Di hari terkahir MPLS ini sudah banyak murid-murid baru yang telah menyelesaikan tugas mereka. Ruang OSIS yang tadinya sepi mulai didatangi oleh murid baru yang ingin mengumpulkan tugas mereka, sebab para anggota OSIS tidak melakukan pengumpulan didalam kelas dan juga salah satu trik mereka agar banyak murid yang di kemudian hari berminat menjadi anggota OSIS.
Sesuai dengan tugas kedua yang diberikan oleh anggota OSIS kemarin, seluruh murid terlihat membawa lunch bag milik mereka yang sudah diisi oleh bekal makan siang buatan rumah. Lili sendiri terlihat membawa lunch bag yang lumayan besar sebab sang bunda kelewat bersemangat saat membuatkan bekal untuk dirinya dan berakhir banyak sekali makanan yang gadis itu bawa.
Namun kali ini dirinya benar-benar teledor, botol minum yang sudah berada diletakkan oleh sang bunda di atas meja lupa ia masukkan kedalam tasnya, membuat gadis itu mau tak mau pergi ke kantin untuk membeli air minum. Beruntung hari ini anggota OSIS membebaskan mereka untuk berkunjung ke tenda-tenda klub sekolah dan mendaftar di klub yang sekiranya mereka minati.
Lili kini berada di kantin yang cukup ramai namun tak berdesakan seperti kemarin sebab banyak murid yang tengah berkunjung ke tenda klub sekolah. Gadis itu bergegas untuk membeli air mineral di kantin sebab ia sudah ditunggu oleh Lyn dikelas. Saat gadis itu berbalik badan setelah membayar minumannya, dirinya tak sengaja bertabrakan dengan seorang pemuda yang tengah mengantri di belakangnya dan membuat botol air yang berada di tangannya itu terjatuh. Dengan sigap pemuda tersebut mengambil botol air milik Lili dan mengembalikan pada sang empunya.
“Ini.” ucap pemuda itu seraya menyodorkan botol minum milik Lili.
“Ah thanks, sorry gue ngga liat-liat dulu tadi. Tapi lo ngga papa kan, Hadden?” tanya Lili sembari melihat tag nama pada seragam pemuda di depannya itu.
“Santai, gue ngga papa kok, by the way gue Hadden Xavian, lo pasti Lilian Wagner kan? Cucu dari pemilik sekolah ini.” ucap Hadden sembari menyodorkan tangannya.
“Iya, gue Lilian Wagner, kok lo bisa tau?” tanya Lili seraya menyambut tangan Hadden.
“Lo udah terkenal kali seantero sekolah, dari pertama kali mobil lo masuk ke are parkir sekolah bahkan.”
Lili terkejut dengan pernyataan yang diucapkan Hadden, seterkenal itukah dirinya sampai-sampai para murid di sini bahkan tau mobil miliknya.
“Demi apa? Tapi kok bisa mereka tau gue cuma dari mobil gue?”
“Hey, semua kendaraan keluarga Wagner itu selalu di custom dengan akhiran di belakangnya WGR, dan ngga ada yang bisa make akhiran itu selain kendaraan keluarga lo. Masa lo ngga tau soal itu?”
“Gue sendiri bahkan ngga nyadar soal itu. Emangnya keluarga kalian enggak?”
“Untuk Xavian sendiri sih enggak, tapi kalo Sachdev setau gue juga sama kaya begitu. Mereka custom plat kendaraan mereka juga, SCV.”
“Ah, begitu. Em, gue balik ke kelas dulu ya, udah ditungguin sama temen gue.”
“Bentar, gue cuma mau beli minum kok, kita barengan aja, lo di kelas apa?”
“Gue kelas merah muda, lo sendiri?”
“Gue kelas hitam, kelas gue cuma beda dua ruang sama kelas lo, bareng aja.”
Dengan segera Hadden membeli minuman yang ingin dia beli dan membayarnya. Keduanya berjalan bersama sembari mengobrol tentang banyak hal, mulai dari pertemanan sampai keluarga mereka. Mereka berdua tak menyadari jika keduanya ditonton oleh hampir seluruh murid baru. Banyak dari mereka yang mulai berspekulasi jika keduanya dekat bahkan berpacaran, tentunya hal itu tak benar.
