Tak terasa Lili sudah menduduki bangku SMA selama tiga bulan, membuat dirinya kini dihadapkan dengan ujian tengah semester. Meskipun begitu, Lili tetap berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik sebab sistem ranking tetap ada, bahkan setiap harinya. Sistem ranking di sekolah Ludvig memang ditampilkan secara real time, itu mengapa para murid berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai terbaik mereka sebab jika nilai mereka turun, satu sekolah dapat melihat hal tersebut.
Tentu saja perundungan tidak ada, bahkan dikecam dan diberi sanksi khusus oleh sekolah jika ada yang ketahuan melakukannya. Kelas pun tidak dibeda-bedakan, semuanya bersatu menjadi satu, baik yang pintar dan yang kurang pintar. Persaingan memang ada, tapi sekolah menerapkan persaingan secara sehat dan menghindari kecurangan.
Suasana kelas kini tenang, para murid-murid tengah memfokusikan diri mereka untuk menjawab tiap-tiap pertanyaan yang ada di lembar soal mereka. Tak ada satupun murid yang menoleh kesana-kemari untuk mencari contekan, para murid lebih memilih untuk berkutat dengan kertas mereka masing-masing.
Lili sendiri kini tengah mengerjakan sepuluh soal terakhir dari lembar pertanyaannya. Dirinya harus bertemu dengan dua pertanyaan yang cukup sulit baginya, membuat gadis itu mengusak rambutnya, berusaha mengingat formula yang diajarkan oleh guru di kelas. Tak lama kemudian pena yang sedari tadi menggantung di udara mulai bergerak menulis jawaban setelah Lili mengingat formulanya.
Gadis itu kemudian bergegas untuk menyelesaikan jawabannya setelah melihat Lane yang maju untuk mengumpulkan kertas jawabannya. Lyn sendiri masih terlihat berkutat dengan kertas formulanya sedangkan Bio sendiri sudah keluar dari ruangan sedari tadi. Setelah merapihkan mejanya, Lili maju untuk mengumpulkan kertas jawab miliknya dan keluar dari kelas, disusul oleh Lyn yang juga sudah selesai menulis jawabannya.
“Ke perpus yuk, ada buku yang pengen gue baca buat ujian besok.” ajak Lili.
“Li, kita nggak ke kantin dulu gitu? Gue laper geh.” rengut Lane.
“Iya, emang lo nggak laper? Gue pusing sama formulanya kimia tadi, susah banget anjir.” sahut Lyn.
“Gue nggak begitu laper sih, kalo gitu kalian ke kantin aja dulu nanti nyusul ke perpusnya.” ujar Lili.
“Lo sendiri mau gimana Bi? Mau ke kantin dulu apa mau ke perpus langsung?”
“Gue ke perpus langsung aja Li, gue juga nggak laper-laper banget. Lagian gue tadi sempet ngemil setelah keluar dari kelas.” ujar Bio.
“Ya kan lo keluar dari tadi ya Bi, kan kita baru keluar barusan.” rengut Lyn.
“Iya-iya, gue minta maaf. Yaudah, katanya kalian laper? Gih ke kantin sebelum rame, malah kesorean nanti kalian ke perpusnya.”
“Yaudah Li, Bi, gue sama Lane ke kantin dulu ya, tunggu kita berdua di perpus.”
Keduanya kemudian berpisah dengan Lili dan Bio, Lyn dan Lane berjalan ke arah kantin sedangkan Lili dan Bio berjalan ke arah perpustakaan. Sesampainya Lili dan Bio di depan pintu perpustakaan, dapat keduanya lihat banyak murid yang sudah menduduki kursi-kursi yang disediakan di perpustakaan.
Lili kemudian melangkahkan kaki ke dalam perpustakaan diikuti Bio, mencari kursi kosong untuk mereka duduk dan belajar di sana. Setelah memutari beberapa kali, keduanya akhirnya menemukan meja dan segera meletakkan tas mereka di sana. Lili dan Bio kemudian berpencar untuk mencari buku sebagai bahan materi ujian esok hari.
