Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Flower And The Bees
MENU
About Us  

            MIPA 4, kelas di mana Lili dan keenam temannya kini berada. Terlihat baru beberapa kursi yang terisi oleh para murid baru yang terbiasa berangkat pagi. Kelas tak begitu ramai sebab bel sekolah masih memerlukan waktu lama untuk berbunyi. Tatanan kursi kelas pun kini berbeda dari masa MPLS, yang tadinya untuk dua orang menjadi terpisah menjadi sendiri-sendiri, seperti di drama-drama Korea.

            Bio, satu dari sekian murid yang memilih untuk berangkat lebih awal, kini tengah mendudukkan dirinya di tempat duduk pojok belakang. Gadis itu sendiri memang tak mau untuk duduk di daerah tengah atau bahkan di depan, terlalu ramai rasanya. Dengan headphone yang kini telah terpasang di telinganya, gadis itu berusaha menghindari percakapan dengan teman kelas barunya dan memilih untuk menenggelamkan kepalanya kedalam lipatan tangannya di atas meja.

            Tak lama kemudian terdengar suara langkah sepatu dari kejauhan dan berhenti di depan kelasnya, membuka pintu dengan kasar dan berjalan cepat ke arah meja Bio.

“Bangun!!! Ngga usah sok tidur deh lo!!!” ucap pemuda tersebut yang sepertinya berasal dari kelas sebelas sebab warna dasi dan juga kerah kemeja seragamnya yang berwarna kuning sedangkan dasi dan juga kerah kemeja seragam yang dipakai Bio berwarna merah, menandakan dirinya baru kelas sepuluh.

“Apa lagi sih? Ngga usah teriak-teriak bisa kali?” Bio melepas headphone lalu menatap pemuda di depannya ini dengan tatapan malas, apalagi teman sekelasnya mulai menatap keduanya dengan tatapan penasaran.

“Ngomong apa sih lo sama ayah sampai-sampai motor impian gue malah dijadiin hadiah buat lo?!” Sekali lagi gadis itu menatap malas ke arah pemuda tersebut, oh ayolah, ini hanya motor.

“Motor doang, lo bahkan bisa beli sampe seratus unit, buat apa protes ke gue yang dibeliin motor sama ayah?”

“Tapi nggak harus di depan gue juga kan ngasihnya?! Lo tuh paham nggak sih?! Lagi pula itu edisi terbatas, ngga gampang buat pesennya, gue mau itu motor jadi salah satu koleksi gue.”

            Tak lama kemudian bunyi derap sepatu kembali terdengar di pendengaran Bio, kemudian pintu kelas sekali lagi dibuka dengan kasar, memperlihatkan seorang pemuda yang celingukan seperti mencari seseorang.

“Andreas Sachdev!!! Sini lo!!!” teriaknya membuat Bio dan juga pemuda itu menatap kearahnya. Dengan langkah lebar pemuda itu berjalan ke arah kursi Bio.

“Udah gue bilang nggak usah lo permasalahin soal motor goblok!!! Terus apa gunanya lo punya motor segudang kalo nggak lo pake, hah?!” omelnya. Andreas, pemuda yang tadi memarahi Bio kini mengusak telinganya kasar.

“Gue budeg lama-lama tau nggak bang, dengerin omelan lo yang nggak ada abisnya.”

“Lo-nya batu, makanya gue ngomel. Udah Bi, omongannya Andreas ngga usah dimasukin ke hati ya, ­sableng emang ini anak.”

“Santai bang Xander, lagian bang Andreas emang begitu.” ujar Bio santai, membuat Andreas semakin kesal.

“Gue mau lo serahin motor itu ke gue!!!” seru Andreas memaksa.

“Ayah ngasihnya ke gue dan ngasih amanah untuk gue ngejaga dan ngerawat motor itu, gue ngga bisa ngasih ke lo bang.” ucap Bio. Sungguh abangnya yang satu ini pemaksa sekali.

“Apasih yang lo lakuin ke ayah sampai-sampai dia mau ngasih anak buangan kaya lo motor mahal begitu.”

