Kelereng merah berbintik emas menyala yang dipilih oleh Indira memberikan sebuah petunjuk baru. Mereka serius membacanya dan mencoba untuk mengingatnya bersama. Mereka juga saling berpegang tangan, menguatkan agar dapat memecahkan teka-teki kali ini.
Kekuatan dan keabadian adalah kepercayaan. Yang terlarang menjadi sebuah kenangan.
Temukanlah 9-9 telur keberuntungan yang menjaganya.
“99 telur…?” Indira bertanya tentang kalimat yang muncul di kaca tanam. Tapi, sebelum mereka sempat memikirkan itu cahaya dari kotak ajaib telah siap menjemput mereka.
“Aaaarrrrgggghhhhh……...!!!!”
Tiga remaja melewati portal waktu menuju ke sebuah tempat yang ramai. Di negara dengan populasi terbesar dan memiliki pengaruh besar. Alsa yang selalu penuh semangat berkolaborasi hebat dengan Ovi yang penuh kegigihan dan Indira yang bijak penuh kesabaran. Mereka adalah remaja yang terpilih untuk mencari jawaban dari semua misteri yang diberikan oleh kotak ajaib.
“Dimana kita? Ramai banget…” Indira mengedip-kedipkan matanya.
“Panas lagi…” ucap Ovi mencari-cari petunjuk lokasi.
Mereka terduduk di sebuah kursi taman yang berada di belakang sebuah pohon besar. Terdengar suara beberapa kendaraan berlalu-lalang dan orang-orang ramai berbicara seperti di pasar. Kursi taman yang terbuat dari batu marmer itu terasa dingin namun udara di sekitarnya memang panas. Langit biru terang dengan beberapa awan putih menggantung. Sebuah bangunan megah beratap merah terlihat dari kejauhan.
“Kayaknya ini di China deh. Lihat rumah itu…” Alsa memandang sebuah rumah tradisional bernuansa coklat dengan sebuah papan tergantung di depannya bertuliskan huruf kanji. Mungkin itu sebuah toko.
Mereka berdiri melihat-lihat sekitar dan berusaha mencari petunjuk untuk dapat menemukan jawaban teka-teki. Dimana mereka harus mencari 99 telur yang berhubungan dengan keberuntungan, kekuatan dan keabadian?
“Kita harus pakai aplikasi terjemah lagi nih,” ucap Ovi.
“Yup! Kalau bahasa Cina aku cuma tau sapaan sama ucapan terima kasih aja,” Alsa menambahkan. “Mudah-mudahan ada yang bisa diajak bicara pakai bahasa Inggris.”
“Ngomong-ngomong ini ramai banget. Sebenarnya ini lokasi apa sih? Kok ga ada peta yang menunjukkan lokasi ya?” Indira mulai gelisah karena setelah mereka berjalan hanya bertemu orang-orang yang sepertinya berwisata dalam satu rombongan. Tapi dari beberapa yang ditemui kebanyakan berbicara bahasa mandarin.
Alsa mengajak Indira dan Ovi untuk menelusuri jalanan trotoar lebar. Lalu mereka berbelok ke kanan dan di seberangnya jalan terdapat sebuah taman bunga yang luas. Cuaca yang terik namun berangin, mereka berusaha tetap berjalan di sebuah tempat yang sepertinya lokasi wisata.
“Eh lihat! Itu ada petunjuk jalan,” Ovi melihat dari kejauhan. “Mao Zedong Mausoleum, ke kiri. Forbidden temple, ke arah kanan…”
“Berarti ini di Beijing… Jadi, kita akan ke arah istana terlarang atau ke tempat Mao Zedong itu?” tanya Indira.
“Yang jelas, kita harus cari dulu orang yang bisa bahasa Inggris. Biar gampang ngomongnya,” tukas Ovi. Alsa menyetujui.
