Chiv sendiri terlihat bolak-balik keluar masuk lapangan indoor basket. Pemuda itu tengah mempersiapkan diri untuk menyatakan perasaannya pada Lili. Dirinya ingin membuat pernyataan perasaannya pada Lili menjadi momen yang akan diingat hingga kapanpun.
Di lapangan indoor terlihat banyak sekali dekorasi yang tengah dipasang oleh sahabat-sahabat Chiv dan Lili. Telihat Ven dan Lyn tengah ribut mengenai penempatan dekorasi, Bio yang tengah mengatur ulang penempatan lampu sorot dibantu oleh Han, sedangkan Lane tengah menata bunga yang nantinya akan diberikan Chiv pada Lili.
Hari itu lapangan basket indoor benar-benar ditutup, tak ada satu orang murid pun yang boleh masuk sebab takut akan mengganggu dan merusak persiapan mereka. Satu jam menata semua keperluan Chiv, kelima murid itu akhirnya selesai mengerjakan semuanya.
“Semangat bro, gue yakin lo bakal bisa dapetin Lili, jangan gugup, okey.” ucap Han menyemangati Chiv yang terlihat sekali gugup.
“Gimana nggak gugup anjir, hari ini penentuan gue diterima sama Lili atau enggak, jelas banget gue gugup coy.” ujar Chiv.
“Elah, dibawa santai aja kenapa sih?” ujar Ven sembari merangkul bahu sahabatnya itu.
“Gue yakin kalau Lili bakalan nerima lo, lagian gue rasa selama ini Lili tuh suka sama lo.”
“Yang Ven bilang itu bener Chiv.” Ucapan Bio tadi membuat kelimanya menatap ke arah gadis itu.
“Jangan bingung gitu, kalian aja yang selama ini nggak pernah notice cara Lili natap ke arah Chiv itu beda dengan cara Lili natap ke arah Hadden.”
“Gue rasa lo cocok jadi detektif deh Bi, segitunya lo merhatiin orang.” ujar Lyn.
“Itu emang cita-cita gue kali.” ucap Bio santai.
“Udah-udah, sekarang tinggal nyiapin rencana selanjutnya.”
Setelah mendengar perintah Chiv, mereka semua kemudian bersiap untuk melakukan rencana selanjutnya sebagai permulaan dari rencana Chiv untuk menyatakan perasaanya pada Lili.
*
*
*
Lili kini tengah menyusuri satu per satu lorong sekolahnya, mencari sahabat-sahabatnya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, membuat dirinya kebingungan sekaligur khawatir. Tiap ruang klub sudah Lili cek, dari klub yang mereka ikuti sampai klub yang tidak ada hubungannya dengan sahabat-sahabatnya.
Gadis itu bahkan sampai mengecek kamar mandi dan kamar ganti secara bergantian, berharap sahabat-sahabatnya berada di sana. Namun tetap saja satu jejak mengenai ketiga sahabatnya tidak kunjung dirinya temukan.
Saat Lili sedang berjalan di lorong lantai dua, seorang murid perempuan memberhentikan dirinya dan memberikan ia sebuah surat berwarna merah. Lili yang kebingungan itu hendak bertanya mengapa di murid itu memberikan dirinya sebuah surat namun harus terhenti sebab si murid itu segera pergi menjauhi dirinya tanpa sepatah kata pun.
“Awal kita bertemu yang berupa sebuah kebetulan di hadapan mading sekolah di samping lapangan upacara.” Dahi Lili mengerenyit, mading sekolah samping lapangan upacara, apakah ini menunjukkan bahwa dirinya harus pergi ke sana atau hanya surat iseng biasa. Namun Lili yang penasaran kemudian pergi ke arah tempat yang ditulis di surat tersebut.
Sesampainya Lili di sana, seorang murid perempuan mendatanginya lagi, memberikan sebuah surat berwarna kuning. Murid perempuan itu juga meninggalkannya tanpa sepatah katapun sebelum Lili sempat melontarkan pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
“Toko buku dan perpustakaan, ruangan yang sama-sama memiliki buku sebagai serpihan memori tentang pertemuan kita berdua.”
Lili lagi-lagi berjalan cepat menuju ke perpustakaan yang ternyata sepi atau bahkan bisa dibilang tak ada satu pun murid atau guru yang berada di sana. Namun Lili dikejutkan dengan seorang murid laki-laki yang memberikan ia surat berwarna biru. Lili sebenarnya ingin sekali menahan murid tersebut, namun kemudian dirinya urungkan dan lebih memilih untuk membaca isi surat tersebut.
