semua tinggal ingatan. Semua tinggal cerita. 

Dalam surat Al Imran ayat ke – 38 tertulis doa Nabi Zakaria AS, “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami dari sisi Engkau dzuriyah yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Doa tulus yang dipanjatkannya kepada Sang Khalik yang Maha Berkuasa atas kehidupannya. Di saat usia istri dan dirinya tak lagi muda, bahkan masuk usia senja. Semua orang berkata bahwa Nabi Zakaria tidak akan memiliki keturunan. Namun, kepercayaannya pada Allah SWT, membuat keajaiban itu datang. Istrinya yang sudah lanjut usia mengandung.

Anak adalah anugerah terindah dalam sebuah pernikahan. Melanjutkan keturunan adalah salah satu tujuan dari pernikahan. Meskipun tidak semua memiliki pemikiran yang sama. Berbagai cara ditempuh agar dapat menimang buah hati. Sebagai tanda sempurnanya sebuah pernikahan. Anak adalah rezeki yang langsung diberikan oleh Sang Pencipta. Ia menghendaki siapa saja yang dijadikan orang tua dengan mudah, dan siapa saja yang diberikan ujian lebih sulit dan lama untuk dapat menjadi orang tua. Maka, patutlah bersyukur bagi orang-orang yang Allah beri kemudahan.

Mirna dan Arfan bersalah karena telah melakukan perbuatan yang melanggar norma agama dan norma bermasyarakat. Tetapi, apakah anak mereka bersalah juga? Retorik bukan? Pertanyaan itu tak perlu jawaban. Tentu saja setiap anak yang hadir di muka bumi itu suci. Tak ada dosa apalagi bersalah.

Tindakan Mirna mempertahankan bayinya, adalah hal yang paling benar. Dia tak ikut jadi ‘bejad’ seperti Arfan. Setidaknya, Mirna sadar bahwa anak adalah rezeki yang mesti ia terima, meskipun cara mendapatkannya salah.

Sebagai seorang pendidik, tidak ada kata Lelah kami menyampaikan tentang adab, aturan, dan ilmu pengetahuan. Setiap pendidik pasti berharap keberhasilan semua anak didiknya. Ibarat petani, dipupuk, disiram, dirawat agar pohonnya berbuah lebat dan bermanfaat bagi kehidupan.  Namun, petani itu juga tidak boleh marah Ketika ada buah yang busuk, atau bentuknya tak sempurna, atau rasa buahnya tidak enak. Karena hanya Allah saja yang berhak menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.

Ketika pembelajaran di kelas, aku sering menyampaikan seberapa pentingnya perempuan menjaga kehormatan. Diibaratkan permen, tentu orang-orang tidak akan memilih permen yang sudah terbuka bungkusnya, bahkan sudah jatuh ke tanah untuk dimakan. Jijik, kotor, tidak sehat, dan belasan kalimat alasan lainnya akan terlontar jika laki-laki diminta untuk memakan permen yang sudah terbuka bungkusnya.

Bisa dikatakan laki-laki adalah makluk yang curang, mereka suka membuka bungkus permen, menjilatnya, atau bahkan memakannya, setelah bosan bisa dibuang begitu saja. Kemudian, mereka dapat mencari permen yang lain untuk dinikmati atau dimiliki. Ya, meskipun tidak semua memiliki tabiat seperti itu, tetapi perempuan yang mencintai Allah tidak akan mudah tertipu.

Lantas bagaimana jika sudah seperti Mirna? Apakah tak ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya? Tentu ada. Dekatkan diri kepada Tuhan, Allah SWT. Lakukanlah shalat taubat, perbaikilah ibadah, bergaulah dengan saudara seiman yang baik agamanya, berjanjilah dalam hati jika hal ini tidak akan terulang lagi. Apakah dosa-dosa zinah terampuni? Biarkan itu menjadi rahasia Allah. Cukuplah kita menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Semua orang berhak menjadi orang baik. Hal yang salah adalah Ketika kita tahu telah melakukan perbuatan dosa, tetapi kita membiarkannya. Berpura-pura tidak tahu, dan menikmati dosa itu sebagai suatu hal yang biasa.

Mirna, dimanapun kamu saat ini, doa ibu akan selalu menyertaimu. Didiklah anakmu menjadi putri yang sholeha yang takut dan cinta hanya kepada Allah. Jadilah ibu, anak, dan perempuan yang hebat. Banggakan mama dan almarhum papamu, tidak ada kata terlambat untuk menjadi manusia terbaik. 

                                                                                                                                                                                   ***

"Dari awal gue udah kasih tahu, kalau anak itu ngga seharusnya lahir!"

aku masih tetap diam, mendengar kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Arfan. Mataku tak bisa berpaling dari gadis kecil di dalam inkubator. aku hanya bisa memandanginya dari balik kaca pembatas di antara kami.

"Na, lo ngga tuli kan setelah lahiran?"

akhirnya kupalingkan wajah ke manusia sampah yang telah membuat hidupku hancur. ah, bukan hanya dia yang sampah! aku pun sama!

"Sekarang anak itu sudah lahir! maka, gue sudah ngga ada urusan dengan kalian. Lo ngga mikirin masa depan gue! gara-gara lo, gue hampir jadi miskin."

Ya Tuhan, jika membunuh itu bukan perbuatan dosa. bolehkah aku membunuhnya? bagaimana bisa ucapannya sekasar itu! memoriku berjalan mundur, dan semua kenangan manis itu, rasanya ingin kuhapuskan. Arfan, laki-laki yang telah berusaha menaklukan hatiku, merayuku dengan kasih sayang dan perhatiannya, hingga akhirnya semua ini terjadi. Tega! Kejam! ah, tak ada kata yang pantas lagi kusematkan lagi padanya. namun, hatiku kecilku masih sangat berharap. ya berharap, kami masih bisa bersama dan membesarkan anak kami! 

"Apa hati kamu tidak merasa kasihan? anak kita masih harus berjuang di sana! apakah kita tidak bisa bersama untuk melihatnya tumbuh?"

"Heh, dari awal gue minta lo untuk menggugurkan dia! yang mau dia ada itu lo, bukan gue!"

"Hari ini, gue TALAK LO!"

Deg....!

kakiku terasa semakin lemah, kursi roda ini membantuku untuk tetap bisa kuat.

Hahahaha.... aku ingin tertawa. menertawakan kebodohanku. mengiba untuk tetap diberikan kasih sayang. Harga diriku telah tergadaikan, rasa malu sudah pudar. Duniaku kini hanya ada warna hitam dan abu-abu. berharap mati pun tak ada guna.

Arfan meninggalkanku. ia pergi tanpa menoleh sedikitpun pada kami. air mata ini akhirnya meleleh. Aku hanya mampu terisak dalam diam, dan isakkan itu semakin kuat kala wajah mungil bayi perempuanku terlihat begitu sendu. 

"Nak, maafkan ibu! namun berjanjilah kmu akan kuat agar Ibu mampu hidup di dunia yang kejam ini!"

Inilah konsekuensi yang harus diterima atas segala kebodohan yang telah kulakukan. sejak awal, Arfan memang tidak menginginkan kami. ia hanya ingin menikmatiku. Bodohnya, aku percaya ia akam mencintaiku seperti papa. Usiaku baru 18 Tahun, tapi kini aku sudah berstatus sebagai seorang ibu dan Janda. Ya Allah, jika ini adalah cara Kau mengampuniku, izinkan aku kuat. izinkan anakku hidup, agar aku bisa menebus kesalahanku.

Tanpa disadari Mirna, ada sepasang mata yang tak berkedip menonton peristiwa di depan ruang Nicu dari balik dinding rumah sakit yang dingin.

 

2

 

Suara hirup pikuk anak-anak telah menjadi kebiasaan. kebisingan mereka, seperti alunan lagu sumbang yang terkadang mengganggu pendengaran. Namun, kehadiran mereka menjadi pengobat kerinduan, penghilang rasa sepi, dan pelengkap ketidaksempurnaanku. Sudah hampir sepuluh tahun rahimku kosong. tak juga hadir detak jantung malaikat kecil buah cintaku. 

kehadiran para siswaku menjadi pelengkap dari segalanya, kesepian itu sirna di kala aku menjalankan tugas sebagai seorang guru.

"Bu Nisca!" ucap Rasya dengan wajah ceriannya.

"Apa cantik?"

"Ibu onigirinya enak loh!"

"Terus?"

"Mau pesan, boleh ngga?"

"Nanti ibu masakin aja!"

"Ah...aku sayang ibu!" 

Rasya memelukku dengan erat. senyum ceria terpancar di wajahnya yang cantik. hal seperti ini sederhana, tapi membuat hatiku merasakan kehangatan. meskipun bukan anak yang kulahirkan sendiri, tetapi bersama mereka aku merasakan menjadi seorang ibu.

drrrttt....drrrrtttt.... Hp bergetar, dan notifikasi sebuah pesan masuk terlihat.

Assalamualaikum, Bu Nisca.

Mirna kangen, Bu. Ibu apakabar?

Hasi, sekarang sudah pintar ngomong dan ngga bisa diem. Mirna sebenarnya pengen banget ketemu ibu.

Tersungging sebuah senyum di wajahku. sebuah kabar dari Mirna, membuat kekhawatiranku menghilang. terakhir kali kami berkomunikasi, saat dia mengabari  kondisi yang dialaminya. setelah itu, nomor HP nya tidak aktif dan akun media sosialnya juga menghilang. 

walaikumsalam, Sayang!

Alhamdulillah sehat. Ibu senang kamu dan anakmu sehat-sehat saja. kamu sekarang sibuk apa? 

Mirna menjawab dengan mengirimkan foto-foto anaknya. Hasita sangat cantik. Wajahnya sangat mirip dengan lelaki sialan itu. Ah, aku jadi mengumpat. rasa kesal tidak juga mereda jika teringat sikapnya yang masih bisa cengengesan di sekolah. padahal dia sudah menghancurkan hidup seorang perempuan.

Peristiwa itu terjadi saat Arfan masih berstatus pelajar. Melihat sikap santainya, seolah tidak terjadi apa-apa membuatku merasa kesal. Mirna memberitahu semuanya setelah wisuda kelulusan Arfan. Ia benar-benar anak yang baik. berusaha tidak mengusik kehidupan Arfan, padahal jelas-jelas Ia yang dirugikan dan dicampakkan.

"Bu, kok bengong?"

pertanyaan Rasya menyadarkanku bahwa anak ini belum pergi.

"Ngga, ibu sedang merasa bahagia kok. Akhirnya mendapat kabar dari seseorang."

Rasya menyimak jawabanku sambil manggut-manggut, pertanda ia memahami ucapanku.

"Bu, kalau aku jatuh cinta itu wajarkan? aku sudah kelas XI SMA loh!"

aku tersenyum, kemudian mengelus kepalanya yang tertutup hijab.

"Perasaan dan hati itu tidak bisa dikendalikan oleh orang lain. semua itu adalah anugerah pemberian Allah. namun, kalau kita bicara tentang agama kita, tidak ada kata 'pacaran' dalam islam. makanya kalau Rasya tanya tentang itu, ya itu hak kamu. Hanya saja, Rasya harus pintar menjaga diri. jangan sampai terjerumus ke hal-hal yang buruk, lalu merugikan diri sendiri bahkan keluarga."

"Ya Bu, ini mah perasaan suka aja. ngga tahu dianya suka juga atau ngga!" balas Rasya sambil cengengesan.

"Pokoknya, Rasya harus pintar jaga diri. karena, perempuan itu ibarat sebuah guci. jika retak, maka tidak akan ada harganya dan dipandang buruk."

"Siap, Bos!"

mendengar ucapannya kami tertawa bersama. 

Aku sangat berharap tidak ada lagi Mirna-mirna berikutnya. Perasaan bernama cinta dapat menjadi anugerah, bisa pula menjadi malapetaka. Semua tergantung dari mana kita menjalaninya. segala sesuat yang dilakukan tidak pada waktunya, pada akhirnya akan memberi risikonya masing-masing. Apalagi di era digital seperti saat ini, segalanya mudah diakses dan didapat dalam satu sentuhan jari. Adanya pengawasan orang tua dan orang-orang dewasa di sekeliling mereka, menjadi salah satu solusi agar anak-anak dapat menjaga akhlak, sikap, dan perkataan mereka.

Mirna, Ibu tahu menjadi seorang ibu di usia muda itu tidak mudah. tapi percayalah, Allah telah memilih kamu sebagai salah satu perempuan paling beruntung di dunia ini. di luar sana banya perempuan yang berjuang untuk bisa menjadi seorang "ibu" 

Hasita akan tumbuh menjadi perempuan hebat seperti Mirna. Ibu bangga, ibu bahagia, karena pilihanmu untuk tetap bersama Hasita adalah hal yang tidak mudah. tetapi, Allah maha penolong! love you nak!

Hanya doa yang bisa kuberikan untuk Mirna dan anaknya. setelah hujan selalu ada pelangi, begitupun kehidupan Mirna. ia pasti akan mendapatkan kebahagiaan, ia akan naik kelas dan medapat hal yang jauh lebih baik. karena setelah ujian dapat dilewati, Allah akan memberikan sesuatu yang jauh lebih sempurna dari apa yang diharapkan. karena Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk setiap hambanya.

 

3

 

 

Manusia lebih suka berada di zona nyaman. Menjalani rutinitas seperti biasa, dan sedikit menghadapi masalah. Bahkan, lebih suka jika semua berjalan lancar, tanpa kendala. Kenyamanan di pekerjaan, kenyamanan di lingkungan Pendidikan, kenyamanan saat melakukan kegiatan yang digemari, atau apapun yang penting NYAMAN.

Tanpa disadari pola pikir yang seperti itu tidak dapat meningkatkan kemampuan diri. Berada di zona nyaman membuat kita melakukan hal-hal yang monoton tanpa tantangan. Menganggap hal itu biasa, dan tidak merepotkan. Padahal, sekali waktu melakukan hal yang ekstrim atau tidak biasa dapat menimbulkan sensasi rasa yang menyenangkan. Pada akhirnya kita akan menyadari, ternyata kita memiliki kehebatan, kemampuan, prestasi atau keahlian lain.

Tahun 2010, aku memutuskan untuk berpindah tempat kerja sebelumnya aku bergelut dengan dunia Pendidikan tingkat dasar, dan kini aku memilih Sekolah Menengah Atas. Meskipun di bidang yang sama, namun levelnya berbeda. Tentu suasana, tantangan, dan masalahnya adalah hal baru yang harus kuhadapi.

Saat kepala sekolah menyampaikan, aku ditugaskan menjadi wali kelas tentu membuatku sedikit terkejut. Sebagai guru baru, namun sudah diamanahi sebagai wali kelas. Aku tipe orang yang suka tantangan. Menurutku, Ketika kita diminta melakukan sesuatu, itu adalah kepercayaan bahwa kita bisa. Kalau orang lain saja yakin, mengapa kita tidak?

Mungkin ini menjadi salah satu pembuktian, orang tuaku memberi nama 'Niscala'. Mereka mengatakan Niscala diambil dari bahasa sansekerta yang memiliki arti kuat dan kokoh. seperti itulah tekadku. tidak mudah menyerah dan suka menghadapi tantangan.

Krreekkk….

Saat pintu kelas terbuka, kulihat semua siswa menatapku dengan tatapan yang berbeda-beda. Ada yang kaget, bingung, santai, aneh, bahkan cuek bebek alias ngga menatap, karena wajahnya telengkup di atas meja alias tidur. He...he…he....

Kulangkahkan kaki dengan percaya diri, lalu mengenalkan diri. Sesaat suasana canggung, tetapi aku ini ahli dalam berinteraksi. Lambat laun suasana mencair dan kami dapat berkomunikasi dengan baik. Semua berjalan lancar, meskipun ada saja karakter dan perilaku mereka yang ‘Nyeleneh’. Waktu terus berlalu dan kami semakin akrab.

Ada satu siswa yang menarik perhatianku. Wajahnya sangat cantik. Kulitnya putih, wajahnya mulus tanpa jerawat atau noda-noda membandel (iklan detergen kali, ah!). Namanya Antari, teman-temannya biasa memanggil Tari. Tubuhnya mungil, dengan wajahnya yang cantik, memakai hijab yang sederhana saja sudah kelihatan fashionable. Di antara teman-temannya, Tari paling pendiam, bahkan jika aku tidak bertanya, dia tidak akan bicara.

Suatu hari, saat aku bergegas keluar dari ruang kelas, Tari memanggilku. Saat itu, kelas sudah kosong, hanya ada kami berdua. Tari yang tak pernah memulai obrolan terlebih dahulu, kini berjalan menghampiriku. Mata cantiknya lebih sendu dari biasanya. 

“Kalau ibu ada waktu, boleh saya curhat, Bu!”

Kalimat langka yang keluar dari mulut mungilnya menyihirku, aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk disertai senyuman.

“Nanti saya tunggu ibu di DPR, ya?”

Kembali aku tak menjawab, hanya mengangguk. Mungkin efek terkejut.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Setelah shalat ashar berjamaah, para siswa diizinkan pulang. Sesuai janji, aku pergi ke DPR, eits…. Bukan Dewan Perwakilan Rakyat, ya! DPR di sini artinya Di Bawah Pohon Rindang. Kulihat Tari sudah duduk di sana, mungkin karena hari jumat DPR sepi dari biasanya. Jumat sore sudah masuk weekend, kebanyakan siswa lebih senang pulang cepat, biasanya DPR selalu ramai meskipun sudah jam pulang sekolah.

“Maaf ya, agak telat. Tadi ibu atur anak-anak dulu di aula.” Ucapku seraya duduk di sampingnya.

Tari hanya membalasku dengan senyuman di wajah cantiknya. Kemudian tangannya memberiku sebuah benda berwarna putih berbentuk persegi Panjang. Kukira kertas atau amplop, setalah kuterima ternyata sebuah foto. Aku membalik foto itu, dan melihat gambar yang ada di sana.

“Inikan keluarga kamu?” tanyaku agak bingung.

“Ibu lihat deh, ada yang aneh ngga?” jawab Tari.

Aku terdiam.

“Kamu paling cantik!” ucapku sambal menatap matanya.

“Saya ngga mirip siapa-siapa ya, Bu! Coba deh ibu lihat, saya berbeda, ngga ada yang mirip!”

Deg …

Jantungku berdegup, seolah membenarkan ucapan Tari. Tapi sejauh yang aku kenal, orang tua Tari sangat baik, bahkan mereka sering bertanya perkembangan Tari di kelas. Aku cukup mengenal mereka, terutama mamanya.

Tari menunjukkan layar HP-nya. Di sana Nampak aplikasi Facebook-nya. Di kolom pesan pribadi tertulis kalimat yang membuat mataku terbelalak.

Antari, saya, mama kandungmu!

Sontak saja, mataku menatap Tari. Muncul senyum yang dipaksakan di wajahnya.

“Ini jawaban, kenapa saya berbeda, Bu!”

"Kamu sudah memastikannya, Nak?"

Tari menganggukkan kepalanya.

"Lalu?" tanyaku hati-hati.

"Saya sudah menemuinya, Bu! namanya Shafiya. Wanita itu bilang, dia terpaksa kabur dari rumah karena tidak kuat dengan perlakuan papa. selama mereka berumah tangga, papa sering melakukan tindak KDRT. Akhirnya, dia memilih untuk berpisah. akan tetapi, Papa memberikan syarat. pada saat itu, ibu Shafiya terpaksa menerimanya, yaitu merelakan saya diambil dan diasuh oleh papa."

