Hari ini Lili sungguh sial, tiba-tiba saja mobilnya mogok di parkiran, membuat dirinya kini kebingungann bagaimana caranya ia pulang ke rumah. Secara kebetulan Bio yang tengah mengeluarkan motor miliknya melihat Lili yang nampak kebingungan sendirian di parkiran, membuat gadis itu kemudian mendekati sahabatnya.
“Kenapa Li? Mobil lo mogok?” tanya Bio sembari menatap mobil Lili.
“Iya, nggak tau kenapa, padahal tadi pagi baik-baik aja.” Dapat Bio dengar jelas gerutuan Lili yang diam-diam mengutuk mobilnya itu. Bio sendiri hanya dapat terkekeh pelan mendengar gerutuan sahabatnya itu.
“Yaudah, lo balik sama gue aja, tapi pake motor, nggak papa?”
“Yaudah deh, daripada gue harus pulang jalan kaki ya kan, di rumah lagi nggak ada siapa-siapa soalnya.”
“Yaudah, pake nih.” Bio kemudian menyodorkan celana training dari dalam tas miliknya. Gadis itu memang terbiasa membawa celana cadangan, jaga-jaga jika celana seragam miliknya kotor.
Bio kemudian menunggu Lili yang kini tengah pergi ke kamar mandi untuk berganti, tak lama kemudian gadis itu muncul dengan tampilan yang bisa dibilang lumayan lucu bagi Bio. Perpaduan antara kemeja seragam sekolah dengan celana training yang terlihat sedikit kepanjangan sehingga di lipat ke atas oleh Lili.
Bio kemudian memberikan helm cadangan yang memang selalu menggantung di motornya, kebiasaan Bio semasa di Semarang dulu. Setelah Lili memakai helm dan menaiki motornya, Bio langsung menancapkan gas, keluar dari area parkiran.
Di gerbang sekolah terlihat Chiv yang tengah mengobrol dengan adiknya, Rae, membuat Lili menepuk bahu Bio, memerintahkan gadis itu untuk menghentikan motornya saat melewati pemuda tersebut.
“Hai Chiv, tumben masih di sekolah?”
“Hai Lili, oh ini, adek gue barusan pengen liat-liat sekolah, jadinya baru bisa balik sekarang. Yang bonceng lo, siapa?” Chiv tentu bingung, seingatnya Lili tak pernah menaiki motor atau pun menggunakan motor.
“Oh, ini Bio, sahabat gue. Bi, kenalan gih sama Chiv.” Bio kemudian menaikkan kaca helm full face-nya dan menatap ke arah Chiv dan juga Rae.
“Vabiola Sachdev, Bio.” Entah mengapa Lili merasa Bio tengah mengindari sesuatu sampai-sampai gadis itu melakukan perkenalan sesingkat itu.
“Gue Chivalry Dananjaya, panggil aja Chiv, kalo ini Raeleen Dananjaya, adek gue.”
“Halo kak, aku,”
Belum sempat Rae menyelesaikan ucapannya, gadis yang duduk di bangku akhir sekolah menengah tersebut mendapat tatapan tajam dari Bio, membuat Chiv menjadi waspada akan tindakan Bio yang bisa dibilang tiba-tiba tersebut.
Bio yang melihat hal tersebut kemudian membuang pandangannya dan menutup kasar kaca helmnya. Rae sendiri terlihat sedikit kecewa akan tanggapan yang ia dapatkan dari Bio.
“Mbak, aku,”
“Rak usah nyeluk aku meneh, aku dudu mbakmu. (Nggak usah manggil gue kakak lagi, gue bukan kakak lo.).” Jawaban Bio sukses membuat Chiv langsung menarik adiknya ke belakang badannya, sedangkan Lili kini tengah kebingungan dengan ucapan Bio, gadis itu tak paham dengan apa yang sahabatnya ucapkan.
“Lo kenal adek gue Bi?”
“Lo tanya aja sama adek lo itu.”
“Maksud lo?”
“Terserah.”
Bio kemudian menghidupkan mesin motornya kembali dan menyuruh Lili untuk pegangan padanya. Lili sendiri hanya dapat menuruti perintah sahabatnya itu, meninggalkan Chiv dengan seribu pertanyaan di kepalanya dan Rae yang kini terlihat sekali kecewa.
Selama perjalanan, Bio sendiri tak banyak berbicara, gadis itu seperti enggan untuk berbagi masalah yang tengah memenuhi kepalanya itu. Lili sendiri tak berani untuk bertanya lebih lanjut mengenai hubungan kedunya, ia takut jika dirinya bertanya lebih jauh akan memancing amarah Bio yang mungkin saja sudah gadis itu pendam sejak lama.