“Makan siang bersama di kantin selalu menjadi ingatan yang tak akan pernah bisa dilupakan, menjadi tatapan para murid yang seperti ingin menguliti diriku karena berani untuk duduk bersamamu.”
Lili terkekeh saat membaca isi surat tersebut, sepertinya dirinya mulai paham ke mana dirinya akan di bawa. Gadis itu kemudian berjalan menuju kantin dan menemukan sebuah surat berwarna ungu tergeletak di tengah meja. Kantin juga lagi-lagi sepi seperti kondisi perpustakaan tadi.
“Dari basket aku tahu jika komitmen itu diperlukan dalam hidup.”
Gadis itu tersenyum, dengan langkah ringan dirinya menuju ke lapangan basket indoor sebab saat ia melewati lapangan outdoor tidak ada satupun murid yang berada di sana. Dengan hati-hati dirinya membuka pintu lapangan tersebut dan menemukan sebuah surat berwarna merah muda yang tergeletak di tengah lapangan dengan sebuah cincin diatasnya dan dihiasi dengan sebuah lampu sorot yanng membuat kedua benda tersebut terlihat jelas di tengah lapangan yang gelap gulita.
Lili berjalan dengan santai dan mengambil kedua barang tersebut. Dengan penuh hati-hati Lili membuka surat tersebut dan cukup terkejut dengan isinya.
“Lilian Wagner, perempuan cantik yang pernah aku temui, will you be mine?”
Lili terkejut saat mengangkat kepalanya sebab Chiv sudah berlutut sambil memegang sebuah bunga mawar di tangannya dan menghadap ke arah Lili. Apalagi lampu sorot secara tiba-tiba mengarah pada keduanya, membuat suasana menjadi lebih romantis.
“Chiv?” ujar Lili.
“Li, gue tau mungkin ini terlalu cepat untuk kita yang bahkan jarang berinteraksi satu sama lain selain urusan OSIS ataupun secara kebetulan. Tapi gue selalu berpikir berulang kali soal kenapa rasanya detak jantung gue selalu jadi nggak beraturan kalau gue lagi ngobrol atau sekedar disekitar lo. Setelah gue konsultasi kesana-kemari akhirnya gue dapet jawabannya, Lili will you be mine?”
“Please, if you accept it, put the ring on your finger ring.”
“Asal lo tau Chiv, gue sendiri bahkan ngerasain hal yang sama dengan apa yang lo sama. Detak jantung nggak beraturan kalo gue ada atau keinget lo. Kakak gue bahkan sampai ngeledek gue mulu kalau gue cerita soal itu.” Lili kemudian memasangkan cincin tersebut di jari manisnya.
“Yes, I will off course.” Chiv kemudian tersenyum dan langsung memeluk Lili.
Suara paper popper membuat seluruh ruangan berdengung, membuat Lili dan juga Chiv terkejut, apalagi saat banyak sekali murid yang berada di tempat duduk penonton yang ternyata diam-diam menonton keduanya. Diantara para murid tersebut terdapat ketiga sahabatnya yang sedari tadi ia cari dan juga Ven dan Han yang ternyata juga berada di sana dan memegang asal dari suara tadi.
“SHE’S MINE!!!” seru Chiv dengan senyum lebarnya.
“Shut up, they know, they watching the whole scene Chiv.” rengut Lili.
Bio adalah orang yang pertama kali turun dari kursi penonton, gadis itu menghampiri Lili dan Chiv lalu mengucapkan selamat pada keduanya.
“Congrats kalian berdua, Chiv, lo macem-macem sama Lili, jangan salahin gue kalau lo nggak bakalan bisa main basket lagi.” ujar Bio sambil tersenyum, membuat Chiv ngeri dibuatnya.
“Gue orangnya setia ya Bi, enak aja.”
“Gue cuma ngasih tau doang.” ujar Bio lalu meninggalkan keduanya.
“Ciee, akhirnya temen gue yang jomblo dari lahir punya pacar juga.” ledek Han.
“Bacot Han, mending lo juga nyari sana, kalau lo dapet kan kita bisa triple date.”
“Triple date gimana? Si Ven aja belum punya.”
“Lo liat aja nanti.”
“Ekhem.”
Suara Ven yang memenuhi lapangan langsung merebut atensi seluruh murid yang berada di sana. Ven sendiri kini terlihat tengah memegang buket bunga mawar dan kotak yang berisi kalung.