Tari terdiam. aku tahu dari nada bicaranya, Ia berusaha menahan tangis. Kuusap bahu mungilnya, mengisyaratkan bahwa Ia boleh tidak melanjutkan ceritanya jika merasa tidak mampu.

"Dia tidak menyangka, bahwa setelah proses perceraian selesai papa memilih untuk pergi dan menghilang. Papa dengan sengaja memutuskan hubungan antara ibu dan anak di antara kami. Wanita itu bilang, dia hampir gila. bertahun-tahun mencari saya. semua keluarga papa tutup mulut. tidak ada satupun orang yang peduli kesedihannya karena dipisahkan dari anaknya."

"Apa tari benci papa sekarang?" Tanyaku sambil memegang tangannya.

"Ngga tahu!" jawab Tari sambil menggelengkan kepala.

Tidak mudah menerima kenyataan ini dengan cepat. Aku berusaha bersikap netral. Sebesar apapun kesalahan, orang tua Tari pasti memiliki alasan kuat. Tak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan pernikahannya hancur. Pasangan yang sudah Bersatu dalam pernikahan, pasti akan ingin hidup Bahagia. Apalagi ketika sudah menjadi orang tua, pasti nyawa akan diberikan demi membahagiakan anaknya.

Kujelaskan padanya, jangan menyalahkan papanya. Tari bercerita selama ini rumah tangga orang tuanya baik-baik saja. Tak ada pemukulan dan kejadian buruk lainnya. Dari situ aku menyimpulkan, di pernikahan keduanya, papa tari telah mengubah sikapnya. Mengapa? Karena tari menyatakan orang tuanya tidak pernah bertengkar, berbanding terbalik dengan yang disampaikan wanita itu, wanita yang mengaku ibu kandung tari.

Alquran banyak menjelaskan tentang kewajiban berbakti kepada orang tua. Salah satu yang aku ambil adalah kutipan Surat Al Isra ayat 23, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."

Dalam ayat tersebut Allah telah menyampaikan, jangankan berbuat tidak baik, berkata kasar dan keras saja kepada orang tua itu berdosa. Orang tua juga manusia biasa, tentu tak luput dari perbuatan salah. Namun, sebagai anak kita tidak boleh menjadikan kesalahan orang tua menjadi tameng untuk menyakiti mereka.

Aku meminta Tari untuk menenangkan diri. Cari waktu yang tepat untuk bertanya tentang kebenarannya. Jika, memang kondisinya sesuai dengan apa yang disampaikan ibu Shafiya, Tari tidak boleh marah atau dendam dengan papanya. Bagaimanapun mereka adalah orang tua yang telah berjuang untuk kehidupan tari. Belajar memaafkan adalah cara terbaik menjadi manusia yang baik. Orang yang hebat dan kuat bukanlah orang yang jago berkelahi, orang yang hebat adalah orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain.

Bersyukurlah saat Allah memberikanmu orang tua lebih dari dua orang. Di luar sana masih banyak anak-anak yang hidupnya terlunta-lunta karena tak ada curahan kasih sayang orang tua. Jagalah mereka dengan cinta dan kasih sayang, melalui bakti kepada orang tua, kita dapat meraih surganya Allah.

 

4

 

Hari semakin sore dan hujan deras tak menghentikanku untuk menyudahi pekerjaan. Meskipun hari sabtu dan sendirian di ruang guru, aku tetap semangat untuk menyelesaikan pekerjaan. Berharap besok dapat lebih santai dan menghabiskan waktu dengan keluarga tanpa diganggu tugas-tugas sekolah.

Saat akan mengambil beberapa berkas di ruang kelas, langkahku terhenti di depan ruang sekretariat ekstrakulikuler para siswa. Kulihat ada dua sepasang sepatu dengan ukuran yang berbeda. Pemiliknya seperti laki-laki dan perempuan, terlihat dari model dan warnanya. Apa masih ada siswa di sekolah ini? Tanyaku dalam hati. Saat aku mencoba melihat ke dalam ruangan melalui celah gorden. Mataku terbelalak seolah bersiap loncat dari tempatnya. Seketika detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Bagaimana bisa masih ada dua orang di dalam ruangan ini? Sementara hari sudah sore dan sepi. Mereka berdua saling bercumbu bahkan pakaian bawah mereka sudah hilang entah kemana.

Tok …. tok….

Tok… tok…. Tok….

Pintu itu terus kuketuk, agar kedua manusia di dalam ruang secretariat itu terbuka. Bagaimana mereka bisa melakukan perbuatan asusila di lingkungan sekolah? Perempuan itu juga berhijab, ya Allah, hatiku tersayat-sayat. Siapa mereka? Pertanyaan yang terus kuulang-ulang dalam hati.

Bruk…. Brukkk

Ketukan pintu semakin keras, aku bahkan menendang pintu itu karena tak juga mereka buka pintunya.

“Keluar! Atau ibu panggil satpam!” ancamku dengan kemarahan yang memuncak.

Dua manusia keluar dari balik pintu. Mereka menunduk, si perempuan berada di belakang si laki-laki. 

“Angkat kepala kalian!” pintaku ketus.

Plakkk …...

Seperti tertampar. Perempuan berhijab itu, anak kelasku. Kaki terasa lemas. Hah…. Napasku kian berat. Aya! Mengapa harus kamu?

“Kalian ikut ibu ke ruang guru!”

Tanpa menjawab mereka berjalan di belakangku. Tiba-tiba saja isi kepalaku kosong. Hanya terasa nyut-nyutan karena terserang sakit kepala mendadak. Ya, Allah! Harus aku apakan mereka? Bagaimana bisa mereka berbuat mesum di sekolah? Sudah berapa kali mereka melakukan ini? Aku harus apa?

“Aya, tunggu di sini! Kamu ikut ke dalam!” ucapku setelah sampai di depan ruang guru.

Anak laki-laki itu menuruti perintahku. Ia mengikutiku, dan duduk di bangku yang ada di depan meja kerjaku. Kuperhatikan wajahnya. Aku tahu anak ini Bernama Andi. Anak yang cukup aktif di ekskul pecinta alam, karena dia adalah ketuanya.

“Andi, itu nama kamu kan? Kelas XII IPS 5?”

“I…iya, Bu!” jawabnya masih dengan menunduk.

“Silakan jelaskan, saya ngga mau banyak tanya!”

“Saya, Minta maaf, Bu. Aya tidak salah. Saya yang mengajaknya!”

“Sudah berapa kali kalian melakukan ini di sekolah?”

“Sumpah bu, ini yang pertama kali! Ini ngga sengaja bu! Aya dan saya baru bertemu di sini, Bu!”

“Bukannya kamu sudah punya pacar? Siapa Namanya? Kelas XII juga kan?”

“Iya, Bu! Maaf!”

“Kamu sudah gila atau gimana sih?!” kata-kataku tercekat, tak dapat melanjutkan kata-kata atau lebih tepatnya menahan diri untuk tidak memakinya.

“Tunggu panggilan saya besok senin! Pastikan kamu masuk dan jangan lari dari tanggungjawab!”

“Tapi… saya dan aya belum sampai ….e….e….!” 

Andi tak berani melanjutkan kata-katanya setelah menyadari aku menatapnya dengan sinis. 

“Keluar! Tunggu panggilan saya hari senin!”

“Maaf bu, saya permisi!”

Kusandarkan punggung yang terasa lemas di kursi kerjaku. Berkali-kali kuatur napas yang terasa sangat berat ini. Tubuh mungil Aya masuk ke dalam ruangan. Aku bersikap tak memperhatikannya. Dengan wajah masih tertunduk, ia duduk di kursi yang sama dengan yang duduki Andi tadi.

“Angkat kepala kamu, ay!”

Aku Kembali terkejut. Tak ada tangis di matanya. Ia bahkan memberikanku senyum yang dipaksakan. Lebih tepatnya ia menyeringai. Ada apa denganmu, Aya? Bagaimana bisa ini kamu lakukan?

“Saya yang salah, Bu! Tidak ada paksaan. Saya melakukannya dengan senang hati!”

Hah… kakiku semakin mati rasa. Jangankan untuk menendang anak ini, untuk berdiri saja tak sanggup. Antara marah, kecewa, bingung, sedih, semua bercampur menjadi satu. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar tanpa ada rasa salah sedikitpun!

“Kamu anggap perbuatan kamu benar, AYA?!” Tanyaku tegas.

“Saya bukan anak kecil, semua orang tahu, ini salah!”

“LALU KENAPA KAMU TETAP MELAKUKANNYA??”

Tak terasa air mataku menetes. Rasa marah akhirnya membuatku menangis. Entah apa yang dirasakannya?

Aya terdiam, melihatku menangis. Mungkin muncul rasa bersalah yang amat besar.

“Andi sudah punya pacar, apa kamu tidak tahu?” tanyaku Ketika sudah bisa menghentikan tangis.

“Saya tahu bu!”

“Kamu pacar keduanya?”

“Bukan.”

“Lalu, mengapa kalian melakukan itu kalau tidak pacaran?”

“Apa kalau pacaran dibolehkan?”

“Aya!!” ucapku dengan mata membelalak.

“Kami hanya ingin bersenang-senang.” Katanya datar.

“Ay, ada apa? Mengapa harus kamu melakukan ini?”

Aya menatapku, seperti berharap menemukan jawaban dari balik matanya. 

“Saya sudah kotor, Bu! Tidak ada yang tersisa, tidak ada yang bisa saya banggakan dalam diri saya.”

“Apakah Andi sudah melakukannya berkali-kali sama kamu, Ay?”

“Bukan Andi, saya bahkan baru bertemu dia sekarang!”

“Ya, Allah! Ay….”

“Murahan ya, Bu? Saya memang murahan!”

Aku tak bergeming.

“Alden bilang ngga akan meninggalkan saya! Saya relakan semuanya buat dia. Tapi dia pergi bu, tinggal saya yang kotor ini sendiri. Bagaimana jika orang tua saya tahu? Bagaimana jika tidak ada laki-laki yang menerima keadaan saya? Apa saya tidak akan menikah?”

Air mata menetes lagi di pipiku.

“Kamu ngga sendiri, ibu akan selalu ada untuk kamu. Setiap orang punya masa lalu. Tidak ada yang bebas dari dosa. Semua pasti punya kesalahan.”

Aya tertunduk, bahkan menelengkupkan kepala di antara tangannya di atas meja. 

Aku memberikannya sebuah Alquran, setelah dibuka isinya lengkap dengan terjemahannya. Aya memberanikan diri menatap wajahku, pandangannya seolah memberi isyarat pertanyaan, untuk apa Alquran ini?

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” Surat Al Isra ayat 32.

Itulah yang tertulis pada lembar Alquran yang aku berikan padanya. 

Kemudian, aku Kembali mengambil Alquran dan membukanya halaman demi halaman. Setelah berhenti mencari, aku Kembali menyerahkan Alquran itu. Aya pun Kembali membaca halaman yang diberikan.

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” Surat At Tahrim ayat 8. 

“Aya, Zina termasuk dosa besar. Salah satu manusia yang dihindari Allah saat di padang masyar nanti adalah manusia-manusia yang suka melakukan zina semasa hidupnya. Tapi Allah Maha Pengampun, hamba yang melakukan kesalahan diberikan kesempatan untuk bertaubat, taubat nasuha. Taubat yang benar, dan berjanji tidak akan mengulangi dosa itu lagi.”

Aya hanya tertunduk mendengar ucapanku. Dadaku sesak.

“SALAH, NAK! Jika kamu bersalah tetapi kamu menjadikan kesalahanmu itu alasan untuk melakukan dosa yang lain. Selama napas masih ada, itu tandanya Allah masih memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Berapa banyak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan atau bahkan pelecehan seksual? Apakah mereka tidak punya masa depan? Apakah mereka tidak berhak melanjutkan hidup? Aya tahu Oprah Winfrey?”

Pertanyaanku dijawab dengan anggukan saja.

“Oprah Winfrey pernah diperkosa. Siapa dia sekarang? Dia adalah salah satu host paling berkualitas. Hampir di semua negara di penjuru dunia ini kenal Oprah Winfrey. Apakah kasus perkosaannya membuat dia tak bisa hidup? Justru dia bangkit, menunjukkan kemampuannya agar tidak dipandang sebelah mata. Ya, meskipun cerita kalian berbeda, tapi keadaan fisik bukan alasan kita untuk menyerah.”

Aya mulai tak bisa membendung tangisannya. Dia menangis sejadinya. Berteriak, ya, Aya harus mengeluarkan semua rasa sakit. Aya harus menghilangkan kegilaan ini dari hidupnya. Aku memeluknya, dengan lembut aku berkata, “menangislah, nak! Lepaskan semua amarahmu, lepaskan semua kekecewaanmu. Jangan hancurkan dirimu karena orang yang tidak tulus mencintaimu, ada Allah, ada keluargamu, ada ibu. Minta ampun kepada Allah, bangkitlah, dan lupakan hal buruk dalam  hidupmu. KAMU BERHAK BAHAGIA.”

 

5

 

Akhir pekan ini, aku memilih untuk tidak kemana-mana. rutinitas sebagai seorang guru cukup menguras tenaga dan pikiran. 

"Siapa mereka?" Tanya Mas Ari saat melihatku membuka galeri foto sambil berbaring di sofa.

"Anak-anak di sekolah. Anak-anak yang memiliki masalah di usianya yang masih muda."

Mas Ari duduk di sofa yang berada di hadapanku, sambil membawa peralatan pancingnya. Ia menatapku.

"Punya anak perempuan itu berat ya, Mas?"

"Beratnya?"

"Pergaulan anak zaman sekarang tuh benar-benar bahaya. seks bebas, pergaulan bebas, bahkan bisa hamil di luar nikah!"

"Punya anak laki-laki juga sama! narkoba, tawuran, hamilin anak orang!"

Deg.

Jawaban Mas Ari menyadarkanku, bahwa bukan berdasarkan jenis kelamin orang tua diberi kemudahan mendidik seorang anak. Laki-laki atau perempuan memiliki cobaannya masing-masing.

"Memangnya, Ada anak kamu yang bermasalah lagi?"

aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Belum lama ini Mirna mengabari bahwa Ia melahirkan seoranga anak, lalu Antari dengan kasus rasa kecewanya karena perpisahan orang tua. Kemarin, aku memergoki dua siswa berbuat mesum."

Hem... aku menghela nafas, dan meletakkan tangan di dahi sambil memejamkan mata.

"Terus, Kamu kenapa? ngeluh?"

"Kecewa!"

"Kecewa sama anak-anak kamu?"

"Kecewa karena merasa gagal jadi guru mereka!"

"Tugas kita sebagai pendidik itu, mendidik, mengajari, mengarahkan, mengingatkan. Kalau mereka melakukan kesalahan, itu pilihan mereka. Kita ini tidak memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan hati serta pikiran orang lain. berbuat hal yang benar dan salah merupakan tanggungjawab diri sendiri."

Aku hanya menganggukan kepala, tanda membenarkan ucapan suami.

"Apa karena ini juga Allah belum memberi kita keturunan?"

"Loh, kok malah nyambungnya ke situ?"

"Ya, mungkin ini cara Allah mempersiapkan kita untuk jadi orang tua yang mampu mendidik dan menjaga anak dengan benar!"

"Atau bisa jadi Allah sedang mengingatkan kamu untuk ngga terlalu cape kerja. Biar bisa fokus dengan program kehamilan."

mendengar kalimat Mas Ari hanya membuatku semakin cemberut.

"Anak-anak itu spesial. di usia muda mereka sudah diberikan pelajaran berharga oleh Allah. jika mereka bisa melaluinya, mereka akan menjadi Hamba yang taat. Setiap orang diberikan cobaan yang berbeda-beda, semua hal yang terjadi pasti akan ada hikmah yang dapat diambil agar manusia itu menjadi lebih baik."

Aku hanya memandangi Mas Ari yang memberiku nasihat, namun tetap sibuk mengutak-atik peralatan pancingnya.

"Makanya kita harus bersyukur. ditakdirkan bekerja sebagai guru. kita bisa bermanfaat untuk orang lain. namun, kamu tetap harus ingat bahwa kesalahan atau keburukan yang mereka perbuat bukan menjadi tanggungjawab kamu. merekalah yang memilih itu."

Ah! dibalik sikapnya yang kaku, aku begitu jatuh cinta dengan pola pikirnya yang hangat dan tenang. Selama kami bersama, tidak pernah aku tersakiti karena kondisi kami yang belum diberi keturunan.

"Semoga Mirna kuat menjalani hidupnya dengan Hasita. semoga Antari bisa menerima dan memaafkan orang tuanya, dan semoga Aya dapat memulai hidup baru yang jauh lebih baik."

"Amiin." ucap Mas Ari, lalu kubalas dengan sebuah senyuman.

 

6

 

Masa liburan sekolah adalah salah satu keuntungan yang didapat oleh seorang pendidik sepertiku. Ketika para Siswa libur, kami pun merasakan hal yang sama. Meskipun lama libur kami jauh lebih singkat dari mereka. Hari ini aku berencana untuk menghabiskan waktu sambil rebahan dan menonton drama korea. Ya, tak ada pilihan lain karena belum direpotkan oleh kehadiran buah hati. sepi? jawabannya "Pasti". Tetapi mengeluh, bukan menjadi solusi. Lebih baik menikmati waktu, dan mesyukuri setiap hal yang ditakdirkan Allah untukku.

derrrt.....derrrttt...

Handphoneku bergetar, sebuah panggilan masuk tanpa diketahui nomornya.

aku memilih tidak memedulikannya. paling hanya orang iseng!

derrrt...derrrt....

Panggilan itu tidak juga berakhir. sepertinya si penelepon tidak mudah menyerah.

setelah beberapa menit berlalu, dan tertulis 15 panggilan tak terjawab di handphone, kuputuskan untuk mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Bu Nisca. Saya Darel Bu."

Aku masih terdiam. berusaha mengingat wajah seseorang yang mungkin aku kenal memiliki nama Darel.

"Saya Darel Putra Azzam, Bu! dulu kelas XI IPA 2. Saya Angkatannya Ismail, Bu!"

"Oh...Ya Allah, walaikumsalam Darel. Maaf ya! tadi ibu berusaha ingat-ingat dulu. Kamu apa kabar?"

Akhirnya aku menyadari, ini bukan sekadar orang iseng. Darel sudah lulus hampir tiga tahun lalu. Si anak paling pendiam dan ganteng di angkatannya.

"Saya jadi keingetan sama kata-kata ibu waktu di kelas dulu."

Ucapan Darel, membuatku tersadar ia masih tersambung denganku di telepon.

"Kata-kata apa rel? sampai kamu menghubungi ibu. tumben!"

"Ibu pernah bilang, lelaki seburuk apapun dia, ditakdirkan untuk memilih. perempuan secantik apapun dia, ditakdirkan untuk dipilih."

"Oh iya, kok kamu masih ingat kata-kata ibu, Nak. Darel mah ganteng, pasti bingung ya memilih. soalnya pasti banyak perempuan yang meminta kamu untuk memilih mereka."

Darel terdiam. hanya suara hembusan nafasnya yang terdengar.

"Rel, Kok diam?"

"Faktanya, perempuan yang saya pilih, tidak memilih saya bu! saya sudah memohon, tetapi dia tetap tidak menginginkan saya!"

"Masa sih Rel? cowok seganteng kamu ada yang nolak!" ucapku sambil cengengesan.

"Ini yang terjadi bu! rasanya saya ngga mau hidup lagi."

