Hari ini adalah hari terakhir kegiatan lomba antar kelas sekaligus hari pengumuman bagi para calon anggota OSIS. Sedari pagi, Lili terus menerus menggumamkan doa, berharap jika dirinya diterima menjadi anggota OSIS yang selama ini menjadi impiannya.
Duduk di bangku di pinggir lapangan bersama ketiga sahabatnya sambil menatap layar yang kini tengah memunculkan satu per satu nama murid yang lolos menjadi anggota OSIS. Lili terus menerus menggegam tangan Bio dan Lyn yang duduk di sebelahnya, sedangkan Lane di belakang Lili sambil terus mengelus punggung gadis itu, berusaha menenangkan sahabatnya.
Rasa cemas terus menerus menghantui Lili dua hari terakhir ini, gadis itu sangat takut jika dirinya tak bisa lolos menjadi anggota OSIS. Meskipun Bio, Lyn, dan Lane terus meyakinkan dirinya dan mengatakan bahwa wawancaranya sudah termasuk bagus, tetap saja kecemasan tak bisa terlepas dari hatinya.
Tak lama kemudian, dapat Lili lihat dengan jelas, namanya terpampang jelas di layar tersebut, menyatakan bahwa dirinya lolos menjadi anggota OSIS secara resmi. Teriakan bahagia mewarnai keempatnya, rasa cemas yang menghantui hati Lili kini seakan sirna tak berbekas.
“Gue lolos, guys, gue lolos.” seru Lili dengan nada bahagia.
“Iya Li, lo lolos, sahabat gue lolos.” seru Lyn tak kalah bahagianya.
“Akhirnya sahabat gue jadi member OSIS.” seru Lane. Sedangkan Bio sendiri hanya tersenyum mendengar seruan ketiganya. Gadis itu kemudian mengeluarkan kotak bekal yang berisi cookies sebagai hadiah untuk Lili.
“Bi, lo bikin ini?” tanya Lili saat Bio meletakkan dua kotak bekal berisi cookies di meja.
“Iya, hadiah karena lo lolos jadi anggota OSIS.” ujar Bio. Lili sendiri terkejut, darimana Bio tahu jika dirinya akan lolos menjadi anggota OSIS.
“Nggak usah bingung, gue tanya Bang Ven semalem, makanya gue bisa tau.”
“Bang Ven? Wah sialan tu anak, gue nanya dia Lili lolos apa enggak malah dibilang kepo.” rengut Lyn.
“Udah Lyn, nggak usah ngerengut gitu, mending makan cookies buatan Bio, keburu abis sama Lane nanti.” ujar Lili. Lane sendiri kini sudah belepotan dengan coklat dari cookies sebab Bio menggunakan banyak sekali coklat di adonannya. Bio kemudian mengeluarkan tisu dari kantung celananya dan mengusapkannya pada pipi Lane yang penuh dengan coklat.
“Jangan belepotan gini napa, nanti gue bikinin lagi kalau kalian emang suka.” Mata Lane dan Lyn langsung berbinar saat Bio mengatakan jika akan membuatnya lagi.
“Beneran Bi? Gue juga mau kalau gitu.” tanya Lili.
“Iya deh, nanti gue buatin buat kalian bertiga.”
Tak lama kemudian, Lili dapat mendengar suara sorakan bahagia tak jauh dari tempat mereka duduk. Gadis itu kemudian mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara yang ternyata berasal dari Chiv dengan kedua temannya. Lili kemudian mengarahkan pandangannya ke layar yang menunjukkan anggota terakhir OSIS, tertera nama lengkap Chiv di sana, cukup membuat Lili paham mengapa mereka bersorak bahagia seperti itu.
Tiba-tiba Chiv berjalan menuju ke meja Lili, membuat kedua sahabatnya itu kebingungan. Sambil menjulurkan tangannya, Chiv tersenyum ke arah Lili, membuat Lili sendiri cukup terkejut sebab Chiv dikenal sebagai pemuda yang jarang tersenyum pada murid perempuan.
“Congrats Lili, kekhawatiran lo akhirnya hilang kan.” Lili tersenyum kemudian menjabat tangan Chiv.
“Congrats buat lo juga, iya nih, akhirnya gue nggak perlu dihantuin khawatir lagi.”
“Seneng dengernya kalau lo nggak khawatir lagi.” Lili lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Chiv.