*
*
*
Lili sendiri pada akhirnya menyadari jika Bio tak membawanya pulang ke rumah. Ia menyadari saat Bio membelokkan motornya ke arah danau, dimana Lili sendiri tak pernah pergi ke sana sebab banyak rumor yang mengatakan jika danau tersebut angker.
Setelah memarkirkan motornya di bawah pohon yang cukup besar, Bio mematikan mesin motornya dan melepaskan helm yang ia kenakan, diikuti oleh Lili yang turun dari motor dan melepaskan helm yang ia gunakan.
“Kok ke sini Bi?”
“Gue pengen kesini, sebentar aja, buat nenangin pikiran gue, ngga papa kan?” Bio menatap Lili yang masih memegang helm.
“Tentu, kenapa enggak? Gue juga sumpek di rumah, sendirian soalnya. Ayah sama bunda belom balik dari Palembang, kakek sama nenek gue masih betah di rumah sahabatnya.”
“Thannks udah nemenin gue.”
“Santai aja, lagian suasana di sini enak juga, nggak kaya yang orang-orang bilang.”
“Angker ya?”
“Huum, banyak banget yang bilang kalau danau ini angker lah, banyak hantunya lah, pernah ada orang bunuh diri lah, macem-macem pokoknya deh rumornya.”
“Padahal tempat ini nyaman tau buat nenangin diri, semenjak gue dibawa balik sama ayah buat tinggal bareng lagi, gue nemuin tempat ini waktu nggak sengaja lagi lari pagi, setelah itu gue selalu ke sini untuk sekedar lihat pemandangan atau kalau lagi ruwet pikiran gue.”
“Mungkin kedepannya lo harus berbagi sama gue soal tempat ini.” ujar Lili sambil tertawa. Bio sendiri hanya terkekeh, tak mempermasalahkan hal tersebut sebenarnya, toh danau ini bukan miliknya.
“Bi.” Mendengar panggilan Lili, Bio kemudian menolehkan pandangannya ke sahabatnya itu, disertai ekspresi yang mengatakan mengapa gadis itu memanggil dirinya.
“Lo nggak mau cerita soal yang tadi?” Bio sendiri terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Lili yang tiba-tiba. Gadis itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Lili lalu menepuk bahu sahabatnya itu.
“Jangan dibahas dulu ya, gue belum siap soal cerita masalah itu.” Lili mengangguk paham.
“Okay, ngga papa kok, lo bisa cerita kalo lo udah siap. Tenang aja Bi, lo punya tiga orang sahabat, lo bisa berbagi sama kita-kita.” ucap Lili.
“Gue bakalan cerita kok kalau udah nemuin waktu yang tepat, ngga usah khawatir Li.”
Keduanya kemudian berjalan mendekati bibir danau yang memang pada dasarnya tidak dipagari karena tak ada orang yang mau mengunjungi tempat ini. Lili sendiri hanya duduk di sebuah batu yang berada di bibir danau sembari merendam kakinya. Sedangkan Bio sendiri kini tengah berjalan lebih jauh, air danau kini telah menenggelamkan hampir tiga per empat betisnya.
Lili sendiri dapat melihat jika Bio sangat tenang, meskipun hampir satu per empat badannya terendam oleh air danau. Tak ada ekspresi takut sama sekali yang ditunjukkan oleh wajah Bio, gadis itu lebih terlihat menikmati dinginnya air danau tersebut.
Lili kemudian melirik jam yang berada di tangan kirinya dan menunjukkan pukul lima lebih duapuluh tujuh menit, membuat dirinya mau tak mau harus memanggil Bio yang masih terlihat menikmati dinginnya air danau yang menerpa kulit kakinya.
“Bi ayo, udah sore nih.” Bio yang mendengar seruan Lili kemudian melirik jam tangannya dan benar saja, dirinya dan Lili sudah selama ini berada di danau. Gadis itu dengan cepat berjalan ke arah Lili yang sudah berada di bibir danau dan tengah memakai sepatunya.
“Nggak kerasa kalau udah sore aja.” ujar Lili.
“Gue sendiri bahkan kadang bisa sampai malem di sini Li, saking nyamannya tempat ini, berujung dapat puluhan panggilan tak terjawab dari ayah.”
“Astaga Bi, jangan gitu, kalau mau ke sini seenggaknya bilang sama gue atau yang lain, kalau ada apa-apa gimana?”