Deg.

Suara tawaku seketika berhenti. 

Ada isak tangis yang kudengar. 

"Rel!" panggilku lembut. Jujur saja, aku bingung. Darel tidak dekat denganku semasa Ia menjadi siswa. Sikapnya pendiam, serta wajahnya yang banyak digilai teman-temannya membuat Ia terkesan misterius. Tiba-tiba, Ia menghubungiku. berbicara tentang cinta, dan menangis. Ada apa dengannya?

"Darel." panggilku lagi.

"Sa...ya..." suara Darel terbata-bata.

"Menangislah Nak. Ibu temani kamu!"

untuk beberapa menit hanya ada keheningan di antara kami. isak tangisnya, membuatku merasakan kepiluan itu. 

"Maafin Saya ya, Bu." kalimat pertama setelah Darel berhasil mengendalikan dirinya.

"Menangis itu bisa menjadi salah satu pereda rasa sakit. Tidak ada aturan dan larangan seorang laki-laki tidak boleh menangis. laki-laki juga manusia, punya akal, pikiran, dan perasaan."

"Terima kasih ya, Bu."

"Ibu berterima kasih karena Darel mau telepon ibu. ibu tidak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, tapi ibu yakin setiap masalah pasti ada solusinya."

"Saya harus bagaimana, Bu? Dia memilih untuk menikah dengan lelaki lain. Cuma dia yang saya inginkan Bu!"

"Nak, Waktu yang akan menyembuhkan kamu. suatu saat kamu akan bertemu dengan orang yang tepat. apalagi kamu ganteng, Darel!"

"NGGA! SAYA MAU DIA BU!"

Tut...tut...tut

Darel memutuskan panggilan tanpa pamitan. Suara kerasnya membuatku terkejut.

Patah hati bisa terjadi kepada siapapun. tidak peduli wajahnya tampan atau jelek, badannya tinggi atau pendek, tubuhnya kurus atau gemuk. Darel menjadi pria impian saat masih di SMA. tetapi hari ini, Ia terdengar menyedihkan. Aku tidak tahu kisah asmaranya, namun, tangisnya menggambarkan bahwa Ia sangat terpukul.

7

 

“Kamu ngapain sih dari tadi bolak-balik lihat HP? Nunggu kabar dari siapa?” Tanya Mas Ari saat kami akan Bersiap-siap tidur.

“Ngga, tadi pagi tiba-tiba siswa aku yang sudah lulus beberapa tahun lalu telepon. Selama ini, dia tuh ngga akrab sama aku. Anehnya, saat telepon dia bilang kalua dia ingat kata-kata yang pernah aku sampaikan di kelas. Terus dia nangis dan putuskan sambungan telepon begitu aja!”

“Terus?”

“Ya, aku jadi khawatir aja. Terus aku coba telepon balik, ngga diangkat!”

“Wali kelasnya dulu kamu?”

Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.

“Sudah tanya ke wali kelasnya?”

Pertanyaan Mas Ari membuatku menepuk kening. Kok, bisa ya aku ngga kepikiran menghubungi teman kerja.

Saat aku melihat daftar kontak di layar HP sambil mengingat wali kelas Darel, Ada panggilan masuk dari Darel. ‘Alhamdulillah’, ucapku dalam hati.

“Halo Assalamualaikum, Rel.” sapaku penuh semangat.

“Walaikumsalam, Maaf ini dengan Siapa?”

Ternyata bukan Darel yang menghubungiku. Aku Kembali melihat layar HP, memastikan nomor itu sama dengan yang Darel gunakan untuk menghubungiku. Tanpa diragukan nomornya sama, tetapi mengapa orang lain yang bicara denganku sekarang?

“Saya, Ibu Niscala. Maaf saya bicara dengan siapa ya? Ini nomor Darel kan?”

“Selamat malam, Ibu. Saya menghubungi ibu karena nomor ibu yang ada di panggilan terakhir. Saat ini Saudara Darel berada di Kamar Jenazah RSUD Bogor. Apakah bisa ibu ke lokasi karena kami butuh keterangan?”

Bruk….

HP terlepas dari genggaman. Kamar jenazah? Apa maksudnya ini? Apa yang terjadi?

“De, kamu kenapa?”

Pertanyaan Mas Ari menyadarkanku. Ini bukan mimpi. Sambungan telepon itu nyata.

“Ayo, Mas. Antar aku ke RSUD Bogor!” jawabku sambil beranjak dan membuka lemari untuk berganti pakaian.

“Bogor? Mau ngapain?”

“Nanti di jalan aku jelaskan!”

Mas Ari pun bergegas menyiapkan diri. Kami berangkat ke Bogor.

 

***

Sepanjang perjalanan aku hanya berbicara seperlunya. Akhirnya, aku menghubungi Bu Dianti. Memintanya untuk menghubungi keluarga Darel. Bu Dianti adalah wali kelasnya semasa SMA. Untungnya, Bu Dianti masih menyimpan nomor orang tua Darel.

Drrttt…

Suara panggilan masuk, Bu dianti memanggil.

“Nis, lo lagi otw ke Bogor?”

“Iya, Di. Dianter suami.”

“Oke, hati-hati ya! Gue sudah komunikasi sama mamanya Darel. Beliau juga ngga tahu apa-apa. Untuk mengurangi rasa khawatir, gue bilang aja dapat kabar Darel di rumah sakit.”

“Makasih ya, Di! Nanti kalau udah sampai, Lo akan gue kabarin!”

“Nis, maksudnya di kamar jenazah itu….?”

“Gue kabarin ya, Di. Untuk saat ini, kita jangan berpikiran macam-macam. Jujur, gue bingung.” Ucapku memotong kalimat Bu Dianti.

“Oh…Oke, Lo telepon gue aja jam berapapun pasti akan gue jawab!”

“Oke.”

Setelah pembicaraan kami berakhir, aku Kembali terdiam. Pikiranku mencerna percakapan antara aku dan Darel tadi pagi. Berulang kali aku mengingatnya, tetap tidak menemukan kejanggalan apapun.

Ada apa sebenarnya ini?

Aku tidak berani untuk menerka-nerka. Apalagi sampai berpikiran hal buruk telah terjadi pada Darel.

***

Arghhhh……

Seorang Wanita paruh baya berteriak di depan kamar jenazah.

Langkahku terhenti mendengar teriakkan itu. Mataku terpaku melihat Wanita itu bersimpuh di lantai dan menangis sambil memukul dadanya. Dia pasti begitu merasakan kepedihan.

Aku masih terus mematung, kakiku terasa kelu untuk melanjutkan Langkah.

“DAREL, ANAKKU!”

Kalimat yang keluar darinya membuatku tumbang. Wanita itu ternyata adalah Ibunda Darel. Hal buruk yang kutakutkan ternyata nyata. Aku bahkan terlalu lemah hanya sekadar untuk bertanya, “Apa yang sedang terjadi?”

Mas Ari berinisiatif menemui Wanita itu. Di hadapanya ada tiga orang laki-laki berseragam polisi.

“Maaf, Pak. Perkenalkan saya Ari Al Akbar. Suami dari Bu Niscala yang tadi bapak-bapak hubungi.”

“Kami bertiga yang bertugas untuk menangani kasus ini, Pak. Kalau boleh kami tahu, di mana Ibu Niscala?”

Mas Ari mengarahkan tangan ke arahku yang masih mematung tak jauh dari mereka.

“Istri saya Shock, Pak. Orang ini tadi pagi masih berkomunikasi dengan istri saya. Maaf, sebenarnya ada apa ini pak?”

“Saudara Darel ditemukan tewas di kontrakannya. Dari lokasi, dugaan kami ini adalah Tindakan bunuh diri.”

“Ya, ALLAH.” Teriak Ibunda Darel. Ia Kembali menangis meraung-raung. Tidak ada seorang pun yang terlihat menemaninya.

Melihatnya menangis. Kakiku berusaha untuk melangkah. Rasanya perih, melihat seorang ibu meratapi kepergian anaknya yang begitu tragis. Kubelai pundaknya yang terlihat rapuh. Suara tangisannya begitu menyayat hatiku.

“Istighfar, Bu. Bismillah Ibu kuat.” Dengan suara pelan, aku berusaha menenangkan. Meskipun aku sendiri merasa kalut.

Ibunda Darel menoleh ke arahku, dengan masih terisak. Selama beberapa detik ia menatapku. Kemudian, tangisannya Kembali pecah.

Kupeluk tubuh kurusnya. Kubiarkan ia menumpahkan kesedihannya.

“Saudara Darel ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Beberapa saksi menyebutkan dua hari yang lalu terjadi keributan dengan seorang Perempuan di depan rumah. Perempuan itu meminta Saudara Darel untuk tidak mengganggu hidupnya.”

“Perempuan itu sudah kami hubungi. Kebetulan hari ini beliau menikah, sehingga tidak bisa ke sini untuk memberi keterangan.”

Deg.

Penjelasan para bapak polisi ini membuatku teringat Kembali percakapan dengan Darel. Ya, inilah maksud dari perkataannya! Namun, keputusannya untuk mengakhiri hidup telah melukai banyak orang. Terutama Perempuan paruh baya yang sedang menagis di pelukanku ini.

“Saudara Darel meninggalkan selembar kertas untuk Ibu Niscala.” Ucap salah seorang polisi sambil memberikan kertas itu kepada suamiku.

Aku mengambil surat itu dengan rasa yang campur aduk. Tidak memahami cara berpikir Darel, serta bingung karena kami tidak terlalu dekat. Namun, Ia menghubungiku di saat akhir hidupnya, bahkan meninggalkan selebar surat untukku.

Untuk Ibu Niscala,

 

 Saat ibu membaca surat ini, saya yakin banyak pertanyaan yang muncul di pikiran, Ibu! Saya memamng bukan siswa wali kelas ibu, namun sejak saya masuk di SMA, ibu adalah salah satu guru yang mampu membuat saya tertarik.

Saya iri dengan keceriaan ibu. Ibu selalu hadir di kelas dengan senyum tawa, dan cerita-cerita konyol yang membuat kami tertawa. Ibu selalu bilang, jika ibu bukan wanta yang cantik dan sempurna, tetapi saya senang memandangi ibu. Kehadiran ibu membuat saya merasa Bahagia.

Semua orang bilang jika saya adalah lelaki Impian para Perempuan. Tapi ibu harus tahu, saya merasa tidak begitu. Saya tidak punya keberanian untuk bicara dengan orang lain. Saya merasa malu jika ada orang yang menatap saya. Lidah saya kaku Ketika orang-orang mengajak saya berbicara. Maka itu, saya iri melihat ibu.

Bu, saat kuliah saya bertemu dengan Perempuan yang menyenangkan seperti ibu. Perempuan ini membawa perubahan dalam hidup saya. Saya sangat Bahagia Bersama dia. Saya tidak membutuhkan siapapun saat Bersama dia.

Lima tahun kami Bersama, Bu. Tetapi tiba-tiba, Ia memilih untuk menerima lamaran dari laki-laki pilihan orang tuanya, Bu. Saya sudah memohon, meminta untuk tidak ditinggalkan. Tetapi nyatanya, saya sendirian lagi. Padahal, ibu bilang lelaki itu memilih, dan Perempuan itu dipilih.

Saya akhirnya memilih jalan ini, Bu. Saya tidak akan sanggup melalui hari tanpa dia. Maafkan saya bu.

Tolong sampaikan kepada mama saya, Bu!

Mama Perempuan hebat. Mampu bertahan menjalani rumah tangga dengan lelaki berengsek seperti Papa. Dipukuli, ditampar, bahkan dilempar barang, namun mama tetap memilih untuk bersamanya.

Saya benci jika alasan mama bertahan untuk saya. Saya tidak butuh tumbuh dewasa dengan melihat itu semua.

Saya sudah memaafkan mama. Semoga mama juga memaafkan saya!

 

Arrghh….

Kini, suara tangisku yang pecah. Kupeluk surat itu. Aku sadar menangispun taka da gunanya. Namun, aku harus melepaskan sesak di dada ini agar dapat melanjutkan hidup dengan torehan kenangan pekat dari kisah pilu salah satu anak didikku.

Mengapa harus jalan ini yang kau tempuh, Nak? Sementara Tuhanmu membenci Tindakan hina ini.

Dalam Surat AnNisa ayat 29 -30 memiliki arti “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Pelukan Mas Ari tak cukup menenangkan tangisku. Aku membiarkan tangisan itu terus menggema. Malam semakin dingin, namun rasa dinginnya terkalahkan oleh rasa sakit karena kepergian Darel. Melihat Ibundanya membuatku merasa tak berguna. Seharusnya, anak-anak seperti Darel, Mirna, Aya, dan Antari dapat menjalani hidupnya dengan baik. Tetapi, aku hanya manusia biasa. Tidak memiliki kehendak untuk mengubah keadaan. Semua sudah diusahakan, semua sudah diajarkan, dijaga sebaik mungkin, dirawat agar tidak layu, Namun akhir cerita adalah takdir Tuhan yang tak bisa aku hindari.

 

 

8

Sejak malam kepergian Darel, aku lebih suka menyendiri. Mengulang serta berusaha mengingat para anak didikku satu persatu. Mereka pasti banyak mengalami cerita pahit dalam hidup. Mengetahui cerita beberapa anak saja sudah membuatku merasa gagal. Bagaimana jika di luar sana masih banyak dari mereka yang mengalami hal buruk juga?

Apa manfaatnya bersekolah, jika hal-hal baik tidak diterapkan dalam hidup mereka?

Apakah ucapan guru hanya sebatas tiupan angin lalu?

Didengar, lalu dilupakan.

Tahun Pelajaran ini, aku harus lebih semangat. Aku harus menebarkan kasih sayng untuk anak-anak di sekolah. Mereka yang telah menjalani kehidupan pahit adalah anak-anak yang jauh dari orang tua atau telah kehilangan orang tercinta mereka. Rasa kesepian, rasa kehilangan, rasa diacuhkan dan diabaikan membuat mereka memilih jalan yang salah.

Guru seharusnya bukan saja menjadi mentor dalam ilmu di atas kertas. Seharusnya kami juga mampu menjadi motivator dan inspirator bagi mereka. Kalau bukan guru, siapa lagi yang peduli untuk membangun negeri ini.

Para generasi muda harus memiliki fondasi yang kuat untuk mengarungi kehidupan mereka. Kesuksesan mereka di masa yang akan datang, akan menjadi angin segar bagi generasi sebelumnya.

“Ayo Niscala, Semanag!” ucapku dalam hati.

Dua tangan hangat mendekapku dari belakang. Dagunya diletakkan di atas kepalaku. Aroma tubuhnya menenangkan.

“Sudah beberapa hari saya lihat kamu lebih banyak diam.”

“Ngga apa-apa kok, Mas! Rasanya lebih tenang kalua diam begini.”

“Saya sudah sering bilang kalau anak-anak itu punya jalan hidup mereka masing-masing. Kita tidak bisa mengontrol, apalagi memiliki kuasa untuk membuat mereka tetap menjalani yang benar.”

“Ehm….” Ucapku sambil membalikkan tubuh, dan memeluk Mas Ari denga erat.

“Kamu tuh jarang pakai parfum. Tapi, wanginya enak banget.”

Mas Ari menghujani keningku dengan kecupan. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Aku tahu, ini salah satu caranya untuk membuatku merasa tenang.

“Ya, Allah. Nikmat mana lagi yang harus aku ingkari. Diberikan suami yang baik, yang dapat menerimaku apa adanya.” Ucapku dalam hati.

Kami larut dalam kehangatan malam yang sunyi. Menyatukan perasaan agar menjadi semakin baik. Membiarkan perasaan cinta kami menyatu, hingga kesedihan itu tenggelam, dan yang tersisa hanya Kumpulan rasa Bahagia.

***

 Besok, liburan anak sekolah berakhir. Aku merindukan mereka. Meskipun harus dihadapkan lagi dengan setumpuk pekerjaan yang tidak mengenal kata putus.

Kupandangi sekeliling, melihat kondisi rumah yang sudah kami perjuangkan Bersama. Meskipun tidak luas dan besar rumah ini sangat nyaman, namun rasa kurang itu tetap ada. Tak ada suara tangis tawa anak di sini. Hidup Bersama Mas Ari memang tidak membuatku kesulitan. Menunggu kehadiran buah hati saja dapat kami lewati dengan tenang.

Beliau selalu berkata, “Allah itu tidak pernah menyia-nyiakan usaha setiap hambanya.”

Perlahan kubelai perut ini, seraya berkata, “Nak, tolong sampaikan kepada Allah. Ummi masih menunggu kehadiranmu. Ummi dan Baba sabar menantikanmu. Meskipun rasa rindu ini semakin sulit terbendung. Cepat hadir ya, Nak!”

Titik-titik air mata ini tumpah juga.

Dalam diam, tangis ini sulit kuhentikan. Aku hanya manusia biasa yang tingkat keimanannya naik turun. Ketegarannya mudah goyah.

 

Bunyi panggilan masuk dari Mas Ari.

Sebelum menjawabnya, aku berusaha menenangkan diri dan tidak menangis.

“Assalamualaikum. Kok lama ngangkatnya?”

“Maaf mas, tadi HP-nya di kamar!”

“Suaranya kok gini? Habis nangis ya.”

“Ngga kok. Ehmm… sedikit…hehehe”

“Sayang, kalau kamu gini terus nanti aku minta kamu berhenti aja kerjanya.”

“Eh, kok gitu? Kok kamu sekarang sering nyuruh aku untuk ngga kerja sih?”

“Kamu jadi ngga bisa bedain mana kerjaan, mana bukan!”

“Ngga kok, oke…oke…aku janji ngga nagis lagi, ngga baper lagi.”

“Ya, ngga gitu juga. Saya tahu, kamu menyayangi anak-anak itu. Tapi usia mereka buakan TK atau SD lagi. Mereka sudah SMA bahkan sudah kuliah. Mereka sudah cukup dewasa untuk bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk.”

“Iya Sayang! Please jangan marah lagi ya. Aku janji, akan lebih bisa mengatur perasaan lagi. Janji ngga akan cengeng, dan kesal sendiri.”

“Terserah kamu. Saya begini juga demi kamu.”

“Siap, Bos! ngomong-ngomong, tumben telepon. Ada apa?”

“Nanti malam aku ngga pulang. Masih ada beberapa yang harus diselesaikan. Tapi, aku usahain pulang.”

“Lagi ngerjain apa sih? Ngga biasanya sampai ngga pulang.”

“Proyek penting.”

“Oh, Oke. Mudah-mudahan sukses, terus punya banyak uang.”

“Giliran uang, semangat ya!”

Aku hanya membalas dengan suara tertawa yang terkekeh.

“Baik-baik ya, Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.”

Aku menyandarkan kepala di sofa setelah panggilan Mas Ari terputus.

Sekarang, aku memang lebih mudah menangis. Wajar jika Mas Ari kurang menyukainya. Aku jadi teringat kisah kami sebelum menikah. Mas Ari sangat takut Ketika kudekati, bukan karena wajahku yang biasa saja. Tapi lebih kepada rasa takut atas keberanianku.

Mas Ari terlahir dari keluarga yang agamis. Beliau terbiasa menjaga hubungan secara langsung dengan Perempuan. Memilih untuk menghindari perbuatan buruk. Berbeda jauh dengan aku yang terbiasa berteman dengan banyak lelaki.

Bertemu dengannya, seperti menhadapi tantangan lain yang ingin dikuasai. Tanpa disadari, mengingat hal itu mampu membuatku tersenyum dan merasakan kebahagiaan di dalam hati meskipun hanya sekejap.