“Lo mau?” tawar Lili pada Chiv sembari menyodorkan sekotak cookies yang dibawa oleh Bio.
“Thanks, gue ambil satu ya.” Pemuda itu kemudian mengambil satu cookies dan memakannya. Dengan tatapan tak percaya dirinya menatap Lili seakan menanyakan siapa yang membuat cookies seenak ini. Lili hanya dapat tertawa melihat ekspresi Chiv yang menurutnya sangat lucu.
“Muka lo kocak banget sih Chiv, nggak usah segitunnya kali.”
“Abisnya ini cookies enak banget, siapa yang buat emangnya?” tanya Chiv.
“Bio yang buat, makanan buatan dia emang enak-enak.”
“Beneran Bi? Enak anjir kalau punya temen kaya lo Bi, lah gue bertiga cowok semua, sekali masak dapur kebakaran yang ada.”
“Enak aja lo, gue juga bisa masak ya Chiv, main bacot ae ni anak.” rengut Ven yang datang bersama Han.
“Lah bang, lo kok kenal sama Chiv?” tanya Lyn, kembarannya ini tak pernah bercerita ataupun mengenalkan teman-temannya pada dirinya.
“Chiv temen gue, Lyn.” ujar Ven.
“Iya, gue sahabatnya Ven.”
“Terus yang ini?” tanya Lane sambil menunjuk ke arah Han.
“Oh, gue Gabhan Maarten, panggil aja Han, gue dari kelas MIPA 5, gue sahabat plus teman sekelas Ven sama Chiv.” ucap Han memperkenalkan dirinya.
“Hai Han, gue Lilian Wagner, panggil aja Lili.”
“Gue Daelyn Maccario, panggil aja Lyn, gue kembarannya Ven.”
“Gue Earlane Wagindra, panggil aja Lane.” Han sendiri hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar perkenalan ketiganya. Atensi mereka semua langsung mengarah kepada Bio yang tidak melanjutkan perkenalannya.
“O-oh, gue, gue Vabiola Sachdev, panggil aja Bio.” Han kemudian tersenyum lembut pada gadis itu, membuat Lili, Lyn, dan Lane terpana dengan senyuman manis pemuda itu.
“Salam kenal kalian semua, semoga kedepannya kita bisa berteman.”
“Ini gue yang ngerasa kalau senyumannya Han manis banget atau yang lain juga ngerasain hal yang sama?” tanya Lili.
“Gue sahabatnya sendiri aja baru tau kalau Han punya senyum semanis ini.” ujar Ven sambil menatap Han yang kini bersiap untuk memukul pemuda itu.
“Apaan sih lo pada, gue normal ya, masih bisa senyum, lo berdua aja yang kayak setan makanya nggak pernah gue senyum.” ucap Han sambil menjulurkan lidahnya, meledek Ven dan Chiv.
“Anak setan, sini lo!!!” seru Ven sambil mengejar Han yang kini tengah berlari menghindari Ven.
“Gue boleh gabung di kursi ini?” tanya Chiv pada Lili, pemuda itu sepertinya tak memperdulikan lagi nasib Han yang kini terus dikejar oleh Ven.
“Duduk aja, nggak ada yang larang kok.” ujar Lili mempersilahkan Chiv duduk di kursi kosong di sampingnya.
“Oh iya Chiv, abis ini basket lo gimana? Masih lanjut?”
“Masih sih, lo sendiri gimana musik? Lanjut juga kan.”
“Yup, seperti yang gue bilang kemaren, gue nggak akan keluar dari klub musik.”
“Ngomong-ngomong, Bi, lo ikut klub masak ya? Cookies lo enak begitu soalnya.” Bio yang merasa terpanggil pun mengarahkan pandangannya pada Chiv.
“Enggak juga, gue nggak ikut klub masak. Masakan gue bisa enak karena saran dari nenek gue dan seseorang yang selalu dukung gue buat masak lalu ngebiarin dia nilai masakan gue dulu.”
“Bio masuk klub basket sama taekwondo Chiv, dia jago banget soal dua olahraga itu.” ucap Lili.
“Weh, sama dong kaya temen adek gue dulu, Rae bilang iya ini juga jago basket sama taekwondo.”
“Wah, bisa tuh Bi sekali-sekali main sama temennya Rae, ya nggak Chiv.”