“Tenang Lili, gue aman kok, jangan lupa kalau temen lo ini ikut ekskul taekwondo ya.”
“Iya deh si paling taekwondo.” Lili dan Bio sama-sama terkekeh mendengar ucapan Lili barusan.
“Oh iya Bi, mau nongkrong dulu nggak? Gue pengen ngajak lo ke café langganan gue.”
“Boleh sih, lagian ini belum jam makan malam, gue masih punya waktu kok.”
“Okay, gue chat Lyn sama Lane dulu, kan nggak asik kalo nongkrong cuma berdua doang.” Bio terkekeh mendengar ucapan Lili.
“Iya deh iya.”
Lili kemudian mengirim pesan pada Lyn dan Lane, lalu memasukkan kembali ponselnya setelah mendapat balasan oleh keduanya. Dirinya kemudian berjalan ke arah Bio yang kini sudah menyalakan mesin motornya. Bio kemudian menyerahkan helm pada Lili dan memutar arah motornya. Lili kemudian menaiki motor Bio dan sahabatnya itu kemudian menancapkan gasnya, mengarahkan motornya ke café yang Lili maksud.
*
*
*
Sesaat setelah keduanya memasukki café, Lili dan Bio disambut oleh lambaian tangan Lyn dan Lane yang duduk di meja pojok. Lili diikuti Bio kemudian menghampiri keduanya yang sepertinya belum memesan apapun karena menunggu Lili dan Bio.
“Hai, udah lama?” sapa Lili pada Lyn dan Lane.
“Enggak juga, gue sama Lane dateng barengan ini. Lagipula rumah kita deket ternyata dari café ini, kenapa gue nggak tau ya soal tempat ini.” ujar Lyn. Lane sendiri mengangguk menyetujui ucapan Lyn.
“Iya, biasanya kalau soal tempat-tempat kaya gini tuh, Lyn selalu update tau.”
“Yaudah, kan sekarang udah pada tau kan, sekarang mending kita pesen dah, mbak.” Lili kemudian memanggil pelayan café untuk memesan minuman serta camilan.
“Saya mau pesen ice matcha latte sama chocolate waffle ya mbak.” ucap Lili.
“Saya pesen ice vanilla latte sama krim puff, Lane, lo mau apa?” tanya Lyn pada Lane yang kebetulan duduk bersebrangan dengan dirinya.
“Saya caramel macchiato sama strawberry shortcake ya mbak.”
“Bi, lo mau pesen apa?” tanya Lili pada Bio yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, entah gadis itu tengah menghubungi siapa.
“Oh, itu, saya ice americano aja mbak, terima kasih.”
“Lo yakin? Emangnya lo nggak laper Bi? Udah jam enam sore lewat loh ini.” tanya Lyn.
“Gue ngga begitu laper kok, santai aja.”
“Kalau begitu saya ulang pesanannya ya mbak, ice matcha latte satu, ice vanilla latte satu, caramel macchiato satu, chocolate waffle satu, krim puff satu, dan strawberry shortcake satu, ada tambahan lagi?”
“Nggak ada mbak, itu aja.”
“Kalau begitu mohon ditunggu ya, permisi.”
Keempatnya menunggu pesanan mereka sembari mengobrol, membuat meja mereka secara perlahan menjadi pusat perhatian pengunjung café yang kebanyakan adalah murid sekolah menengah atas. Apalagi keempatnya masih mengenakan seragam sekolah Ludvig International High School, sekolah yang terkenal dan terpandang dengan blazer berwana hitam dengan logo sekolah berwarna prussian blue yang dipadukan dengan warna putih, sedangkan rok dan celana mereka yang berwarna senada dengan blazer mereka, serta dasi berwarna merah serta kerah seragam yang juga berwarna merah, menandakan mereka duduk di kelas sepuluh.
Tak lama kemudian pesanan mereka telah sampai di meja mereka, ditata dengan rapih oleh pelayan tersebut. Setelah pelayan itu meninggalkan meja mereka, keempatnya kemudian meminum pesanan mereka.
“Bi, lo bener-bener ngga mau pesen makanan?” tanya Lili sembari memakan waffle-nya.
“Beneran, gue emang nggak selaper itu kok, lagian nanti di rumah juga bakalan disuruh makan.” ujar Bio.
“Bi,” panggil Lane sembari menyodorkan krim puff ke arah Bio. Bio yang baru saja meminum ice americano-nya itu kemudian menolehkan pandangannya pada Lane yang duduk di sebelahnya. Gadis itu menatap Lane bingung, mengapa Lane menyodorkan makanan miliknya ke arah dirinya.