Mereka menyusuri jalan sambil melihat-lihat dan mencari jika ada pemandu wisata ataupun orang lokal yang bisa berbahasa Inggris. Di kejauhan semakin terlihat sebuah bangunan besar bernuansa merah dengan sebuah foto besar terpampang di tengahnya. Seorang lelaki memakai jas khas pakaian Cina. Dialah Mao Tse Tung atau Mao Zedong, seorang pahlawan rakyat Cina yang sangat terkenal dengan revolusi komunis di zamannya. Bahkan sampai saat ini seluruh dunia pun masih teringat tentang sejarah yang abadi itu.
“Guys, aku bisa buka peta nih di HP,” Alsa mengajak yang lainnya melihat peta di ponselnya. “Kalau yang di sana itu tempat jenazahnya Mao Zedong, berarti kalau ke kanan ini lapangan Tiananmen dan itu gerbang ke istana terlarang.”
“Jaraknya jauh banget kalau kita ke mausoleum dulu baru ke istana terlarang. Takutnya waktu kita ga cukup,” ujar Indira memperkirakan.
“Kita langsung ke istana aja. Ayo cepetan, siapa tahu di dalam bisa ketemu orang yang bisa bantu kita,” ajak Ovi. Mereka lalu menuju ke arah Istana Terlarang atau Forbidden Temple. Tempat dimana keluarga kaisar tinggal beserta selir-selir dan juga anak-anaknya. Tempat yang begitu luas dan sangat artistik. Disebut istana terlarang karena tak semua orang boleh memasukinya di zaman kekaisaran dulu, tetapi tempat ini sekarang menjadi lokasi wisata utama di kota Beijing. Tempat ini pun sering digunakan untuk lokasi syuting film-film kolosal. Ada beberapa istana yang bisa dimasuki pengunjung namun ada juga yang tertutup.
Tiba-tiba Ovi mendengar seorang anak perempuan berbicara dalam bahasa Inggris dan ia memanggil ayahnya untuk minta difoto dengan latar bangunan istana. Ovi tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatinya seraya menawarkan bantuan.
“I will help you to take a picture here,” ucap Ovi dengan senyum ramah. “You can also stand beside her, Sir.” Ovi mempersilakan ayah anak itu untuk berfoto bersama anaknya.
“Oh, that’s good. Thank you,” ucap lelaki itu.
Lalu Ovi berbincang dan memperkenalkan diri juga teman lainnya. Berharap dapat bertemu dengan pemandu wisata yang asli orang Cina namun dapat berbahasa Inggris. Akhirnya mereka diperbolehkan ikut bersama mengelilingi istana dengan rombongan bule-bule dari Jerman itu. Anak perempuan itu terlihat senang dengan adanya Alsa, Indira dan Ovi karena di dalam rombongan ialah yang paling kecil meski ada beberapa anak laki-laki namun mereka terlihat lebih besar usianya.
Saat rombongan itu mendengarkan pemandu wisata menjelaskan tentang sejarah dan juga karakteristik istana-istana, Alsa serius mendengarkan juga. Sedangkan Ovi dan Indira melihat-lihat sekeliling, mencari petunjuk tentang telur yang berjumlah 99. Lalu beberapa orang bule itu berfoto ria, dan pemandu wisata menunggu di salahsatu jembatan sambil bersandar sedikit kelelahan.
“Maaf pak, saya tadi diajak oleh Mr. Beihm di rombongan ini,” ucap Alsa dalam bahasa Inggris yang sangat sopan.
“Iya, tidak apa-apa. Kalian sebenarnya dari mana?” pemandu wisata terlihat heran.
“Kami dari Indonesia. Sedang berlibur saja di sini,” jawab Alsa seadanya. “Hm…apakah bapak tau tentang telur keberuntungan?”
“Telur keberuntungan?” pemandu wisata mengeryitkan kening seraya berpikir. “Maksudnya apa? Telur ayam atau telur bebek?” kali ini pertanyaannya yang justru membuat Alsa bingung.
“Hm…apakah ada makanan dari telur yang sering dikonsumsi orang Cina?” tanya Ovi.
“Ah itu. Telur 1000 tahun. Telur yang dimasak dengan remah teh jadi berwarna kecoklatan,” jawab pemandu wisata.