            Ucapan Andreas membuat lidah Bio menjadi kelu, Xander bahkan kini menatap adik pertamanya dengan tatapan tak percaya. Memang benar, Bio sengaja di kirim ke Semarang untuk menemani nenek dan kakeknya yang memilih menetap disana, tapi tak berarti sang ayah membuangnya. Bio dulu yang masih kecil pun paham dengan keputusan sang ayah, sebab lelaki itu tengah membangun karirnya, jadi tak mungkin untuk membawa ketiga anaknya kesana kemari, maka dari itu dititipkannya Bio pada sang ibunda.

            Perkataan Andreas itu pun tak luput dari pendengaran Lili yang baru saja memasuki kelas. Gadis itu tak menyangka jika ucapan itu akan keluar dari mulut seniornya.

“Terserah lo mau ngatain gue anak buangan atau apapun itu, tapi yang pasti motor itu amanah dari ayah buat gue dan nggak akan gue kasih bahkan ke lo sekalipun.” Dengan tatapan tenang Bio menjawab perkataan nan menusuk yang dilontarkan Andreas.

“Ck, apa susahnya sih?! Toh lo cewek, ngga pantes naik motor.”

“Cukup Andreas, omongan lo udah kelewatan asal lo tau ya.” sela Xander.

“Apaan sih bang, emang bener kok kalo ni anak di buang sama ayah.”

            Bugh…suara pukulan itu terdengar hingga membuat para murid yang berada di sana menatap ke arah Bio. Kepalan tangan gadis itu kini berada di meja dengan mata yang menatap nyalang ke arah Andreas.

“Kalo lo ngga tau apa-apa ngga usah asal bacot, Andreas Sachdev. Lo perlu inget kalo gue itu adek lo dan nama gue masih ada di dalam garis keturunan Sachdev.”

           Andreas dan Xander tentu terkejut, tak menyangka jika adik bungsu mereka mewarisi emosi ayah mereka. Dapat mereka lihat lewat mata Bio yang berubah menjadi hitam legam seketika, sama persis seperti ayah mereka saat marah.

“Lo bisa keluar dari kelas gue sekarang juga.” ucap Bio dengan intonasi suara yang sedikit berat, membuat Andreas bahkan teman satu kelasnya merinding.

“Ck, ngga ngusir juga kali.” Andreas kemudian keluar dari kelas dengan ekspresi kesal.

“Maafin kakak lo yang satu itu ya Bi, dia emang suka begitu, tantrum nggak jelas.” ucap Xander yang masih berada di kelas tersebut.

“Gue bukan anak manja kaya adek pertama lo itu bang, jadi ngga usah khawatir. Lo juga mending balik ke kelas lo bang, bentar lagi bel masuk. Kelas duabelas ada di bangunan sayap kiri kan.” jelas Bio. Xander pun mengangguk dan bergegas menuju kelasnya, meninggalkan kelas adik bungsunya yang sudah mulai ramai dengan murid-murid baru.

            Lili yang sedari tadi berdiri di depan kelas kini mulai berjalan ke arah Bio yang terlihat tengah mengatur nafasnya, terlihat sekali sebenarnya gadis itu menahan emosinya. Setelah meletakkan tas di kursi depan Bio, Lili memberanikan diri untuk menghampiri sahabatnya yang terlihat tengah meneguk air minum.

“Bi, ngga papa?” tanyanya sembari menepuk bahu gadis itu.

“Oh Lili, emangnya gue kenapa?”

“Itu tadi cowok dua abang-abang lo ya?” Bio mengangguki pertanyaan Lili.

“Kok tadi salah satu dari mereka bilang kalo lo anak itu, duh nggak enak gue bilangnya.”

“Buangan? Abang gue cuma asal ngomong kok, ngga usah didengerin.” jelas Bio, berusaha tak memperpanjang permasalahan tadi.

“O-oh, okay. Ah iya, nanti Biologi kan? Gue takut salah liat jadwal.”

“Iya Biologi.”

“Halo everybody, Aemiolio yang ganteng datang!!!” seru Lio sedangkan di belakangnya ada Juven dan Hadden, serta Lyn dan Lane yang kebetulah bertemu di parkiran sekolah.

“Lio goblok, berisik pagi-pagi lo.” cela Hadden.

“Apaan sih lo, iri bilang bos.”

