BAB 1
HILANGNYA TOBIAZ
Zach
Splash!
Aku membuka mata dan mendapati air sudah membasahi sepatu putihku. Aku mendengus kesal saat menyadari tanganku juga basah. Sial, aku benci sekali kalau tanganku kotor! Sudah berapa lama aku melamun? Kuambil sapu tangan dari saku celana untuk membersihkan tanganku. Dan sepatuku? Padahal aku baru saja mencucinya kemarin dan sekarang sudah kotor lagi. Tiba-tiba mobil merah melesat cepat melewatiku. Namun kali ini aku berhasil menghindar dari cipratan air kedua yang diakibatkan mobil itu.
“Kejar kami kalau bisa dasar pecundang!”
Teriak si pengemudi. Tidak sendirian, ada dua orang lainya yang ikut tertawa dari mobil itu. Namun, aku tidak menanggapi mereka dan terus berjalan di trotoar. Malas sekali kalau harus berurusan dengan orang-orang itu. Bisa-bisa nya mereka berputar hanya untuk membuatku basah. Tapi sayang sekali, aku sama sekali tidak peduli dengan mereka, selama pakaianku tidak basah, itu tidak masalah. Mobil merah itu pun menghilang dari pandanganku.
Aku mengeluarkan headset, memasangnya di telinga dan mulai memutar lagu kesukaanku. Setidaknya hanya musik yang bisa membuat hari yang mendung ini tidak akan menjadi lebih buruk. Tanpa kusadari aku sampai di halte bus. Sepertinya aku datang terlalu awal karena bus belum datang. Aku duduk di salah satu bangku, dan mulai membaca bukuku. Ya beginilah…, setiap hari aku hanya akan menunggu bus sekolah sambil membaca buku dengan musik di telingaku. Kadang aku berpikir kalau hidupku sangat membosankan. Jadi jangan berharap terlalu banyak.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Zach, sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMA West Montero. Kota kecil yang cukup modern dengan populasi hanya sekitar 100.000 orang dan terletak di Vermont. Kota ini masih dikelilingi oleh hutan dan cuaca yang selalu terasa mendung atau berawan. Aku tinggal di West Montero sejak aku lahir, jadi aku tidak terlalu bisa membandingkannya dengan kota-kota lain. Aku bukan orang yang berada ataupun kekurangan, bisa dibilang aku cukup berkecukupan.
Aku tinggal bersama ayahku, kami sangat dekat. Ayah sering mengajakku mendaki dan menjelajahi hutan di akhir pekan. Rumah kami memang terletak di ujung kota dan dekat sekali dengan hutan. Kadang ayah juga mengajariku berburu. Jangan mengira kalau aku berburu hewan buas ya, aku hanya berburu hewan-hewan kecil tanpa menggunakan senapan, melainkan perangkap yang dibuat oleh ayahku sendiri. Selain itu aku lebih suka menikmati alam hutan. Bisa dibilang yang kusukai dari West Montero adalah alamnya yang masih asri. Tidak seperti bagian lain dari kota ini yang penuh dengan gedung tinggi dan berbagai transportasi umum. Kedengarannya membosankan ya? Memang. Aku sendiri tidak punya banyak teman. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di rumah ataupun di luar bersama ayahku. Aku tidak populer, tapi hal itu justru lebih baik. Aku tidak suka keramaian. Saat ini tujuanku adalah untuk segera lulus dan melanjutkan studi keluar kota atau segera mendapatkan pekerjaan.
“Hei Zach!”
Aku hampir melonjak kaget saat mendapati Dylan tiba-tiba saja muncul di hadapanku. “Kau sudah disini dari tadi?” Dylan hanya nyengir sambil duduk di sampingku. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil melepas headset ku. Dylan Nelson, satu-satunya temanku. Dylan memiliki rambut hitam jabrik dan kulit pucat dengan bintik-bintik di wajahnya. Ia selalu memakai kemeja kotak-kotak berwarna hijau atau merah atau hitam, aku tidak ingat lagi.
“Hari yang menyedihkan…, pagi-pagi sudah mendung begini.” gumam Dylan sambil menatap lurus ke langit abu-abu di atas kami. Dasar Dylan, gayanya memang selalu berlebihan.
“Mau bagaimana lagi? Kota ini sudah menyedihkan sejak dulu.” tambahku sedangkan Dylan hanya menatapku tidak percaya, seolah-olah aku mengatakan hal yang super konyol.
“Nggak usah sok filosofis! Apa sih yang kau baca sejak tadi?” Dylan mengambil buku dari tanganku. Memang anak ini kadang bisa jadi sangat kurang ajar. Dengan cepat aku merebut kembali buku itu dari tangan Dylan.
“Sialan! Aku tidak sejenius dirimu, aku juga perlu belajar!” Dylan langsung mengangkat kedua tangannya, berlagak menyerah.
“Maaf-maaf aku tidak tau kalau kau sedang membaca buku sejarah. Tapi untuk apa? Kau tetap akan mengulang walaupun sudah belajar sekalipun. Kadang kau mirip anak cewek yang suka sekali mengeluh soal pelajaran Zach.” aku melotot ke arah Dylan. Barusan bocah ini bilang apa? Harusnya dia yang sadar kalau dialah yang lebih mirip anak cewek. Asal kalian tau ya, Dylan punya hobi menghias kue. Bukan apa-apa, tapi sekarang jelas kan siapa yang lebih mirip cewek kan?
Memang sih Dylan adalah temanku yang paling jenius. Ia adalah siswa terjenius kedua di sekolah. Berbeda denganku yang biasa-biasa saja. Pelajaran yang kusukai hanyalah pelajaran bahasa. Dylan suka sekali belajar, berhitung, membaca buku sejarah yang tebalnya tidak terhingga. Bahkan lebih parahnya lagi ia suka sekali membaca berbagai teori konspirasi aneh dan juga mitologi kuno. Pokoknya hal-hal tidak penting lainnya. Mungkin karena itulah ia hanya menjadi yang terjenius kedua di sekolah.
