Rara pergi berbelanja sendirian. Dia pergi ke supermarket di dekat kedainya. Dia membutuhkan bahan yang lupa disiapkan untuk menu lauk hari ini. Sedangkan Dika memasak tambahan lauk hari ini.
Ketika dirasa bahan yang dibutuhkan sudah cukup, Rara pun pergi ke meja kasir. Tapi, saat akan membayar belanjaannya, dia kebingungan mencari dompetnya. Hal ini membuat antrian panjang karena kebingungannya.
"Duh mana ya?"
"Masukin ke belanjaan saya saja, Mbak" tiba-tiba seorang pria muncul dari belakang Rara.
"Eh, jangan." Rara merasa tak enak hati.
Pria itu tersenyum, "nggak apa-apa kok. Kasihan kalau antri panjang."
Akhirnya Rara menyerah. Dia pun keluar dari supermarket itu dengan perasaan tak enak hati. Belanjaan Rara termasuk lumayan banyak dan tidak sedikit. Dia menunggu pria tadi di depan pintu supermarket. Dia pun melihat pria itu keluar dan berjalan menuju parkiran.
"Permisi!" Panggil Rara setengah berteriak.
Pria itu menoleh dan melihat Rara penuh kebingungan, "iya?"
"Begini, saya benar-benar nggak enak kalo Mas bayarin semua belanjaan saya, bagaimana kalo semisal Mas ngasih saya nomor rekening, biar nanti saya transfer sebagai gantinya."
"Nggak perlu, Mbak. Maaf, saya sedang buru-buru." Pria itu pun pergi meninggalkan Rara yang masih menatap kecewa. Rara pun memutuskan untuk kembali ke kedainya.
Jarak kedai dan supermarket cukup dekat. Dapat ditempuh sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Rara juga senang mengetahui kedainya merupakan tempat yang strategis. Dekat supermarket, dekat sekolah, dekat pula dengan lokasi perkantoran. Kalau untuk jarak rumahnya ke kedai bisa dibilang cukup jauh.
Ketika Rara memasuki kedainya, tampak Dika yang sedang kebingungan di meja kasir. Ada seorang pria yang membeli bekal namun tidak ada kembalian. Rara menyadari bahwa pria ini adalah orang yang sama dengan yang membantunya di supermarket tadi.
Dia pun tersenyum dan berkata, "anda tidak perlu membayar. Anggap saja sebagai rasa terimakasih saya atas bantuan Mas tadi."
Pria itu pun tersenyum dan mengangguk setuju. Dia membawa bekalnya dan pamit meninggalkan kedai Rara.
***
"Ella.." kata Daniel yang melihat Ella sudah siuman di ranjang.
"Niel.."
Daniel berjalan ke arah Ella tersenyum, "Syukurlah kamu sudah siuman. Bagaimana ceritanya seorang Ella bisa kecelakaan, hum?"
Ella dan Tommy, keduanya sontak terkejut mendengar pertanyaan Daniel. Mereka takut Daniel tahu percakapan mereka.
"Kamu tahu kan, Niel. Ella terkadang bisa juga cukup ceroboh" seru Tommy seraya tersenyum canggung.
"Iya, hanya tidak biasa saja"
"Namanya juga kecelakaan Niel, nggak ada yang tahu kapan terjadinya." Ella akhirnya angkat suara, "maaf yaa, pasti aku menyita banyak waktu berhargamu"
"Tak apa, kita kan memang sahabat." Ujar Daniel sambil tersenyum.
'Sahabat? Oh, jadi statusku turun menjadi sahabat' batin Ella kesal sendiri. Namun dia tetap menampakkan senyumannya.
"Eh, kamu nggak apa-apa ke sini, Niel?" Tanya Ella, "istri kamu, eh.. tau kan?"