“Biarin aja, lo lupa ya Den? Temen lo yang satu itu kan gila.” ucap Lyn sembari tertawa bersama Lane. Kedua gadis itu kemudian mendudukkan diri di kursi samping Lili dan Bio, Lyn di barisan samping Lili sedangkan Lane di barisan samping Bio.

“Ye, ganteng-ganteng gini dikatain gila, gebleg sia.” rengut Lio.

            Ketiga pemuda itu kemudian mendudukkan diri mereka di barisan belakang. Tak lama kemudian seorang guru memasuki kelas dan mata pelajaran pertama dimulai.

*

*

*

            Bel istirahat telah berbunyi, membuat para guru yang tengah menjelaskan pelajaran mereka harus mengkahiri pembelajarannya. Para murid pun kini tengah merapihkan meja belajar mereka dan bergegas keluar kelas setelah guru keluar dari kelas mereka.

            Lili yang tengah merapihkan bukunya sudah dihampiri oleh Lyn dan Lane yang sudah merapihkan meja mereka bahkan sebelum kelas selesai.

“Ayo ke kantin, keburu rame tau.” ajak Lyn yang diangguki oleh Lane.

“Iya-iya, sabar sih, gue lagi beberes ini, ajakin Bio juga.” ujar Lili.

“Bi, ayo ke kantin.” ajak Lane. Bio tadinya tidak ingin untuk pergi ke kantin sebab ditangannya sudah ada bekal makanan yang siap ia makan.

“Tapi gue udh bawa bekal.”

“Udah gampang, lo bisa pesen minum nanti.”

“Bener kata Lyn, Bi, masa cuma kita bertiga doang?” ucap Lili.

“Kita juga mau gabung dong, biar gampang nyari kursinya nanti.” ucap Hadden saat mengetahui jika keempat gadis itu akan pergi ke kantin.

“Ngikut aja sih, tapi jangan sampai fans lo tiba-tiba dateng ke meja kita ya Den, gue ogah ngadepin mereka.” rengut Lyn.

“Santai elah, ngga akan kok.”

“Ya ya ya, jadi gimana Bi? Ke kantin aja lah kita.” tanya Lyn. Bio sedikit terlihat ragu namun kemudian ia mengangguki ajakan Lyn.

            Ketujuhnya kemudian berjalan santai menuju ke kantin sekolah sembari mengabaikan berbagai macam tatapan yang ditujukan pada mereka. Setelah mencari kursi untuk mereka duduki akhirnya mereka memutuskan untuk menduduki kursi yang berada di pojok kantin lagi pula di sana tidak ada yang menduduki.

“Kalian mau pesen apa? Biar gue sama Juven yang mesenin.” tanya Hadden.

“Gue mau nasi goreng aja, tapi jangan pake acar ya.” pinta Lili yang diangguki oleh pemuda tersebut.

“Kalo lo mau makan apa Lyn?”

“Gue sama Lane pesen mie ayam aja, punya gue jangan pake sayuran, kalo punya Lane jangan pake daun bawang.”

“Okay, minumnya?”

“Samain aja gimana? Jus jeruk.” ujar Juven.

“Gue jangan jus jeruk.” sela Bio, membuat Juven menatap gadis tersebut.

“Kenapa?”

“Gue alergi sama jeruk Ven.”

“Ah, sorry-sorry, kalo gitu lo mau minum apa?”

“Jus mangga aja, tapi maaf kalo ngerepotin, bilang ke ibunya buat cuci bersih blendernya dulu sebelum bikin punya gue, maaf banget sekali lagi.”

“Santai aja kali Bi, nanti gue bilangin ke ibunya.”

Thanks Ven.”

“Gue kagak ditanyain nih?” ujar Lio yang menyimak sedari tadi.

“Halah, lo samaan kan sama gue? Ngga perlu ditanya lagi.” Ucapan Juven membuat Lio meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

            Kedua pemuda itu kemudian berjalan menuju ke kedai yang berada di kantin untuk memesan pesanan mereka, sedangkan yang lain menunggu sembari mengobrol untuk membuang waktu.

“Ngomong-ngomong kalian mau masuk ke ekskul apa nih? Udah ada rencana belom?” tanya Lio.