Belum sempat aku membalas kata-kata Dylan, ia sudah menyahut kembali. “Sepatumu kenapa? Habis lompat-lompat di lumpur? Perasaan hujan sejak tadi belum benar-benar turun.” Dylan tidak bisa menahan tawa gelinya saat melihat sepatuku yang sebelumnya berwarna putih bersih, sekarang kotor dan basah. Aku hanya mendengus kesal karena sebenarnya aku tidak mau membicarakan kejadian tadi. Dylan berhenti tertawa saat menyadari nya. “Jangan bilang gara-gara Leon?” tanya Dylan langsung. Ternyata hanya Dylan sahabatku yang paham betul apa yang telah terjadi. Kadang kemampuan Dylan bisa membuatku tidak percaya.
“Ya…, begitulah.”
“Kenapa kau nggak balas dia?! Kau jelas lebih kuat dari Leon brengsek itu Zach!” Entah kenapa tiba-tiba saja Dylan jadi sangat kesal, sedangkan aku hanya menggeleng pelan.
“Dan dihukum seperti saat kelas 8 dulu? Nggak terimakasih, sekarang aku lebih memilih hidup damai dan nggak mau merugikan siapapun.” tanpa diduga Dylan bangkit berdiri. Sepertinya dia kebanyakan gula pagi ini.
“Lupakan kelas 8, saat itu kau masih lemah dan payah, makanya kau dihajar habis-habisan sama Leon. Tapi sekarang kau jago bela diri kan?” Ujar Dylan panjang lebar sedangkan aku hanya menghela nafas dan menjawab.
“Sejak kapan?”
“Ya kan setiap minggu kau selalu pergi ke hutan dengan ayahmu.”
Aku hampir tertawa keras saat mendengar kata-kata konyol sahabatku itu yang kadang tidak masuk akal. “Aku ke hutan untuk belajar berburu dan mendaki bukan bela diri.” jelas ku berusaha sabar dengan Dylan.
“Jangan bohong, bukannya dia memiliki berbagai pedang yang mengerikan?”
“Maksudmu katana?”
“Ah iya!” Dylan menggaruk kepalanya sedikit malu.
Dylan memang benar. Ayah memiliki beberapa katana yang merupakan barang warisan keluarga kami. Ayah ahli dalam seni bela diri pedang katana. Bahkan ayah pernah bercerita kalau ia sempat ikut pelatihan yang cukup intens. Tentu saja aku percaya. Ayahku memang orang yang sangat hebat. Ia bahkan punya sebuah katana hitam yang sangat indah tersimpan di peti kayu di garasi. Setiap kali akan menggunakannya, ayah selalu melarangku. Bahkan sekalipun aku tidak pernah melihat ayah berlatih menggunakan katana hitam itu. Pernah satu kali aku iseng membuka peti kayu itu, dan aku berakhir dihukum oleh ayahku dengan sangat berat. Ayah menyuruhku naik turun bukit berkali-kali sampai aku kelelahan. Mulai hari itu aku tidak mau coba-coba melihat katana hitam itu lagi.
Namun hal itu tidak mematahkan tekadku untuk belajar katana. Ayah akhirnya menuruti kemauanku dan mulai mengajariku berlatih menggunakan katana sekitar beberapa tahun yang lalu. Tentu saja karena aku sudah minta mati-matian diajarkan. Apalagi setelah Leon menghajarku habis-habisan di kelas 8. Ayah selalu bilang kalau katana adalah seni bela diri yang sangat terhormat, bukan untuk berkelahi. Dan sejak itu aku berjanji tidak akan mencari masalah dengan Leon. Sebagai gantinya ayah mau mengajariku.
“Iya, tapi nggak sering, aku masih belajar, kau juga tau bagaimana ayahku selalu tidak mau aku menyentuh katana miliknya, eh itu bus sudah datang ayo buruan.” tanpa menunggu Dylan aku langsung menyambar ranselku. Dylan yang masih uring-uringanpun akhirnya mengikutiku masuk ke dalam bus. Setelah kami berdua masuk, bus melaju cepat. Ternyata bus sangat penuh, tidak seperti biasanya. Mungkin karena hari ini cuaca sangatlah mendung. Banyak anak yang biasanya jalan ke sekolah memilih menaiki bus hari ini untuk menghindari hujan yang akhir-akhir ini sering mengguyur dengan tiba- tiba. Semua bangku penuh, aku dan Dylan terpaksa berdiri.
“Dengar Zach! Kau harus kasih pelajaran si Leon, aku bisa susun rencana”
“Ssstt! Diamlah, kau kan tau apa kata ayahku kalau aku sampai terlibat dalam perkelahian lagi.” jelas ku sudah lelah dengan Dylan.
“Kalau begitu biar aku yang hajar dia, aku tau kau tidak berani dengan Leon.” ucap Dylan membuatku heran. Yang benar saja? Dylan menghajar Leon, si kapten tim bisbol sekolah yang berlipat-lipat lebih kuat darinya? Bukannya aku merendahkan Dylan ya, tapi sahabatku ini jelas bukan tandingan Leon.
“Kau nggak usah cari masalah tahun ini, kau nggak mau berakhir di toilet seperti kelas 8 dulu gara-gara berulah sama Leon kan?” Dylan hanya mendengus kesal mendengar kata-kataku.
Memang benar, Leon pernah mengunci Dylan di toilet sekolah, dan kalau bukan karena aku yang sadar Dylan menghilang, mungkin Dylan akan menginap di toilet malam itu. Hal itulah yang menyebabkan pertengkaran antara aku dan Leon, lebih tepatnya Leon menghajarku habis-habisan. Harus kuakui saat itu kami sangat payah. Dan tentu saja hal itu membuatku kesal dan Dylan bukanlah satu-satunya yang ingin menghajar Leon. Tapi aku memang tidak mau mencari masalah dengan Leon, aku sudah berjanji pada ayahku untuk tidak membuat masalah. Alhasil aku bisa dengan tenang menjalani hari-hariku sampai sekarang di tahun akhir SMA.
“Untuk apa aku takut? Kan ada kau yang bisa kuandalkan. Sebentar lagi kita juga akan lulus, memangnya kau tidak gatal untuk membalasnya sesekali?” Dylan menepuk bahuku sambil nyengir tidak tau malu. Aku hanya mendengus tidak tau lagi bagaimana harus menanggapi sahabatku ini. Kadang aku berpikir bagaimana mungkin aku dan Dylan bisa akrab seperti ini, kami jelas-jelas punya sifat yang berbeda. Walaupun jujur saja kata-kata Dylan memang tidak sepenuhnya salah. Kadang aku ingin sekali membalas perbuatan Leon.