“Earlane Wagindra, cewek imut sahabat kembaran gue sekaligus sahabat gue, gue suka sama lo dari lama, cuma selalu nggak kesampian untuk ngasih tau lo soal rasa ini. Lane, jadi pacar gue ya?” Lane terkejut, Lyn lebih terkejut apalagi Han. Hampir seluruh murid pun terkejut dengan ungkapan Ven yang tiba-tiba itu.
“Lane? Please?”
“Bang Ven, gue.” Lane sedikit gugup untuk menjawab ungkapan Ven. Sebenarnya selama ini Lane tak pernah menatap Ven sebagai kakak laki-laki melainkan seorang laki-lai yang nantinya dapat ia kejar dan dapatkan hatinya. Dirinya tak menyangka jika Ven memiliki rasa yang sama dengan dirinya.
“Gue mau, gue mau bang.” Lane langsung menggeleng. “Nggak, Ven, gue mau Ven, gue mau jadi cewek lo.”
Senyuman lebar terbit di bibir Ven, pemuda itu langsung memeluk Lane dan menggendongnya. Semuanya nampak bahagia dengan rencana di luar rencana itu. Tawa dan senyuman kebahagiaan tergambar jelas di wajah mereka. Sungguh hari yang pennuh dengan kebahagiaan bagi mereka semua.
*
*
*
Bio kini tengah kebingungan, pasalnya Chiv secara tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu di lapangan outdoor basket sekolah. Chiv meminta agar dirinya bertemu dengannya seorang diri sehingga Bio membatalkan rencananya untuk pergi ke toko kue milik keluarga Lane untuk bertemu dengan kekasih sahabatnya itu.
Dirinya tak tahu apa yang tengah Chiv rencanakan namun dirinya terkejut saat melihat Rae berdiri di tengah lapangan. Bio kemudian memutar balik langkahnya namun terhenti saat Chiv memanggil namanya dengan lantang.
“Bio, lo nggak bisa kabur gitu aja dengan semua rahasia yang lo simpen sendirian.” ucap Chiv. Bio kemudian berjalan dengan langkah lebar ke arah Chiv dan melayangkan pukulan ke wajah pemuda itu.
“Maksud lo apa Chiv?! Lo sengaja gitu?!” seru Bio.
“Gue cuma mau tau kebenaran soal kalian berdua, tentang kenapa lo selalu natap ke arah adek gue dengan tatapan tajem dan unfriendly.”
“Nggak perlu Chiv, nggak perlu. Semua udah terlanjur terjadi dan nggak akan bisa berubah mau gue cerita sampai berbusa sekalipun.”
“Gue tetep mau kebenaran. Kita tanding one on one dua set penuh, lo menang lo keep rahasia ini selamanya, gue menang lo cerita sampai ke akarnya, deal.”
“Deal, gue juga udah muak liat muka dia.” ucap Bio sambil menunjuk ke arah Rae yang kini menatap ke arahnya dengan tatapan sedih.
Bola kini telah melambung, Bio adalah yang pertama kali menyentuh bola tersebut. Dengan gesit Bio mendribble bola berwarna oranye itu dan melewati Chiv begitu saja. Chiv yang melihat hal tersebut pun tak membiarkannya. Dengan lompatan yang cukup tinggi, pemuda itu berhasil memblok lemparan bola Bio, membuat gadis itu berdecak kesal.
Pertandingan terus berlanjut, keduanya sama-sama mengeluarkan kemampuan serta strategi terbaik mereka untuk menghadapi satu sama lain. Rae yang berada di pinggir lapangan terus menerus memilin ujung blazer seragamnya, gadis itu menatap khawatir pada kedua murid yang tengah bertanding itu.
Lagi dan lagi lemparan Bio diblok oleh Chiv, memang bisa diakui jika Chiv memang sangat mahir dalam strategi pertahanan, membuat Bio yang lebih mahir dalam lemparan kesulitan untuk menghadapi Chiv. Dengan cepat Chiv merebut bola yang jatuh tadi dan memasukkannya pada ring milik Bio.
88-87, skor akhir menunjukkan jika Chiv merupakan pemenangnya. Dengan nafas yang masih terengah-engah, pemuda itu mendekati Bio dan megulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Bio sendiri tak menghiraukan uluran tangan Chiv dan berdiri dengan menopang badannya pada lututnya.
“Sekarang bisa ceritain semuanya? Soal arti tatapan lo ke adek gue setiap kalian ketemu.” Bio terkekeh, seolah menertawakan dirinya sendiri.