“Gue sendiri sih pengen masuk ke OSIS-nya sekolah ini, waktu kemaren gue rasa prokernya bagus coy, terus acara MPLS kemaren juga lancar banget kan, kek nggak ada halangan sama sekali, smooth aja gitu.” ujar Lili. Memang benar, bisa di bilang acara MPLS yang dikoordinasi oleh OSIS berjalan sangat lancar, bahkan tak ada permasalahan yang terjadi selama masa itu.

“Iya sih, tapi gue ngga mau ah masuk OSIS, gue pengen masuk ke klub komputer aja. Gue kemaren liat demo mereka di aula sekolah, anjir keren parah program-program yang udah mereka buat, gue kan pengen jadi progamer.” ucap Lyn dengan bersemangat. Menjadi progamer adalah impian gadis itu, dirinya ingin menciptakan game sendiri dan mendirikan perusahaan game.

“Itu mah emang impian lo dari dulu kan. Gue paling ikut PMR lagi, lagipula waktu SMP gue juga ikut PMR, mau ngelanjutin aja karena gue udah tau dasar-dasarnya.” ujar Lane, sepertinya gadis itu benar-benar serius dengan klub yang satu itu.

“Wes, kayaknya serius amat nih ngobrolnya, ngomongin apa sih?” tanya Hadden sembari menyodorkan satu per satu pesanan mereka.

Thanks Den, oh ini, kita lagi ngobrolin soal ekskul, lo sendiri mau ikutan ekskul apa?” tanya Lili sembari meminum jus jeruk miliknya.

“Gue paling basket sih, lagian ni dua curut juga palingan ngikut gue.”

“Bener kata Hadden, kita paling masuk basket.” jawab Lio.

“Kalo lo sendiri mau masuk klub apa Lili?” tanya Juven yang sedang mengunyah bakso miliknya.

“Gue mau ke OSIS, kalo Lyn mau ke komputer, Lane ke PMR, kalo Bio ngga tau deh, lo mau masuk mana Bi?” Bio yang ditanya itu pun sedikit terkejut dan membuat gadis itu tersedak. Dengan gerakan cepat Lane yang duduk di samping Bio langsung menyodorkan jus mangga milik gadis itu.

“Ehem, thanks Lane, gue masih bingung, tapi, gue pengen masuk taekwondo sama basket.” Tentu saja ucapan Bio mengejutkan mereka. Bergabung dengan satu klub saja sudah kerepotan apalagi dua sekaligus.

“Lo yakin Bi? Dua-duanya berat loh.” tanya Hadden saat mendengar ucapan Bio.

“Kenapa emangnya? Gue dulu SMP juga gitu kok, taekwondo sama basket.”

“Wonder women emang ni cewek ya.” celetuk Juven.

“Ngga papa sih kalo menurut gue, lagian sekolah ngasih fasilitas buat dipakai bukan cuma buat pajangan doang.”

“Bener kata Lili, tenang Bi, nanti kalo lo lomba gue bakal duduk di depan sendiri buat nyemangatin lo.” Bio hanya tersenyum kecil mendengar celotehan Lyn.

“Udah dimakan dulu, keburu bel masuk nanti.” ucap Lili.

          Ketujuh murid tersebut kemudian mulai memakan makan siang mereka sembari mengbrol dan melontarkan lelucon satu sama lain, membuat para murid yang menatap ke arah meja mereka menjadi iri melihatnya.

*

*

*

            Sepulang sekolah Lili memutuskan untuk pergi ke toko buku, beburu buku keluaran terbaru dari penulis favoritenya. Saat dirinya berada di area parkir sekolah, Lili bertemu dengan Bio yang tengah mengeluarkan motor miliknya. Lili tak percaya jika Bio benar-benar mengendarai motor ke sekolah, bukan mobil seperti murid perempuan pada umumnya.

            Lili dapat melihat jika Bio telah memakai jaket kulit hitam dengan helm full face. Sebenarnya di sekolah ini murid perempuan diberi kebebasan untuk memilih antara rok atau celana untuk seragam mereka. Tentu saja Lili memilih memakai rok namu Bio lebih memilih menggunakan celana, lagipula itu lebih praktis untuk gadis itu.

“Hai Bi, mau temenin gue ke toko buku nggak?” tanya Lili saat Bio telah berhasil mengeluarkan motornya.