Aku yang terlalu beruntung? Atau Mas Ari yang sedang sial?

Kalimat ini muncul begitu saja di hatiku, dan aku pun tersenyum sendiri.

Ya Allah, semoga perasaan ini selamanya. Kebahagiaan ini membuatku mampu menghadapi apapun dalam hidup.

Semoga buah cinta kami akan segera hadir, menjadi pelengkap kisah cinta kami. Seperti perjuangan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, serta Nabi Zakaria dan istrinya.

“Nak, meskipun kamu masih menjadi Sel Telur. Namun, ummi percaya kamu bisa mendengar kata-kata ummi ini!”

 

 

9

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mataku tak juga mau terpejam. Hati ini terasa kurang nyaman. Mungkin karena Mas Ari tidak ada di rumah.

Biasanya, kalau sulit tidur seperti ini, aku akan mencari dan mendekap tangannya. Wangi khas tubuhnya membuatku merasa nyaman.

Huh… jika kondisinya begini, aku semakin merindukan kehadiran seorang anak. Jika saja, andai aja, bila saja, yah… kata-kata pengandaian yang seharusnya tidak kuucapkan terlintas begitu saja di pikiranku. Kata pengandaianku membawa ke dalam alam mimpi.

Tok....tok....

Suara pintu diketuk entah sudah yang ke berapa kali.

Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Dalam kondisi yang belum sadar betul, aku memilih untuk melihar layar HP. Ada 10 panggilan tak terjawab dari MAs Ari. Segera kulangkahkan kaki untuk melihat apakah Mas Ari pulang ke rumah?

Benar saja, ia berada di depan rumah. Biasanya Ia membawa kunci rumah.

Krek....

Kuusap mata, takut penglihatan keliru dengan pemandangan yang ada di depan mataku. Mas Ari tidak sendiri, ada seorang bayi di dalam dekapannya. Ia memberiku senyuman, lalu masuk ke dalam rumah tanpa kata-kata.

Kuikuti langkahnya yang menuju kamar, dengan sangat hati-hati dibaringkannya bayi itu. Ketika lampu kamar dinyalakan, baru aku sadar bayi kecil itu terlihat seperti baru dilahirkan.

Aku mendekatinya, hati ini begitu bergetar. Ada sesosok makhluk lain di antara aku dan mas Ari. Matanya terpejam, kulitnya kemerahan, dan bibirnya kecil sekali.

"Bayi perempuan, sayang. Baru dilahirkan jam sebelas tadi."

"Anak siapa ini mas? Kenapa kamu bawa pulang?"

Aku mengalihkan pandangan ke mas Ari. Ia juga menatapku. Tersembul senyuman di wajahnya yang tampak lelah.

"Kalau kamu setuju, biarlah bayi kecil ini menjadi anak kita."

Deg.

Jujur, hatiku dirasuki kebimbangan. Tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih dengan kondisi ini.

"Kok diam? Kamu ngga senang kalau kita punya anak?"

Pertanyaan mas Ari menyadarkanku yang terdiam.

Ia mengambil tanganku, dan meletakkannya di atas bayi mungil ini.

Aku menatapnya kembali. Kami saling pandang. Terlihat di matanya, ia menyimpan harapan agar aku menyetujui keinginannya.

"Kamu merasakan detakan jantungnya ngga? Apa rasanya menyentuh bayi yang Allah berikan untuk kita."

Tanganku bisa merasakan detakan jantungnya. Seolah menyadari kehadiranku, bayi itu menggeliat, dan terlihat sangat menggemaskan.

"Apakah ini jawaban atas doaku ya, Allah?" Tanyaku dalam hati.

"Kalau kamu ngga setuju, besok pagi kita bawa ke panti asuhan."

"Kok panti?" Tanyaku, terkejut dengan ucapan mas Ari.

"Tidak ada yang menginginkannya sejak lahir. Ibunya sendiri hampir saja melemparnya ke rel kereta api."

"Astagfirrulah, serius Mas?"

"Tadi saya yang menghentikan perbuatan itu. Ia memilih untuk mati bersama anaknya. Saya berhasil membujuknya, ia bersedia, asalkan saya mau merawat bayi tak berdosa ini."

Refleks, kuangkat bayi itu dalam dekapanku. Kudekap dengan erat karena merasa iba dengan nasibnya.

"Apa mereka tidak akan mengambilnya?"

"Ngga. Bayi ini anak kita sekarang."

Kupandangi bayi mungil ini. Ia tampak nyaman dalam dekapanku. Ya Allah, aku memang pernah berdoa, cara apapun yang kau berikan untukku asalkan aku bisa menjadi seorang ibu akan aku terima. Lantas, inikah jawban atas doa itu?

"Besok kita urus kebutuhannya. Kita kabari juga keluarga."

"Berarti besok aku izin ngga ke sekolah?"

Mas Ari menganggukan kepala, dan melangkah keluar kamar dengan mengalungkan handuk di lehernya.

Detak jantungnya terasa di dadaku. Nyaman, tentram. Kucium keningnya. Ada, rasa yang tak terkatakan. Namun, aku merasa bahagia.

"Nak, apakah aku ditakdirkan menjadi ibumu?"

Kubelai pipi lembut miliknya, hatiku makin tak menentu. Ada bulir-bulir air mata yang menetes tanpa kusadari. Kuletakan kembali ia di kasur, kemudian ikut berbaring di sebelahnya. Air matapun terus menetes. Namun aku tahu, air mata ini tanda rasa bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

10

 

Suara tawa kami membahana di kamar, Melihat ekpresi yang muncul di wajah putri kecil kami. Ya, sudah satu suara tangis bayi bergemuruh di rumah kami yang dahulu terasa sunyi.

Sejak malam itu, akhirnya kami mengabarkan ke seluruh keluarga, sanak saudara, dan orang-orang di sekitar kami, bahwa Allah telah mengirimkan kami seorang anak Perempuan yang cantik. Kami beri nama Zulaikha Putri Akbar, karena ia memiliki paras yang cantik dan berharap akan berakhlak yang baik.

“Ma, jangan lihat HP terus dong!” ucap suamiku sambil menggendong Zukha.

Aku tersenyum, kemudian menunjukkan isi layar HP yang berisi keranjang belanja sebuah toko online.

“Kamu mau belanja apa lagi? Ini kado-kado Zukha saja bingung mau diletakkan di mana? Rumahnya sudah kesempitan.”

“Popok dan susu kan ngga dikadoin. Lagian, baju-bajunya Zukha baru sedikit. Yang itu masih besar-besar.” Ucapku sambil menunjuk tumpukan kado di sudut rumah kami.

“Nanti malam saya akan ke rumah guru. Siapkan bawaannya ya.”

“Ada pengajian mas? Aku pesankan kue bolu saja ya dua Loyang.”

“Iya sekalian, mau mengabari kabar Bahagia ini. Kamu bisakan kalau saya tinggal berdua saja?”

“Bisa dong, masa seorang ibu, ngga bisa mengurus anak. Lagi pula Zukha ini anak baik, anak pintar, pasti ngga mau bikin mamanya susah. Iya kan, Nak?”

“Nanti teman-teman sekolah saya mau dating jenguk Zukha. Kamu siapkan makanan ya.”

“MasyaAllah, berkah nak. Banyak yang sayang Zukha.” Ucapku seraya mengambil Zukha dari gendongan mas Ari.

“Kok diambil?”

“Zukha kan harus nyusu.”

“Ya udah bikin aja susunya. Zukha sama saya.”

“Ya ampun, Zukha. Papa kamu ngga mau gantian tuh. Mama kan juga mau gendong.”

Kucium pipi mas Ari sebelum pergi ke dapur. Melihat tingkah lakuku, mas Ari hanya tersenyum. Kemudian, dengan gemas menciumi Zukha.

Pemandangan indah ini semula hanya khayalan. Namun kini, semuanya nyata. Hal ini tak akan terjadi jika Allah tidak mengizinkannya. Ya Allah, terima kasih. Engkau maha baik. Meskipun aku belum diizinkan melahirkan sendiri, namun kehadiran Zukha membuat kami sangat Bahagia. Lengkap sudah kekosongan kami, dan aku tak berhak untuk menuntut lebih, karena Allah sudah mengabulkan doa kami yang sudah dinantikan bertahun-tahun.

***

Tok...tok…

“Sebentar.” Teriakku dari kamar.

Siapa yang datang? Jarum jam menunjukkan pukul setengah Sembilan malam. Mas Ari sudah satu jam yang lalu pergi. Apa mungkin hanya sebentar pengajiannya? Aku merapikan bantal dan guling di sisi-sisi Zukha sebelum pergi untuk membuka pintu. Kutengok Kembali untuk memastikan Zukha aman kutinggalkan sendiri di kamar.

Dari balik jendela kulihat sosok ibu dan bapak di luar. Tumben, biasanya mereka tidak ke sini malam-malam begini. Segera kubukakan pintu untuk mereka.

“Assalamualaikum.” Ucap ibu dengan suaranya yang lembut.

“Walaikumsalam.” Jawabku sambil mencium tangannya.

“Masuk Bu, Pak.”

“Zulaikha mana?” tanya bapak.

“Di kamar.”

Tanpa menoleh, bapak pergi menuju kamar, diikuti ibu.

Melihat mereka, aku hanya bisa tersenyum. Oh, jadi malam-malam ke sini, mereka ingin menemui cucu toh!

Sesampainya di kamar, mereka duduk di tepi Kasur dengan hati-hati. Mereka melihat Zukha yang tertidur dengan tatapan kebahagiaan.

Aku tersadar. Doa ini pernah kupanjatkan. Dahulu aku takut tidak bisa ditemani orang tua saat memiliki anak. Aku selalu minta agar Allah mengizinkan orang tuaku bertemu dengan anakku. Saat ini, do aitu diijabah.

“Cantik ya.” Ucap ibu.

“Ari ke mana, Nis?” tanya bapak.

“sedang pengajian, Pak. Satu jam lalu berangkat. Mungkin jam sepulahan baru sampai rumah lagi.”

“Dia tidak berubah sejak awal kalian menikah. Ibadahnya rajin, orangnya baik, menghormati Bapak dan ibu. Pantas saja jika Allah memberikan kalian anak setelah menunggu lama.”

Aku menganggukan kepala, pertanda setuju dengan kalimat Bapak.

“Malam ini Ibu dan Bapak berencana untuk menginap. Boleh kan?”

“Ya boleh, Bu. Justru aku Bahagia. Aku siapkan kamarnya dulu ya. Bapak dan Ibu mau minum teh?”

“Iya, jangan manis-manis.”

“Siap.” Ucapku, kemudian beranjak pergi keluar kamar.

Setelah merapikan kamar, aku pergi ke dapur. Ternyata ada Ibu di dapur sedang menuangkan teh ke dalam gelas.

“Kok jadi ibu yang buat teh?”

“Ngga apa-apa. Kamu kan sekarang repot.”

Aku mengambil dua buah toples berisi biskuit untuk camilan bapak dan ibu.

“Nis, apa kamu sudah tanya Ari?”

“Tanya apa Bu?”

“Memastikan anak ini memang anak orang lain.”

“Maksudnya apa?”

“Zulaikha kalau ibu lihat sangat mirip Ari, Loh!”

“Ibu, Maksud ibu apa?” tanyaku dengan nada agak tinggi.

“Ya, ya… maksud ibu kamu benar sudah memastikan anak siapa ini. Jangan sampai kalian bermasalah di kemudian hari.”

“Apa ibu tidak bahagia kami punya anak?”

“Astagfirullah, ya senang Nis. Hanya ibu khawatir, kalian mendapat masalah.”

“Aku percaya mas Ari, Bu!”

“Iya, mudah-mudahan semuanya baik-baik saja.”

“Kamu ini kenapa, Bu?”

Pertanuyaan bapak membuat aku dan Ibu menoleh secara bersamaan.

“Ngga, Pak! Takut saja. Khawatir kan boleh.”

“Anak sedang berbahagia kok malah dikhawatirkan. Selama ini kamu takut Niscala ngga punya anak. Sekarang, malah khawatir ini anak siapa!”

“Wajah Ari dan Zulaikha mirip, Pak!”

“Ya bagus. Itu tandanya mereka ditakdirkan sebagai ayah dan anak. Kelak dikemudian hari tidak ada yang meragukan mereka. Anak itu anugerah, datangnya lewat mana saja, tergantung Allah.”

“Iya…iya.” Ucap ibu.

Entah mengapa hatiku tidak nyaman. Kata-kata ibu sedikit menggangguku.

Apa mas Ari bisa dipercaya?

Apa benar Zukha tak memiliki hubungan darah dengan mas Ari?

Apa mas Ari selingkuh?

Ah, mengapa aku meributkan pikiran jahat ini? Allah sudah memberikanku kebahagiaan ini,  untuk apa aku merusaknya dengan tuduhan-tuduhan yang belum benar kejelasannya.

Saat ini yang terpenting, aku telah menjadi seorang ibu. Takdurku sebagai Perempuan sudah lengkap. Meskipun belum pernah mengandung dan melahirkan anak sendiri. Aku yaki nada rencana indah yang Allah takdirkan untukku.

“Jangan memikirkan yang aneh-aneh. Suamimu orang baik.”

Ucapan bapak menyadarkanku.

“Iya pak.”

“Bertahun-tahun berumah tangga tanpa anak itu pasti sulit. Tapi, kalian dapat melewatinya tanpa pertengkaran. Jika itu bukan Ari, mungkin kamu sudah dicampakkan atau dipoligami.”

Ada senyum getir muncul di wajahku.

Perkataan bapak seolah menegaskan, bahwa kami belum memiliki anak karena kekuranganku. Padahal sejak awal, mas Ari yang tidak mau melakukan pengecekan. Saat kami melakukan program kehamilan selalu aku yang tersiksa sendiri. Padahal yang Namanya program hamil itu harus dilakukan bersamaan antar suami dan istri.

Namun, itu semua sudah berlalu. Zulaikha sudah melengkapi kehidupan kami.

Saatnya kami merasakan Bahagia. Memikul tanggungjawab baru untuk membesarkan seorang anak. Memberikan segala hal yang kami punya, untuk menjadikannya manusia yang sempurna.

 

11

 

Aku terbangun saat azan subuh berkumandang, mas Ari di depan cermin sedang mengancingkan baju kokonya. Ia Nampak rapi dan siap pergi ke masjid untuk melaksanakan salat berjamaah.

Menyadari aku yang sudah terbangun, ia menghampiriku.

“Ayo bangun. Mentang-mentang cuti mengajar, jam segini baru bangun.”

“Kamu, pulang jam berapa mas? Sudah ketemua bapak ibu?”

“Jam sebelas, sudah. Bapak yang bukakan pintu.”

“Hmmm, bapak bicara apa ke kamu?”

“nanti lagi ya ngobrolnya, saya ke masjid dulu.”

Aku mengangguk.

Sejak memustuskan untuk mengadopsi anak, aku memutuskan untuk meminta cuti ke sekolah. Awalnya tidak diizinkan. Namun, aku mengajukan cuti tanpa gaji, akhirnya disetujui walaupun hanya dapat satu bulan. Tapi kupikir, setidaknya itu cukup untuk beradptasi karena harus mengurus seorang bayi.

Zukha adalah anak pintar. Sejak bersamanya, aku sama sekaliu tidak kesulitan. Saat malam pun ia tidak rewel atau sulit tidur. Yang penting setiap dua jam sekali aku bangun untuk memberikannya susu.

Kreeek…

Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan berjalan ke arah kami.

“Kok sudah rapi, Bu? Apa mau langsung pulang?”

“Iya, bapak dapat telepon. Harus pergi ke Bandung pagi ini. Ada yang harus diurus.”

“Mata ibu kok kayak bengkak? Habis nangis ya?”

“Ngga….” Ucapannya terhenti , suaranya terdengar bergetar menahan tangis.

Melihatnya aku langsung bangun dan duduk di sampingnya. Aku sangat paham jika ada yang ibu pikirkan hingga menangis.

“Ada apa bu? Jangan dipendam sendiri. Ada masalah dengan bapak?”

Ibu menggelengkan kepala. Ia masih menunduk. Aku memilih diam, memberikannya waktu menangis.

Setelah beberapa detik, ibu menatapku. Matanya terlihat berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh.

“Nis, kamu Bahagia?”

“Iya bu, sanagt Bahagia. Niscala ingin ada ibu dan vbapak saat Allah mengizinkan Nis untuk punya anak. Sekarang, doa itu dikabulkan. Tentu Nis Bahagia Bu.”

“Kalau begitu, ibu dan bapak juga Bahagia.”

Akhirnya airmata itu jatuh, ibu memelukku dengan sangat erat. Jujur saja, akau masih bingung. Namun, aku yakin ibu seperti ini karena Bahagia.

“Nis salat dulu, sana ambil air wudhu. Biar Zulaikha ibu yang menjaganya.”

“Benarkan bu, ngga ada apa-apa?” tanyaku memastikan.

“Iya. Ibu menangis karena melihat kamu Bahagia.”

“Terima kasih sudah menjaga, mendampingi, dan mendoakan Nis ya Bu. Semoga Nis bisa menjadi ibu yang hebat untuk Zukha, seperti Ibu.”

“Pasti nak, Allah menjadikan kamu Perempuan yang hebat. Kamu pasti akan jauh lebih hebat dari ibu.”

“Amiin. Nis salat dulu ya bu. Titip Zukha.”

Selesai salat, aku mendapati Bapak, Mas Ari, ibu dan Zulaikha di ruang tamu. Pemandangan ini sungguh membuat hatiku Bahagia. Aku sama sekali tidak menyesali kehadiran Zukha di hidupku. Meskipun Ia bukan darah dagingku, tetapi kehadirannya adalah bukti doa-doa itu tidak akan sia-sia.

Manusia memiliki rencana dan harapan. Namun Tuhan, lebih mengetahui yang terbaik dan lebih baik dari rencana dan harapan manusia.

Zukha, terima kasih sudah hadir dalam hidup mama, Nak. Kamu sungguh membawa Cahaya terang dalam gelapnya dunia mama. Kehadiranmu membuat mama nayris sempurna. Lihatlah, kakek dan nenekmu, mereka sampai menangis karena Bahagia.

Kita harus bekerja sama ya nak, kamu harus menjadi manusia yang bermanfaat. Manusia yang takut akan Allah, manusia yang tidak mengambil hakk orang lain. Semoga mama bisa menjadi orang tua yang baik untukmu, dan yang terpenting kamu harus tumbuh dengan Bahagia Bersama kami.

“Nis, sini.” Panggil bapak.

Aku menghampiri mereka, tampak Zukha yang mungil dengan kulitnya yang kemerahan sedang asyik memainkan tangan dan kakinya.

“Nis, Bapak dan ibu pulang. Hati-hati, jaga Kesehatan. Sebab anak kecil rentan terhadap penyakit. Kalau orang tuanya sakit, cepat sekali anak tertular.”

“Iya, Pak.” Jawbaku pelan.

“Jika suatu saat nanti, apa yang kamu harapkan tidak sesuai dengan keinginanmu, kamu harus percaya dengan takdir Tuhan itu jauh lebih indah. Jangan menyalahkan takdir, apalagi membenci Tuhan.”

Aku masih menatap wajah sendu bapak, sambil sesekali menganggukan kepala, tanda memahami kata-kata yang bapak sampaikan.