“Aku tau kau akan hajar dia, cuma sekarang bukan saatnya.” Setelah berkata demikian aku langsung turun dari bus yang baru saja berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dylan yang kesal masih terus menyerukan namaku sambil berusaha mensejajarkan langkahnya denganku.
“Sialan kau! Tunggu aku!” gerutu Dylan sedangkan aku hanya tertawa geli.
Suasana sekolah sudah ramai dengan siswa-siswi yang berjalan menuju kelas masing-masing. Aku dan Dylan juga langsung berjalan ke arah loker kami yang ada di ujung koridor. Kelas pertamaku adalah sejarah dan aku meninggalkan semua bukuku di loker. Sebenarnya kalau boleh bilang, aku benci sekali pelajaran sejarah. Aku tidak bisa fokus memperhatikan di kelas lebih dari 10 menit. Aku lebih suka pelajaran olahraga, matematika, fisika, ataupun seni. Walaupun begitu aku juga bukan yang terbaik dalam semua pelajaran itu.
“Kau dengar tidak, kemarin Viona mencampakkan Robin tepat setelah pertandingan bisbol selesai.” ujar Dylan yang masih sibuk mengambil buku-buku nya di loker tepat disebelah ku. Robin adalah teman Leon yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi bak seorang ajudan. Aku tidak menanggapi kata-kata Dylan yang kadang hobi bergosip itu. Entah mengapa Dylan selalu tertarik dengan hal semacam itu. Sekarang siapa yang lebih mirip cewek?
“Kasihan, tapi dia pantas mendapatkannya, seharusnya kau lihat bagaimana wajah Robin.” terdengar tawa Dylan sedangkan aku tetap tidak menanggapinya. Hal itu jelas membuat Dylan kesal dan langsung menutup lokernya cukup keras sambil menghadap ke arahku. Aku hanya mengangkat bahuku acuh-tak acuh karena aku adalah salah satu orang yang tidak peduli dengan gosip yang beredar di sekolah atau kota ini.
“Kau mau aku bilang apa? Dan lagi, sejak kapan kau datang ke pertandingan bisbol sekolah?”
Aku menutup loker dan berjalan ke arah kelas sedangkan Dylan terus mengikutiku. Sepertinya ia masih tidak puas dengan tanggapanku. “Aku tidak sepertimu Zach, aku masih mau bersenang-senang di masa akhir sekolah kita! Dan aku serius! Kita bisa balas Leon dengan begini! Robin sibuk patah hati dan ia tidak akan berada di samping Leon!” Ternyata Dylan masih saja membahas tentang Leon. Sepertinya Leon benar-benar menjadi trending topic hari ini. Akhirnya karena kasihan dengan sahabatku itu, aku pun pura-pura menanggapi.
“Seorang Robin bisa patah hati? Nggak mungkin.”
Dylan menghentikan langkahku membuatku cukup terkejut, apalagi saat ia menghentakan tangannya sedikit keras di dinding dekatku. Bahkan ada beberapa siswa yang menoleh ke arah kami berdua. Tingkah Dylan kadang jelas-jelas memalukan, spontan aku melotot ke arah sahabatku itu.
“Kemarin ada yang melihat Robin menangis di lapangan! Kau tau si bodoh itu mungkin berbadan besar seperti Leon tapi dia tidak sekuat itu, dan lagi sejak hilangnya sahabat mereka yang satu lagi, Leon jelas payah banget saat ini!”
Dylan menunjuk sebuah selebaran yang tertempel di dinding dekat kami. Aku menatap selebaran yang sudah kulihat berkali-kali selama kurang lebih seminggu ini. Selebaran yang berisikan info remaja laki-laki yang hilang sekitar dua minggu yang lalu.
Tobias Sendio.
Aku menatap selebaran yang hampir tertempel di seluruh jalanan di kota ini. Tobias adalah teman sekelasku. Ia memiliki perawakan yang tinggi besar dan kekar dengan kulit coklat sempurna. Kalau diperhatikan dia lebih mirip preman dengan jaket kulit hitam dan beberapa piercing di telinga dan tato menyeramkan di lengannya. Kadang aku bertanya-tanya apakah Tobias benar-benar siswa SMA? Aku sendiri memang tidak terlalu mengenalnya. Yang kutau Tobias adalah salah satu teman dekat Leon. Namun dibandingkan Robin, Tobias terlihat lebih pendiam dan jarang mencari masalah terlepas dari penampilannya yang jelas lebih menyeramkan dari Robin. Kabarnya, Tobias dikabarkan hilang satu minggu lalu. Terakhir kali seseorang melihatnya di dekat danau yang ada di pusat kota. Dylan selalu bilang kalau mungkin Tobias hanya kabur dari rumah dan berpesta atau lebih gila lagi Dylan menduga kalau Tobias terlibat dalam penjualan obat terlarang atau tergabung dalam geng berandalan yang menjadi buronan polisi. Seperti yang biasa dilakukannya bersama Leon dan gerombolan anak populer yang lainnya. Mereka memang suka mencari masalah dan tidak jarang berurusan dengan polisi. Walaupun begitu Dylan selalu menyebut Tobias sangat keren.
Namun aku sendiri tidak yakin akan hal itu. Sejujurnya Tobias cukup baik, ia tidak seperti Leon dan teman-temannya. Bahkan kami pernah beberapa kali mengobrol santai setiap pelajaran Fisika. Kalau boleh bilang, pada kenyataannya Tobias jarang sekali dihukum ataupun berurusan dengan polisi. Memang dia selalu menaiki motor besar hitam nya dengan suara knalpot yang kadang meraung mengerikan, namun yang ku tau dia tidak pernah mendapat pelanggaran. Ia hanya terlalu cuek. Mungkin sebelas duabelas denganku. Hanya saja ia sudah terlanjur setia mengikuti Leon sejak dulu. Entah mengapa aku yakin sekali kalau Tobias tidak mungkin kabur dari rumah begitu saja. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya meninggal saat melahirkan adiknya, sehingga ia harus menjaga dua orang adiknya yang masih berada di sekolah dasar. Dan aku yakin, Tobias lebih bertanggung jawab daripada Leon, ia pasti tidak akan meninggalkan adik-adiknya begitu saja.