“Oh, hai Lili, gue juga kebetulan mau ke toko buku, mau bareng?”

Sure, mau naik mobil gue atau lo tetep naik motor?”

“Gue naik motor aja, nanti gue ngikutin lo dari belakang.”

“Okay, kalo gitu gue jalan dulu.”

            Mobil milik Lili diikuti oleh motor yang dikendarai Bio itu keluar dari area parkir sekolah. Lyn dan Lane ada urusan sehingga tak bisa menemani Lili pergi ke toko buku.

            Kedua gadis itu kini telah memarkirkan kendaraan mereka masing-masing di area parkir toko buku langganan Lili.

“Ayo Bi, gue nggak mau kehabisan buku inceran gue.” seru Lili.

“Iya sabar Li, gue lagi nyopot helm ini.”

            Kini keduanya telah memasuki toko buku, ada banyak orang yang bertujuan sama dengan mereka, mencari buku incaran mereka, membuat toko tersebut semakin ramai. Lili dan Bio memilih untuk berpisah sebab buku yang mereka cari berbeda genre.

            Lili menelusuri rak novel bergenre romantis sedangkan Bio lebih memilih menelurusi rak novel bergenre fiksi kriminal. Saat dirinya akan mengambil sebuah buku tak sengaja seseorang di sampingnya juga mengambil buku yang sama, membuat tangan mereka tak sengaja bertemu. Lili reflek menoleh ke arah pemilik tangan dan menemukan bahwa pemuda itu adalah pemuda yang sama dengan pemuda yang tak sengaja menabrak dirinya di depan mading tempo hari.

“Lo?”

“Hm?” Pemuda itu terlihat kebingungan saat Lili mengacungkan tangannya ke arah wajahnya.

“Iya, lo kan yang nabrak gue di depan mading waktu pembagian kelas permanen.” Pemuda itu langsung teringat dengan kejadian tempo hari, salah dirinya juga yang terlalu terburu-buru sehingga tak memperhatikan jalan.

Sorry, gue waktu itu buru-buru karena temen gue udah nunggu, jadi ngga sempet minta maaf ke lo.” ujar pemuda tersebut.

“Ngga papa, by the way kita belom kenalan, gue Lilian Wagner, panggil aja Lili, kalo lo?” tanya Lili sambil menyodorkan tangannya.

“Gue Chivalry Dananjaya, panggil aja Chiv.” ucap Chiv menyambut uluran tangan Lili.

“Ngomong-ngomong, lo sendiri aja?”

“Oh gue,”

“Kak!!!” Belum selesai Chiv berbicara, sebuah suara dari ujung lorong memanggil dirinya. Seorang gadis yang dapat Lili perkirakan merupakan murid SMP itu berjalan menuju Chiv dengan tiga buah buku yang masih tersegel di tangannya.

“Udah milih bukunya Rae?”

“Udah kak, em, kakak ini siapa?” tanya gadis itu sembari menatap ke arah Lili.

“Oh ini namanya kak Lili, temen kakak di sekolah, kenalan gih.”

“Halo kak Lili, aku Raeleen Dananjaya, adik kak Chiv.” ucap gadis itu dengan intonasi yang manis, ingin rasanya Lili cubit pipinya sebab gadis itu sangat lucu di matanya.

“Halo Realeen, aku Lilian Wagner, panggil kak Lili ya manis.”

“Lo tadi mau ambil buku itu?” tanya Chiv sembari menunjuk ke arah buku bersampul merah tua itu.

“Ah iya, tapi tinggal satu, kalo gue ambil lo ngga papa emangnya?”

“Ngga papa, gue bisa nunggu sampai pengiriman selanjutnya kok. Kalo gitu gue duluan ya, takutnya kesorean gue baliknya, see you.”

See you too, hati-hati di jalan kalian berdua.”

          Chiv hanya melambaikan tangannya dan berjalan menuju kearah kasir untuk membayar buku adiknya. Setelah mendapatkan buku yang ia inginkan kini Lili berjalan menuju rak fiksi kriminal di mana Bio berada. Dapat Lili lihat setumpuk buku novel dengan genre yang sama berada di tangan Bio. Saat mendapati Lili tengah mentap ke arahnya, Bio hanya dapat tersenyum canggung.