“Allah memberikamu anak dengan cara ini, maka syukuri itu. Di luar sana masih banyak yang jauh tidak beruntung dari kamu. Dijaga, dirawat, diberikan kasih sayang dan cinta yang banyak. Hingga Ketika, Zulaikha dewasa dan tahu kondisi yang sebenarnya, ia tidak merasa sedih, justru bersyukur karena dipertemukan dengan seorang ibu seperti kamu.”

“Baik, Pak. Nis paham.”

“Nurut sama suami, jangan membantah. Apapun yang Ari lakukan, semua demi kebaikanmu.”

Aku Kembali menganggukan kepala.

Nasihat orang tua seperti oase di Tengah gurun pasir yang gersang. Menyejukkan. Beruntunglah kita yang masih memiliki orang tua saat usia tak lagi muda. Masih ada yang mengingatkan, memperhatikan, mendoakan. Hidup jauh lebih berkah, sekalipun memiliki masalah, merasa masih mampu menhadapi karena ada kekuatan doa dari orang tua.

Lagi, hari ini aku tersadar kalau Allah sangat menyayangiku.

Berkah dan karuniannya seperti aliran Sungai, begitu deras, melimpah, dan menyegarkan.

 

 

12

 

Zukha membawa keberkahan untuk kami. Semua orang menyayanginya dan ikut berbahagia karena melihat kami akhirnya diberikan anak meskipun lewat jalur adopsi.

Sanak saudara, teman, sahabat datang silih berganti. Bahkan para siswaku yang sudah lulus pun turut hadir dan memberikan hadiah untuk Zukha.

Seperti hari ini, Mirna datang Bersama hasita. Gadis mungil itu begitu cantik. Selama ini aku hanya bisa melihatnya di status media sosial mirna. Hari ini, aku semakin yakin bahwa wajahnya begitu mirip dengan ayahnya. Seorang ayah yang tidak bertanggungjawab. Arfan, jika di dunia kau tidak mendapat sanksi, maka pengadilan akhirat akan jauh lebih menyeramkan. Semoga sebelum waktumu habis, kamu akan tersadar akan kesalahan yang telah kamu perbuat kepada Mirna dan anakmu yang tidak berdosa.

“Bu. Kok bengong!”

“Eh, ini…wajah Hasita cantik ya nak!”

“Alhamdulillah bu. Tapi saya sangat berharga nasibnya juga secantik wajahnya. Jangan seperti saya.”

“kok, gitu ngomongnya. Allah sayang kamu mir, makanya Allah hadiahkan Hasita.”

“Iya bu…iya!” ucapnya sambil tersenyum.

Senyuman itu semakin membuat mirna terlihat cantik. Siswaku dulu yang energik, ceria. Pintar, aktif dan perhatian. Kesalahan telah membuat hidupnya berubah. Tetapi, ia sangat hebat. Masih bisa kuat, dan Kembali menjalani hidupnya meskipun tak sesuai dengan rencananya.

“Zukha ngga dicarikan ASI, bu?”

“Bisa ya, Mir?”

“Bisa bu. Coba cek IG deh, biasanya ada komunitas donor ASI.”

“Oh, oke nanti ibu cari. Sekalian ngobrol juga sama Papanya Zukha.”

“Gimana juga ASI lebih bagus bu.”

Aku tertawa.

“Ko ketawa, Bu?” tanya mirna dengan ekspresi wajah keheranan.

“Lucu aja. Ibu malah diajarin cara ngurus anak sama anak sendiri.”

“he…he…maaf ya bu, bukan aku sok pintar. Berbagi pengalaman saja.”

“ngga apa-apa kok. Ibu malah senang. Ada teman ngobrol. Ibu juga harus banyak belajar, dan ilmu itu datangnya dari mana saja. Bisa juga dari yang usiannya lebih muda seperti kamu.”

“Ibu pasti kecewa kan sama aku?”

“Kecewa itu manusiawi, mir. Tapi ibu bangga lihat mirna sekarang.”

“apanya yang bisa dibanggakan bu. Keluarga saya saja sudah kecewa. Mereka cenderung mengucilkan saya.”

“Bangga karena kamu mampu bertahan, kamu bisa jadi ibu yang bertanggungjawab, dan bangga melihat kamu terus melanjutkan hidup meskipun banyak harapan yang tidak sesuai dengan keinginanmu.”

“Waktu bu, waktu yang membuat saya bisa berproses seperti sekarang.”

“Allah mir.”

“Ya, saya akui. Saya sempat membenci Allah. Mengapa ayah saya harus meninggal di saat saya masih sangat membutuhkannya? Mengapa saya harus jatuh cinta dengan lelaki itu jika pada akhirnya saya tersakiti? Dan mengapa saya bodoh….?”

Mirna tertunduk, kata-katanya terhenti. Ia menghela nafas, lalu terdiam.

“Tapi saya bertemu dengan orang-orang baik seperti ibu. Orang-orang yang tetap membuat saya kuat, dan tidak menjauhi saya karena kesalahan yang saya buat.”

“Benar Mir, manusia itu butuh dikuatkan. Bukan cacian dan dijauhi Ketika ada masalah. Tetapi sayangnya, kita cenderung lebih suka menghujat dan menghakimi orang lain.”

“Sekarang saya sudah tidak membenci Arfan bu. Saya justru berterima kasih karena dia saya bisa memiliki teman sejati, yaitu Hasita. Penguat dan penyemangat untuk saya tetap bertahan hidup.”

Aku membelai punggung kurusnya. Mengisyaratkan bahwa aku Bahagia jika ia berbahagia.

“Saya dan Arfan sudah Bahagia dengan pilihan masing-masing. Ketika Hasifa dewasa nanti, ia pasti mengerti dengan keadaan ini. Saya tidak mau hidup dengan rasa marah dan dendam. Saya tidak ingin jahat. Hasifa harus tumbuh dengan rasa cinta, bukan dendam apalagi rasa benci.”

Kudekap dan kuusap kepala Mirna. Aku merasa sangat Bahagia mendengar kalimatnya. Tenang, dan bijaksana.

Mirna sangat berpikiran dewasa. Belum tentu aku bisa begitu, jika berada di posisinya.

Seorang manusia yang baru dilahirkan itu begitu suci dan bersih.  Manusia lain di sekitarnya itulah yang menorehkan noda. Hasita, Zukha adalah anak-anak yang kurang beruntung Ketika dilahirkan. Namun, mereka berhak merasakan kebahagiaan dan kehidupan yang layak.

Aku yakin Mirna dapat membesarkan Hasita dengan baik, begitu juga Zukha. Ia harus merasakan memiliki keluarga yang utuh dan Bahagia Bersama kami. Hingga suatu saat nanti ia tahu kebenarannya. Ia tidak membenci dan menyalahkan kami.

“Bu, sebenarnya saya datang ke sini selain nengokin Zukha juga mau mengabarkan sesuatu.”

“Waduh, apa tuh? Tiba-tiba ibu jadi ikut degdegan.”

“Sebenarnya, saya sudah bisa jatuh cinta lagi, Bu.”

Aku menatapnya dengan senyuman penuh rasa ingin tahu.

“Saya masih boleh jatuh cinta kan bu?”

“Boleh dong, boleh banget. Kamu masih muda. Hasita juga butuh sososk Ayah.”

“Tadinya saya takut, Bu.”

“Siapa dia Mir? Ibu kenal ngga?”

“kayaknya kenal bu.”

“Siapa?” tanyaku tambah penasaran.

“Dia tahu tentang Hasita kan?” tanyaku lagi.

“Tahu, keluarganya juga tahu.”

“Alhamdulillah, tapi tidak jadi masalah kan?”

“Ngga bu, justru mamanya dia dan mama saya yang berusaha mendekatkan kami. Hasita juga sangat diterima di keluarganya.”

“Ya, Allah. Ibu kayak abis dapat uang satu koper tahu Mir. Rasanya senang banget. Alhamdulillah ya Allah.”

“Iya Bu, saya juga ngga nyangka. Bisa jatuh cinta lagi secepat ini.”

“Kamu berhak Bahagia Mir. Kamu dan Hasita berhak memiliki lembaran baru yang penuh dengan kebahagiaan.”

“Jadi saya bukan cewek gampangan bu?”

“Hus…kok gitu. Dari dulu kamu juga ngga gampangan. Kamu hanya terlena pada rayuan bajingan. Sekarang, kamu harus memulai yang baru. Lembaran kosong dalam buku kehidupanmu harus diisi dengan kebahagiaan sampai pada akhirnya Allah akhiri entah di halaman atau bab berapa.”

“Ibu, mirna beruntung ketemu guru sebaik ibu!” ucap mirna seraya memelukku.

“Siapa dia Mir?”

Mirna melepaskan pelukannya, dan tersenyum Kembali. Kemudian, ia mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya.

Jantungku hampir terlepas dari tempatnya. Undangan?

Aku menerima undangan darinya, dan kali ini bola mataku yang terasa akan terlepas dari tempatnya.

“Kim Jun? Juna?”

Mirna mengangguk.

“Kim Jun siswa ibu. Dia kakak kelas kamu kan?”

“Iya bu. Tiga tahun di atas saya.”

“Alhamdulillah, ya Allah engkau maha baik.”

Kami berpelukan. Lebih tepatnya, hampir saling meloncat, seperti anak kecil yang senang Ketika hujan turun.

“Kim Jun yang keturunan korea itu kan? Kok bisa?”

“Iya ibu.”

“Benarkan Mir, Allah itu lebih tahu apa yang terbaik untuk hambanya. Kamu dikirimkan lelaki baik seribu kali lipat dari Arfan”

“iya bu, senangnya lagi kak kim sayang banget sama Hasita. Saya ngga bisa nolak. Saya ngga bisa melarang hati saya untuk jatuh cinta ke kak kim, Bu.”

“Ibu pasti datang nak, ibu usahakan datang di hari pernikahan kamu nanti. Kamu harus benar-benar Bahagia. Kamu dan Hasita harus Bahagia.”

“Terima kasih sudah mendoakan saya bu. Saya juga berharap ibu Bahagia, Zukha diberikan adik, dan ibu bisa mengandung serta melahirkan anak sendiri.”

“Amiin.”

 

Sejak kehadiran Zukha, aku tidak lagi memikirkan untuk mengandung. Saat ini, aku hanya focus untuk membesarkannya. Zulaikha adalah hadiah terindah dalam hidupku. Bagiku, ini sungguh kebahagiaan yang tidak dapat diganti dengan apapun.

Allah menghadirkannya di waktu aku sedang merasa kesepian dan tidak berguna. Merasa telah gagal mendidik anak-anakku di sekolah. Zukha menjadi penyembuh dari rasa kecewaku. Melihat wajah mungil nan cantiknya, melihat keaktifan geraknya, membuat dunia ini terasa lebih lengkap dan Bahagia.

Aku hanya ingin menjadi orang tua yang membanggakan anaknya. Aku ingin Zukha tumbuh menjadi anak yang mandiri dan Bahagia. Tidak berani untuk meminta lebih, aku yakin Allah lebih tahu apa yang terbaik. Manusia hanya bisa merencanakan, tetapi takdir adalah ketentuan.

Ya Allah, jika saja engkau kehendaki. Izinkan aku menjadi ibu yang baik dan tidak pilih kasih. Izinkan aku merawat Zukha dan anak yang kulahirkan sendiri dengan cinta yang sama. Karena kehadiran Zukha telah menjadi penyembuh rasa kesepian dan kecewaku.

 

 

13

 

Masa cutiku telah berakhir. Izin satu bulan tanpa gaji untuk merawat Zukha telah selesai. Hari ini aku Kembali dengan rutinitas yang biasa. Berangkat ke sekolah untuk memberi Pendidikan bagi penerus bangsa.

Ada rasa rindu untuk para siswaku, namun tak dapat dipungkiri, hatiku telah terpaut pada Zukha. Baru beberapa jam berlalu saja, aku sudah sangat merindukannya.

“Gimana Bu Nis rasanya menjadi ibu?”

“MasyaAllah.” Jawabku sambil tersenyum pada Ibu Dianti.

“Kamu sudah baik-baik saja kan? Ngga kepikiran Darel lagi?”

Aku menjawabnya dengan senyuman lagi.

“Kita hanya mampu menyampaikan, namun kita tidak punya kebijakan untuk bisa mengatur anak-anak. Semua yang terjadi adalah pilihan mereka. Kita memiliki kehidupan di luar sekolah. Ada keluarga yang juga harus kita jaga.”

“Iya Bu Dianti, InsyaAllah. Saya sudah mulai bisa mengatur diri. Terima kasih ya, dan maafkan juga jika sikap say aini mungkin sedikit berlebihan.”

“Ngga kok. Itu wajar. Apalagi kamu menyayangi mereka seperti anak sendiri. Tapi sekarang ada anak yang sudah harus kamu jaga. Jika siswa kita kehilangan kamu, mereka masih memiliki orang tua sendiri. Sedangkan Zukha, hanya punya kamu dan papanya.”

“Terima kasih ya, karena kamu sudah peduli. Saya akan lebih bijaksana ke depannya.”

“Santai kayak di Pantai.” Balas Dianti sambil tersenyum.

Kami berjalan ke arah ruang guru dan di jam istirahat tak biasanya ruang guru ramai. Tapi saat ini, semua guru tampak berkerumun dengan wajah yang masam. Aku tak langsung ikut nimbrung, memilih meletakan tas laptop di meja, kemudian duduk dan meneguk air dalam gelas yang ada di atas mejaku. Begitu juga Bu Dianti yang datang bersamaku.

Kulihat ibu Reysha selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan tampak berbicara serius dengan Bapak Reyhan. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada Bu Ani yang baru saja duduk di kursinya. Belum sempat bertanya, ada bunyi tanda pesan masuk di aplikasi Line milikku.

“Kenikmatan Dua Puluh Detik”

Begitulah judul yang kubaca pada video yang dibagikan di line. Pesan yang dikirim melalui grup khusus guru. Tanpa membuang waktu kubuka video tersebut.

Brukkk….

Tanpa sadar tubuhku lemas dan jatuh di atas kursi. Video berdurasi 20 detik itu membuat sekujur tubuhku lemah. Darimana Bu Ani mendapat video ini? Bagaimana bisa pemeran dalam video ini adalah seseorang yang kukenal?

Air mata mengalir, tanpa suara aku terisak. Bu Ani yang sadar akan kondisiku pun berjalan mendekatiku, dielusnya pelan-pelan punggungku isyarat bahwa Ia memintaku untuk bisa tenang.

“Saya juga kaget, Bu! Tadi pagi anak-anak ribut di kelas, saking asyiknya mereka sampai ngga sadar kalau saya sudah ada di dalam kelas.”

“Setelah saya cari tahu, ternyata mereka sedang membicarakan tentang tersebarnya sebuah video mesum, dan menurut informasi orang dalam video itu dulunya anak sekolah ini.”

“Bu Nisca kan tahu, Saya baru mengajar empat bulan di sini, jadi saya ngga kenal anak itu siapa. Akhirnya saya minta salah satu anak kirim ke saya dan saya kirim ke Bu Reysha selaku kesiswaan.”

Aku masih terus menangis. Meski aku tak menanggapi ucapannya, namun aku menyimaknya dengan cermat. Ya, perempuan dalam video mesum itu adalah alumni sekolah ini. Ia sudah lulus dua tahun yang lalu.

April, ya, April Namanya. Aku masih ingat betul anak itu. Wajahnya oriental, kulitnya putih, tubuhnya mungil, dan sangat pendiam. Suatu hari saat di sekolah, aku begitu terkejut melihat rambutnya yang berwarna maroon. Sikap kalemnya tentu tidak sesuai dengan rambut dan penampilannya saat membuka jilbab Ketika kami bertemu saat berwudhu. Dengan wajah tertunduk, April ingin segera pergi, mungkin ia juga kaget karena bertemu denganku saat itu.

Setelah pertemuan itu, aku tahu bahwa foto-foto yang diunggah di instagramnya kerap tidak berhijab. Namun saat itu tak ada pikiran jelek apapun tentangnya. Anak seusia mereka memang sedang dalam masa pencarian jati diri. Bukan hal yang aneh Ketika di sekolah berhijab, dan Ketika di media sosial hijabnya raib. 

Bu Reysha akan menemui orang tuanya. Meskipun April sudah lulus dua tahun yang lalu, kami, sebagai guru di tempat dia menempuh Pendidikan merasa ikut bertanggungjawab atas Tindakan asusila ini. Sekolah menjadi heboh, terutama bagi anak-anak yang mengenalnya sebagai alumni sekolah ini.

Bagaimana bisa April bertindak sebodoh ini. Dalam video dua puluh detik ini memang tidak ada adegan anatar dua manusia yang berlawanan jenis. Namun, Tindakan ‘bermain solo’ dengan menggunakan alat ini tidak jauh lebih baik. Apalagi dilakukan tanpa menggunakan penutup tubuh sehelaipun, dan parahnya lagi dibuat video, kemudian videonya tersebar di media sosial.

Tiba-tiba aku teringat Kinan, si cantik dan si pintar yang kebetulan satu Angkatan dan satu kelas dengan April saat di kelas XII. Kucari nomornya di HP. Mungkin kinan tahu sedikit tentang hal ini.

“Assalamualaikum, Kin! Ini ibu Niscala.” Ucapku Ketika sudah terhubung dengan Kinan di HP.

“Walaikumsalam, Bu! Ya, Ampun, tumben ditelepon ibu, ada apa bu?”

“Kin, sudah lihatkan?”

“Emmm….Iya bu!” ucap Kin, langsung mengerti apa yang aku tanyakan.

“Kok, Bisa? Ada apa denganya, nak?”

“Semua guru pasti kaget ya, Bu? Ngga nyangka April kan pendiam. Tapi kalau kami ngga heran, Bu!”

Jederrrrr…….

Bagaikan disambar petir di siang bolong untuk yang kedua kalinya. Maksudnya? April sudah biasa …  emmmm … atau….. pikiranku semakin runyam.

“Katanya itu video lama, Bu! Gosipnya sih saat selesai Ujian sekolah bu. Kami kan lebih banyak waktu di rumah tuh setelah ujian, katanya sih saat itu, Bu!”

“Iya kan kalau sekolah kita pulangnya selalu sore, terus saat sabtu kalian juga intensif bimbel. Kok, bisa…. Ya Allah!” suaraku tercekat, tak bisa melanjutkan kata-kata.

“Dia pacaran sama orang beda agama, Bu. Katanya cowoknya ngga mau diputusin, makanya menyebarkan video itu!”

Brukk….

Tubuhku semakin tak berdaya, tenaga hilang seketika. Mengapa anak-anak zaman sekarang bisa bertindak sejauh ini? Kalau dampak yang ditimbulkan karena kemajuan teknologi adalah degredasi moral dan karakter generasi muda, lalu untuk apa negara ini membuat peraturan?

“Kin, memangnya kemana papa mama April?”

“Mereka pengusaha, Bu. Jarang di rumah. April juga anak tunggal!”

Setelah mendengar informasi dari kinan pikiranku semakin kalut. Bagaimana masa depan April nanti? heh … lagi-lagi masalahnya terkait dengan pola asuh orang tua, orang tua memang wajib mencukupi kebutuhan anak-anak mereka. Tetapi harus ingat, kebutuhan itu tidak tentang lahir atau materi saja. Batin dan perasaan juga sangat penting. Anak-anak harus tumbuh dengan kebahagiaan, agar mereka tidak memiliki alasan apapun untuk keluar dari jalur peraturan yang seharusnya.

Aku menghampiri Bu Resyha.

“Apa saya bisa ikut Bu?”