“Belum ada kabar darinya?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari selebaran itu. Dylan menghela nafas panjang dan menggeleng. Sama sepertiku, Dylan juga tidak membenci Tobias seperti ia membenci Leon. Tobias beberapa kali membantunya juga. Mungkin Tobias memang teman dekat Leon, tapi Dylan tau kalau Tobias jauh lebih baik. Hanya saja seperti yang aku bilang, terkadang ia hanya terlalu cuek dan terlihat menyeramkan karena penampilannya.
“Yang aku dengar polisi terus bilang kalau Tobias hanya kabur dari rumah, bahkan yang aku dengar keluarga nya juga tidak terlalu peduli.” jelas Dylan membuat ku menoleh dengan curiga ke arahnya.
“Kau tau dari mana?” Dylan hanya tersenyum pongah kearahku.
“Kau tidak tau apa yang namanya televisi dan surat kabar.” ejek Dylan sedangkan aku hanya mendengus. Aku tau kalau polisi masih belum menyebar berita ini ke media, jadi Dylan jelas sekali berbohong kalau ia bilang tau dari televisi atau surat kabar.
“Bilang saja kau mencuri dengar dari ayahmu.” ujarku membuat Dylan mati kutu saat tau apa yang kukatakan memanglah benar. Ayah Dylan adalah kepala polisi setempat. Beberapa kali Dylan memang selalu mencuri dengar pembicaraan ayahnya dengan para detektif yang bertugas menyelidiki masalah hilangnya Tobias. Walaupun beberapa kali kena tegur oleh ayahnya yang super tegas itu, tentu saja Dylan tidak akan menyerah.
“Tapi sepertinya itu tidak mungkin, bagaimana dengan kedua adiknya? Apa ayah nya sudah benar-benar sadar dan kembali ke rumah?” Tanyaku lagi. Dylan hanya mengangkat bahu nya tanda tidak tau. Ternyata kalau dipikir-pikir kami memang tidak terlalu mengenal Tobias, hanya saja aku tetap penasaran dengan apa yang terjadi padanya.
“Tapi bukankah ini bagus untukmu? Jujur saja Zach, kau pasti sedikit senang Tobias hilang kan?”
Aku menoleh ke arah Dylan sedikit tersinggung. Apa dia kira aku sejahat itu? “Tentu saja tidak, bagaimana aku bisa senang saat ada teman kita menghilang. Kita tidak tau kalau mungkin saja ada pembunuh berantai berkeliaran di sekitar West Montero.” jawabku sambil berjalan menuju tangga untuk naik ke kelasku. Tidak lupa aku juga membuka buku sejarah ku lagi. Aku tentu tidak mau gagal dalam ujian ini hanya karena Dylan yang terus saja mengoceh sampai berbusa-busa.
“Nggak usah sok baik Zach, biasanya kau juga tidak peduli dengan sekitarmu.” ucap Dylan yang berjalan disampingku. Jujur aku tidak bisa menyangkal kata-kata Dylan yang ini, namun aku juga tidak mau membenarkannya.
“Aku tau Tobias tidak seperti Leon dan teman-temannya, dia cukup baik walaupun bagiku sebenarnya penampilannya yang seperti preman itu yang lebih menyeramkan dari Leon.” komentar Dylan sambil bergidik sedikit ngeri, sedangkan aku tidak menanggapinya.
“Aku dengar Lysia terus datang ke rumah Tobias setiap pagi dan malam, sepertinya dia menunggu Tobias pulang. Sepertinya dia yang lebih peduli daripada keluarga Tobias sendiri.” kata-kata Dylan berhasil menghentikan langkahku. Mungkin sekarang Dylan sedang berseru dalam hati karena berhasil mencuri perhatianku. Sebenarnya bukan karena kata-kata Dylan, melainkan fakta bahwa cewek yang baru saja disebut Dylan benar-benar berdiri tidak jauh dariku.
Lysia Aella.
Cewek yang ku sukai sejak kelas 7.
Aku menelan ludah dengan susah payah saat mendapati Lysia dengan rambut pirangnya yang cantik sedang berdiri menghadap ke arah dinding tempat selebaran menghilangnya Tobias di pasang. Hari ini ia memakai terusan berwarna biru tua dan cardigan putih rajut. Benar-benar manis seperti Lysia yang biasa kulihat. Mata birunya selalu berbinar, dengan bulu mata yang lentik, hidung kecil mancung, dan kulit seputih salju. Kadang aku bertanya tanya, apakah cewek secantik Lysia benar-benar berasal dari dunia ini? Ia lebih cocok berada di dunia khayalan atau surga tempat para malaikat. Bicara apa aku ini? Kadang aku memang selalu melantur kalau membicarakan Lysia, habis cewek itu benar-benar bersinar setiap aku melihatnya, seolah-olah ia benar-benar tidak nyata, apalagi saat ia tersenyum.
Hanya saja akhir-akhir ini ia terlihat murung. Fakta menarik lainnya adalah Lysia merupakan pacar dari Tobias. Sehingga jelas sekali kan alasanku sama sekali tidak berani mendekati Lysia. Memang cewek sempurna seperti Lysia mau dengan pecundang sepertiku? Lysia jelas sedih sekali saat tau Tobias menghilang. Dan tidak sulit untuk mempercayai kata-kata Dylan karena Lysia memang sebaik itu, ia sangat ramah dan selalu baik pada semua orang. Benar-benar sempurna kan? Tentu saja aku merasa kasihan dan ingin sekali menghiburnya. Tapi aku bisa apa? Nasibku bertepuk sebelah tangan, hanya saja aku tidak mau mengakuinya di depan Dylan.
Sedetik kemudian Lysia menoleh ke arahku. Membuat jantungku mau tidak mau berdegup kencang. Astaga! Cewek itu tersenyum manis ke arahku, sebelum ia akhirnya berbalik dan mulai mengobrol dengan beberapa teman cewek yang menghampirinya. Ada apa ini? Lysia baru saja tersenyum kearah ku?! Memang aku payah sekali. Hanya karena hal sepele aku jadi salah tingkah. Sialan! Cewek itu mungkin saja tidak mengingat namaku atau menganggapku sangat aneh.
“Hei! Zach! Kenapa kau?”
Dylan mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan wajahku, membawa ku kembali pada kenyataan. Aku pun buru-buru menggeleng dan berbalik. Malas sekali kalau harus menanggapi Dylan apalagi kalau ia tau aku sedang menatap Lysia dan salah tingkah saat cewek itu tersenyum kearahku. Namun tebakanku benar, Dylan sudah tau kearah mana aku barusan melihat, ia pun buru-buru menyusul menyenggol bahuku.