Setumpuk buku kini berada di meja Lili dan Bio hampir membuat keduanya tertutupi oleh buku-buku tersebut. Lili dan Bio kemudian mengeluarkan buku catatan mereka dan mulai membuka buku tersebut satu per satu. Lyn dan Lane yang baru saja tiba langsung dibuat tercengang dengan tumpukan buku di meja Lili dan Bio.
“Sebanyak ini?” ucap Lyn. Lili yang mendengar suara Lyn pun mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah Lyn dan Lane.
“Sini, gue sama Bio udah ngambilin buku juga buat kalian.” ucapnya sambil menunjukkan setumpuk buku yang harus dipelajari oleh Lyn dan Lane. Lyn dan Lane kemudian duduk dan memandangi tumpukan buku yang sudah disiapkan oleh kedua sahabatnya itu. Demi mobil Ven yang penyok kemarin, buku yang biasanya keduanya pelajari tak sebanyak ini.
“Li, nggak kebanyakan ini? Gue biasanya belajar nggak sebanyak ini anjir.” ujar Lyn.
“Besok fisika loh Lyn, lebih susah dari hari ini.”
“Tapi kan nggak harus sebanyak ini Lili, gue mual duluan anjir liatnya.” ujar Lane. Lili sendiri terkekeh mendengar ucapan Lane, tapi dirinya memang menyadari jika keduanya memang mungkin bisa dikatakan terlalu banyak mengambil buku untuk materi besok.
“Yaudah lo baca beberapa buku aja, gue sama Bio emang kayaknya kebanyakan ngambilin buku buat kalian.”
“Nggak papa dah, nanti sebagian gue sama Lane baca di sini, sebagian kayaknya bakal kita pinjem buat baca di rumah.” ucap Lyn.
“Okay, mulai gih, gue mau ngambil satu buku yang tadi ketinggalan belum gue ambil.”
“Yoi, hati-hati kalau mau ngambil buku di rak atas.” ucap Lane yang dibalas tanda oke oleh Lili.
Lili kemudian mulai menyusuri satu per satu rak-rak buku yang ada di perpustakaan, berusaha mencari buku yang sengaja dirinya tinggal sebab berada di rak atas, sedangkan tadi dirinya tengah memegang banyak buku. Setelah memutar beberapa kali di rak buku fisika, dirinya kemudian menemukan buku yang dirinya tinggal tadi. Namun setelah beberapa kali menjinjit untuk mengambil buku tersebut, Lili tetap saja tak bisa menggapai buku itu. Samapi sebuah tangan menjulur dari belakangnya, mengambil buku yang Lili maksud dan memberikannya pada dirinya.
Lili kemudian berbalik badan hendak berterima kasih dan menemukan bahwa tangan tersebut adalah tangan Hadden, yang sedari tadi memperhatikan Lili dari kejauhan. Lili terkejut tentunya, tak menyangka jika Hadden berada di perpustakaan juga, setahuanya pemuda itu jarang masuk ke perpustakaan, paling-paling saat ditugaskan untuk mengambil buku saat pelajaran.
“Um, thanks, gue kira lo nggak bakalan ke perpus selain ditugasin ngambil buku.” Ujar Lili.
“Besok fisika soalnya, otak gue agak bebal kalo soal fisika, jadinya perlu baca-baca beberapa materi yang ada di buku perpus.” Jawab Hadden.
“Oh gitu, terus dua temen lo mana? Kok ngga keliatan?” tanya Lili. Gadis itu sedikit penasaran kenapa Lio dan Juven tidak bersama Hadden, padahal biasanya kedua permuda tersebut sangat menempel pada Hadden.
“Nggak tau gue, mereka nggak ada waktu gue keluar dari kelas, cabut ke kantin palingan. Oh iya, gue boleh gabung ke meja lo nggak? Ada beberapa rumus fisika yang nggak gue pahamin soalnya.”
“Ya, boleh aja sih, tapi ada sahabat-sahabat gue, ngga papa kan?”
“Ngga papa lah, santai aja, gue kan cuma minta diajarin sama lo.”