“Bisa sih, asalkan ke Semarang aja, temennya sekolah di sana soalnya.”
“Sama dong, Bio juga,” Ucapan Lyn lalu terhenti saat dirinya ditatap oleh Bio, seakan tak memperbolehkannya untuk bercerita mengenai Bio yang juga sama-sama bersekolah di Semarang.
“Sama apa Lyn?” tanya Chiv.
“Nggak, nggak papa.”
“Oh iya Bi, bisalah kita kapan-kapan tanding one on one.” ujar Chiv.
“Bisa aja, kita liat siapa yang bakalan menang.” ucap Bio.
“Wes, lawan alot nih kayaknya.” ucap Ven yang baru saja datang sambil menarik kerah Han yang terlihat pasrah.
“Ven, lepasin napa, sesek ini cok.” ucap Han sambil memelas pada Ven yang terlihat masih kesal dengan dirinya.
“Katain gue anak setan lagi, gue gundulin kepala lo.”
“Jangan cok, ilang nanti kegantengan gue.”
“Anjir, bang, temen lo pede amat dah.” ujar Lyn.
“Nggak tau, kesambet keknya kemaren gegara manjat pohon bekalang kelas.”
“Nggak ya cumi, main ngomongin gue aja lo.” rengut Han.
“Udah-udah, lo berdua berantem nggak ada abisnya, budeg nih gue.” lerai Chiv.
“Oh iya, kalian mau ikutan kita nggak sore ini?”
“Mau kemana lo semua emangnya Chiv?”
“Kita mau bikin party kecil-kecilan di café keluarganya Chiv, buat ngerayain berhasilnya Ven sama Chiv, lo juga harus ikut sih Li, lo kan juga anggota OSIS sekarang.” ujar Han.
“Iya tuh, kalau cuma kita bertiga kayaknya kurang rame gitu.”
“Ayo aja dah Li, gue juga sumpek di rumah, lo mau nggak Lane, Bi?” tanya Lyn.
“Gue ayo aja sih, nggak masalah juga.” ujar Lane.
“Lili ikut, gue ikutan.” ucap Bio.
“Gimana Li? Lo join nggak?” tanya Chiv
“Ayo aja deh, sekali-sekali nggak papa ini.”
Mereka semua bersorak saat Lili memutuskan untuk mengikuti rencana tersebut. Ketujuh murid tersebut kemudian mulai membicarakan rencana acara mereka malam ini, membuat meja tersebut menjadi sedikit lebih ramai.
*
*
*
Lili sendiri tak menyangka jika café yang menjadi langgannya adalah café milik keluarga Chiv. Pantas saja nama café tersebut adalah D’café, ternyata D itu berarti Dananjaya. Keempat bersahabat itu kemudian memasukki café yang sepi, sepertinya Chiv meminta untuk café tersebut ditutup untuk memperlancar acara party mereka.
Dirinya dan ketiga sahabatnya kemudian duduk di kursi yang telah disediakan oleh Chiv dan kedua temannya sebelumnya. Ia kemudian dapat meilihat Chiv datang sambil membawa beberapa minuman dan beberapa makanan yang dibawa oleh Ven dan Han.
“Hai, udah nunggu lama?” tanya Chiv.
“Enggak juga, kita berempat baru aja sampai. Perlu bantuan?” tanya Lili, dirinya sudah bersiap untuk berdiri namun Chiv tak akan membiarkan hal tersebut terjadi.
“Nggak usah, lo itu cewek, duduk aja, lagipula emang nggak ribet bantuin kita sedangkan lo make rok kaya gitu.” ujar Chiv. Memang benar jika Lili menggunakan rok sedengkul dan dipadukan dengan kaos dan juga cardigan sebagai outernya.
“Bener Li, kalian cewek-cewek diem aja udah, ada gue sama Han ini yang bantu.” ucap Ven.
Sepuluh menit kemudian semua makanan serta minuman sudah tertata rapih di meja, membuat ketiga pemuda yang tadinya sibuk bolak-balik mendudukkan dirinya bersama Lili dan ketiga sahabatnya.
“Selamat untuk Ven, Lili, dan Ven yang udah berhasil masuk dan jadi anggota OSIS, khususnya Ven yang udah berhasil jadi wakil ketua OSIS, cheers.” ucap Han.