“Ternyata dugaanku benar! Kau masih suka dengan Lysia! Sudah berapa tahun cintamu itu tetap bertepuk sebelah tangan-” aku buru-buru menyuruh Dylan diam karena saat ini koridor kelas sangatlah ramai, tentu aku tidak mau sahabatku ini membocorkan rahasia terbesarku. Dylan terus tersenyum puas ke arahku. Memang hanya sahabatku inilah yang tau fakta bahwa aku menyukai Lysia sejak lama.
“Jangan bicara macam-macam!” tegur ku langsung berbalik untuk meninggalkan Dylan. Aku masih bisa mendengar tawa mengejeknya dari belakang. Awas saja Dylan, sekali lagi ia berulah aku akan memberinya pelajaran. Kadang Dylan yang cerewet bisa jadi jauh lebih menyebalkan daripada Leon dan teman-temannya. Apalagi kalau masalah Lysia, sahabatku ini bisa mengejekku sepanjang hari. Dan jelas, aku tidak mau hal itu terjadi.
Kupercepat langkah karena aku ingin segera masuk kelas dan meninggalkan Dylan. Namun ternyata kesialanku hari ini belum juga berakhir. Tanpa sengaja aku menabrak seseorang tepatnya di depan pintu kelas kami. Namun karena aku cukup sigap, aku tidak terjatuh. Dylan bahkan sampai menabrak punggungku karena aku berhenti mendadak. Saat aku menyadari orang yang menabrakku, aku hanya bisa mendengus malas. Sepertinya hari ini akan jadi sangat panjang.
“Aduh! Gimana sih!” ujar cewek itu kesal sambil memunguti buku-bukunya yang terjatuh, ditambah lagi dengan selebaran kertas yang berserakan di lantai. Walaupun enggan, aku mulai membantunya mengumpulkan kertas-kertas berserakan itu. Dylan hanya berdiri mematung di belakangku tanpa membantu sedikitpun. Memang dasar tidak bisa diandalkan.
“Sudah! Biar aku aja!” cewek itu mengambil kertas-kertas yang sudah susah-susah kukumpulkan dengan kasar. Dasar, masih bagus aku membantunya. Belakangan aku tau kenapa Dylan hanya diam di belakangku. Tentu saja karena cewek yang kutabrak tidak lain adalah Kay. Cewek super jutek yang pernah kukenal di dunia ini. Kay memiliki rambut coklat gelap sedikit bergelombang yang diikat begitu saja kebelakang. Seperti biasa ia selalu mengenakan jaket jeans biru dengan celana jeans putih dan sepatu boots berwarna hitam. Sebenarnya Kay termasuk cewek populer di sekolah hanya saja gayanya memang sedikit tomboy. Ia tidak seperti cewek-cewek biasanya. Mata coklatnya terus menatapku penuh kebencian seolah olah-olah aku adalah musuh bebuyutannya. Walaupun kalau dipikir-pikir hal itu juga tidak salah.
Kay masih menatapku dengan kesal, sedangkan aku sudah siap menanggapi apapun yang akan ia katakan. Secara dia sendiri yang menabrakku kan? Aku hanya menatap Kay datar. Didunia ini aku paling malas kalau harus berurusan dengan cewek satu ini. Kadang aku heran bagaimana orang-orang menganggapnya cewek manis dan pintar, sedangkan dimataku cewek ini tidak jauh beda dengan pembuat masalah atau nenek sihir!
“Lain kali kalau jalan pakai mata!” ucapnya ketus membuatku mulai terpancing kesal. Aku hanya melipat tangan di depan dada sambil menatap cewek itu tajam.
“Bukanya kau yang tadi menabrakku?” Kay menatapku tidak percaya, ia sudah siap mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya Dylan yang sepertinya sudah sadar berusaha menenangkan Kay.
Dasar Dylan.
“Maafkan Zach, dia memang sedikit error pagi ini Kay.” jelas Dylan sambil tersenyum ke arah Kay yang sepertinya masih saja kesal denganku. Aku bisa melihat bagaimana Dylan menatap cewek itu dengan tatapan memuja. Yap, Dylan sudah lama sekali menyukai Kay, tapi sama denganku, ia juga tidak berani menyatakan perasaannya. Oh, sepertinya aku baru saja menemukan kesamaan diatara kami! Kami berdua sama-sama pecundang payah yang menyukai cewek yang jauh dari jangkauan kami.
Kay masih menatapku dingin sedangkan seperti biasa aku hanya diam dengan ekspresi datar. “Kau harus urus temanmu itu dengan benar.” ucap Kay pada Dylan yang langsung membuat sahabat ku itu mengangguk antusias bak seekor anak anjing penurut. “Dan lagi, ia sama sekali tidak minta maaf padaku.” kali ini Kay melipat tangannya sambil menyeringai ke arahku. Aku hanya mendengus kesal. Sepertinya Kay menikmati sekali membuatku kesal pagi ini.
“Dan untuk apa aku minta maaf?” tanyaku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dylan hanya melotot ke arahku sedangkan Kay terlihat sedikit terkejut. Giliran aku yang menyeringai ke arah cewek itu. Kay sudah siap menyemprotku namun tiba-tiba Leon muncul dan merangkul Kay dengan akrab. Fakta menarik kedua lainnya, Kay adalah pacar Leon. Sekarang kalian tau kan mengapa Dylan sama sekali tidak punya peluang dan mengapa ia sangat membenci Leon.
“Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau disini.” Leon menarik Kay dalam pelukannya dan langsung mencium cewek itu. Kay terlihat terkejut dan tidak bisa menolak. Dalam hati aku benar-benar merasa kasihan dengan Dylan. Bagaimana bisa ia melihat cewek yang disukainya sejak lama bermesraan tepat di hadapannya. Leon tidak datang sendiri ia bersama Robin dan dua orang lainnya.
Aku memanfaatkan situasi dengan mengisyaratkan Dylan untuk menjauh. Dylan memahami ajakanku sehingga kami langsung melewati Leon dan gerombolannya. Setidaknya akau tidak mau menghabiskan waktuku sedikit pun untuk berdebat dengan Kay, karena percayalah diantara kami tidak akan ada yang mau mengalah. Terakhir kali kami berdebat juga tidak berakhir dengan baik.