“Benarkah?” seru Indira antusias seolah menemukan sebuah jawaban. “Dimana kita bisa dapatkan itu, pak?”
Pemandu wisata tak bisa memberikan arahan pasti karena memang tak semua rumah makan menyajikan itu. Biasanya hanya rumah makan halal atau tradisional saja. Sedangkan di pusat kota kebanyakn menjual makanan cepat saji, mie, atau bebek peking.
“Bagaiman kalau besok pagi saya bawakan itu? Saya akan minta istri saya membuatnya hari ini ya,” pemnadu wisata menawarkan solusi.
“Besok?! Maaf Pak, kami perlu untuk saat ini,” tukas Ovi sedikit kecewa.
“Iya pak mungkin nanti kami cari saja. Semoga kami beruntung…” ucap Indira.
“Hm… berdoalah di depan pintu gerbang ini. Karena menurut mitos jika kalian berdoa atau memohon sesuatu di depan gerbang istana atau di depan patung Dewi Kwan Im maka keinginan kalian akan terkabul,” saran pemabdu wisata.
Alsa dan yang lain tersenyum mengucapkan terima kasih kepada bapak pemandu wisata. Sebuah saran yang sebenarnya mustahil mereka lakukan – mempercayai mitos agama dan kebudayaan yang berbeda dari agamanya. Namun untuk menghormati si pemandu wisata akhirnya Alsa dan kawan-kawan menuju ke pintu gerbang. Mereka berpisah dengan rombongan Mr. Beihm, izin untuk pamit kembali lebih dahulu. Dengan penuh harap Indira masih mencari-cari petunjuk tentang telur keberuntungan itu.
“Gimana nih kalau ga ketemu juga?” Ovi mulai panik.
“Kita cari lagi aja dulu. Siapa tahu ada petunjuk lagi…” ujar Indira yang masih sabar menelaah setiap apa yang dilihatnya di sudut-sudut Istana Terlarang.
Mereka melangkah ke arah gerbang keluar dan didapainya sebuah toko cinderamata. Demi mendapatkan jawaban atau petunjuk teka-teki, Alsa mengajak Indira dan Ovi untuk mengunjungi tempat itu. Mereka melihat-lihat beberapa cinderamata yang ditawarkan di etalase dan mencari yang bentuknya seperti telur.
“Eh lihat, ini telur emas!” kata Indira yang begitu antusias. Yang lainnya mendekat.
“Ini telur emas seperti dongeng yang anak-anak di Cina tentang angsa yang bertelur emas,” ucap pemilik toko menjelaskan dengan bahasa Inggris yang kurang begitu jelas, namun dapat dipahami oleh Indira.
“Apa Anda menjual 99 telur seperti ini?” tanya Indira sambil menunjukkan jari-jarinya berjumlah 9 dan berulang.
“Oh, 99 tidak ada. Hanya ada 9,” jawab ibu pemilik toko. “Kamu minta banyak sekali.”
Sedikit kecewa Indira menatap telur itu berharap ada 99 butir. Tapi, Ovi mengingatkan bahwa mustahil kalaupun ada mereka harus membeli 99 telur. Mereka tak punya uang sebanyak itu untuk membelinya.
“Ra, coba lihat gerbang itu,” seketika Alsa memanggil Indira dan Ovi. “Mungkin itu jawabannya,” tambahnya.
“Mau apa sih? Berdoa di sana? Syirik kamu, Al,” Ovi merespon dengan tak acuh.
“Bukan! Lihat dulu deh. Di gerbang itu ada hiasan seperti telur emas.”
“Masa sih?” Indira mulai penasaran. Lalu mereka mencoba untuk keluar toko menuju ke arah gerbang.
“Itu gerbang keberuntungan,” ucap ibu pemilik toko dari belakang mereka begitu ia melihat tiga remaja itu memperhatikan gerbang merah yang megah. “Ada sembilan baris batu ke kanan dan ada sembilan baris batu ke bawah. Menurut kepercayaan kami itu menandakan kekuatan dan keberuntungan.”
“Apa semua gerbang seperti itu?” tanya Alsa pada ibu paruh baya itu.