“Kenapa Lane?”
“Buka mulutnya atuh Bi, kan gue pengen nyuapin lo.”
“Nggak-nggak, gue lagi nggak mood makan makanan manis.” Seketika ekspresi Lane berubah cemberut setelah mendengar ucapan Bio. Lyn yang melihat hal tersebut pun diam-diam menendang kaki Bio, membuat gadis itu menatap ke arah Lyn dengan tatapan penuh tanya.
“Tinggal buka mulut aja Bi, daripada anaknya nangis nanti.” Bio menghela nafas, gadis itu kemudian menerima suapan sahabatnya itu, membuat Lane senang bukan main. Gadis itu kemudian menyuapkan krim puff pada Bio sekali lagi, dan lagi-lagi Bio harus menerima suapan tersebut sebab dirinya tahu jika ia tak bisa menolaknya.
“Udah Lane, udah. Kalo semua lo sodorin ke Bio nanti lo makan apa? Udah dimakan aja dulu.” ujar Lili yang langsung membuat Lane menuruti kata-kata gadis itu.
“Bi, gue penasaran deh, kok lo lebih milih naik motor dibandingkan naik mobil? Apa ada alasan khusus gitu?” tanya Lili pada Bio yang tengah meminum ice americano-nya.
“Ada sebenernya, kakek adalah orang pertama yang ngajarin gue naik motor, itu kenapa gue lebih milih naik motor dibanding naik mobil, ya meskipun ayah udah ngajarin gue buat nyetir, tapi gue lebih nyaman aja naik motor.”
“Lo suka balapan pasti ya?” Seketika Bio tersedak setelah mendengar pertanyaan Lili, gadis itu terheran mengapa sahabatnya ini tahu jika dirinya memang suka balapan dulu.
“Bener kan pasti. Besok-besok jangan gitu Bi, nggak sayang sama diri sendiri? Gue takut lo kenapa-napa.”
“Gue udah nggak balapan lagi semenjak pindah ke Jakarta Li, ayah selalu larang gue buat balik malem atau pun pergi malem-malem, lagipula gue ngga begitu familiar sama orang-orang daerah sekitaran rumah.”
“Baguslah kalau begitu, gue harap kedepannya nggak lo ulangin lagi.”
“Iya-iya, nggak akan gue ulangin kok Li, lo tenang aja.”
“Bi, bisa kali kapan-kapan lo ajakin kita ke Semarang, gue pengen banget ke sana.” bujuk Lyn tiba-tiba.
“Ngedadak amat lo, nggak biasanya?” tanya Lane.
“Gue tuh kemaren liat banyak banget video soal Semarang di medsos, anjir lah gue pengen ke sana.”
“Semarang ya? Mungkin waktu liburan semester? Tapi nanti liat situasi aja dulu.” jawab Bio.
“Tapi kalian inget nggak sih kalau liburan semester kali ini sekolah bakal ngadain kemah untuk murid angkatan kita? Jadi gue rasa ke Semarangnya di tunda dulu deh, mending kita siap-siap buat acara itu.”
“Lo tau dari mana Li? Kok gue nggak dapet pengumumannya??" tanya Lane.
“Gue nguping pembicaraan anak OSIS sama anak pramuka waktu di perpus, mereka lagi diskusiin soal itu.” ujar Lili.
“Yah, ke tunda lagi dong, nggak asik ah.” rengut Lyn.
“Kan masih ada kesempatan Lyn, pasti gue bawa lo ke Semarang kok sama yang lain.”
“Beneran ya, awas aja bohong.” Bio sendiri hanya dapat menggeleng sembari terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu.
Tak lama kemudian, meja mereka digebrak oleh seseorang, membuat keempatnya reflek menoleh ke arah orang tersebut. Andreas, dengan mengenakan hoodie dan juga masker pemuda itu mengahampiri meja sang adik beserta sahabatnya. Bio sendiri dapat mengenali pemuda itu sebab memang hoodie itu adalah hoodie kesayangan kakak keduanya tersebut.
Lili, Lyn, dan juga Lane masih kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi, ketiganya tak mengira jika seniornya itu akan datang ke meja mereka dengan tatapan yang kurang menyenangkan. Bio dengan sigap mengambil langkah lebar dan berdiri di depan Andreas, jaga-jaga jika saja kakak keduanya itu berusaha untuk melukai sahabatnya.