“Lo tau, gue emang nggak pernah benci sama lo karena prinsip gue yang gue benci itu cuma satu orang, sedangkan orang yang punya hubungan sama dia nggak ada urusannya sama kebencian gue.” Chiv terlihat mendengarkan ucapan Bio dengan seksama.
“Adek lo itu perebut Chiv, habis semua kebahagiaan gue sama dia.” Terkejut tentunya Chiv saat mendengar pernyataan Bio, seingatnya adiknya bahkan tak pernah berbuat jahat kepada siapapun.
“Lo pasti bingung kan, kok bisa gue nyebut adek lo sebagai perebut sedangkan selama ini yang lo tau adek lo itu cuma anak kecil manis nan imut yang perlu dilindungi setiap saat? Lo mungkin nggak inget sama gue, tapi kita pernah satu SD waktu lo masih di Semarang.”
“Maksud lo kita dulu tetanggaan?”
“Apalagi kalau bukan tetangga? Adek lo setiap hari main ke rumah kakek nenek gue buat main sama gue. Awalanya nggak ada masalah tentang adek lo yang hari-hari main ke rumah kakek nenek gue, tapi lama kelamaan kenapa gue ngerasa jadi orang asing setiap saat kakek sama nenek ketemu sama Rae. Gue ngerasa nggak keliatan kalau mereka bertiga udah ngobrol asik, gue kayak bunglon yang lagi berkamuflase rasanya.”
“Belum lagi waktu Rae sakit tifus, beuh, paniknya minta ampun kakek nenek gue, bahkan pengen bawa Rae ke rumah sakit saking khawatirnya mereka berdua, padahal Rae udah dipasangin infus dan dikasih resep dokter. Asal lo tau Rae, gue juga lagi demam tinggi disaat yang bersamaan, tapi apa?! Mereka lebih milih nungguin lo semalaman tanpa tau kalau nyawa gue hampir dicabut kalau aja gue nggak inget gue sendiri nyimpen obat demam di laci kamar.” seru Bio sambil menatap ke arah Rae dengan tajam.
“Mereka balik kerumah santai banget asal lo tau, nanya soal kabar gue juga enggak, boro-boro ngecek gue yang bahkan keliatan banget pucet karena masih demam. Mereka lebih milih untuk masak makanan kesukaan lo dibanding untuk sekedar bawa gue ke klinik.” Air mata Bio kini mengalir di pipi yang sudah tak penuh lagi. Rae dan Chiv yang mendnegar hal tersebu cukup terkejut dibuatnya.
“Puncaknya saat lo yang memilih untuk bersikap bodo amat saat gue lagi kesusahan di bully sama anak-anak kelas. Lo jelas-jels liat Rae, kelas lo berhadapan langsung sama kelas gue, di depan mata lo gue hampir mati, tapi lo bersikap bodo amat dan dengan santainya main ke rumah kakek nenek gue dan ketawa-ketawa bareng sama mereka. Gue bahkan sampai relain untuk belajar hal-hal yang kakek nenek gue suka, siapa tau mereka bakalan noleh ke arah gue, tapi nyatanya apa?! Satu tolehan pun enggak!!! Mereka fokus sama lo!!!”
“Bohong banget kalau gue bilang gue bahagia tinggal sama kakek nenek gue. Hari dimana akhirnya mereka mau noleh ke arah gue adalah hari dimana keluarga Dananjaya pindah ke Jakarta, itupun nama gue sering salah disebut mereka. Bahkan sampai di hari terakhir mereka, nama lo masih aja disebut Rae, kurang beruntung apa lo?”
“Mbak, aku.”
“Nggak perlu Rae, udah cukup gue dengernya, eneg juga jadinya kalau denger kata itu berulang kali.”
“Bi, gue nggak bermaksud.”
“Heh, gini banget ya jadi anak buangan, ayah bunda nitipin gue dan nggak pernah ngejenguk sekalipun, kakek nenek sampai mati aja keingetnya sama cucu angkat mereka, plot twist sekali hidup gue. Emang dasar anak buangan bakalan jadi anak buangan selamanya kan.” Bio sekali lagi terkekeh, menertawakan takdir hidupnya yang entah mengapa sangat berat untuk dijalani. Air mata kini keluar deras dari sudut mata Bio, membuat gadis itu berulang kali mengusapnya agar tak membekas.
“Kenapa lo nggak pernah cerita anjing?!?!” seru Andreas dari balik pilar lorong, membuat Bio terkejut bukan main. Pemuda itu kemudian menarik kerah seragam Bio dan menatap gadis itu dengan tatapan sedih.