“Astaga Bi, sebanyak ini nanti gimana lo bawanya?” Lili kemudian beirnisiatif untuk membantu Bio membawa buku ke kasir untuk dibayar.

“Tas gue masih muat kok, aman jadinya.”

            Lili baru sadar jika sahabat barunya yang satu ini maniak buku fiksi kriminal. Gadis itu bahkan tak ragu untuk menghabiskan lebih dari satu juta hanya untuk membeli buku novel tersebut.

            Saat Bio melihat Chiv dengan sang adik, gadis itu terdiam seketika, entah apa yang membuatnya seperti itu, Lili sendiri pun tak tahu. Juga saat adik Chiv menoleh ke arah mereka, Bio terlihat menolehkan wajahnya, seperti tak ingin dilihat oleh Rae. Lili hendak bertanya namun sedikit segan sebab takut melewati batas.

            Tiba saat giliran mereka membayar Bio tak mengeluarkan sepatah kata pun dan lebih memilih untuk memasukkan tumpukan novel itu ke dalam tas backpacknya. Sampai di parkiran pun gadis itu tetap diam dan hanya melambai ke arah Lili, kemudian melajukan motornya meningggalkan Lili dengan seribu pertanyaan di kepalanya.

@cf

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Asoy Geboy
6152      1704     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
The Arcana : Ace of Wands
172      149     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Rembulan
1236      697     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Dandelion
6908      1824     0     
Romance
Kuat, Cantik dan Penuh Makna. Tumbuh liar dan bebas. Meskipun sederhana, ia selalu setia di antara ilalang. Seorang pemuda yang kabur dari rumah dan memilih untuk belajar hidup mandiri. Taehyung bertemu dengan Haewon, seorang gadis galak yang menyimpan banyak masalah hidup.
Premium
Dunia Tanpa Gadget
11938      3063     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
Premium
Claudia
7023      1780     1     
Fan Fiction
Ternyata kebahagiaan yang fana itu benar adanya. Sialnya, Claudia benar-benar merasakannya!!! Claudia Renase Arditalko tumbuh di keluarga kaya raya yang amat menyayanginya. Tentu saja, ia sangat bahagia. Kedua orang tua dan kakak lelaki Claudia sangat mengayanginya. Hidup yang nyaris sempurna Claudia nikmati dengan senang hati. Tetapi, takdir Tuhan tak ada yang mampu menerka. Kebahagiaan C...
Highschool Romance
2743      1171     8     
Romance
“Bagaikan ISO kamera, hari-hariku yang terasa biasa sekarang mulai dipenuhi cahaya sejak aku menaruh hati padamu.”
FIREWORKS
539      385     1     
Fan Fiction
Semua orang pasti memiliki kisah sedih dan bahagia tersendiri yang membentuk sejarah kehidupan setiap orang. Sama halnya seperti Suhyon. Suhyon adalah seorang remaja berusia 12 tahun yang terlahir dari keluarga yang kurang bahagia. Orang tuanya selalu saja bertengkar. Mamanya hanya menyayangi kedua adiknya semata-mata karena Suhyon merupakan anak adopsi. Berbeda dengan papanya, ...
Prakerin
7984      2118     14     
Romance
Siapa sih yang nggak kesel kalo gebetan yang udah nempel kaya ketombe —kayanya Anja lupa kalo ketombe bisa aja rontok— dan udah yakin seratus persen sebentar lagi jadi pacar, malah jadian sama orang lain? Kesel kan? Kesel lah! Nah, hal miris inilah yang terjadi sama Anja, si rajin —telat dan bolos— yang nggak mau berangkat prakerin. Alasannya klise, karena takut dapet pembimbing ya...
Kembali Bersama Rintik
3741      1676     5     
Romance
Mendung tidak selamanya membawa duka, mendung ini tidak hanya membawa rintik hujan yang menyejukkan, namun juga kebahagiaan dan kisah yang mengejutkan. Seperti yang terjadi pada Yara Alenka, gadis SMA biasa dengan segala kekurangan dalam dirinya yang telah dipertemukan dengan seseorang yang akan mengisi hari-harinya. Al, pemuda misterius yang berhati dingin dengan segala kesempurnaan yang ada, ya...