Sampai di depan kelas Lili pun keduanya masih tak sadar jika menjadi bahan tontonan, bahkan Lyn yang tadinya ingin menghampiri Lili pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk memperhatikan keduanya dari tempat duduk.
“Oh iya, nanti pas makan siang, gue sama temen gue boleh gabung nggak ke kelompok lo?” tanya Hadden sambil menatap Lili yang kini tersenyum dengan pertanyaan pemuda itu.
“Tentunya dong, kelompok gue juga bukan kelompok besar kok, jadi kalian welcome di kelompok gue.”
“Wes, thanks ya Lili, nanti kalian gue kenalin sama temen gue.”
“No problem, gue yakin temen gue juga bakalan seneng kenalan sama kalian.”
“Kalo gitu gue duluan, bye, see you soon.”
“Bye, see you soon too.”
Setelah keduanya berpisah, Lili dikejutkan dengan keadaan seisi kelas yang kini tengah memperhatikan dirinya. Lili yang kebingungan kemudian menatap ke arah Lyn dengan penuh tanya, apa gerangan yang membuat teman sekelasnya menatap kearahnya dengan eskpresi mencurigakan.
“Lili, lo deket sama si Prince Hadden?!” tanya Lyn dengan nada bersemangat.
“Ha? Prince? Maksud lo?” Lili kini bertanya balik pada Lyn.
“Iya Hadden, di sekolah ini yang namanya Hadden ya cuma dia.”
“Trus itu, prince segala macem apaan” Lili benar-benar penasaran dengan hal tersebut.
“Iya Prince Hadden, itu julukan dia semenjak masuk ke sekolah ini.”
“Ha? Yang bener aja?”
“Lo sendiri kenapa ngga nyadar anjir. Gue yakin orang-orang mulai bakal masangin lo sama Hadden deh abis ini.”
“Jangan anjir, nanti gue di labrak sama fansnya.”
Lyn yang mendengar ucapan Lili pun hanya dapat memutar matanya dengan malas. Oh ayolah, siapa yang berani melabrak Lili, cucu dari pemilik sekolah yang tengah mereka tempati ini. Mana berani mereka melakukan hal tersebut, yang ada status mereka sebagai murid di sekolah ini dan juga status keluarga mereka akan terancam atau bahkan hancur.
“Lili please deh, lo nyadar dikit napa. Lo itu cucu pemilik sekolah ini tau nggak, jadi ngga akan ada yang berani ngelukain lo.”
“Yang namanya manusia siapa sih yang tau Lyn, gue tuh cuma pengen menghindari permasalahan yang kaya gini.”
“Tapi gue yakin Li, bokap nyokap bahkan kakek nenek lo nggak akan ngebiarin masalah dan kejahatan mendekati putri dan cucu mereka. Udah ah, ayo ke kelas Lane abis itu ke kelas Bio, kita ngerumpi di DPR.” Lili hanya dapat tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Lyn. Benar juga dengan apa yang dikatakan gadis itu, keluarganya tak akan membiarkan masalah dan kejahatan menyentuhnya, bahkan seujung kuku pun.
*
*
*
Bel istirahat sudah berbunyi, menandakan kini saatnya acara makan siang bersama dimulai. Para murid baru berbondong-bondong mencari tempat duduk di bawah tenda yang sudah disediakan oleh para anggota OSIS untuk menyokong acara tersebut.
Lili, Lyn, Lane serta Bio kini sudah duduk berkumpul di sebuah meja panjang. Dari kejauhan dapat Lili lihat Hadden yang tengah melambai ke arahnya bersama dua orang pemuda yang berada di belakangnya. Pemuda tersebut kemudian berjalan menuju meja Lili setelah menemukan gadis tersebut.
“Hai, udah lama?” tanya Hadden sembari mendudukkan dirinya di samping Lili.
“Nggak juga, kita juga baru mau menata makan siang kita.” ujar Lili yang tengah mengeluarkan bekal miliknya.
“Kenalin, gue Lilian Wagner, panggil aja Lili. Kenalin juga ini temen-temen gue, yang duduk di samping gue Lyn, ini yang duduk di depan gue Bio dan di sampingnya Lane.”
“Gue Daelyn Maccario, panggil aja Lyn. Gue satu kelas sama Lili di kelas MPLS ini. Salam kenal.”
“Gue Earlane Wagindra, panggil aja Lane. Gue tau nama gue mirip sama Lyn, tapi gue bukan kembarannya, gue sahabatan sama Lyn dari SD. Gue dari kelas oranye terang, salam kenal.”