“Hei! Mau kemana kau pecundang?”
Langkahku terhenti, membuatku berbalik dan menghadapnya. Awalnya Dylan ingin segera berlari ke kelas namun ia ikut berbalik walaupun aku tau ia sedikit ketakutan dengan Leon. Ternyata ia tidak sungguh-sungguh ingin menghajar Leon. Leon berjalan ke arahku meninggalkan Kay. Mendadak suasana koridor yang sebelumnya ramai menjadi sedikit hening.
“Kau belum minta maaf dengan cewekku.” ucap Leon lagi sambil menatapku datar.
“Untuk apa? Dia sendiri yang keluar tergesa-gesa dari kelas.” jawabku santai. Sekilas aku bisa mendengar Dylan yang mendengus karena tau kalau jawabanku jelas bukan apa yang ingin didengar Leon. Leon hanya menyeringai ke arahku dan menggeleng pelan.
“Kau memang tidak tau diri, apa ayahmu tidak becus mengajari sopan santun?” Aku mengepalkan tanganku. Aku jelas tidak terima kalau si brengsek Leon mulai membawa-bawa ayahku. Namun aku tetap berusaha tenang.
“Ayahku? Seharusnya ayahmu yang malu karena sudah membesarkan bedebah tidak berguna sepertimu.” balasku berhasil membuat Leon tersentak. Sepertinya kata-kata ku benar-benar mengenainya. Aku bahkan bisa mendengar bagaimana semua siswa yang berdiri di koridor menahan nafas tegang, termasuk Dylan yang berdiri di sampingku, ia jelas terlihat sangat gelisah. Namun aku tidak gentar, kalau Leon mengajakku berkelahi maka akan kutanggapi permintaannya. Dylan benar, sekali-kali memang harus ada yang memberi Leon pelajaran.
Leon berjalan ke arahku dan langsung mencengkram kerah bajuku. Membuat beberapa orang yang berada di sekitarku memekik kaget. “Kau pecundang semakin kurang ajar, apa perlu kuhajar lagi? Hanya saja sekarang aku tidak akan mengampunimu seperti dulu, kali ini aku akan memastikan agar kau mati.” ancam Leon sedangkan aku hanya diam sambil menatapnya tajam.
“Sudahlah Leon, biarkan saja.” Kay berusaha menangkan Leon.
Namun Leon hanya menepis tangan Kay dengan kasar. “Kau nggak usah ikut campur!”
Aku menghempaskan cengkraman Leon dengan keras. Bahkan sekilas aku bisa melihat Leon yang cukup terkejut karena aku bisa melepaskan cengkramannya dengan mudah. “Jangan sampai kau menyesali apa yang kau katakan.” balasku, berhasil membuat emosi Leon memuncak. Leon sudah akan melayangkan pukulannya ke rahang kananku. Aku sudah siap menghadang ataupun membalas pukulannya. Namun ternyata aku terlambat. Seseorang menahan tangan Leon. Leon yang masih emosi hanya menoleh dengan kesal ke arah orang yang menghentikannya. Ternyata Mr. Dave yang menahan tangan Leon.
“Ini pekerjaan sehari-harimu Leon? Bertengkar dan membuat keributan?! Bubar semua!” bentak Mr. Dave tajam diikuti oleh suara bel masuk kelas. “Kau tidak mau dikeluarkan dari tim kan!?” Mr.Dave menyentakkan tangan Leon. Leon masih menatapku penuh kebencian namun ia tidak punya pilihan lain dan langsung berlalu meninggalkan koridor diikuti oleh Kay dan teman-temannya yang lain. Semua siswa pun langsung bubar untuk masuk ke kelas masing-masing. Termasuk aku dan Dylan.
“Zachary Homura! Tunggu!”
Langkahku terhenti, Mr. Dave menghampiriku dan mengisyaratkan Dylan untuk masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Dylan hanya menatapku sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas.
“Apa Leon akhir-akhir ini sering mengganggumu?”
“Tidak, bila ia tidak mencari masalah.” jawabku singkat sebelum akan masuk ke dalam kelas, namun Mr. Dave menahanku lagi.
“Kau yakin? Apa ada yang mengganggumu selain Leon?” aku mengerutkan kening, tidak paham dengan apa yang dimaksud Mr. Dave.
Mr. Dave memang guru yang tegas, pelajarannya juga cukup menyenangkan. Ia mengajar kelas bahasa, kelas yang paling kusuka. Selain itu beliau juga pelatih tim bisbol sekolah. Ia berbadan besar, berkulit gelap dengan rambut yang selalu tersisir rapi ke belakang. Ia berumur sekitar awal 30 an yang membuatnya dengan mudah akrab dengan banyak siswa. Mereka mengidolakan Mr. Dave sebagai guru favorit mereka, sama denganku.
“Tidak ada, semuanya baik-baik saja.” jawabku, Mr. Dave hanya mengangguk paham dan menepuk bahuku pelan.
“Apa kau sudah mempertimbangkan tawaranku untuk kembali masuk ke dalam tim?” Aku tau yang dimaksud Mr. Dave adalah tim bisbol. Sebenarnya dulu aku memang bermain bisbol di tahun pertama sebelum akhirnya aku keluar. Beberapa hari yang lalu Mr. Dave memang memintaku bergabung ke dalam tim apalagi sejak Tobias menghilang dan mereka belum menemukan penggantinya. Apalagi sebentar lagi ada turnamen bisbol.
“Aku masih memikirkannya.” jawabku yang sebenarnya tidak yakin. Ada beberapa alasan aku tidak mau bergabung kembali. Yang pertama tentu saja karena saat ini Leon sudah menjadi kapten. Dan yang kedua, rasanya tidak benar kalau aku kembali masuk ke tim karena Tobias menghilang. Aku jelas tidak mau bersenang-senang diatasnya.
Mr. Dave menghela nafas panjang dan mengangguk. “Baiklah, aku percaya padamu Zach. tolong pertimbangkan tawaranku lagi, kau punya potensi besar dan mungkin dengan bergabungnya ke dalam tim akan baik untuk persiapanmu menuju universitas.” jelas Mr. Dave dan aku hanya mengangguk sebelum masuk ke dalam kelas. Seperti biasa Dylan yang selalu penasaran langsung menanyakan apa yang dibicarakan Mr. Dave saat aku sudah duduk di sampingnya.
