"I'm Sorry Mer." Melvin menghampiri Meira di meja kerjanya seusai rapat dengan wajah menyesal.
"It's okay Vin. I got this."
"Really? For sure?" Melvin menatap Meira dengan seksama.
Meira tidak menjawab dan hanya mengangguk.
"How if you try to talk to them-"
"Vin, I just do my job not join a war. Chill bro." Meira berusaha meyakinkan rekan kerjanya yang terlihat gelisah.
"This kinda like a war Mer." Melvin menatap Meira serius. Kemudian sedikit menurunkan wajahnya ke telinga Meira. Membisikan sesuatu.
"I hear this from others that Tommy have a backup here. Padam? Pamam?" Melvin kesulitan berbicara membuat Meira sedikit mengerutkan keningnya.
"Do you mean Paman? Uncle?"
"Yeah. Paman!" Melvin mengangguk yakin.
Meski rumor itu belum tentu valid, namun melihat segala tingkah laku bebas Tommy selama ini, belum lagi hal yang terjadi dalam rapat barusan seolah mengisyaratkan bahwa apa yang dikatakan dan di dengar oleh Melvin memang benar.
Meira tidak mau memikirkan lebih banyak lagi tentang hal-hal itu. Ia tetap berangkat sesuai dengan jadwal yang dipilihkan untuknya.
Awalnya Tommy menawarkan diri untuk memberikan tebengan mobil kepada Meira namun dengan tegas Meira menolak hal itu. Ia lebih memilih menghabiskan uangnya dari pada satu mobil dengan pria itu.
Pengambilan foto di perusahaan pertama memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan.
Estimasi awal hanya diperkirakan sekitar satu jam tetapi kenyataannya molor sampai dua jam. Itu pun setelahnya Meira dan Tommy masih harus berdiskusi dengan perusahaan terkait mengenai pemilihan gambar dan desain terbaik yang mereka inginkan.
Pukul 19.20 barulah Meira tiba di hotel yang sudah dipesankan oleh kantornya. Itu artinya ia dan Tommy ditempatkan di hotel yang sama sesuai dengan keinginan kantornya.
Sebenarnya tidak masalah. Penjagaan hotel pasti ketat, cctv di mana-mana. Kamar hotel yang sekarang juga menganut sistem card yang tidak mudah untuk dibobol membuat semuanya tampak aman.
Namun cerobohnya, entah karena lelah atau kurang fokus Meira tidak sengaja menjatuhkan kunci hotelnya ketika hendak mengambil tas ranselnya yang tadi ia turunkan untuk mencari KTP.
Kesempatan itu jelas dimanfaatkan oleh Tommy yang sedari tadi tengah berdiri di samping Meira meski ia sudah mendapatkan kuncinya.
Dengan kekuatan secepat kilat, pria yang sudah memiliki dua orang putra itu mengambil card, kunci kamar Meira dan juga menarik tas ransel milik Meira dengan dalih untuk membantunya.
"Biar saya bantu bawa." Sambil berlalu, Tommy bergegas menuju lift dan membiarkan Meira mengikutinya dari belakang.
Di dalam lift untungnya mereka tidak berdua saja, ada beberapa orang lainnya yang turun di lantai yang lebih tinggi dari Meira.
"Biar saya yang bawa." Meira berusaha untuk menarik tasnya kembali dari tangan Tommy.
"Sudah, tenang saja. Kamu sudah capek seharian berkelilingkan? Tak apa, itu gunanya teman laki-laki."
Sejak kapan kau jadi temanku, sialan! Batin Meira memekik. Ia tau kalau kebaikan Tommy pasti ada sebabnya.
Lift berdenting dan pintu pun terbuka di lantai 6. Tommy langsung bergegas keluar diikuti dengan Meira di belakangnya.
"613.. 613.. Nah ini!" Tommy berhasil menemukan kamar Meira dan membuka pintunya. Kemudian ia masuk seolah-olah penyewa kamar itu.
"Wah, lihat. Kamar mandinya berpintu kaca buram. Keren sekali." Tommy tertawa senang sambil berkeliling di kamar Meira.
"Terimakasih atas bantuannya. Boleh saya istirahat sekarang?" Meira berbicara dari teras kamar. Ia belum melangkahkan kakinya satu jengkal pun untuk masuk ke kamarnya.
"Silahkan. Aku hanya ingin melihat-lihat." Tommy tidak pergi malah duduk di tepi kasur sambil menatap Meira dari jauh.
Hening sejenak.