“G-gue Vabiola Sachdev, kalian bisa panggil gue Bio, g-gue dari kelas biru tua, salam kenal.”
“Salam kenal kalian, santai aja kali Bio, temen-temen gue kagak gigit kok.”
“Bio emang gitu kalo sama orang baru Hadden, dia malu sama orang baru.” ujar Lili.
“Ah gitu ternyata. Oh iya, kenalin, Gue Hadden Xavian, panggil aja Hadden, kalo yang duduk di depan gue itu Juven, dan yang duduk di samping dia itu Aemilio.”
“Hai, Gue Juven Marton, panggil aja Juven, salam kenal kalian semua.”
“Halo cewek-cewek cantik, ahay, kenalin, Gue Aemilio Sterkie, panggil aja Lio, panggil ayang juga boleh.” ucap Lio sembari berdiri menebar pesona dengan percaya dirinya.
Ucapan Lio sontak mengundang gelak tawa dari Lili, Lyn, dan Lane, sedangkan Bio hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak menyangka jika pemuda itu akan sepercaya diri itu memperkenalkan dirinya seperti tadi.
Hadden dan Juven juga speechless mendengar perkenalan temannya yang kelewat percaya diri itu. Keduanya bahkan kompak menutupi wajah mereka, berusaha tak menjadi perhatian sekitarnya.
“Udah Lio udah, lo malu-maluin monyet.” ujar Hadden. Sungguh pemuda itu kini sangat malu.
“Apaan dah, kan mumpung ada cewek-cewek cakep, gimana sih lu cumi.” rengut Lio yang kembali duduk.
“Udah-udah, mending kalian keluarin makan siang kalian.” lerai Lili agar keduanya tak lanjut ribut.
Bekal milik ketujuhnya kini sudah tertata dengan rapih. Sementara itu para anggota OSIS kini tengah mempersiapkan acara yang akan segera dilaksanakan tersebut.
“Cek, cek. Baik, selamat siang semua, bagaimana harinya? Yang pasti senang dong ya karena kalian bisa mendapatkan teman-teman baru di sekolah ini.”
“Sebelum acara dimulai, saya sebagai ketua OSIS sekali lagi mengucapkan selamat atas diterimanya kalian semua sebagai murid baru di sekolah ini. Let the feast begin.”
Tepat setelah itu para murid baru mulai membuka kotak bekal mereka dan memulai makan siang bersama dengan teman-teman baru mereka.
Di meja Lili, mereka tengah terkagum-kagum dengan bekal yang di bawa oleh Lili. Begitu banyak side dish yang bundanya bawakan membuat Lili kebingungan untuk memakannya.
“Lili, nyokap lo kayaknya bener-bener semangat banget ya pagi ini.” ucap Lyn yang masih memandangi isi kotak makan milik Lili.
“Gue rasa, iya dah. Gue ngga nyangka kalo bakal sebanyak ini.” jawab Lili yang juga tengah terkejut melihat isi bekalnya.
“Guys, mending sekarang kalian liat isi kotak makannya Bio.”
Mendengar ucapan Lane, sontak keenam murid tersebut memandangi kotak makan Bio yang kebetulan gadis itu duduk di tengah-tengah. Bio yang dipandangi seperti itu pun kebingungan sebab dirinya merasa jika bekal makannya biasa saja.
“Hm?”
“Bio, lo, ini, lo masak sendiri?” tanya Juven yang kebetulan duduk di samping gadis itu.
“Kalo gue masak sendiri emang kenapa? Ada yang salah kah?”
“Nggak ada yang salah sih, tapi itu keliatan enak banget. Gue pengen nyomot jadinya.” ujar Lane yang sedari tadi menatapi makan siang Bio. Bio yang mendengar ucapan Lane pun langsung menyodorkan kotak bekal milknya ke arah gadis itu. Dengan ekspresi kegirangan, Lane langsung menyomot lauk yang ada di kotak tersebut. Ekspresinya langsung berubah seketika sesaat setelah gadis itu mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
“Demi apa ayam mentega ini lebih enak dari buatan mamih, gue mau lagi boleh?” Bio yang mendengar ucapan Lane hanya terkekeh dan mengangguk, mempersilahkan gadis itu memakan lauk bekalnya.