“Tidak ada yang penting.” jawabku singkat sambil mengeluarkan buku-buku sejarahku. Aku memang belum memberitahu soal tawaran Mr. Dave pada siapapun termasuk Dylan. Dylan hanya mendengus kesal.
“Kau beruntung Zach, untung saja Mr. Dave datang sehingga Leon tidak jadi menghajar mu.” bisik Dylan, sedangkan aku hanya mengiyakan kata-kata nya hanya agar ia segera diam. Pelajaran pun berjalan dengan lancar. Seperti biasa, cukup membosankan juga. Bahkan Dylan yang biasanya bersemangat hari ini terus saja bersungut-sungut tentang bagaimana Leon yang mengancamku tadi pagi. Aku hanya menanggapi Dylan dengan mengangguk beberapa kali. Yang kuinginkan saat ini hanyalah segera pulang kerumah.
Hari yang menyebalkan...
***
Kay
…entah berapa lama lagi aku bisa bertahan!
Jujur saja aku sudah kesal dengan Leon akhir-akhir ini!
Ini bukan pertama kalinya Leon mempermalukanku di depan umum. Huft, mungkin itu bukan kata yang tepat. Leon hanya menciumku di depan banyak teman sekelasku di koridor pagi ini. Maksudku ini bukan pertama kalinya ia menciumku sejak kami berpacaran sebulan yang lalu. Bukan apa-apa, tapi tentu saja aku terkejut! Aku bukanlah orang yang suka mengumbar hubungan di depan orang banyak. Apalagi saat itu Zach yang menyebalkan baru saja menabrakku! Yah, secara teknis sebenarnya akulah yang menabraknya. Bagaimana lagi? Aku sedang buru-buru karena lupa mengerjakan tugas Sejarah pagi ini. Apalagi saat melihat wajah menyebalkan Zach. Sumpah aku sudah lelah melihat wajahnya yang datar itu! Apalagi saat ia tidak mau minta maaf padaku. Memangnya apa sih susahnya meminta maaf? Sampai sekarang aku benar-benar tidak percaya kalau cowok dingin itu adalah tetanggaku! Yep, kalian tidak salah dengar. Rumah kami benar-benar saling berhadapan.
Memang harus kuakui karena ulahku, Zach hampir saja bertengkar dengan Leon. Sebenarnya ini juga merupakan hal yang tidak kusukai dari Leon. Cowok itu gampang sekali emosi. Tapi disisi lain aku juga penasaran apa yang akan terjadi kalau mereka benar-benar berkelahi? Apa mungkin Zach akan dihajar habis-habisan seperti kelas 8 dulu? Aku tidak yakin juga, karena sekarang Zach jelas sudah tumbuh lebih kuat.
Bagaimana aku tau? Ya karena dia tetanggaku! Beberapa kali aku menyaksikan Zach berlatih pedang bersama ayahnya di halaman rumah mereka. Jujur saja aku sedikit iri. Mau tau rahasia? Sebenarnya aku suka sekali melihat Zach dan ayahnya berlatih bersama. Jangan berpikir aneh-aneh! Aku hanya ingin belajar juga. Mereka menggunakan pedang yang sering kulihat dibawa oleh ayah Zach. Entah apa nama pedang aneh itu, hanya saja itu keren sekali! Ah! Katana! Ya aku baru ingat. Ingin sekali aku belajar menggunakan pedang itu juga!
Aku tau aku cewek dan cewek tidak seharusnya belajar bela diri, begitu kata Oma ku. Sebagai cewek kita harus bersikap seperti ‘cewek’. Tapi sejak kecil aku memang suka tantangan. Aku tidak suka bermain boneka, aku lebih suka bermain bola ataupun berlatih berbagai macam seni bela diri seperti taekwondo, jiu jitsu, judo, sampai kickboxing. Namun belum pernah sekalipun aku belajar menggunakan senjata seperti katana.
Aku bahkan masih ingat dulu saat berumur 6 tahun aku pernah bermain bola bersama Zach di halaman rumahnya. Saat itu Zach payah sekali, aku beberapa kali berhasil menendang bola ke perutnya. Kami juga berlatih judo bersama saat kecil sampai ia menyerah karena berhasil kubanting berkali-kali. Namun tentu saja Zach yang dulu lebih menyenangkan dari yang sekarang. Seingatku dulu ia juga lumayan aktif di tim bisbol sebelum ia keluar. Sekarang aku dan Zach sama sekali tidak dekat. Ia jauh lebih pendiam dan menyebalkan. Apalagi saat ia mulai menghabiskan waktu dengan Dylan yang aneh itu. Pokoknya Zach yang sekarang sangatlah membosankan. Entah sejak kapan ia berubah aku sudah juga tidak ingat.
“Kayla!”
Aku tersentak kaget saat Ms. Laura memanggilku yang sejak tadi masih saja melamun menatap keluar jendela. Jujur saja pelajaran terakhir hari ini sungguh-sungguh membosankan. Sejak tadi aku ingin segera pulang kerumah, mandi, dan tidur. Tidak seperti Lysia, sahabatku yang sejak tadi fokus memperhatikan penjelasan Ms. Laura. Bahkan ia masih saja sibuk membuat catatan super rapi dengan berbagai macam pena berwarna-warni. Kadang aku tidak mengerti mengapa ia harus membuat catatan berlembar-lembar itu? Memang nya ia tidak bisa mengingat penjelasan Ms. Laura di kepala saja?
“Kamu dengar apa yang saya bilang tadi?”
Sial, sejak tadi aku sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Ms. Laura yang mengajar pelajaran sejarah, pelajaran yang sebenarnya sangat kusuka, hanya saja cara mengajar Ms. Laura sangatlah membosankan. Aku pun mulai tergagap menjawab pertanyaan Ms. Laura. Lysia dengan cepat menyodorkan buku catatannya secara diam-diam pada ku. Namun tentu saja aku sama sekali tidak punya waktu untuk membaca tulisannya yang super indah itu! Untung saja aku masih sempat mengingat bacaan ringan tentang pelajaran Ms. Laura hari ini sehingga aku bisa menjelaskan tentang peristiwa sejarah yang ditanyakan oleh Ms. Laura dengan lancar.