“Ikut ke rumah April, maksud Ibu?”

“Iya, kalau diizinkan.” Ucapku ragu-ragu.

“Sebentar ya, Bu. Nanti dikabari kalau memang ibu diharuskan ikut.”

“Iya, Bu. Semoga anak itu baik-baik saja. Jangan sampai kejadian seperti Darel terjadi lagi.

Bu Resyha menoleh ke arahku. Mata kami saling bertemu.

“Bu Nis, benar. Kita harus ke sana secepatnya. Tolong bantu saya untuk menelepon orang tuanya, kabari kita akan silahturahmi.”

“Baik bu.”

Ibu Resyha keluar dari ruang guru, ia keluar sambil menghubungi seseorang. Aku pun menekan tombol kunci di layar HP. Berusaha masih menemukan kontak yang dicari.

Kudapati nama “Ayah April”. Tanpa aba-aba, aku langsung menekan tombol memanggil. Setelah delapan kali mencoba, akhirnya di seberang sana ada yang mengangkat.

“Assalamualaikum, apakah saya bicara dengan ayah dari April?”

“Walaikumsalam. Iya ini dengan siapa?”

“Saya Bu nisca pak, guru april saat SMA.”

“Oh bu guru. Apa kabar ibu?”

“Baik pak, saya dan Ibu Resyha, wakil kepala sekolah sedang dalam perjalanan rumah bapak. Apakah kita bis abertemu di rumah pak.”

“Maaf ibu, ada apay a? kebetulan saya akan meeting siang nanti.”

“Kami sampaikan saat bertemu, Pak. PENTING! Saya harap kami bisa bertemu dengan bapak dan ibunda April.”

“Baik Bu, saya usahakan segera hadir. Paling lama satu jam dari sekarang.”

“Baik, saya tunggu pak. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama ibu.”

***

Terlihat sebuah rumah yang megah, besar, dan nyaman. Siapapun yang melihatnya pasti ingin memilikinya. Namun, rumah itu terlihat sangat sepi.  Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

“Pantes si April lebih suka di luar rumah. Rumahnya sepi bu!” ucap Bu Resyha.

“Apa kita coba hubungi April bu? Saya rasa kita mengetuk pintu pun belum tentu ada yang dengar.”

“silakan, Bu.”

“Untung saja tadi aku mendapatkan nomor HP April dari Kinan. “

Ketika aku akan menekan tombol untuk menghubungi April. Pintu rumah mereka yang sangat megah dan tinggi itu terbuka. Seorang Perempuan dengan tubuh yang kecil mungil, dan berkulit putih bersih itu keluar rumah. Aku tahu pemilik tubuh itu adalah April. Rambut pirangnya sangat mencolok.

Ia terus berjalan dan tidak menyadari keberadaan kami. Ditangannya ia menarik sebuah koper yang sangat besar. Saat aku berdiri hanya sekitar beberapa centimeter dari hadapannya, April sangat terkejut, matanya yang kecil, mendadak menjadi bulat besar. Sepertinya, Ia baru sadar keberadaan kami.

“I …. Ibu.”

“Assalamualaikum, April mau ke mana?” tanya Bu Resyha.

“Ehmm…Sa…saya ada acara kam…pus bu! Persmisi ya bu!” jawab April dengan suara yang gemetar dan gugup.

Ia masih menundukkan kepalanya.

“melarikan diri bukan penyelesaian sebuah masalah, betul kan Bu Nis?”

“Iya bu, sebaiknya diselesaikan agar masing-masing tidak terluka.”

“Saya tidak melukai siapapun!”

“Apakah papa mamamu tahu?”

“Itu bukan urusan, Ibu!”

“Urusan apa, Pril? Mau ke mana kamu dengan membawa koper”

Sepasang suami istri ada di hadapan kami. Dari penampilan terlihat bahwa usia mereka tak lagi muda.

“Papa!mama!” ucap April dengan wajah kaget dan ketakutan.

 

 

14

 

“Anak sialan, kurang ajar, setaaannnn…..”

Ibunda April seperti kerasukan. Aku dan Bun Resyha kewalahan menahannya untuk tidak memukul dan menarik rambut April.

Cacian dan sumpah serapah keluar dengan brutal dari seorang ibu yang hatinya hancur setelah kami beritahukan terkait video viral yang di dalamnya  ada anak tercinta mereka sebagai pemeran utama.

“Gila kamu April. Jahat kamu! Kenapa ngga kamu bunuh saja kami! Arrghhh…. Mati saja pa, mama mau mati saja.”

April terus menunduk, ia diam dan tak menghindar saat ibunya memukuli tubuh kurusnya.

“Bu, sudah. Bukan begini penyelesiaannya.” Ucapku sambil berdiri di anatar mereka.

Ayah dari April hanya duduk sambil memijat kepalanya. Ia tidak berusaha menghentikan perbuatan istrinya. Sikapnya seolah menyetujui April dipukuli oleh ibunya sendiri.

“Ayo kita mati bareng. Bunuh mama pril. Bunuh!”

“Saya mohon bu, bukan ini yang kami inginkan. Bukan ini penyelesiaannya.” Bu Resyha juga ikut menengahi mereka.

“Saya cape kerja untuk dia bu. Siang, malam ngga kenal waktu. Tapi anak ini…anak sialan ini justru melempari saya dengan kotoran.”

“Anak sialan? Kalian juga orang tua sialan!”

April mengucapkan kata yang semakin membuat ibunya semakin marah.

Bu Resyha dengan sigap langsung memegangi tangan ibunya.

Aku pun langsung memegang tangan kecil April. Berusaha mengingatkan agar ia tidak menaykiti orang tuanya.

“KURANG AJAR…ANAK SETAN…SIALAN!”

Makian itu begitu menyakitiku. Apakah seorang ibu tega meghujani anaknya dengan kalimat-kalimat kasar seperti ini? Apa rasa marah dan kesalnya mampu menutupi rasa cintanya selama ini.

Tanganku dihempaskan oleh April. Wajahnya yang sejak tadi menunduk, kini ia angkat.

Mataku terbelalak. Tak ada raut wajah menyesal, atau tangis sembab karena menyesal telah menyakiti hati orang tuanya.

Ekspresinya saat ini sangat menyeramkan menurutku. Penuh amarah, penuh kebencian, dan rasa sakit.

Tak ada pandangan patuh anatar anak kepada orang tuanya.

Tiba-tiba April tersenyum.

Ya sebuh senyuman penuh ejekan. Seolah berkata, dia senang melihat kemarahan mamanya.

“April itu bukan anak kalian.”

Deg.

Kalimat itu, mengingatkanku dengan Zukha.

“April anak pembantu.”

“Pril.” Ucapku sambil memegang lengannya lagi. Berharap ia akan sadar , bahwa ucapannya salah.

“April ngga minta kalian kasih ini semua. Ke mana kalian saat April sakit? Saat April di bully? Saat April butuh teman karena merasa kesepian!.”

“APRIL NGGA MINTA DILAHIRKAN MAMA!” teriakannya sangat keras.

Plak.

Ayah april yang semula duduk terdiam, tiba-tiba menampar April.

April terdiam. Ia jatuh tersungkur dan menangis sekeras-kerasnya.

Aku mengerti, semua yang terjadi karena Ia ingin diperhatikan. Tetapi cara yang digunakan salah. Sangat salah.

“saya minta maaf ya Bu guru. Ibu-ibu harus terlibat dengan kenakalan anak saya. Jika saya boleh meminta biarkan kami yang menyelesaikan ini. Ibu guru boleh pulang. Saya minta maaf sekali lagi.”

“Baik pak tidak masalah. Kami ke sini karena merasa masih memiliki kewajiban untuk menjaga April. Bagaiamanpun dan sampai kapanpun, April merupakan bagian dari kami.”

“Terima kasih Bu, sudah sanagat peduli pada anak kami.”

“Kami mohon untuk tidak memukulinya pak. Ittu bukan penyelesaian.”

“ya Bu. Saya akan berusaha sekuat tenaga. Bagaimanapun April adalah anak saya.”

***

Sepanjang perjalanan dari rumah April, aku dan bu Reysha memilih untuk diam. Kami larut dalam pikiran kami masing-masing.

April dibesarkan dengan limpahan materi,tapi tidak dengan kasih sayang. Ternyata dia mencari perhatian orang lain. Ia suka jika orang memperhatikannya. Namun, cara yang dia pilih salah. Ia telah menghancurkan masa depannya sendiri.

“Bu Nisca, jangan berpikir ini kegagalan bu nisca lagi.”

Aku menoleh ke arah Bu Resyha yang duduk di sampingku. Ia tersenyum, dan menyerahkan HP nya padaku.

Sebuah pesan singkat tertulis di sana.

Bu,

Saya April.

Terima kasih sudah datang. Akhirnya, setelah bertahun-tahun saya berani mengungkapkan isi hati saya.

Maaf jika saya tadi bersikap kurang ajar.

Maaf atas kesalahan saya. Saya berharap sekolah tidak terkena dampak buruknya.

Kami memutuskan untuk pergi ke Thailand. Saya akan mengembangkan kemampuan saya berbahasa asing dan mempelajari hair styling.

Nasi sudah menjadi bubur, namunn Bu Nisca pernah bilang, bubur kalau dikasih kuah kaldu, irisan daging ayam, serta kerupuk juga enak dan masih layak dimakan. Bukan begitu bu Nisca?

“Syukurlah ini berakhir baik bu.” Ucapku seraya mengembalikan HPnya

“ya, setiap anak memiliki ceritanya masing-masing. Kita cukup menjaga dan mengarahkan, selebihnya biarkan takdir Tuhan yang berbicara.”

 

 

15

 

Mas Ari datang dengan membawa sebuah termos besar. Termos yang biasa digunakan untuk menyimpan nasi agar tetap hangat. Beberapa waktu kemudian, ada bunyi klakson mobil. Aku mengikuti Mas Ari keluar rumah. Zukha masih nyenyak dalam gendonganku.

Sebuah lemari es mirip seperti tempat penyimpanan es krim di toko-toko sedang diturunkan. Mas Ari mengarahkannya untuk meletakkan di ruang Tengah kami. Aku masih kebingungan. Tapi memilih untuk diam karena Ia masih sibuk berkomunikasi dengan bapak-bapak pengantar kulkas itu.

Setelah mereka pergi, aku menghampirinya.

“Untuk apa lemari es ini mas? Kita mau jualan?”

“Jual apa? Memangnya kita ada di rumah setiap hari?”

“Terus ini buat apa?”

“coba kamu buka termos itu?” ucapnya sambil menunjuk termos berwarna pink.

Mataku cukup terkejut, ada banyak kantung susu beku di dalamnya. Aku tahu, bahwa ini adalah ASI. Sejenak aku terdiam, mengingat pembicaraan kami seminggu yang lalu.

“Sepertinya kita harus mencoba mencari donor ASI, Mas!”

“Apa Zukha bermasalah dengan susu formula?”

“Ngga, Cuma kasihan saja. Kalau minum ASI, akan lebih baik kan?”

“Kamu tahu siapa yang bisa mendonorkan ASI?”

Aku hanya menggeleng.

“Tapi nanti aku cari infonya. Bolehkan, mas?”

“Kalau untuk kebaikan Zukha, Mas akan usahakan. Sambil kamu cari-cari juga ya.”

“Oke.”

Sentuhan tangan Mas Ari di bahu, menyadarkan aku yang sedang larut dalam ingatan seminggu yang lalu.

“Kamu kok ngga bilang-bilang, ini donor ASI dari mana?” tanyaku sambil meletakkan Zukha di keranjang tidurnya.

“Teman. Kebetulan ASI nya melimpah, dan bersedia mendonorkan.”

“Sampai Zukha usia berapa bulan?”

“Sampai lemari es itu penuh.”

Aku membantu mas Ari mengangkat termos itu mendekat ke kulkas. Kami Bersama-sama memindahkannya ke dalam kulkas.

“Kamu sudah tahu caranya, kan?”

“Sudah. Aku sudah baca-baca.”

“Minggu depan, Susunya akan datang lagi.”

“Aku boleh ketemu sama teman kamu itu ngga? Mau ucapin terima kasih.”

“Ngga usah. Kasihan kalau kamu pergi juga, Zukha kita titipkan lagi ke nenek kakeknya.”

“Mas, bilang sama teman kamu, ya! semoga Allah yang membalas seluruh kebaikannya.”

“Iya. Kamu lanjut masukin ya, saya mandi dulu. Mau gendong Zukha, sudah kangen.”

“Iya mas.”

ASI-nya banyak. Sebagian kulkas sudah terisi. Tanpa sadar, senyum mengembang di wajahku. Sebenarnya aku merasa bersalah, Zukha tidak mendapatkan ASI. Namun, donor ASI ini telah membantuku mengurasi rasa bersalah. Zukha akan mendapatkan ASI meskipun tidak dariku.

Allah telah mengirimkan bidadari yang sangat baik. Ia rela memberikan ASI-nya untuk anak yang bukan lahir dari rahimnya. Semoga ia,anak serta keluarganya diberikan kebahagiaan. Ya, mereka layak mendapatkan keberkahan, karena kebaikannya memberi kebahagiaan kepada keluarga kami.

Kupandangi kantung-kantung ASI ini.  Membayangkan wajah Zukha yang gembul dan menggemaskan. Lagi, membuatku tersenyum Bahagia.

***

“Assalamualaikum.”

Suara Perempuan mengucapkan salam di luar rumahku.

“Sebentar.” Jawabku sambil memberikan botol susu pada Zukha.

“Assalammualaikum.” Ucapnya lagi.

“Walaikumsalam, ya sebentar.”

Setelah botol ASI Zukha kosong, serta memastikan kondisi Zukha aman saat aku tinggal untuk membuka pintu, aku bergegas ke depan.

Kuintip dari balik tirai jendela. Seorang Perempuan muda yang tidak aku kenal.

Perlahan kubuka kunci pintu, dan terlihat senyum di wajahnya yang manis.

“Assalamualaikum.” Ucapnya lagi.

“Walaikumsalam. Cari siapa ya?”

“Benar Ini rumahnya pak Ari Al Akbar?”

“Iya betul, tapi sedang kerja suami saya, Mba.”

“Oh, perkenalkan nama saya Anjani. Panggil saja Jani.”

“Oh, Iya. Ada perlu apa ya?”

“Ehm… saya mau antar ASI.”

“Oh, silakan masuk dulu mba Jani.” Ajakku sambil melihat sebuah termos kecil yang ada di sebelahnya.

“Silakan duduk.” Pintaku, kemudian diikuti Anjani sambil membawa termos kecil berwarna biru.

“Terima kasih.” Ucap Anjani, sambil matanya terlihat menyapu ruangan dengan pandangan ingin tahu.

“Mas Ari ngga bilang kalau ada yang mau antar ASI. Katanya seminggu lagi, ini baru lewat dari dua hari setelah kemarin mas Ari bawa ASI.”

“Iya.”

Anjani hanya menjawab singkat. Ia duduk, tetapi matanya sibuk melihat ke sana sini seperti mencari sesuatu. Aku berdiri, lalu berjalan menuju dapur. Mengambil sebotol minuman dingin dari dalam kulkas.

“Silakan, Mba. Maaf saya belum masak, jadi belum bisa menyuguhkan makanan.”

“Ngga apa-apa.”

“Mba jani ke sini sendirian aja. Anaknya mana? Sudah usia berapa bulan?”

“Ah…em….ehm….anak saya ada. Dua bulanan”

“Oh, berarti anak kita seumuran ya. Zukha juga baru dua bulan sepuluh hari.”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Eh…itu….apa…Perempuan.” jawabnya terdengar suaranya terbata-bata.

“Sama ya, Mba. Maaf ya saya banyak nanya. Silakan mba diminum dulu.”

“Iya.”

Mba Jani meminumnya dengan cepat, sampai ia terbatuk.

“Pelan-pelan mba. Kalau kurang bilang aja.”

“Maaf, Mba sendirian?”

“Ada anak saya. Kami berdua saja. Kebetulan hari ini saya izin tidak ke sekolah. Pagi tadi Zukha agak demam dan rewel.”

“Saya boleh lihat Zukha?”

“Oh, Boleh. Tapi maaf sebelumnya kalau saya banyak bicara. Saya mengucapkan terima kasih karena Mba Jani sudah mau berbagi dengan saya. Jujur, saya sangat sedih karena tidak bisa memberika anak saya ASI. Sebaik dan semahal apapun susu formula, tetap ASI-lah yang terbaik. Kemurahan hati mba Jani membuat rasa bersalah saya sedikit menghilang.”

Anjani hanya terdiam. Aku mencoba menggenggam tangannya. Aku ingin dia tahu, bahwa aku sangat merasa Bahagia dan berterima kasih karena telah dibantu.

“Mba Jani sampai bersedia repot-repot antar ASI. Besok-besok, biar kami saja yang ke rumah mba.”

Anjani hanya mengangguk. Matanya masih tetap mencari sesuatu.

“Apa saya bisa bertemu Zukha?”

“Oh, baik. Ayo mba, alhamdulillah sudah bisa tidur nyenyak anaknya.”

Kami melangkah menuju kamar, belum sempat pintu kamar terbuka. Mas Ari masuk ke dalam rumah.

“Nisca.”

Panggilannya cukup mengejutkanku karena selama ini Mas Ari jarang memanggilku dengan nama. Hal yang paling mengherankan lagi, Anjani seperti sembunyi di belakangku. Ia menunduk dan terdiam, tepat di belakang tubuhku.

“Mas. Apa sih bikin kaget?”

“Kalian mau kemana?”

“Oh, ini mba jani mau lihat Zukha.”

“Zukha masih demam. Dia tidurkan? Jangan diganggu.”

Kalimat mas Ari ada benarnya. Tapi, apakah itu tidak akan menyinggung perasaan mba Jani? Apalagi, Mba Jani sudah sangat baik mau mengantarkan ASI ke rumah.

“Iya, tapi mas…”

“Ngga apa-apa, mba. Betul yang mas Ari bilang. Zukha jangan diganggu.”

Anjani berjalan menuju teras rumah. Aku mengikutinya dari belakang.

“Saya pamit mba.”

“Eh kok buru-buru!”

“Iya, masih ada yang harus diselesaikan.”

“Oh, kirain kalian mau ngobrol dulu.”

Mendengar ucapanku, Anjani langsung melihat ke arah Mas Ari berdiri. Merka saling bertemu pandang.

“E…lain kali aja.” Ucap Anjani, matanya berusaha menghindari tatapan mas Ari.

“Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam. Terima kasih banyak ya, Mba.”

Anjani berjalan dengan tergesa-gesa. Ia tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Aku merasa ada yang aneh. Tetapi kebaikan hatinya membuat keanehan itu tertutupi.

“Mba Jani ngga kamu antar mas? Kasihan baru melahirkan.”

“Dia bilang apa?”

“Ngga bilang apa-apa. Aku yang banyak tanya. Dia jawaba anaknya baru berusia dua bulanan. Perempuan seperti zukha.”

“Besok-besok, kamu jangan sembarangan membiarkan orang lain menyentuh atau melihat Zukha.”

“Sembarangan gimana sih mas. Zukha itu minum ASI pemberian Mba Jani loh. Jadi dia bukan orang lain.”

“Saya bilang jangan, ya jangan.” Ucap mas Ari dengan nada tinggi. Kemudia, ia keluar rumah dan meninggalkan aku yang masih kebingungan.