“Ngga cuma lo kali, gue juga mau.” ucap Lyn disertai anggukan yang lainnya.
“Kalo kalian mau makan aja ngga papa, kebetulan gue bawa lebih.” Bio kemudian mengeluarkan satu kotak bekal makan berukuran sedang dengan isi yang sama, hanya saja porsinya lebih banyak.
Melihat Bio yang mengeluarkan kotak keduanya membuat Lili dan yang lainnya yakin kalau anak ini sudah mengira jika bekalnya akan habis dimakan mereka. Isi kotak makan Bio benar-benar membuat mereka lupa dengan kotak makan mereka sendiri.
“Astaga gue sampe lupa sama bekal gue sendiri.” ujar Lili yang sedari tadi menyomoti ayam mentega di kotak bekal Bio. Gadis itu kemudian membuka kotak lauk yang sedari tadi dianggurkannya dan terkesima dengan isinya. Di dalamnya ada katsu dan juga kimbab sesuai dengan permintaannya, porsinya juga lumayan banyak, mungkin sang bunda ingin dirinya juga berbagi dengan teman barunya.
“Cobain deh katsu buatan bunda gue, enak tau.” Lili menawarkan isi kotak bekalnya pada keenam temannya.
“Wes, ada katsu coy, kesukaan gue ini.” ucap Lio seraya mengambil sepotong katsu daan langsung melahapnya.
“Anjir, enak.”
“Pasti dong, bunda gue jagonya masak meskipun sibuk.” ucap Lili sembari tertawa.
Ketujuh murid baru itu terlihat menikmati bekal makan siang mereka dan saling berbagi satu sama lain. Tak perlu waktu lama untuk mereka menghabiskan bekal mereka masing-masing. Ketujuhnya bahkan kini terlihat bersantai dan saling mengobrol sambil memakan hidangan pencuci mulut yang diberikan oleh OSIS untuk menjamu para murid baru.
“Kalo masakan lo seenak ini, gue mau dah dimasakin bekal ama lo tiap hari Bi.” ucap Lyn sembari memakan permen yang ia beli sewaktu berangkat sekolah tadi. Bio yang mendengar ucapan Lyn hanya bisa terkekeh pelan.
“Ya nggak setiap hari juga Lyn, nanti nyokap lo gimana? Masa bekal dari nyokap lo dianggurin gitu aja.”
“Iya juga sih, tapi bekal makan siang lo enak banget, ketagihan gue jadinya.”
“Ngaku Bi, pake jampi-jampi apa lo sampai-sampai makanan lo seenak itu?” ucap Lili sembari mengacungkan jarinya kearah Bio.
“Jampi-jampi apa dah? Gue cuma make resep nenek gue.”
“Nenek lo koki ya? Makanya resepnya bisa seenak itu.” tanya Hadden yang sedari tadi memakan pudding.
“Bukan, nenek gue cuma ibu rumah tangga biasa.”
“Tolong ya Bi, di lingkup kita bertujuh ngga ada yang namanya kata “biasa” ya.” celetuk Juven.
“Ya emang bener sih, tapi udah lah. Oh iya, kalian dulu dari SMP mana? Gue sama ni curut bertiga dari Mahardika JS.” tanya Hadden.
“Gue sendiri udah sekolah disini dari TK, makanya gue nggak asing sama orang-orangnya dan juga lingkungan sekolahnya.” ucap Lili.
“Gue sama Lyn dari Centra JS, yayasan keluarga gue. Lyn sendiri pindah ke sekolah milik keluarga gue waktu SD karena lebih deket dari rumah dia yang sekarang.” ujar Lane yang diangguki oleh Lyn.
“Kalo lo sendiri Bi, lo dari mana?” tanya Hadden saat merasa gadis terdiam ketika mereka mulai bercerita soal sekolah mereka sebelumnya.
“Gue, gue pindahan dari Semarang. SMP gue cuma sekolah biasa kok, ngga ada yang perlu diceritain.” Bio kembali diam dan mulai memakan pudding yang ada dihadapannya.
“Demi apa?! Semarang?! Gue pengen banget kesana!!! Nyokap gue ngelarang mulu waktu gue pengen pergi travelling sendiri ke Jawa Tengah, padahal kan gue pengen banget nyobain lumpia langsung di tempat aslinya.” Lyn terlihat bersemangat saat mendengar jika Bio berasal dari kota yang sangat ingin ia kunjungi.