“Iya, betul. Angka sembilan adalah angka terbesar. Angka keberuntungan.”
Setelah mendengarkan penjelasan ibu pemilik toko, Alsa dan teman-teman mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik toko dan memohon pamit untuk mendekati gerbang, lalu kembali ke rumahnya. Sebuah gerbang megah berwarna merah dengan hiasan batu-batu emas dan pegangan pintu menyerupai kepala singa yang juga berwarna emas, begitu mengagumkan. Alsa dan Indira mendekat dan menyentuh batu-batu emas itu. Ovi serius menghitungnya dari kiri atas ke kanan, lalu dari kanan atas ke bawah.
“Kalau ditotal berarti 81 bukan 99,” ucap Ovi. “Kalimat di kotak itu kan 99 telur keberuntungan.”
“Tunggu, Vi. Seingat aku bukan sembilan puluh sembilan, tapi sembilan-sembilan.”
“Mungkin yang dimaksud itu, sembilan dari kanan atau kiri, dan sembilan dari atas ke bawah ataupun bawah ke atas,” Indira mencoba menjelaskan maksud petunjuk kotak ajaib. Ovi berpikir sambil melihat ke arah Gerbang Meridian. Lalu Ovi bergerak agak ke tenag, dari kejauhan melihat istana kaisar yang tepat berada lurus dari posisi gerbang.
“Ada sembilan jendela juga,” kata Ovi yang membuat Alsa tertegun ikut melihat jendela yang dimaksud Ovi. “Di sana… Kalau kita lihat, pilar-pilar itu membuat istana terlihat terbagi menjadi sembilan jendela.”
“Iya betul,” Indira merespon. Tak lama ponsel Indira bergetar. Ia langsung mengeluarkannya dari kantong celana. “Eh muncul ini… segera kembali sebelum pukul 11…”
“Jadi gimana ini? Kalian yakin kalau jawabannya gerbang ini?” Ovi bertanya tak yakin.
“Kalau menurut aku memang ini jawabannya. Batu-batu ini memang terlihat seperti telur,” Indira menyatakan keyakinannya. “Aku foto ini dulu ya… Trus, kita langsung balik lagi ke sana,” segera Indira mengambil gambar dan mengajak teman-temannya untuk menuju ke arah tempat mereka datang.
Alsa melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 10.10 dan panas begitu terasa di area Istana Terlarang yang begitu luas. Ia dan teman-temannya berjalan hampir setengah berlari, mengejar sisa waktu agar segera sampai di bangku taman. Jaraknya yang begitu jauh membuat Indira hampir saja menyerah untuk duduk sejenak. Akhirnya mereka bersandar dan melipir di sebuah tembok tinggi berpayung sebuah pohon rindang.
“Eh, itu… Kiki ya?!” tiba-tiba Ovi mengejutkan teman-temannya.
“Ah yang benar? Mana? Mana?” Alsa bertanya-tanya.
“Kiki…!!” Ovi berteriak dan mengejar sahabatnya yang sudah beberapa hari hilang.
“Ovi, jangan ke sana. Nanti kita bakalan lama untuk ke tempat awal. Waktunya ga cukup ini masih jauh,” Alsa menghentikan upaya Ovi mendekati sosok yang merupai Kiki.
“Al, siapa tahu itu Kiki. Kita coba deketin dia. Kalau benar kan kita bisa balik sama dia sekarang,” Ovi beralasan. “Aku bisa lari kok. Tenang aja…”
“Tetap saja waktu kita ga akan cukup, Vi,” Alsa tetap menahannya.
“Kamu gimana sih, Al? Harusnya kamu juga berusaha mencari Kiki bukan malah mencegah aku untuk mengejar dia,” Ovi mulai bernada tinggi.
“Tapi itu kan belum tentu dia, Vi.”
“Udah lah, Ovi. Kita harus segera ke pohon itu,” Indira ikut mencegahnya.
“Kalian benar-benar ga punya niat untuk menemukan Kiki. Aku kecewa!” Ovi kesal.