Bingung karena mas Ari tiba-tiba pergi dan tidak tahu kenapa mas Ari harus kesal. Padahal dia sendiri yang bilang, kalau ASI untuk Zukha ia dapat dari temannya. Saat saya ingin memperkenalkan Zukha dengan temannya, mengapa ia harus semarah itu?

Aku berjalan mengambil termos berisi ASI yang sudah diantar oleh Mba Jani. Dia adalah orang yang diberkahi oleh Allah. Air susunya begitu melimpah sampai bisa didonorkan pada orang lain. Semoga selalu dalam perlindungan Allah. Zaman sekarang, sangat sulit bertemu dengan orang yang mau memberi tanpa pamrih. Segala sesuatunya selalu diukur dengan uang.

Semoga Zukha mendapatkan ASI sampai usianya enam bulan. Menurut artikel yang aku baca, usia anak kurang dari enam bulan rentan terserang penyakit. Jika diberi ASI, harapannya daya tahan tubuh si anak jauh lebih baik, dari pada minum susu formula.

***

Malam hari, saat mas Ari sudah selesai salat isya dan duduk di sofa ruang TV, aku duduk di sebelahnya. Sesekali kulirik wajahnya, untuk memastikan kondisi suasana hatinya.

Ia sibuk bermain dengan HP. Ia bahkan tidak peduli saat aku membelai pundaknya.

“Mas, marah?” tanyaku lembut.

“Ngga.”

“Kok, dari tadi ngga ngomong apapun?”

“Ehm.”

“Kamu tadi pulang mau ngapain? Kok begitu Anjani pulang, kamu juga langsung pergi.”

“Menghalangi kamu sembarangan ngasih lihat anak ke orang lain.”

“Orang lain gimana sih mas? Dia kan teman kamu. Dia juga yang sudah bantu kita untuk memberikan ASI untuk Zukha.”

“Udah, saya cape. Yang sudah lalu ngga usah dibahas!”

“Aku jadi curiga.” Ucapku sambil cemberut.

“Curiga apa? Apa yang kamu pikirkan?”

“Anjani bukan teman kamu ya, Mas?”

“Nisca, saya cape ya! Jangan kamu tambahin dengan tuduhan-tuduhan aneh.”

“Emang aku nuduh apa sih? Aku TANYA, ANJANI BUKAN TEMAN KAMU”

Tanpa menjawab mas Ari berdiri, kemudian berjalan menuju kamar. Ia meninggalkan aku sendiri. Hal ini biasa terjadi Ketika Mas Ari tidak ingin melayani ocehanku. Ia selalu memilih untuk diam, atau pergi menghindariku.

Aku benci dengan keadaan ini. Karakter kami memamng bertolak belakang. Aku lebih suka segera menyelesaikan masalah, sedangkan mas Ari lebih suka berdiam diri jika ada masalah. Namun, hatiku sedikit terusik. Apakah ini sebuah permasalahan? Aku malah merasa aneh. Mas ari melarangku mempertemukan Zukha dengan teman yang sudah membantunya memberikan ASI untuk anaknya.

Lalu, Ketika aku bertanya, mas Ari memilih untuk tidak menjawab, dan membuatku semakin bingung. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Mengapa aku merasa mas Ari banyak menyembunyikan sesuatu setelah kehadiran Zukha di hidup kami.

Semakin kupikirkan, semakin aku merasa bingung dan pusing. Rasa penasaran dan keingintahuanku membuatku merasa jengkel. Namun, aku paham betul. Memaksa mas Ari berbicara sama saja dengan berharap matahari terbit di sebelah barat. Sesuatu hal yang mustahil.

Malam ini biarkan berlalu dengan rasa kesal dan aneh. Aku memilih berbaring di sofa dan membiarkan mereka berdua di kamar.

***

Waktu menunjukkan pukul satu pagi. Mas Ari baru menyadari bahwa istrinya tidak tidur di kamar.

Ia berjalan menuju dapur, diambil sekantung ASI yang sudah didiamkan di suhu ruangan. Lalu dituangnya ASI it uke dalam botol susu. Setelah dihangatkan sebentar, mas Ari berjalan lagi menuju kamar. Sebelum masuk, ia menoleh dan mendapati istrinya tertidur di sofa.

Diberikannya susu itu kepada Zukha. Sambil memberi susu, ditataplah bayi Perempuan cantik yang kini telah resmi menjadi anaknya. Anak yang telah dinantikan bertahun-tahun lamanya.

Ia tahu, bahwa anak ini adalah hadiah terbaik pemberian Tuhan dalam hidupnya. Banyak hal yang harus ia korbankan agar bayi ini ada di sisinya sekarang.

“Zukha, Papa berdoa agar kelak kamu menjadi manusia yang cinta Allah dan selalu merasa Bahagia.”

Sebuah kecupan kecil mendarat di kening Zukha. Bayi mungil itu Nampak nyenyak dalam tidurnya. Mas Ari, berjalan menuju lemari dan mengambil sebuah selimut. Ia lalu membawanya keluar kamar, dan menyelimuti istrinya yang tidur dengan nyenyak.

Dengan kondisi Cahaya yang temaram, dipandanginya wajah Wanita yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun. Wanita yang telah menerima dan mencintainya apa adanya. Wanita yang selalu terlihat cantik di matanya. Wanita yang gigih dan mandiri, serta Tangguh dalam menghadapi lika-liku kehidupan.

Namun, ada hal yang harus ia sembunyikan, ia masih belum yakin, jika istrinya mengetahui hal ini, Ia kuat dan mampu melanjutkan hidup ini dengan Bahagia.

Pelan-pelan, Mas Ari menyelimuti istrinya. Dibelainya perlahan kepala Niscala. Kemudian ia Kembali ke kamar, dan membiarkan mala mini mereka tidur terpisah.

 

16

 

Sejak malam itu mas Ari menjadi lebih pendiam. Ia hanya bicara seperlunya. Saat di rumah, ia lebih senang bermain dan berbicara dengan Zukha. Aku juga lebih memilih untuk tidak bertanya, sudah sepuluh tahun lebih kami hidup Bersama, sikapnya yang seperti ini sudah aku pahami dengan baik.

Saat pagi hari Ketika malamnya kami bertengkar dan menyadari tubuh berbalut selimut, membuatku tersenyum. Ya, tersenyum. Aku tahu bahwa Mas Ari  datang menyelimutiku. Di balik sikap diamnya, aku tahu bahwa dia adalah seorang suami yang penyayang, peduli, meskipun terlihat cuek.

Aku tidak berpikiran jelek apapun tentang mas Ari dan Anjani. Selama ini tidak ada perilaku yang dapat kujadikan alibi untuk menuduhnya macam-macam. Sebenarnya, aku hanya merasa aneh saja, mengapa mas Ari sangat melarang saat Anjani ingin bertemu Zukha. Bagaimana mas Ari bisa datang di saat kami akan masuk ke kamar? Setelah itu ia memilih pergi dari rumah, setelah Anjani juga meninggalkan rumah.

Siang ini ada lokakarya yang harus ku ikuti. Pertemuan dengan banyak orang, hal-hal baru yang kupelajari, serta tugas-tugas yang harus diselesaikan,, membuatku larut dalam kesibukan. Sampai waktu menunjukkan pukul lima sore, acara lokakarya ini pun selesai.

Ku lihat ada dua panggilan tak terjawab dari mas Ari. Saat akan meneleponnya, aku dikagetkan dengan sosok Anjani yang ada di hadapanku. Wajahnya sangat tirus, lingkaran hitam di sekitar kelopak matanya pun terlihat sangat jelas. Ia menatapku, tatapannya sedikit membuatku merasa takut.

“Bu Nis, Saya duluan ya.” Ucap Bu Dianti. Ia memahami bahwa aku dan Anjani membutuhkan waktu untuk bicara berdua saja.

“Oh, Ya. Hati-hati.” Balasku tanpa mengalihkan pandangann dari Anjani.

Ia berjalan menghampiriku. Jarak kami semakin dekat. Dengan sedikit rasa canggung, aku berusaha untuk tersenyum. Namun, Anjani tidak membalas senyumanku.

“Hai, mba! Kok, ada di sini?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Di sana ada tempat duduk. Bisa kita bicara?” ucapnya sambil menunjuk kea rah sebuah taman yang tidak jauh dari lokasi kami berdiri.

“Oh, ayo mba!”

Tanpa sadar, ternyata aku tidak sengaja menekan tombol panggilan ke nomor mas Ari.

Kami langsung duduk. Kebetulan tamannya cukup sepi. Hanya ada beberapa remaja sedang bermain gitar.

“Halo…halo!” suara mas Ari memanjawab panggilanku.

“Maaf mas, nanti aku telepon lagi!”

“Kamu di mana? Ini sudah mau maghrib.”

“Maaf lupa beri kabar. Aku ada lokakarya. Ini baru selesai. Tapi, ketemu mba Anjani. Jadi, mau ngobrol dulu”

“Apa? Anjani? Ngapain kamu ngobrol sama dia? Ayo pulang sekarang!”

Karena aku merasa tidak enak kalau sampai Anjani mendengar ucapan mas Ari, spontan saja aku mematikan panggilan itu.

Benar saja Anjani masih terus menatapku. Aku menjadi lebih canggung.

“Maaf mba, mungkin saya ngga bisa lama-lama.” Ucapku sambil memberikan senyuman untuk meredakan suasana yang membuatku merasa canggung. “Ada apa ya? mba sedang ada acara juga di sekitar sini?”

“Saya ke sini sengaja mencari Mba Nisca. Saya sudah tidak sanggup jika harus diam saja. Mungkin jika saya menyampaikannya. Mba bisa memahami dan mengasihani saya!”

Anjani menyampaikannya dengan nada yang tinggi. Hal ini tentu membuatku merasa kebingungan. Jujur saja, aku tidak paham maksud dari ucapannya.

“Ada apa ya? kok, saya jadi merasa tidak enak!”

“Saya harap, mba mengerti jika saya ingin mengambil Zukha. Hati saya tidak tenang, saya merasa bahwa dia adalah anak saya juga!”

“Anak? Zukha? Maksudnnya?”

Aku semakin kebingungan, untuk apa Anjani menginginkan Zukha? Toh, dia memiliki anak sendiri.

“Saya tahu, Zukha bukan anak saya. Tapi, saya yang mengandungnya selama Sembilan bulan. Saya yang berjuang melahirkan ke dunia ini. Saya yang hamper mati untuk menghandirkan dia di keluarga mba.”

“Tunggu! Maksud kamu apa sih? Zukha bukan anak kamu, tapi kamu yang melahirkan Zukha!”

“Saya ngga tahu apa yang dikatakan suami mba. Tapi rasanya saya tidak mampu hidup tanpa Zukha.”

“Jangan mentang-mentang kamu sudah mendonorkan ASI kemudian kamu merasa Zukha itu hak kamu. Zukha anak kami, kamu tidak memiliki hak!”

Suaraku sudah meninggi, bahkan aku memilih berdiri, dan rasanya ingin pergi meninggalkan Perempuan aneh ini.

“Anjani!” suara mas Ari membuat kami menoleh ke arahnya.

Aku berlari menghampirinya. Wajahnya terlihat Lelah. Aku tahu ia berusaha untuk datang secepat mungkin menemui kami.

“Saya ngga bis mas. Saya menginginkan Zukha!” ucap Anjani tanpa peduli wajah merah Mas Ari karena menahan amarah.

“Istighfar kamu. Zukha bukan siapa-siapa kamu!”

“Tapi saya yang merawatnya saat ia ada di dalam Rahim saya. Saya yang berjuang anatar hidup dan mati saat melahirkannya!”

Kalimat yang Anjani ucapkan sangat keras, membuatku tersadar, bahwa bayi yang dilahirkannya adalah anakku, Zukha.

“Kami telah membayar kamu. Ingat, bukan kami yang meminta kamu untuk melahirkan Zukha. Dia juga bukan anak kamu. Saya bisa tuntut kamu.”

“TUNTUT…TUNTUT…BAWA SAYA KE POLISI. SAYA TIDAK TAKUT. SAYA MAU ANAK SAYA.”

Anjani berteriak, ia menangis. Ia mengamuk seperti anak kecil yang tidak dibelikan es krim oleh ibunya.

Aku hanya terdiam. Bingung. Bagaimana Zukha yang ia lahirkan bukanlah anaknya. Lantas, apa maksud mas Ari telah membayar Anjani?

“Kita bicara lagi saat kamu sudah tenang. Tapi saya peringatkan. ZUKHA BUKAN ANAKMU!”

Mas Ari menarik tanganku. Kami pergi meninggalkan Anjani yang masih menagis. Aku hanya berjalan mengikutinya dalam pikiran yang dipenuhi kebingungan. Sampai akhirnya, tibalah kami di rumah. Ibu dan bapak menyambut kedatangan kami dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

Setelah mencium tangan ibu dan bapak. Kami masuk, kemudian aku duduk di sofa.

“Salat dulu nak, sebentar lagi azan isya.”

Tanpa menjawab, aku pun berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengambil air wudhu. Rasa Lelah dan berbagai macam pertanyaan di pikiranku membuaat tubuhku terasa lebih Lelah.

Saat pancuran air menyentuh kulitku membuatku terasa lebih segar. Tetapi pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Namun jawaban itu menimbulkan rasa takut di dalam hatiku. Takut kebenaran akan terungkap. Takut, jika kebenaran itu menyakitiku.

 

17

 

“Duduk Nak.” Pinta bapak saat aku sudah keluar dari kamar. “Mau makan dulu? Sudah makan belum?” tanyanya lembut.

Aku mengangguk saja. Padahal terakhir makan itu menjelang zuhur tadi. Ku lihat di jam dinding, jarum jam sudah berada di angka delapan. Pertanyaan-pertanyaan di kepala membuat rasa lapar ini hilang. Perutku mendadak kenyang.  Bahkan untuk minum pun rasanya enggan.

Zukha terlelap dalam gendongan ibu. Sejak lahir Zukha cenderung tidak pernah merepotkan. Dia anak yang menyenangkan. Ah, Zukha! Mama sangat menyayangimu. Meskipun bukan mama yang mengandung dan melahirkanmu, tetapi apapun akan mama berikan demi membahagiakanmu, sekalipun itu nyawa mama sendiri.

“Ajak Zukha ke kamar Bu.” Pinta bapak.

Aku baru sadar. Sejak tadi mas Ari hanya duduk terdiam di sofa. Sesekali ia melihatku, kemudian memilih menundukkan kepalanya. Mas, ada apa ini? Kita baru saja Bahagia karena merasakan kebahagiaan, kerepotan, dan perjuangan sebagai orang tua. Hal yang selalu kita sampaikan dalam setiap doa-doa kita. Apakah aku tidak pantas menjadi seorang ibu? Apakah Allah tidak memberiku kepercayaan?

“Nis. Bapak berharap kamu tidak berprasangka buruk terhadap suamimu. Sejak awal apapun yang dilakukan Ari adalah demi kebaikanmu. Saat ini bapak bukan ingin ikut campur. Bapak hanya ingin kamu tahu, bahwa bapak sangat berterima kasih karena Ari tidak pernah menyakitimu.”

“Ada ap aini sebenarnya pak? Nis bingung. Bapak bicara apa, Nis tidak paham. Ada apa sebenarnya? Kenapa muter-muter? Dijelaskan saja.” Ucapku dengan suara gemetar karena menahan tangis.

Tangisan ini terjadi karena aku merasa bingung. Ada apa sebenarnya.

“Mas Ari menikah lagi?”

“Astagfirullah….! Kok bisa kamu berpikiran begitu?” ucap mas Ari degan suara yang terdengar bergetar pula.

“Terus ada apa mas?” balasku disertai suara tangisan yang akhirnya pecah setelah ku tahan-tahan.

Bapak menghampiriku. Ia duduk dan merangkulku. Hal ini justru membuat tangisku semakin kencang. Hingga ibu pun keluar dari kamar dan memeluk pundakku dari belakang.

“Dengarkan baik-baik, dan hilangkan pikiran kamu tentang saya yang menikah lagi. Semua yang saya lakukan adalah demi kebaikan dan keutuhan rumah tangga kita.” Ucap mas Ari, kemudian pindah duduk mendekati aku, ibu, dan bapak.

“Zukha sebenarnya adalah anak kita.”

Kalimat itu seketika menghentikan tangisanku. Kepalaku yang tertunduk, langsung menatap mata mas Ari yang berkaca-kaca.

“Akhirnya…. Ki…ta…punya…anak, Nis.”

Air mat aitu mulai menetes di pipinya. Sesekali ia menyeka hidungnya, dan mengatur nafasnya agar bisa bicara Kembali. Sementara aku masih terdiam, menatapnya, dan tidak mengerti maksud ucapannya.

“Nis, suamimu orang baik. Semua dia lakukan karena dia tidak punya pilihan. Bapak dan ibu juga kaget. Tapi, bapak dan ibu berpikir kalau waktu itu keputusan suamimu salah, mungkin saja nyawamu tidak tertolong.”

Ucapan bapak membuatku berusaha mengingat kejadian-kejadian yang telah terjadi sebelumnya agar aku memahami maksud kata-kata mereka.

“Kamu ingat Ketika kamu mengalami kecelakaan karena menolong seorang anak kecil yang hampir tertabrak mobil?”

Pertanyaan bapak membuat ingatanku Kembali ke masa empat tahun silam. Saat aku harus terbaring di tempat tidur selama tiga bulan lebih akibat tulang pinggangku yang cidera.

“Saat itu terjadi begitu cepat sampai akhirnya suamimu harus mengambil keputusan…”

“Pak.” Ucap ibu memotong kalimat yang keluar dari mulut bapak. Seketika bapak memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya.

Suasana begitu sunyi, yang terdengar hanya bunyi jarum jam di dinding yang berputar.

“Dokter terpaksa melakukan histerektomi. Kamu terpaksa harus menjalaninya, sebab kecelakaan itu membuat kamu mengalami prolaps uteri. Sebenarnya ini kasus yang langka. Tapi, ini terjadi di kamu.”

“Mas jangan bercanda. Mas tahu kan histerektomi itu? Mas bilang waktu itu aku Cuma mengalami patah tulang di bagian pinggang. Terus…terus…kenapa sekarang mas bilang pengangkatan Rahim? Berarti aku sudah tidak punya Rahim mas? Aku ngga bisa hamil?”

Tangisku pecah Kembali. Tanpa sadar aku memukuli perutku sendiri, sampai bapak dan ibu menahan kedua tanganku. Mas Ari menenangkanku dengan memegang wajahku untuk melihat wajahnya yang tepat berada di depanku.

“Kamu hebat sayang, kamu berkorban agar tidak ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Kamu menggantikan anak itu dengan diri kamu sendiri. Kecelakaan itu membuat Rahim kamu mengalami penurunan, pendarahan tidak berhenti, hingga akhirnya pengangkatan Rahim itu menjadi satu-satunya jalan keluar untuk menyelematkan kamu dari kematian.”

Ah…tangisku makin kencang, aku tidak sanggup menerima kenyataan bahwa seumur hidup aku tidak akan bisa mengandung dan melahirkan. Bagaimana bisa seorang Perempuan hidup tanpa rahimnya? Allah, Allah, mengapa? Aku menangis. Pelukan ibu dan bapak tak cukup menenangkanku. Kehadiran mas Ari semakin membuat hatiku sakit. Aku tidak sempurna. Aku tidak akan pernah menjadi seorang ibu dari anak yang aku lahirkan sendiri.

“Nis, tolong jangan membuat saya semakin merasa bersalah. Saat itu dan sampai kapan pun saya tidak akan sanggup kehilangan kamu. Bertahun-tahun kita menikah tanpa anak, rumah tangga kita baik-baik saja. Asal ada kamu, saya mampu menjalani semua.”