“Sekolah biasa apanya sih Bi? Lo aja bisa nembus masuk ke sekolah ini, gue yakin lo murid paling pinter di sana.” Lili mana bisa langsung percaya jika Bio berasal dari sekolah biasa-biasa saja, untuk masuk ke sekolah milik keluarganya ini para pendaftar harus masuk dalam beberapa kategori dan ketentuan-ketentuan tertentu yang pastinya sangat ketat.
“Sama weh, gue aja harus belajar mati-matian mulai dari awal masuk SMP buat masuk ke sekolah elit yang satu ini, ngga mungkin banget lo masuk karena lucky doang.” ujar Hadden yang menyetujui ucapan Lili.
“Gue ngga sepinter itu kok, masih banyak kekurangan yang gue punya.” ucap Bio yang berusaha mengelak.
“Udah deh Bi, lo itu pinter, jadi kalo ada pr gue boleh nyontek kagak?”
“Ye ada maunya ni monyet satu.” Hadden benar-benar tak habis pikir dengan permintaan Lio, bisa-bisanya pemuda itu meminta contekan secara terang-terangan dengan Bio, bahkan sebelum kelas dibagikan.
“Apaan sih, eh Hadden, nanti juga lo bakalan minta contekan juga ya cumi.”
“Terserah sia monyet.”
Tak lama kemudian terdengar suara mikrofon yang kembali berdenging dan juga seorang anggota OSIS yang berdiri menghadap para murid baru, sepertinya ada pengumuman tambahan yang akan di sampaikan olehnya.
“Baik adik-adik sekalian, sementara kalian menikmati makanan pencuci mulut yang kami bagikan tadi, kami ingin menyampaikan pesan yang diberikan oleh kesiswaan bahwasanya kelas permanen kalian sudah dibagikan dan daftarnya telah tertempel di mading sekolah.”
“Sekian pengumuman yang dapat saya sampaikan, selamat siang.”
Seketika segerombolan murid-murid baru tersebut langsung beranjak dari tempat duduk mereka untuk mencari nama mereka. Sebagian besar dari mereka berharap agar dapat satu kelas dengan teman mereka, meskipun pada akhirnya banyak juga dari mereka yang menghela nafas kasar saat nama mereka tak berada di satu kelas dengan teman mereka.
Sementara itu, meja yang di duduki Lili masih terlihat santai, agaknya mereka menunggu keadaan mereda terlebih dahulu daripada harus berdesakan dan berebut untuk melihat kelas mereka. Setelah limabelas menit lamanya, ketujuhnya berjalan santai menuju ke arah mading, tanpa sengaja Lili bertubrukan dengan seorang pemuda dan hampir membuatnya terjatuh, beruntung ada Bio yang berdiri di belakangnya yang langsung menahan tubuh gadis itu.
“Sorry.” ucap pemuda itu dan langsung meninggalkan tempat tersebut tanpa menoleh sedikit pun.
“Nggak sopan banget sih tu cowok.” rengut Lyn yang melihat kejadian tersebut.
“Udah, gue nggak papa kok, untung ada Bio di belakang gue tadi. Ayo liat kelas kita.” ajak Lili yang diangguki oleh keduanya.
Satu per satu kolom nama mereka telusuri hingga mereka menemukan bahwa ketujuhnya berada di kelas yang sama. Sorak gembira dapat terdengar dari Lili, Lyn, dan Lane serta Hadden, Juven, dan Lio yang sudah saling berpelukan, sedangkan Bio hanya tersenyum melihat teman-temannya yang kegirangan.
“Gue ngga sabar buat minggu depan, akhirnya gue sekelas sama kalian semua.” ucap Lane kegirangan sebab di masa MPLS dirinya hanya sendirian dan bahkan kurang akrab dengan teman sekelasnya.
“Santai aja kali, kan sekarang lo udah sekelas ama kita-kita, ya nggak.”
“Bener kata Lili tuh Lane, dan akhirnya gue bisa nyontek Bio kalo ada pr ama pas ulangan.”
“Si anak monyet satu ini emang ya.” rengut Juven seraya menempeleng Lio.
“Bodo ama ya cumi, liat aja nanti, palingan lo ama Hadden yang nyontek hasil contekan gue.”
“Ngga akan ya Lio, lo pikir gue itu lo, yang nggak pernah belajar.” sahut Hadden saat mendengar namanya diikutkan.