“Ovi, aku ga mungkin lupa tanggung jawab aku untuk mencari Kiki sampai ketemu. Tapi sekarang waktunya sudah mepet. Ini bukan negara kita. Kalau terjadi apa-apa kita juga ga punya identitas yang jelas. Kita sampai di sini karena keajaiban portal waktu,” Alsa mengingatkan. “Kamu pegang janji aku, Ovi. Aku tetap akan bertanggung jawab menemukan Kiki. Aku janji!”
“Tapi aku yakin itu Kiki. Aku ga mungkin salah,” Ovi masih bersikukuh untuk tetap mencari Kiki.
“Ovi, please. Waktunya ga lama lagi…” Indira mencoba untuk membujuk Ovi.
Akhirnya Ovi menurunkan egonya. Lalu dengan sepenuh kekuatan Indira mencoba untuk berlari bersama kedua temannya. Menuju ke bangku taman marmer di bawah pohon. Terengah-engah mereka berlari dan dilihat oleh beberapa orang yang dilewatinya. Panas, lelah, dan khawatir bercampur dengan semangat untuk kembali. Sesampainya di bangku itu, mereka melihat ada sepasang orang tua duduk santai. Mereka bingung bagaimana cara untuk meminta izin. Yang lebih mengejutkan adalah kedua orang sepuh itu mirip dengan kakek-neneknya Alsa, namun mereka terdengar berbicara dengan bahasa Mandarin.
“Gimana caranya minta izin ke mereka?” Indira mulai khawatir sambil melihat ke jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.
“Coba cari di terjemah,” ujar Indira.
Saat Alsa mendekati kedua orangtua itu, ia teringat dengan neneknya yang sedang sakit. Lalu nenek itu tersenyum pada Alsa dan menghampirinya. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin sambil menarik tangan Alsa. Raut bingung tak bisa merespon, namun ia juga tak bisa menolak ajakan nenek itu untuk duduk di sebelahnya. Alsa hanya ikut duduk sambil tersenyum. Melihat kedua temannya yang juga kebingungan, Alsa menggunakan bahasa isyarat yang menandakan bahwa Indira dan Ovi adalah temannya, sambil mengatakan ‘teman saya’ dalam bahasa Inggris berkali-kali berharap nenek itu memahaminya.
“Qing zuo,” ucap nenek begitu ramah. “Ni feichang mei,” nenek itu membelai bahu Alsa sambil memandangnya dengan bangga. “Zuo xia,” ia mempersilakan Alsa dan yang lain untuk duduk dengan memberikan tempatnya. Tak lama nenek dan kakek itu pamit untuk pergi. Alsa merasa seperti ditinggal oleh neneknya.
“Xiexie,” ucap Alsa singkat dan dibalas senyum yang begitu hangat oleh nenek.
Alsa, Indira dan Ovi bersiap untuk kembali dengan portal waktu, meski Alsa merasa enggan untuk berpisah dengan nenek yang baru saja ia temui. Sayangnya ia tak bisa berbicara bahasa Mandarin dan pertemuan itu sangatlah singkat. Saat Alsa berusaha ingin melupakan kejadian itu, Ovi berkata lirih dengan menyebut nama ‘Kiki’. Alsa menoleh ke kiri dan sekelebat ia memang seperti melihat sosok Kiki yang berjalan ke arah mereka dari kejauhan. Alsa menelan ludah, suaranya tercekat, portal waktu menarik tubuhnya menghilang bersama cahaya sebelum ia meyakinkan bahwa itu Kiki atau bukan.
“Kalian kok tadi lama banget sih? Nyasar ya?” tanya Yanu begitu melihat ketiga temannya tersadar.
“Ga kok. Emang lokasinya jauh,” jawab Indira.
“Emang tadi kemana? Ada apa aja disana? Ketemu siapa? Cerita dong…” Yanu memberondong dengan pertanyaan penuh penasaran.
“Ah kepo banget sih?! Makanya ikutan, jadi ga penasaran,” Ovi menjawab dengan ciri khasnya. Yanu terdiam.