Kalimat-kalimat itu begitu indah, tapi tak cukup meredamkan tangisku. Ibu berlari ke dalam kamar, suara tangisanku membangunkan Zukha.

“Zukha anak kita, Nis. Darah daging kita. Kamu tetap bisa menjadi seorang ibu.” Ucapan mas Ari membuatku tersadar, hingga aku berusaha untuk menghentikan isak tangisku.

“Ba…gai…ma…na bi…sa?” tanyaku dengan suara masih terbata-bata.

“Pak Peter yang menabrak kamu adalah orang yang bertanggungjawab atas semua ini. Ia adalah seorang dokter Obgyn yang sangat terkenal di singapura. Kamu ingatkan dokter peter yang merawat kamu selama sakit?”

Aku mengangguk.

“Dokter Peter menyarankan untuk melakukan pembekuan sel telur kamu. Ia berpikir bahwa suatu hari nanti saat kamu sudah bisa menerima  kenyataan, sel telur itu  bisa dibuahi dalam proses bayi tabung. Memang kita pasti membutuhkan Perempuan lain yang bersedia dipinjam rahimnya untuk proses mengandung dan melahirkan.”

Aku mulai bisa mengatur tangisanku. Berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang disampaikan mas Ari.

“Saya memang berbohong. Namun semuanya demi kebaikan kita. Saya tidak ingin melihat kamu seperti sekarang. Tahun ketiga setelah kamu kecelakaan, akhirnya dokter Peter meminta saya untuk melakukan proses Bayi tabung. Semua dilakukan untuk meminimalisir kegagalan. Karena jika sel telur yang ini gagal dibuahi, maka selamanya kita tidak akan punya anak.”

Mas Ari masih memegang wajahku dengan kedua telapak tangannya. Sikapnya seolah mengisyaratkan bahwa ia ingin aku menatap matanya, dan menemukan kenyataan bahwa semua yang dilakukannya hanya untuk kebaikan dan kebahagiaanku.

“Zukha anak kita, Nis. Anjani hanya berperan sebagai ibu pengganti. Pembuahan itu terjadi dengan proses bayi tabung. Tidak ada satupun Perempuan lain yang saya sentuh selain kamu.”

Aku memeluk mas Ari, dan Kembali menangis. Namun, tangisan kali ini bukan karena rasa marah dan kesal. Kami berpelukan dan menangis Bersama. Aku melihat bapak tersenyum dan mengusap kepala mas Ari.

“Mas, dari mana kamu mendapat uang untuk semua ini?”

“Dokter Peter, Nis. Beliau yang menanggung. Mas sama sekali tidak mengeluarkan uang.”

Aku tersenyum. Ada hal baik yang Allah berikan pada kami di balik sebuah kehilangan yang aku alami.

Ibu keluar dari kamar sambil menggendong Zukha. Tanganku mengisyaratkan kepada ibu untuk meminta menggendong Zukha. Ibu memberikannya dengan hati-hati. Air mataku Kembali menetes. Zukha berada dalam dekapanku. Kuciumi wajah mungilnya dengan lembut. Allah telah mengabulkan doaku dengan cara yang terbaik menurutnya.

Aku hanya manusia biasa, tidak bisa menolak takdir. Allah mengambil rahimku, tapi ia memberikan seorang anak darah dagingku dengan cara yang lain.

Hai Zulaikha Putri Akbar. Ternyata, kau adalah putri kandung mama. Terima kasih telah menjadi anak yang kuat. Terima kasih sudah hadir di hidup mama. Mama akan menjagamu dengan segenap jiwa dan raga. Semoga Allah mengizinkan kita selamanya. Tumbuhlah menjadi anak yang kuat, hebat, dan Bahagia.

Mas, terima kasih telah berjuang untukku. Selalu ada di sampingku apapun kondisiku. Saat ini, aku belajar untuk mengikhlaskan semuanya. Semoga sampai kapanpun hatimu tetap hanya untukku. Kehilangan Rahim membuatku merasa tidak sempurna. Tanpa kau ketahui ada rasa takut yang begitu besar tersimpan di dalam hatiku.

 

 

18

 

“Bapak berharap kamu tetap percaya diri, Nis. Semua yang dilakukan Ari demi keselamatanmu. Jangan punya pikiran macam-macam.” Ucap bapak. Kami melakukan panggilan telepon, sejak kejadian itu, bapak rutin menghubungiku untuk memsatikan kondisi anak dan cucunya.

“Iya, Pak. Udah seratus kali loh bapak bilang ini…he…he…” balasku berusaha mencairkan suasana. “Ibu, sedang apa pak?”

“Ah, ibu kamu ngga bisa diam, sedang berkreasi di dapur. Tahu buat apa!”

“Tapi bapak kan jadi kenyang kalau ibu aktif di dapur.”

“Sekarang mah usia makin tua, makan juga ngga banyak-banyak seperti dulu.”

“Iya yang penting bapak dan ibu sehat. Aku ngga bisa apa-apa kalau kalian sakit.”

“Amiin nak! Bapak juga Bahagia kalau kamu dan Ari Bahagia.”

Tok…tok…

“Assalamualaikum.” Suara salam dari luar.

“Pak, ada tamu. Nis tutup ya teleponnya.”

“Sehat-sehat ya nak! Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam, Pak.” Jawabku kemudian memutuskan panggilan di layar HP. “Sebentar.” Balasku menjawab panggilan dari luar.

aku berjalan agak cepat menuju pintu. Zukha masih tertidur pulas di Kasur empuknya. Dari balik tirai aku lihat, ada sesosok gadis cantik yang wajahnya ku kenali.

“Aya.” Sapaku saat pintu rumah sudah dibuka.

“Assalamualaikum, Bu Nisca.” Aya menjawab salamku.

Aya mencium tanganku, kami berpelukan.

“Yuk, masuk Ya. Ya Allah ada angin apa ini Aya main ke rumah ibu.”

“Angin sepoi-sepoi, Bu!” jawab Aya sambil terkekeh.

Aya berjalan mengikutiku. Ia duduk di sofa yang paling dekat dengan pintu masuk. Diletakkan olehnya sebuah benda yang dibungkus kertas kado berwarna merah muda.

“Untuk Zulaikha, Bu.” Ucapnya sambil mendorong perlahan kado berbentuk kotak persegi Panjang. “Mudah-mudahan bermanfaat.”

“MasyaAllah, repot-repot, Nak. Terima kasih ya. Semoga Allah balas dengan segala kebaikan.”

“Amiin, Bu.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Ibu, sendirian? Zulaikha mana bu?”

“Di Kamar. Aya mau lihat ke sana?”

“Jangan deh Bu. Takut kebangun.”

“Ya udah, mau minum panas atau dingin? Ibu tinggal ke dapur ya.”

“Jangan ngerepotin ya, Bu. Air putih aja.”

“Masa jauh-jauh datang dikasih air putih doang.” Ucapku sambil menuangkan sirup rasa jeruk ke dalam gelas.

Setelah dicampurkan es batu, aku membawanya ke Aya. Sebuah kaleng biskuit ikut menemani es jeruk yang kubuatkan untuk Aya.

“Makasih ya, Bu. Maaf ibu jadi repot.” Ucap Aya setelah melihatku membawakan minuman dan sekaleng biskuit.

“Seadanya ya.”

“Ini aja udah cukup kok! Jadi enak nih dikasih minuman sama ibu, hehehe….”

Aku membiarkan Aya meneguk es jeruk yang kubuatkan. Ia meminumnya sambil sesekali memberikanku sebuah senyuman.

“Ibu senang Aya mau ke rumah ibu.” Ucapku sambil menatap wajahnya yang cantik. “Kamu lebih fresh ya sekarang!”

“Iya bu. Maafin Aya ya. Kemarin-kemarin Aya seperti anak kecil.”

“Iya ibu juga sempat bingung. Aya menghindar dan mendiamkan ibu. Tapi ibu berusaha untuk memahami perasaan Aya.”

Aya memelukku. Pelukan yang sangat erat. Cukup lama kami berpelukan. Tanpa kata-kata. Kami larut dalam pikiran dan prasangka kami masing-masing.

Senang rasanya dikunjungi seorang siswa special. Ia bahkan sampai membawakan buah tangan untuk Zukha. Buah tangan itu sebagai pertanda bahwa ia juga ikut bahagian dengan kehadira Zukha dalam hidupku.

“Ibu akhirnya memilih di rumah ya?” tanya Aya setelah melepakan pelukan kami. “Kasihan nanti adik-adik kelas yang seperti saya tidak bisa ketemu ibu!”

Aku membelai kepalanya yang tertutup hijab dengan lembut. Aya membalasnya dengan senyuman.

“Semoga adik-adik kamu di sekolah tidak dihadiahi Allah dengan permasalahan seperti kamu.” Ucapku sambil memegang Pundak Aya. “Tapi aya adalah manusia beruntung. Tanpa ujian dari Allah, Aya tidak akan menjadi seperti sekarang.”

“Maafin Aya ya bu. Sebenarnya aya merasa malu. Makanya, waktu itu Aya berusaha menghindari dan tidak berbicara pada Ibu.” Ucap aya sambil memegang tanganku. “Aya merasa bersalah, tapi juga berterima kasih karena ketulusan dan kasih sayang ibu, membuat aya sadar bahwa Aya masih bisa mendapatkan kebahagiaan.”

“Kamu juga memilih untuk tidak ikut wisuda. Nomor telepon kamu ngga aktif. Ya Allah Ya, ibu benar-benar merasa bersalah waktu itu.”

Aya mempererat genggaman tangannya. Ia tersenyum.

“Aku memilih untuk mencari kebahagiaan dan ketenangan bu. Hamper seluruh kota di Indonesia sudah Aya kunjungi.” Ucapnya menjelaskan, kemudia ia mengeluarkan Hp dan memperlihatkan beberapa foto yang diambilnya saat melakukan perjalanan.

“Keren, Ya. Alhamdulillah jika sekarang keadaan kamu jauh lebih baik. Kesuksesan dan kebahagiaan itu pilihan.”

“Betul, Bu. Makanya Aya berharap anak-anak yang mengalami masalah seperti Aya dipertemukan dengan seseorang yang baik seperti ibu.”

“Berlebihan kamu, Ay. Ibu tidak sebaik itu. Masih banyak kurangnya.”

“Tapi hati ibu tulus. Ibu menganggap kami ini seperti anak sendiri.”

Aku tersenyum, lalu sekali lagi membelai kepalanya.

“Aya mendengar kabar tentang ibu. Apa benar ibu sekarang mengundurkan diri sebagai guru?”

“Ya, sementara ini begitu. Zukha saat ini lebih membutuhkan Ibu. Aya juga sudah mendengarkan tentang kondisi ibu sekarang. Momen ini mungkin tidak akan terulang Kembali, makanya ibu memilih membersamai Zukha.”

“Zukha beruntung bu. Ia pasti akan Bahagia memiliki mama seperti ibu.”

Aku Kembali tersenyum. “Semua anak dilahirkan dengan taakdirnya masing-masing. Kamu juga anak yang beruntung. Aya juga pasti bisa Bahagia.”

“Harus bu. Aku pasti bisa Bahagia.”

“Mba.”

Panggilan Anjani mengejutkanku. Ia datang, dan masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam lagi. Pintu rumah pun terbuka, karena sejak tadi aku dan Aya asyik bercengkerama.

“Masuk Mba. Silakan duduk.” Ucapku dengan lembut.

Wajah Anjani jauh lebih segar dibandingkan pertemuan terakhir kami. Tak ada alasan untukku membencinya. Apa yang sudah ia lakukan adalah pengorbanan yang sangat luar biasa. Tanpanya, aku tidak akan bisa memeluk Zukha.

“Aya boleh istirahat di kamar bareng Zukha. Biar ibu ngobrol dulu dengan mba Jani.” Pintaku.

“Aya pamit pulang aja bu. Lain hari Aya ke sini lagi.”

“Oh, Gitu. Kalau mau ketemu Zukha ngga apa-apa nak, ke kamar aja.”

“Lain hari ya, Bu. Sekarang biarkan aja dede  Zukhanya tidur.”

“Ya sudah hati-hati. Terima kasih ya.”

“Iya bu, Assalamualaikum.” Ucapnya, kemudian mencium tanganku. Lalu pergi menyisakan aku dan Anjani.

“Walikumsalam.”

Setelah menjawab salam, aku Kembali focus pada kehadiran Anjani. Ia duduk, sambil menundukkan kepalanya. Saat melihatku duduk di sebelahnya, ia menyodorkan sebuah bungkusan plastic.

Saat aku membuka plastic itu, pandanganku langsung teralihkan ke Anjani. Plastic itu berisi beberapa kantung ASI yang masih beku.

“Mungkin Mas Ari sudah menyampaikan bahwa dia tidak meminta kamu lagi untuk menyimpan ASI kan?”

“Ini yang terakhir mba. Saya harap mba sudi menerimanya.” Jawab Anjani dengan kepala masih tertunduk.

“Maksud kamu?” tanyaku penasaran. Anjani mengangkat kepalanya, dan mata kami saling bertemu.

“Saya sudah cukup sadar bahwa semua ini adalah pilihan saya. Tanpa paksaan dari siapapun. Saya juga sadar, bahwa saya hanya sebagai tempat persinggahan sementara untuk Zukha.”

“Terus?”

“Saya sudah menuntaskan keinginan ibu saya. Kita impas mba.”

“Maksud kamu apa lagi?”

“Anak yang mba Nisca selamatkan dalam kecelakaan itu adalah adik saya.”

Mendengar penjelasan Anjani, membuat ingatanku Kembali ke masa empat tahun lalu saat aku melihat seorang anak yang berjalan sendirian dan tidak menyadari ada mobil yang berjalan di arah berlawanan dengannya.

 

 

19

 

“Sebelum mama meninggal, ia meminta saya untuk menemui Mba. Mama ingin saya mengucapkan terima kasih karena mBa sudah bersedia menolong adik saya. Mama juga bilang bahwa mba sudah kehilangan Rahim padahal mba belum pernah mengandung.”

Anjani berhenti bicara, dan menatapku lebih dalam. Aku masih terdiam dan merasa bahwa Allah sungguh memiliki rencana yang tidak bisa ditebak oleh hambanya.

“Ketika saya ke rumah sakit, dan dokter Peter mencari Perempuan yang bersedia untuk mengandung serta melahirkan calon anak mba, saya langsung bersedia. Dokter Peter bilang, ini adalah kesempatan terakhir mba untuk memiliki anak darah daging mba sendiri. Empat sel telur yang berhasil dibekukan oleh dokter Peter mengalami tiga kali kegagalan saat proses bayi tabung. Untungnya masih tersisa satu dan berhasil.”

Mataku meneteskan air mata.

“Dokter Peter menawarkan uang yang cukup banyak saat itu. Beliau tidak tahu bahwa saya masih memiliki hubungan dengan anak kecil yang hamper ditabraknya.”

Anjani terdiam, lalu menghela nafas cukup Panjang.

“Saya merasa bersalah ke Zukha. Bagaimanapun saya adalah ibu yang melahirkannya. Saya merasa tidak pantas menikmati uang yang saya dapat sebagai imbalan Ketika mengandungnya.”

Anjani kemudian memegang bahuku.

“Tapi saya akan menjadi manusia yang sangat kejam jika saya bersikeras untuk memisahkan kalian. Sementara keluarga saya memiliki hutang budi pada mba.”

“Lalu, Mau kamu apa?” akhirnya aku bisa membuka mulut, setelah lama terdiam.

“Izinkan saya berpamitan dengan Zukha. Saya ingin melihat wajahnya untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

“Kamu mau pergi?”

“Iya mba. Nanti malam saya dan adik saya akan berangkat ke Malaysia. Kami akan memulai hidup yang baru di sana.

“Apa kamu tidak akan pulang ke Indonesia?”

Anjani menggelengkan kepalanya.

“untuk siapa kami Kembali? Lebih baik kami memulainya lagi dari awal tanpa ada bayang-bayang masa lalu.”

“saya Ikhlas menyelamatkan adik kamu. Saat kejadian itu terjadi, saya hanya berpikir untuk bisa menyelamatkan manusia kecil yang saya lihat. Kalian tidak berhutang apapun. Apa yang saya alami, adalah sebuah takdir Tuhan yang tidak dapat saya tolak.”

“Mama benar. Mba orang yang baik. Bahkan mba kuat menerima kondisi mba saat ini.”

“Saya begini karena saya dikelilingi orang-orang yang baik seperti kamu.”

Anjani tersenyum.

“Jadi, apa saya diizinkan bertemu dengan Zukha?”

Aku mengangguk. Sebuah senyuman kuberikan padanya.

“Terima kasih.”

Anjani berjalan di belakangku. Saat pintu kamar kubuka, Zukha masih terlelap.

Anjani membungkuk di sebelah Kasur Zukha. Matanya berkaca-kaca sambil terus menatap bayi mungil kami.

Dengan hati-hati tangannya berusaha membelai wajah mungil Zukha.

“Hai Zulaikha. Namamu secantik wajahmu. Terima kasih telah tumbuh menjadi bayi yang kuat. Selama Sembilan bulan kita saling bekerja sama. Aku tahu, kamu akan tumbuh menjadi anak yang Bahagia. Seperti apa yang selalu mama dan papamu katakan.”

Diusapnya kepala Zukha. Mata yang berkaca-kaca itu telah luluh lantah. Titik-titik air mata mulai membasahi pipi putihnya.

“Aku menangis karena Bahagia. Akhirnya, perjuangan kita telah berhasil membawa kebahagiaan untuk papa dan mamamu. Kuat ya nak, aku akan selalu ada untukmu meskipun hanya lewat doa-doa.”

“I Love You, Zulaikha!”

Anjani memilih untuk keluar kamar dan menumpahkan tangisnya.

Kini aku mulai memahami perasaannya. Bagaimanapun ada darahnya dalam diri Zukha. Ada perjuangannya hingga aku dan Mas Ari dapat dikaruniai seorang anak. Rasa marah, benci dan ketakutan kehilangan Zukha sirna. Allah memilihnya, ya, dia Perempuan pilihan Allah untuk mengabulkan doaku menjadi seorang ibu.

Aku berjalan menghampirinya, kuraih bahu kecilnya, kami saling berpelukan.

Dengan berbisik kukatakan, “Terima kasih telah mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang ibu. Kebaikanmu, akan menjadi ladang pahala yang dapat kau panen di hari akhir nanti.”

Anjani mengeratkan pelukannya, serta suara tangisannya semakin terisak. Membuatku ikut merasakan hatinya.

“Percayalah Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk hambanya.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Madesy

    dalam banget ceritanya, penuh makna.. tanpa sadar menitikan air mata..

  • dela

    ceritanya untuk pelajaran hidup😭😭

Similar Tags
From Ace Heart Soul
556      331     4     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
Dua Warna
513      364     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Katamu
2839      1066     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Forbidden Love
9214      1964     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
Redup.
500      308     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Tetesan Air langit di Gunung Palung
413      283     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
No Escape
399      276     4     
Short Story
They're trapped. They're scared. In the middle of nowhere, Cassie slowly learn how to survive, without water, without nothing. No, she's not the only one. A group of 20 people woke up in a remote island. They must work together to find not only an escape, but their lost memories as well. That, or they perish on a desolate island.
Under The Moonlight
1823      962     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Kulacino
381      248     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
Laci Meja
472      315     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?