Andreas keluar bersama kakak sulung mereka, Xander, yang sama-sama terkejut dengan fakta yang baru mereka ketahui mengenai adik bungsu mereka. Bio terdiam, badannya serasa membeku saat Andreas memeluknya dengan erat, seolah tak ingin kehilangan adik perempuannya itu, berbeda sekali dengan sikapnya sebelum-sebelumnya.
Xander kini mengusak kepala adik bungsunya itu, menatapnya dengan lembut seolah berkata jika dirinya ada disini sebagai sandarannya. Benar saja, air mata Bio kembali mengalir setelah berhasil mengeluarkan semua uneg-uneg yang sudah ia pendam bertahun-tahun. Andreas menenggelamkan kepala adiknya itu ke dadanya dan mengecupi dahi adiknya, seolah meminta maaf dengan apa yang ia lakukan dan katakan selama ini.
“Mbah, maafin Rae mbak, Rae nggak tau kalau selama ini mbak ngerasa kalau aku ngerebut simbah dari mbak. Rae nggak bermaksud mbak, sumpah. Rae cuma terlanjur suka dan haus dengan sikap simbah sama Rae, sampai-sampai Rae lupa kalau simbah juga masih punya mbak.” ujar Rae dengan nada sedih. Gadis yang menduduki kelas sembilan itu tak menyangka jika dirinya sudah membuat luka sebesar itu pada teman masa kecilnya.
“Untuk soal bully itu, jujur mbak, Rae takut, makanya Rae bersikap seolah nggak liat apa-apa. Rae juga udah cerita sama simbah, tapi simbah bilang mereka cuma jahil, makanya Rae sehabis cerita langsung main lagi sama simbah.”
“Bi, gue mohon maafin adek gue Bi, adek gue nggak sepenuhnya salah, gue mohon. Gue nggak sanggup lagi buat ngeliat wajah sedih adek gue setiap ketemu sama lo, adek gue tulus minta maaf sam alo Bi.”
“G-gue, udah maafin Rae, c-cuma rasa k-kecewa gue masih g-gede Chiv.” ucap Bio sambil sesenggukan dan suara yang serak.
“C-cucu kandung mana yang m-mau berbagi k-kasih sayang s-saman cucu a-angkat, nggak ada.”
“Gue tau Bi, maka dari itu adek gue minta maaf Bi, dia selama ini selalu cerita soal lo Bi, soal gimana lo ngajarin dia main sepeda, ngajarin dia main layangan, gue mohon ya Bi, buang rasa kecewa lo, please.”
“Dek, maafin Rae ya, rasa kecewanya adek buang perlahan ya, nggak baik kalau kecewa terus menerus di pendam.” nasehat Xander pada si bungsu.
“Gue bisa Rae, tapi kasih gue waktu. Rasa kecewa ini menumpuk bertahun-tahun masalahnya, gue perlu waktu buat ngehilangin semua ini. Lo pikir rasa ini nggak nyekik gue, banget Rae, banget.”
“Rae tunggu mbak, mau sampai kapan pun bakalan Rae tunggu mbak untuk ngehilangin rasa kecewa mbak ke Rae.”
“Dek, gue minta maaf ya, perkataan sama sikap gue selama ini terlalu kekanak-kanakan.” ujar Andreas tiba-tiba, sepertinya pemuda itu mulai sadar akan kesalahannya.
“Gue maafin lo kok bang, Bang Andreas itu cuma belum siap aja jadi abang, selama ini kan lo yang dimanja ayah sama bunda. Gue tiba-tiba dateng dan langsung ngerebut semuanya terlalu tiba-tiba sampai-sampai mental lo belum siap dan maksa lo untuk berucap dan bersikap demikian.”
“Maafin gue juga dek, gue gagal ngedidik Andreas, sampai-sampai dua adek gue harus renggang hubungannya cuma karena hal tadi.” ujar Xander. Pemuda itu benar-benar menyesal saat mengetahui sikap dan ucapan Andreas pada adik bungsunya itu.
“Jadi, semua baikan?” ujar Chiv. Bi hanya bisa tertawa pelan.
“Semua baikan.” ucap Bio sambil tersenyum
Kelimanya kemudian tertawa bersama, menikmati waktu sore hari, berharap kedepannya mereka masih dapat bertemu dan berkumpul satu sama lain. Dalam hati Bio berdoa agar Yang Maha Kuasa melindungi orang-orang disekitarnya dari ancaman marabahaya apapun.
@cf