“Apa lagi? Kenapa lo nggak di rumah?” tanya Bio.
“Harusnya gue yang tanya, lo kenapa belum balik dari tadi sore?!” Dengan tatapan tajam dan suara yang meninggi Andreas membentak adiknya itu.
“Apa masalahnya? Gue cuma lagi jalan sama sahabat-sahabat gue, salah?”
“Salah!!! Salah banget malahan. Asal lo tau, ayah cerewet banget waktu dia tau lo belum balik dan lo nggak jawab panggilan telpon ayah.” Mendengar ucapan sang abang, Bio langsung mengecek ponselnya dan menemukan jika benda itu mati.
“Ponsel gue abis baterai, kalo nggak percaya lo liat aja sendiri.” ujar Bio sembari menyodorkan layar ponselnya yang berubah menjadi hitam.
“Balik, gue nggak mau tau. Gue tuh bosen denger ayah selalu nyebut nama lo cuma gara-gara lo belum balik.”
“Gue bakal balik, tapi nanti dulu, lo bisa balik duluan kalau mau.”
“Budeg ya emang, balik ya balik!!! Kelakuan lo bener-bener kaya nggak pernah diajarin sopan santu sama orang tua.” sentak Andreas. Sepertinya pemuda itu lupa jika adiknya itu selama ini tinggal dengan kakek dan neneknya. Bio sendiri terlihat menahan amarahnya saat mendengar ucapan abangnya itu.
“Lyn, lo bawa mobil kan?”
“Iya, gue bawa, kenapa Bi?”
“Anterin Lili balik gih, sekalian lo main kek di rumah Lili.”
“Kan gue tadi perginya sama lo Bi, masa gue balik bareng Lyn?” Mendengar ucapan Lili, Bio langsung memutar badannya dan tersenyum lembut pada sahabat-sahabatnya.
“Gue masih ada urusan Lili, nanti gue janji bakal ajak lo jalan-jalan naik motor, gimana?”
“Janji lo?”
“Janji coy, mana ada gue ngingkarin janji gue sendiri.”
“Okay kalau gitu, kita bertiga balik dulu ya.”
“Bye, take care.”
Setelah Bio melihat Lili dibawa pergi oleh mobil Lyn, gadis itu kemudian meninggalkan uang untuk membayar minuman serta makanan mereka di meja dan menyeret Andreas keluar dari café tersebut. Entah apa yang akan dilakukan oleh keduanya namun yang pasti bukan hal bagus, perkataan Andreas tadi cukup berbekas di hati Bio ngomong-ngomong.
*
*
*
Lili kini berada di kamar miliknya, berguling di atas ranjang kesana-kemari dengan perasaan gelisah menghantui hatinya. Dirinya benar-benar khawatir akan keadaan Bio yang tadi tengah adu argumen dengan Andreas, apalagi Lili lihat jika Andreas bukan pemuda baik-baik.
Tanpa basa-basi dan demi menghilangkan rasa gelisahnya, Lili kemudian nekat menghubungi Bio, meskipun dua panggilan sudah tak diangkat oleh gadis itu. Tak menyerah, Lili kemudian menelfon Bio untuk ketiga kalinya dan akhirnya berhasil. Dapat Lili dengar suara Bio yang seperti tengah menahan sesuatu, sebab Lili mendengar suara ringisan keluar dari mulut gadis itu.
“Bi, lo nggak papa?”
“Santai, gue aman kok.” Suara ringisan itu masih terdengar jelas di telinga Lili, membuat gadis itu menjadi lebih gelisah dan khawatir dengan keadaan sahabatnya.
“Tapi lo ngeringis begitu, itu berarti lo kenapa-napa.”
“Nggak papa kok, gue cuma abis jatoh, ini lagi ngobatin lukanya, nggak usah khawatir. Oh iya, Lyn sama Lane dimana? Kok gue nggak denger suara mereka?”
“Udah balik tadi, kemaleman katanya.”
“Owalah, yaudah lo tidur gih, gue juga mau tidur.”
“Okay, night.”
“Night.”
Lili kemudian memutuskan panggilan dan menghela nafas lega, paling tidak dirinya tahu jika Bio ada di rumah, yah meskipun dirinya dapat mendengar dengan jelas suara ringisan keluar dari mulut Bio dan Lili tak bisa mempercayai jika gadis itu baru saja jatuh. Gadis itu kemudian menaikkan selimut dan beranjak tidur, dengan lampu kamar yang temaran, membuat suasana kamar menjadi lebih nyaman.
@cf