“Cheers. “ seru mereka semua secara bersamaan.
Mereka semua nampak mengobrol banyak hal serta memakan makanan yang sudah tertata rapih di meja. Tak lama kemudian Rae, adik Chiv, keluar dengan kue berselimut coklat, membuat Chiv dengan cepat membantu sang adik.
“Wah, gede banget kuenya? Ini lo yang bikin Rae?” tanya Han.
“Iya kak, ini gue yang bikin.” ucap Rae sambil tersenyum.
“Silahkan dicobain.”
Mereka semua kemudian mengambil potongan kue satu per satu, Rae sendiri memang sengaja memotong kue tersebut terlebih dahulu agar lebih mudah mengambilnya. Keenam murid sekolah Ludvig itu mulai memakan kue tersebut, kecuali Bio yang sedari tadi hanya meminum cola.
“Bi, lo nggak mau?”
“No, thanks. Gue nggak mau sesak nafas Li.” Mendengar ucapan Bio, dahi Lili kemudian mengerenyit, tak paham dengan maksud sahabatnya itu. Dirinya kemudian memperhatika kue tersebut dan langsung menyadari saat merasakan kembali kue yang ada di mulutnya.
“Ah jeruk ya, yaudah lo makan yang lain aja, nanti baliknya gue beliin kue deh.” ucap Lili.
“Nggak usah nggak papa, gue juga nggak selaper itu. Gue juga udah kenyang minum cola mulu dari tadi.”
“Beneran? Masa lo nggak makan apa-apa.”
“Beneran Li, gue nggak papa, nggak selaper itu juga.”
“Sorry ya Bi, gue nggak tau kalau lo alergi sama jeruk.” ucap Chiv.
“Santai, toh gue nggak laper ini kok.”
“Apa perlu gue buatin kue lain mbak?” tawar Rae.
“Nggak perlu, repot nanti.” ucap Bio dengan nada sedikit tak bersahabat.
“Dan udah gue bilang, jangan pernah panggil gue mbak, gue bukan kakak lo.”
“M-maaf.”
Suasana café tersebut menajdi sedikit mencekam setelah respon Bio terhadap penawaran Rae. Mereka semua dibuat kebingungan dengan apa yang sebenarnya pernah terjadi pada keduanya sampai-sampai membuat mereka menjadi tidak bersahabat seperti itu.
Untuk memecahkan suasana, Han kemudian berinisiatif membuat permaian, dimana mereka akan memilih salah satu dari mereka dan yang terpilih harus menirukan gerakan sang pemilih. Jika yang terpilih tidak bisa menirukannya maka akan mendapat hukuman berupa coretan di wajah mereka yang menggunakan krim kue.
Suasana café tersebut kembali membaik, mereka semua dapat tertawa lepas meskipun masih terlihat kecanggungan antara Bio dan Rae. Mereka semua bermain permainan tersebut sampai dimana ponsel Bio berbunyi dan menampilakan pesan dari ayahnya yang menyuruhnya untuk segera pulang.
“Guys, gue duluan ya, ayah minta gue buat balik cepet malem ini, sorry.” ujar Bio.
“Ngga papa, hati-hati di jalannya, jangan ngebut bawa motornya.” titah Lili.
“Tenang, gue nggak akan ngebut kok, duluan ya, bye.” Bio kemudian menyambar jaketnya dan keluar dari café lalu menyalakan mesin motornya untuk kembali ke rumah.
“Bio, naik motor?” tanya Han, awalnya pemuda itu mengira jaket yang tersampir di kursi adalah jaket Ven.
“Iya, kenapa emangnya?” Lili sendiri menatap Han dengan tatapan bingung, kenapa pemuda itu seperti tak percaya jika sahabatnya itu mengendarai motor.
“Gue kira Bio cuma tomboy doang gayanya, tapi ternyata dia juga naik motor.”
“Anjir lah Han, tolong kondisiin muka lo napa sih, ngakak gue sial.” ucap Ven sambil terus tertawa. Ekspresi melongo Han itu sangat jarang keluar dari wajah pemuda tersebut, biasanya hanya keluar disaat-saat tertentu saja.
“Gue kan kaget cok, baru kali ini gue liat cewek naik motor, mana tipe motornya sama kaya kita lagi.”