Keduanya kemudian berjalan menuju meja yang ditempati Lili dan ketiga sahabatnya. Lyn sendiri terlihat terkejut saat Lili membawa Hadden ke meja mereka, tak mengira jika sahabatnya itu akan membawa pemuda itu. Lane sendiri juga ikut terkejut, sedangkan Bio lebih mementingkan buku yang tengah dipegangnya, toh satu sekolah sudah menyadari jika Hadden tengah mengejar Lili.
“Hadden gabung di sini nggak papa kan ya, si Juven sama Lio nggak ada soalnya.” ujar Lili.
“E-em, boleh aja sih, toh ini perpustakaan, semuanya bebas kan kalo mau gabung buat belajar.” jawab Lyn sedikit gugup, entah mengapa dirinya seperti tengah di tatap oleh Hadden, seolah pemuda itu ingin dirinya pindah kursi agar Hadden bisa duduk berhadapan dengan Lili. Saat Lyn akan beranjak dari duduknya, tangannya di tahan oleh Bio yang masih saja tak mengalihkan pandangannya dari buku.
“Duduk, lo mau kemana? Biarin Hadden nyari kursi sendiri, meja ini Lili sama gue yang nyari buat kita berempat.” Mendengar ucapan Bio, Lyn kemudian kembali duduk dan tak menghiraukan tatapan kesal Hadden. Pemuda itu kemudian menarik kursi yang berada di sebelahnya dan mendekatkan kursinya pada Lili.
Hadden dan Lili kini tengah asik berdiskusi mengenai rumus yang tengah mereka pelajari, membuat Lyn yang sedari tadi memperhatikan keduanya memutarkan bola matanya malas.
“Oh please, mending lo berdua cepet-cepet jadian deh kalau duduk aja mepet-mepet gitu.” ujar Lyn.
Lili dan Hadden dengan gerakan cepat menjauhi satu sama lain setelah sadar jika posisi duduk mereka berdua terlalu dekat, membuat keduanya menjadi pusat perhatian seluruh murid yang ada di perpustakaan.
“Jadian buru makanya, capek gue ngeliatnya.”
“Ish apaan sih Lyn, gue sama Hadden itu cuma temenan, lagian gue nggak kepikiran juga buat jadiin Hadden pacar gue.” Ucapan Lili membuat Hadden terdiam seketika, pemuda itu tak menyangka jika Lili akan mengucapkan hal seperti itu.
“Geh, temen dari mana?”
“Den, ngomong dong, masa diem doang dari tadi.” ujar Lane.
“Ngomong apaan dah, kan emang bener kalau gue sama Lili cuma temenan.” ujar Hadden. Namun anehnya, dapat Lili dengar dengan jelas jika Hadden mengecilkan suaranya saat mengucapkan kata “temenan”.
Lili kemudian sedikit terkejut saat lampu tambahan perpustakaan dinyalakan. Lampu itu dinyalakan jika waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Saat Lili mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, benar saja jika jam telah menunjukkan waktu pukul lima lebih tujuh menit, yang artinya dirinya dan keempat sahabatnya telah berada di perpustakaan selama hampir lima jam, sebab ujian selesai pukul sebelas lebih tigapuluh delapan menit.
“Udah sore guys, gue mau balik dulu ya, ayah sama bunda di rumah juga soalnya.” ucap Lili.
“Mau gue anter?” tawar Hadden.
“Nggak perlu Den, gue bawa mobil kok, tenang aja.” Lili tersenyum lalu bergegas meninggalkan ketiga sahabatnya dan Hadden. Hadden sendiri terlihat kecewa karena tak bisa mengantar Lili pulang ke rumahnya.
“Lo bisa nganterin Lili besok-besok kali Den, nggak usah sesedih itu.” ujar Lyn sambil menepuk bahu pemuda itu. Hadden sendiri hanya mengangguk dan menghela nafas, pemuda itu kemudian membereskan peralatannya dan meninggalkan ketiganya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Lah, main pergi aja tu bocah, kampret.” rengut Lyn.
“Udah Lyn, biarin aja. Sekarang mending kita pilih buku mana yang mau dipinjam, biar nanti sisanya bisa dibalikin ke rak buku, kan nggak mungkin Bio balikin semua ini sendirian.” ujar Lane.