"Iya, dia tau kok. Mungkin lain kali saya akan mengajaknya ke sini" ujar Daniel, "dia ingin menjengukmu, Ella"
"Benarkah? Tentu saja! Ajak saja dia" seri Tommy bersemangat, "aku juga belum terlalu banyak ngobrol dengannya"
Daniel menanggapinya dengan tersenyum. Mungkin Ella membutuhkan usaha yang lebih besar melihat sikap Daniel yang seperti menjaga jarak dengannya.
***
Hari ini Dika balik lebih cepat. Pas ditanya katanya ada perlu sama Mbak Sarah. Rara bingung, mereka bukan anak kecil kenapa pada sembunyi-sembunyi. Rara juga agak sebal dengan sahabatnya itu, kenapa dia tidak pernah cerita tentang hubungannya dengan Dika. Pas ketemu juga Sarah cuma senyum sebentar kemudian pergi. Pas ke kedainya juga bukan dia yang dicari, tapi Dika.
Beberapa hari ini sama. Dika juga pulang cepat dan bilang kalau akan ketemu dengan Sarah. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh keduanya darinya?
"Mbak Rara sendirian?" Tanya Bu Titik.
"Iya Bu, ditinggal sama Dika, nih!" Jawabnya seraya memasang wajah memelas.
Bu Titik hanya tersenyum. Ponselnya tiba-tiba berbunyi ada notifikasi, dari Daniel. Katanya Daniel mau mampir ke sana. Rara senang sekali, ini termasuk kunjungan pertama suaminya di tempat kerjanya.
Pintu tiba-tiba dibuka. Seorang pria dengan setelan kemeja warna biru muda dengan jas hitam dan celana kain dengan warna senada muncul. Tatanan rambutnya yang rapi membuatnya semakin tampan.
"Niel!" Seru Rara yang langsung berjalan ke arahnya. Pria itu tersenyum.
"Aku kira nanti datangnya" ujar Rara. Tingkahnya sudah seperti siswi SMA yang didatangi pacarnya di kelasnya.
Para ibu di sana juga terpesona dengan ketampanan Daniel. Mereka jadi tidak heran kalau Rara memilihnya. Daniel pun memberi salam kepada para ibu di sana. Dia sangat ramah dan sopan kepada mereka. Rara yang melihatnya sempat berpikir bahwa dia tidak salah memilih suami.
"Ra, saya pesan tiga bekal yaa. Samain aja isinya" ujar Daniel.
"Oke, buat siapa?" Tanya Rara, dia kemudian ingat, "Di rumah sakit ya?"
Daniel tersenyum mengangguk pelan.
"Bukannya pasien dapat makanan dari sana yaa?" Tanya Rara sambil menyiapkan bekal Daniel.
"Iya, tapi Ella katanya bosan" jawab Daniel yang membuat Rara sempat menghentikan pekerjaannya. Lalu dia tersenyum, "kenapa,hmm?"
Rara agak terkejut mendapati Daniel memegang pipinya. Pasti kini mukanya sudah merah seperti kepiting rebus. Dia mendongak melihat wajah Daniel yang memiringkan kepalanya.
"Ah, nggak apa-apa kok," Rara tersenyum dan kembali melakukan pekerjaannya.
Suasana di kedai sore itu agak sepi, hanya ada mereka berdua. Ibu-ibu juga sudah pergi meninggalkan kedai itu. Begitu selesai membungkus bekalnya, Rara menyerahkannya kepada Daniel.
"Ini Niel," baru aja Daniel hendak mengeluarkan dompetnya, Rara berkata dengan lembut, "gratis, buat suami dan sahabatnya."
Daniel tersenyum, "makasih yaa Ra,"
"Salam buat Ella dan Tommy yaa" ujar Rara. Dia pun mengantarkan Daniel keluar kedai.
Sebelum Daniel masuk mobil. Daniel memeluk Rara dan mengecup puncak kepalanya. Rara hampir tak percayai dengan perlakuan Daniel. Sedang suaminya tersenyum melihat reaksinya. Rara buru-buru menutupi pipinya yang sepertinya sudah merah merona. Malu.
"Nggak usah nungguin saya nanti. Mungkin saya agak lama" ujar Daniel.