“Bio itu emang luar biasa, dah nggak usah dibahas, kuping Bio panas nanti.”
“Oh iya Li, terus lo baliknya gimana? Mobil lo kan mogok tadi di jalan.” tanya Lane.
“Eh iya juga, lo kesininya tadi sama Bio kan? Lo baliknya gimana?” ucap Lyn.
“Paling nanti order ojek online aja gue.”
“Gue anter, gimana?” tawar Chiv.
“Nggak usah anjir, nanti yang ada malah ngerepotin lo. Lagipula kalau lo nganterin gue balik, Rae nanti pulang sama siapa anjir? Masa lo tega ngebuat adek lo balik sendiri.”
“Anu, kak, gue bisa balik sama Bang Han kok, lagipula rumah kita berdua sama rumah Bang Han deketan.” ujar Rae menyela obrolan keduanya.
“Udah geh Li, nggak masalah soal Rae mah, tenang ada gue. Chiv udah geh, anteri si Lili, adek lo aman sama gue.” timpal Han.
“Gimana Li? Lo mau nggak?”
“Yaduah deh, thanks ya.”
Ketujuhnya kemudian melanjutkan permainan yang sempat tertunda tadi, mereka bermain permainan tersebut sampai jam menunjuk pada angka delapan lewat empatpuluh lima malam. Mereka semua kemudian membereskan semua makanan dan minuman tersebut kemudian meletakkannya di dapur.
Ketujuhnya kemudian membagi tugas untuk siapa-siapa saja yang harus membersihkan sisa pesta tersebut. Lili dan Chiv kebagian mencuci piring dan gelas kotor, Lyn dan Lane bertugas untuk mengumpulkan sampah sisa makanan, Ven dan Han bertugas untuk membuang samaph dan menata kembali meja serta kursi yang tadi digunakan, sedangkan Rae bertugas untuk menyapu lantai café.
Acara beres-beres tersebut selesai dalam waktu empatpulu menit, membuat ketujuhnya beristirahat sejenak untuk mengurangi rasa penat mereka. Tepat pukul sembilan tigapuluh lima menit, mereka semua beranjak dari duduk mereka dan bergegas pulang ke rumah masing-masing.
*
*
*
Sesampainya di rumah, Lili dikejutkan dengan mobil sang kakek yang sudah berada di depan garasi. Lili kemudian turun dari mobil Chiv dan berterima kasih pada pemuda itu karena mau repot-repot mengantarkannya pulang. Setelah mobil Chiv keluar dari pekarangan rumahnya, sang kakek dan ayahnya tiba-tiba muncul di depan pintu dengan tatapan penuh tanya.
“Lili, bisa jelaskan pada kakek kenapa kamu pulang bersama laki-laki?” tanya kakek Lili.
“Mobil Lili mogok di jalan tadi, jadi berangkat bersama Bio. Waktu pesta Bio tiba-tiba harus pulang karena ayahnya meminta dia untuk pulang cepat. Lili tidak bisa memaksa Lyn atau pun Lane untuk mengantar, mereka berdua berangkat bersama. Kebetulan Chiv menawarkan untuk mengantar, Lili tadinya ingin menggunakan jasa ojek online tapi Chiv berkata lebih baik Lili diantar oleh dia.” jelas Lili.
“Chiv?” tanya sang ayah.
“Chivalry Dananjaya, putra sulung dari pewaris utama keluarga Dananjaya.”
“Ah baiklah, lain kali adek harus bilang pada kakek atau ayah soal ini, paham? Kakek dan ayah tidak ingin hal yang buruk terjadi pada adek.”
“Adek paham ayah, maaf karena tidak mengabari.”
“Tapi soal mobil sudah menelfon sopir untuk mengambil?”
“Sudah ayah, adek tadi sudah menelfon sopir untuk membawa mobil adek ke bengkel.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Sudah-sudah, ayo masuk, ingat Lili, lain kali jangan diulangi lagi, kami semua mengkhawatirkan kamu.” ucap kakek Lili.
“Lili paham kakek, sekali lagi Lili minta maaf.”
“Iya, sudah malam, ayo masuk, nanti masuk angin.”
Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam rumah tanpamembahas kembali tentang Chiv dan kepulangan Lili yang terlalu malam. Malam itu sunyi, hanya suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalan raya yang terdengar sepanjang malam, suara khas ibukota.
@cf