Meira mulai geram. Datang juga hari di mana hal seperti ini terjadi lagi padanya.
"Saya tidak bisa istirahat kalau Bapak-"
"Kamu tau, aku bisa membantumu istirahat dengan lebih baik." Tommy memutus kalimat Meira.
Tommy tersenyum, sedangkan Meira menatapnya sinis.
"Masuklah dan lihat kamar mandinya. Aku jarang melihat hotel dengan kamar mandi model begini." Tommy berdiri dan mengetuk pintu buram kamar mandi itu. Kemudian menatap ke arah Meira.
"Membuatku semakin bergairah saja." Tommy menyeringai sambil menatap Meira.
Tatapan yang tidak asing bagi Meira. Tatapan penuh nafsu.
"Keluar segera sebelum saya panggil resepsionis." Meira berusaha tenang. Sekarang ia berdiri tepat di samping pintu.
"Ssh, tak perlu ribut-ribut begitu. Aku hanya ingin membantu kok."
Tommy yang sudah tidak sabar kemudian melangkah mendekati Meira yang masih berdiri tegak di depan pintu. Pria itu hendak menarik lengan Meira dan memaksanya untuk masuk.
Meira diam memperhatikan langkah Tommy. Tinjunya sudah mengepal sedari tadi. Sekarang dengan perlahan tapi pasti, ia menyiapkan kuda-kudanya.
Tepat sebelum Tommy meraih tangan Meira dan sepersekian detik sebelum Meira melayangkan tinju ke arah rekan kerjanya yang bajingan itu, seseorang mengintrupsi keadaan yang mulai kacau dengan cepat.
"Honey? I'm looking for you. Why you didn't accept my call?"
Seseorang baru saja menarik pundak Meira dari belakang secara tiba-tiba.
Sontak Meira menoleh dan menemukan seorang pria yang tidak asing berdiri di belakangnya.
"Where is your phone? I call you hundred times." Fujiyama sambil menggoyang-goyangkan ponselnya di udara, menunjukkan usahanya pada Meira.
Benar saja, Meira mendengar nada dering ponselnya berbunyi dari balik jaket hitamnya.
Begitu Meira merogoh dan mendapati nama Fujiyama tertera di layar ponselnya, ia hanya terdiam dan kembali melirik ke arah pria tinggi itu.
Tidak hanya Meira yang terpaku. Tommy pun juga terdiam seribu bahasa ketika melihat seorang pria yang lebih tinggi darinya. Lebih heran lagi karena pria itu berbahasa asing.
"Oh, so he is your collague that helping you today? You told me on chat earlier, is it?" Fujiyama melangkah masuk dan mendekati Tommy yang masih mematung di posisinya.
"Perkenalkan, saya Fujiyama. Pacar Meira." Fujiyama tanpa di minta langsung berusaha menjabat tangan Tommy dan membuat skenarionya sendiri.
Meira yang berdiri di belakangnya terkejut namun segera sadar kalau ini semua adalah sandiwara Fujiyama seorang untuk membantu Meira.
Tommy langsung terintimidasi dengan tatapan tajam pria berkebangsaan Jepang itu. Tanpa sadar, menjabat tangan Fujiyama dengan sedikit takut.
"Ohh.. saya meminta maaf, berkenankah kiranya anda untuk pergi meninggalkan kami berdua? Sebab ada hal yang hendak saya bicarakan dengan kekasih saya." Fujiyama terlihat berusaha untuk memakai semua kosa kata Bahasa Indonesianya kali itu.
Meski sedikit berbelit-belit namun kalimat yang diucapkan Fujiyama dapat dipahami dengan jelas. Terlebih tatapan matanya yang mengintimidasi itu membuat Tommy keluar tanpa mampu mengatakan sepatah kata apapun.
Tommy pergi begitu saja setelah melewati Meira di depan pintu. Kepergian pria itu membuat Meira dan Fujiyama berada dalam situasi yang canggung.
Hening sesaat.
Fujiyama mengamati ekspresi Meira yang kosong.
"Miss Meira?" Fujiyama melangkah menuju pintu di mana Meira berdiri.
"Ah. Honto ni, domo-domo arigato Fujiyama-san." Meira berterimakasih sambil membungkuk lebih rendah dari yang pernah ia lakukan sebelumnya dipertemuan pertama mereka.
"It's ok, you don't have too." Fujiyama melambaikan tangan dengan rendah bermaksud mencegah Meira untuk berterimakasih berlebihan padanya.
"Are you ok?" Fujiyama menilik ekspresi Meira yang masih terkejut.