“Kalian pilih aja, gue masih lama kok di perpus. Lo sama Lane harus balik kan sebelum makan malam, jadi pilih aja buku yang kalian perluin buat belajar di rumah, sisanya bisa gue balikin sendiri kok.” sela Bio.
“Beneran Bi? Banyak banget loh ini.” tanya Lane memastikan ucapan sahabatnya itu.
“Beneran Lane, gue masih pengen belajar dulu di sini, kalo di rumah berisik, males guenya.”
“Okay kalau gitu, gue ambil lima buku ini.”
“Gue juga, kita duluan ya Bi, hati-hati lo baliknya, jangan kemaleman.”
“Santai aja sih, kaya nggak tahu gue aja.”
Ketiganya kemudian berpisah, Lyn dan Lane pergi ke area penjaga perpustakaan untuk meminjam buku sedangkan Bio masih berkutat dengan tumpukan buku di meja tersebut.
*
*
*
Makan malam ini cukup mewah untuk Lili, bundanya entah secara tiba-tiba memasak steak dengan kentang tumbuk, padahal tak ada acara penting apapun di rumahnya. Namun Lili sendiri tak ambil pusing mengenai hal tersebut, gadis itu tetap menghabiskan makanan yang ada di piringnya.
“Adek, gimana ujian hari ini? Lancar?” tanya sang bunda setelah menghabiskan makanannya.
“Pastinya dong, ujian adek lancar hari ini dan semua soal adek jawab dengan baik dan benar.”
“Tapi nggak pake kira-kira kan jawabnya?” ledek sang ayah.
“Enggak lah, adek ngitung ya ayah, nggak ngira-ngira, enak aja.” Ayah dan bunda Lili hanya dapat terkekeh mendengar ucapan putri bungsunya itu.
“Iya deh iya, anak ayah memang yang paling pintar.” Lili tertawa mendengar ucapan sang ayah.
“Oh iya, adek izin mau make ruang perpustakaan buat belajar, boleh?”
“Pastinya boleh dong, memangnya apa gunanya ada perpustakaan di rumah ini kalau bukan untuk belajar. Tunggu sebentar okay.” Sang ayah kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamar tidurnya. Tak lama kemudian lelaki paruh baya itu kembali dengan kunci di tangannya, membuat Lili penasaran dengan benda tersebut. Ayahnya kemudian menyerahkan kunci tersebut padanya, mengundang tatapan tanya dari Lili.
“Ini kunci perpustakaan, ayah serahkan sama adek selama minggu ujian ini, jadi nanti adek bisa ngunci pintu perpustakaan kalau sudah selesai belajarnya.”
“Wah, makasih ayah, adek janji nggak akan menghilangkan kunci ini, adek bakal jagain kunci ini.”
“Iya adek, gih ke kamar, ambil buku catatan adek terus ke perpustakaan buat belajar.” ujar sang ayah.
“Okey, adek ke kamar dulu, malam ayah, malam bunda.”
Lili kemudian bergegas menuju kamarnya dengan hati gembira karena telah mendapatkan kunci perpustakaan, meskipun hanya untuk minggu ujian. Gadis itu kemudian bergegas menuju ke perpustakaan setelah mengambil buku catatannya.
Sesampainya di perpustakaan, Lili mulai berkeliling mencari buku bahan materi untuk ujian esok hari. Setelah merasa telah menemukan semua buku yang ia butuhkan, Lili kemudian meletakkan semua buku tersebut di meja yang memang sengaja disediakan oleh sang ayah untuk sekedar membaca di sana.
Lili mulia membuka satu per satu buku tersebut dan mencatat materi-materi yang dirinya perlukan. Baru beberapa rumus yang Lili coba pecahkan, sang bunda masuk membawa nampan berisi jus jambu dan sepiring potongan buah. Sang bunda kemudian meletakkan gelas dan piring tersebut di area meja yang sekiranya tidak akan tersenggol oleh Lili.
“Dimakan ya sayang, bunda dan ayah ada di ruang kerja kalau adek butuh, okey.”
“Siap bunda, thank you jus dan buahnya, adek bakal habisin tenang aja.” Sang bunda hanya bisa tersenyum mendengar ucapan putri bungsunya itu. Wanita itu kemudian meninggalkan Lili sendiri, takut jika dirinya berada di sana terlalu lama akan mengganggu waktu belajar putrinya.