“Tadi itu ke negara apa, Ra?” Arum yang juga penasaran mencoba bertanya pada Indira.
“Ke Cina. Tepatnya kita tadi ke Forbidden Temple atau Istana Terlarang yang ada di Beijing,” jawab Indira dengan jelas.
“Wah, itu kan tempat yang sering ada di film-film ya? Dekat sama tembok besar Cina juga ga? Trus ada panda juga ga?” Yanu kembali memberondong pertanyaan.
“Ssttt, berisik banget! Kita tuh mau istirahat dulu sebentar, jangan heboh kenapa sih?!”
“Maaf…”
Karena ucapan Ovi dengan nada membentak itu Yanu terdiam dan duduk menjauh. Arum yang masih penasaran mencoba mendekati Alsa yang berjalan ke arah dapur, mungkin ingin mengambil minuman segar atau makanan ringan. Rasa lelah masih menggelayut, terlebih ia juga masih terbayang dengan sosok yang mirip dengan Kiki sebelum ia menghilang bersama portal waktu. Ada juga rasa kehilangan saat ia harus berpisah dengan nenek ramah yang ditemuinya di bawah pohon teduh. Pertemuan yang singkat namun begitu sentimental.
“Al, tadi disana baik-baik aja kan? Soalnya tadi itu muncul tulisan di kaca tanam,” Arum memberikan informasi kepada Alsa sambil berbisik agar yang lainnya tak mendengar.
“Ada tulisan apa, Rum?” Alsa tergelitik untuk mengetahuinya.
“Tulisannya itu… ‘yang terlihat mungkin akan hilang, yang hilang akan kembali’ seingat aku begitu,” Arum mencoba mengingat-ingat. “Sebenarnya ada apa disana?”
“Hm…begitu ya,” Alsa pun mengingat kejadian yang ia alami saat di Cina. “Tadi itu sebelum kita balik ke tempat asal, Ovi melihat seseorang yang mirip sama Kiki. Dia udah mau mendekat ke orang itu, tapi aku tahan dia. Kalau jaraknya terlalu jauh dan kalau itu bukan Kiki kan jadi buang-buang waktu karena lokasi Istana Terlarang itu luaaaaasss banget.”
Arum mendengarkan cerita Alsa sambil terus mengawasi kondisi di ruangan lain memastikan Indira, Ovi dan Yanu tak mendengar percakapan mereka. Alsa pun bercerita dengan sedikit berbisik karena ia tak ingin Ovi kembali kesal karena ia mencegahnya untuk mendekati Kiki.
“Abis itu, pas kita sudah di tempat asal ternyata ada kakek-nenek yang duduk di bangku taman. Nenek itu mukanya mirip sama mbah putri aku. Aku sampai kaget dan sempat mengira itu mbah. Udah gitu, dia ramah banget. Dia elus-elus pundak aku, mempersilakan kita duduk dan abis itu dia pergi. Aku…merasa kehilangan pas nenek itu pergi,” Alsa melanjutkan ceritanya. Lalu ia menyimpulkan mungkin cerita itu berhubungan dengan kalimat yang muncul di kaca tanam, dan ia pun berpikir mungkin yang ia lihat sekilas itu adalah Kiki.
“Hey, kalian lagi apa disini?” tiba-tiba suara Ovi terdengar dari balik lemari pendingin yang bersebelahan dengan dispenser air mineral.
“Eh, ga ada apa-apa kok. Kita mau mulai lagi sekarang?” Alsa langsung mengalihkan.
“Ayo, mumpung belum tengah hari.”
Alsa, Arum dan Ovi kembali ke ruang tengah. Alsa memberi kode pada Arum untuk tetap diam agar tak memberitahukan apa yang baru saja ia ceritakan. Sebuah foto gerbang megah dengan 9-9 telur emas dan kepala singa terkumpul menjadi satu dengan foto yang lain dari jawaban teka-teki yang telah berhasil dipecahkan. Namun, cerita tentang nenek dan Kiki ditutup rapat demi keberlanjutan petualangan mereka. Alsa dan yang lainnya kembali berkumpul.
***