"I'm ok. It's just unpredectable to see you here."
"I have some job to do in this city." Fujiyama hendak mengatakan hal lain namun memilih untuk tidak banyak bicara di depan wanita yang masih syok itu.
Hening.
Baik Meira dan Fujiyama tidak ada yang melanjutan percakapan. Meira di seberang sana hanya menatap kosong pintu kamar mandi.
"Then, I will leaving. Night, Miss Meira." Fujiyama bergegas keluar dan melangkah menuju kamarnya di ujung lorong yang bernomor 618. Berseberangan dengan kamar Meira.
***
Beberapa menit yang lalu sebelum kegaduhan yang Tommy timbulkan. Hari itu Fujiyama melakukan perjalanan bisnis seperti biasanya. Ia bertemu dengan para kliennya, berdiskusi tentang prospek saham dan lain sebagainya.
Esok harinya, ia akan di undang untuk datang di acara gathering di sebuah perusahaan di Kota tersebut yang memakai jasanya sebagai penasehat, oleh karena itu dari pada harus kembali pulang ke rumahnya dan memakan waktu kurang lebih satu jam, ia memilih untuk menginap di hotel saja.
Saat itulah, ketika ia baru saja keluar dari lift. Ia melihat seorang wanita yang sedang mati-matian menyuruh seseorang untuk keluar dari kamarnya.
Meski tidak melihat langsung wajah pemilik suara itu, Fujiyama yakin kalau itu adalah Meira. Seorang gadis dua puluh enam tahun yang datang terlambat pada pertemuan bisnis mereka beberapa waktu lalu.
Insting Fujiyama mengatakan jika Meira sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan bantuan.
Di sanalah ia mulai ikut campur. Sambil mengamati sekitarnya, ia mengaku sebagai pacar Meira yang sedang mencarinya karena Meira sulit dihubungi.
Fujiyama memasuki kamar 618 beberapa menit setelah usai membantu Meira. Sambil menghela nafas ia langsung melepas blazer berwarna krem kesayangannya. Mengendorkan dasi merah maroon bermotif polos dan duduk di tepi kasur.
Matanya nanar menatap ke arah jendela yang ditutupi gorden berwarna abu-abu sambil mengusap rambutnya ke belakang. Setelah membersihkan dirinya, pria itu memutuskan untuk mematikan lampu kamar dan tidur.
Di sisi lain, Meira sudah terduduk diam di dalam kamarnya. Berulang kali ia memastikan pintu kamarnya sudah terkunci dengan baik dan benar. Ia berusaha meyakinkan dirinya kalau pintu itu aman dari luar mau pun dalam.
Meira hanya terdiam dan duduk lemas di sisi bawah dipan kasurnya. Matanya masih nanar menatap lantai putih. Kakinya diluruskan. Beberapa saat kemudian, ujung matanya menangkap kamar mandi yang sedari tadi di puji-puji menarik oleh Tommy.
Seketika amarah Meira memuncak. Dengan brutal ia melemparkan bolpoin, buku dan botol air mineral yang disediakan hotel ke arah pintu kamar mandi yang terletak di sebelah kirinya.
"BANGSAT! PRIA MESUM SIALAN!" Meira berteriak sambil memaki-maki.
Nafasnya tidak beraturan. Seluruh tubuhnya bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap. Genangan air mata memenuhi kelopak matanya. Saat ini, ia benar-benar ingin menghajar seseorang.
Dengan segenap kebenciannya, ia menarik guling dari kasur dan menghajar guling yang tidak bersalah itu. Meira melampiaskan seluruh kekesalannya lewat aktifitas yang ekstrem.
Lima menit berlalu. Puas dengan memukuli guling yang tidak bernyawa itu, Meira mengatur nafasnya. Kini yang ia rasakan justru kesedihan.
"Tidak.. tidak. Aku tidak boleh menangis. Tidak untuk pria bajingan itu." Meira mencengkram kuat lengan kanannya.
Di balik baju yang menutupi lengannya itu, terdapat sebuah luka sayat yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Luka fisik yang pernah nyaris merenggut nyawanya namun berhasil merampas separuh jiwanya.
Malam itu Meira memutuskan untuk mandi dengan tetap mengenakan pakaian dalamnya. Ia khawatir kalau Tommy telah menempatkan sebuah chip atau alat perekam video di dalam ruangan ini. Baru kemudian ia memejamkan matanya sambil menggenggam knuckle yang ada di dalam tas ranselnya.
¤¤¤