Dengan sepotong buah yang masuk ke dalam mulutnya, Lili melanjutkan acara belajarnya. Jenuh memang, namun bagi Lili hal ini sudah biasa untuknya. Keturunan Wagner memang tidak dipaksa untuk pintar, namun keadaan yang dihadapi keluarga ini memaksa setiap keturunannya memiliki otak yang encer sehingga bisa mengatasi masalah-masalah yang terkadang tiba-tiba datang menghampiri mereka.
Lili menghabiskan waktunya belajar di perpustakaan sekitar 3 jam, membuat gadis itu kini tengah meregangkan badannya yang mulai terasa kaku sebab duduk terlalu lama. Tak lama kemudian ponsel miliknya yang tergeletak di atas buku materi bergetar, menampilkan nomor serta nama sang kakak, sepertinya pemudia itu tahu jika sang adik tengah belajar.
“Halo abang, kenapa telfon malem-malem, adek lagi belajar ini.”
“Kan abang cuma mau tahu kabar adek, gimana ujiannya? Lancar?”
“Lancar dong, siapa dulu song, adeknya Alaric gitu loh.” Alaric sendiri hanya bisa terkekeh mendengar ucapan adiknya itu.
“Iya deh percaya, besok apa nih yang bakal di uji?”
“Besok fisika sama bahasa inggris, ini baru aja selesai belajar fisika.”
“Terus kenapa bahasa inggrisnya nggak dipelajarin? Kan katanya besok ada bahasa inggris juga.”
“Abang, please deh, kita semua itu fasih bahasa inggris, lagipula pelajaran ini udah diluar kepala adek, jadi paling besok pagi baca-baca sedikit.”
“Yaudah iya, percaya deh abang. Terus itu gimana, soal kamu sama Chiv? Ada kemajuan?” Nada menggoda dapat Lili dengar dengan jelas dari pertanyaan abangnya itu.
“Kemajuan apa sih, kita semua lagi sibuk buat ini semua, nggak ada kesempatan buat deket sama dia tau.”
“Makanya cari kesempatan manis, masa adek abang yang paling cantik ini nggak bisa bikin cowok tertarik.”
“Ish apaan sih bang, nggak gitu ya konsepnya.”
“Iya deh iya, terserah adek abang yang paling cantik aja.”
“Bang, adek mau tanya soal Hadden, kenapa ayah sama kakek selalu bilang kalau adek harus ngejauhin Hadden sih? Emangnya Hadden ada salah sama ayah sama kakek?”
“Hadden ya, adek nggak perlu ngurusin soal permasalahan kedua keluarga ini, yang perlu adek ikutin itu aturan yang ayah dan kakek buat, jadi kalau mereka berdua bilang adek harus ngejauhin Hadden, adek harus nurutin. Abang sendiri juga nggak merasa aman kalau adek terus-menerus deket sama Hadden, abang mohon jauhin ya.” Lili otomatis langsung mencebikkan bibirnya mendengar ucapan abangnya itu.
“Apaan sih kalian, sama aja tau, Hadden itu temen adek, nggak usah larang-larang, titik.” Dapat Lili dengar suarah helaan nafas sang abang yang sepertinya juga putus asa menasehati dirinya.
“Yaudah terserah adek, tapi jangan salahin kita kalau pengawasan adek semakin ketat, kita semua cuma takut, itu aja kok.”
“Terserah aja, udah ah, adek ngantuk, emangnya abang nggak ngantuk apa?”
“Di sini masih jam enam adek, kan beda lima jam.”
“Iya juga sih, yaudah deh, adek tidur dulu, dadah abang.”
“Dadah kesayangan abang.”
Setelah Lili mematikan panggilan tersebut, dirinya kemudian merapihkan buku yang berada di meja dan membawa buku catatan ke kamarnya. Gadis itu kemudian mengunci ruangan tersebut dan berjalan gontai menuju kamarnya, saking mengantuknya gadis itu. Beruntung tak ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi, sesampainya di kamar gadis itu langsung menaikkan selimutnya dan memejamkan matanya yang sudah berat sedari tadi.
@cf