"Tapi kabarin yaa Niel," Daniel mengangguk, "hati-hati yaa"
Rara melambaikan tangan ke arah Daniel, mobilnya pun mulai melaju menjauh dari pandangannya. Dia tersenyum melihat kepergian suaminya. Setidaknya kecupan dan pelukan dari suaminya tadi dapat menjadi obat penangkal kecurigaannya.
***
Hari sudah mulai gelap. Rara bersiap menutup kedainya. Dia mulai membereskan beberapa wadah yang lauknya sudah mulai habis. Tiba-tiba pintu dibuka, seorang pria muncul. Pria tadi.
"Ah! Iya? Ada yang bisa saya bantu?" Rara meletakkan wadahnya dan menghampiri pria itu.
"Saya mau pesan satu kotak bekal, apakah masih ada?" Tanya pria itu.
"Ada sih, tapi pilihan lauknya tidak banyak, nggak apa-apa?" Tanya Rara kembali.
"Oke" pria itu tersenyum.
Rara pun membuatkan pesanan pria itu.
"Masnya orang sini?" Tanya Rara membuka pembicaraan.
"Oh, bukan, saya baru aja pindah di deket sini. Kebetulan dipindah ke kantor cabar sini" jawab pria itu ramah.
"Oh, pantes saya belum pernah liat masnya"
"Eril," Rara melihat pria itu dengan mengerutkan dahinya, "nama saya Eril, Mbak,"
"Ooh! Mas Eril ya?" Pria itu mengangguk, "saya Rara."
Rara menyerahkan bekal pesanan Eril. Kali ini Eril membayar pesanannya. Kemudian dia pun pergi.
"Mari Mbak Rara," pamitnya.
Rara mengangguk sambil tersenyum, "iya mas,"
Rara pun melanjutkan bersih-bersih kembali. Mulai dari membawa semua wadah ke dapur dan mencucinya. Setelah dikira semua sudah bersih, tiba-tiba dia melihat sesuatu di lantai. Didekatinya benda itu. Seperti sebuah kunci. Rara bingung siapa yang kira-kira menjatuhkan kuncinya?
Baiklah, setelah dipikir-pikir Rara takut kalau kunci itu penting. Dia pun memutuskan untuk menunggu pemilik kunci itu datan. Benar saja, Eril tampak menghampiri Rara yang sudah di depan kedainya yang sudah ditutup.
"Mbak, hosh, liat hosh kunci hosh saya?" Tanya Eril dengan napasnya yang ngos-ngosan.
Rara memperlihatkan kunci yang tadi ditemukannya, "ini?"
Eril mengangguk sambil tetap ngos-ngosan. Mereka pun berjalan kaki menuju minimarket di dekat sana. Eril butuh minum.
"Nih," Rara menyerahkan sebotol minuman kepada Eril, "kenapa sampai lari-lari gitu Mas?"
Eril meminum hampir separuh botol, "terimakasih Mbak Rara. Saya kan takut kalo kedainya udah tutup. Tidur di mana saya nanti?"
Rara tersenyum, "ya sudah, saya balik duluan yaa Mas,"
"Mau saya antar saja mbak? Saya ambil motor dulu di kos" ujar Eril, "deket kok"
"Nggak perlu mas," dia ingat, mungkin Daniel bisa menjemputnya, "saya minta jemput suami saya"
"Oh" respon Eril yang tampak agak kecewa.
Rara pun mulai menghubungi Daniel.
"Hallo Niel, bisa minta tolong? Aku ada di.." Rara berbalik membelakangi Eril, "oh iya, nggak apa-apa kok, ya sudah, aku pesen ojol aja. Kamu hati-hati yaa."
Tiba-tiba kepala Rara berdenyut, dia kembali memasuki minimarket. Sepertinya dia butuh obat sakit kepala. Eril melihat wajah Rara yang tadinya ceria menjadi lusuh. Tingkahnya juga linglung. Dia menghampiri Rara.
"Mbak Rara, saya antar saja ya."
***