Keempat gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala mereka sembari menonton ketiga pemuda tersebut beradu argumen satu sama lain. Lucu memang melihat ketiganya, apalagi banyak sekali murid-murid perempuan yang menatap ke arah ketiganya, ikut menonton ceritanya.
“Kalo kalian masih mau berantem ya silahkan, gue mau beresin kotak bekal dulu. Oh iya, for your information berantemnya kalian bertiga jadi tontonan murid-murid perempuan.” ujar Bio yang kemudian meninggalkan mading diikuti oleh Lili, Lyn, dan juga Lane yang masih tertawa.
Mendengar ucapan Bio pun ketiganya langsung menatap sekeliling mereka. Benar saja, banyak sekali murid perempuan yang kini tengah menonton ketiganya beradu argumen. Merasa malu, Hadden kemudian mengambil langkah seribu dan menyusul Lili, diikuti oleh Juven dan Lio yang masih saja beradu argumen satu sama lain.
*
*
*
Malam ini mungkin sedikit berbeda, Lili hanya makan malam bersama dengan kakek dan neneknya yang kebetulan telah kembali dari Puncak, Bogor, terlalu dingin katanya. Kedua orang tua Lili tak bisa pulang tepat waktu, sang bunda mendapat cukup banyak pesanan custom dan diperlukan untuk dua minggu lagi sehingga perlu dipercepat, sedangkan sang ayah sedang dihadapkan dengan permasalahan pengiriman besar minggu lalu sehingga hampir seluruh karyawan kantor lembur untuk menelusuri pengiriman tersebut.
Beruntung sekali Lili malam ini tak perlu makan malam sendiri, sang nenek sangat bersemangat untuk memasakkan makan malam bagi ketiganya. Semangkuk sujebi, makanan khas Korea Selatan berupa pangsit yang terbuat dari tepung terigu dan dipadukan dengan sup kaldu. Nyonya Tua Wagner itu merindukan makanan tersebut sebab sudah lama ia tak memakannya.
“Woah, ini enak pasti.” sanjung Lili saat melihat sup kaldu yang memerah sebab dipadukan dengan pasta cabai khas Korea Selatan, gochujang.
“Pastinya dong, nenek kamu kan jagonya masak, sudah pasti makanan buatannya enak.” Tuan Tua Wagner itu benar-benar beruntung mendapatkan istri yang serba bisa.
“Sudah, dimakan dulu.”
Hanya butuh waktu singkat untuk ketiganya mengosongkan mangkuk mereka. Memang benar kata orang, masakan nenek memang tak akan ada duanya.
“Oh iya, hari ini Lili sudah mendapatkan kelas permanen, kami bertujuh berada dalam satu kelas.” ujar Lili.
“Bertujuh? Siapa saja?” Tuan Tua Wagner itu sedikit kebingungan saat cucunya menyebutkan jumlah temannya. Setahunya cucunya ini hanya memiliki dua teman baru.
“Ah, Lili lupa mengenalkan mereka. Putri keluarga Sachdev, Vabiola Sachdev, dia menjadi teman baru aku, kek.”
“Ah, keluarga Sachdev ya, yang menikahi adik dari istri om kamu?” tanya Nyonya Tua Wagner.
“Iya nek, oh iya ada juga putra keluarga Xavian, Hadden Xavian, bersama dua temannya, putra keluarga Marton, Juven Marton, dan putra keluarga Sterkie, Aemilio Sterkie.” ucap gadis itu sembari meneguk air putih.
“Xavian ya, tolong berhati-hati ya sayang.”
“Kenapa kek? Hadden orang baik kok.”
“Tidak, bukannya kakek tak beralasan, hanya saja kakek ingin kamu berhati-hati saja.”
“Okey-okey, Lili paham.”
“Naiklah ke atas, nanti nenek akan mengantar susu untukmu.” ujar sang nenek yang berusaha menghentikan suaminya itu.
“Terima kasih nenek, kakek, aku ke kamar dulu, good night.”
“Night too.”
Tepat setelah sang cucu menghilang dan memasuki kamarnya, sang nenek menatap kearah sang suami, seolah berkata untuk tak mencampurkan urusan luar dengan pertemanan cucu mereka. Kakek pun hanya mengendikkan bahunya dan mulai membereskan meja makan kemudian membawanya ke dapur.
@cf