“Jangan karena kamu adalah murid terjenius pertama di sekolah, kamu jadi tidak memperhatikan pelajaran saya ya!” tergur Ms. Laura membuatku cukup terkejut. Apalagi saat ia menaikkan suaranya yang jelas-jelas terdengar sangat aneh.
“Eh, maaf Ms.” jawabku sambil meringis, membuat seisi kelas menertawakanku termasuk Lysia yang terkikik geli disampingku. Apa penjelasanku yang panjang lebar itu salah?
Ms. Laura hanya menggelengkan kepalanya. “Saya tau kamu tetap akan bisa menjawab sesulit apapun pertanyaan saya, hanya saja saya nggak mau tau, kamu harus tetap memperhatikan pelajaran saya di kelas.” Aku buru-buru mengangguk. Untung saja mood Ms. Laura hari ini sedang baik, sehingga aku tidak perlu menerima hukuman menulis essay seperti yang selalu diberikan Ms. Laura pada siswa yang tidak memperhatikan pelajarannya. Kemudian terdengar suara bel pulang. Semua siswa langsung bersorak senang dan bersiap-siap untuk pulang. Aku pun langsung membereskan buku-bukuku.
“Tunggu sebentar semuanya, saya punya pengumuman untuk kalian.” ucap Ms. Laura menghentikan beberapa siswa yang hendak keluar dari kelas. “Kita akan mengunjungi museum kota besok jadi pukul 6 pagi kalian sudah harus berkumpul di sekolah. Dan ingat, saya akan minta kalian membuat karya tulis ya.” ujar Ms. Laura seisi kelas langsung mengeluh. Besok kami memang akan mengunjungi museum sejarah membosankan yang selalu diadakan setiap tahun. Namun sepertinya teman-teman sekelasku bukanlah penggemar bangun pagi. Termasuk Lysia yang menghela nafas sedikit kesal. Sedangkan bagiku hal itu cukup mudah karena hampir setiap hari aku selalu bangun pukul 4 pagi untuk pergi jogging.
“Malas sekali kalau harus datang sepagi itu ke sekolah.” gumam Lysia sambil membereskan barang-barangnya. Aku hanya tertawa geli sambil membereskan barang-barangku juga.
“Jam 6 itu nggak pagi tau, kau harus membiasakan bangun pagi Lys.” ucapku sedangkan Lysia seperti biasa hanya cemberut. Sahabatku yang satu ini walaupun terlihat super feminim, sebenarnya ia sangat benci bangun pagi. Lysia hanya mengangguk-angguk pasrah.
“Mau pulang bareng? Kita bisa lanjut menonton series yang baru.”
“Nggak Kay, hari ini aku nggak bisa ke rumahmu, aku ada acara makan malam dengan ayahku.” jawab Lysia pelan. Sebagai jawaban aku hanya mengangguk-angguk paham. Sebenarnya aku tau alasan yang sebenarnya, kenapa Lysia tidak bisa ke rumahku. Hampir setiap sore Lysia selalu pergi ke rumah Tobias. Yap, Tobias yang hilang satu minggu yang lalu. Aku tau Lysia sangat khawatir karena ia menyayangi pacarnya itu lebih dari apapun, begitu pula Tobias. Kadang hubungan mereka memang membuatku sedikit iri. Maksudku, Tobias memang terlihat menyeramkan sih, bahkan jauh lebih menyeramkan dari Leon, namun entah mengapa saat bersama Lysia Tobias bisa sangat berbeda. Entahlah mungkin hanya perasaan ku saja, tapi kedua nya kelihatan sangat cocok satu sama lain.
Sial! Aku semakin iri dengan sahabatku yang kelewat sempurna ini. Ditambah lagi penampilannya yang cantik dan anggun, benar-benar bertolak belakang dengan ku yang sama sekali tidak pernah memperhatikan penampilan. Kadang aku bertanya-tanya kenapa aku bisa sangat akrab dengan Lysia? Awalnya aku kira Lysia seperti cewek kaya raya populer membosankan yang sering kutemui. Namun saat mengenalnya ternyata Lysia baik banget, mungkin dia orang paling baik, rendah hati, dan sabar yang pernah kukenal. Kami sama-sama suka membaca buku fiksi dengan alur paling rumit, menonton series sambil mencemooh adegan murahan didalamnya, mencoba semua menu minuman di cafe, dan juga bernyayi keras-keras dikamar sampai semua tetangga menegur. Terkadang kalau sudah membicarakan band favorite kami tidak akan bisa berhenti. Kurang lebih aku sudah bersahabat dengan Lysia selama 5 tahun. Dan kuakui persahabatan ini cukup menyenangkan.
Namun sejak Tobias menghilang secara misterius, Lysia tidak pernah mau membicarakan hal itu. Sebenarnya aku tau Lysia memang selalu butuh waktu, dan sebagai sahabatnya aku tidak mau mendesak dan bertanya macam-macam sampai ia tenang dan memutuskan untuk bercerita denganku. Karena aku akan selalu siap mendengarkannya. Dan dari mana aku tau Lysia selalu pergi menunggu Tobias setiap pagi, sore dan malam? Tentu saja dari Dylan yang selalu saja mau memberitahukan berbagai informasi pada ku. Sampai saat ini aku masih tidak tau kenapa Dylan sangat menurut padaku. Dan lagi dari mana ia tau banyak hal? Benar-benar aneh kalau dipikir-pikir.
“Kamu pulang sama Leon?” Tanya Lysia membuat ku tersadar dari lamunanku. Aku pun langsung menggeleng.
“Nggak, Leon hari ini ada latihan bisbol, hmm… kalau begitu Leon nggak ikut acara makan malam itu?” tanya ku sedangkan Lysia terdiam sejenak. Sepertinya tebakanku kalau acara makan malam itu hanyalah alasan Lysia memang benar. Lysia hanya tersenyum dan menggeleng.
“Nggak, kamu kan tau Leon tidak akur dengan ayah.” jawab Lysia. Fakta menarik, Leon adalah kakak tiri Lysia. Ayah Leon dan Ibu Lysia menikah saat keduanya masih kecil, namun Leon dan Lysia tidak pernah dekat.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya Kay, sampai besok.” Aku mengangguk dan Lysia langsung keluar kelas. Aku menghela nafas panjang. Sedikit merasa kasihan dengan Lysia tapi aku bisa apa? Aku pun keluar dari kelas dan berjalan secepat mungkin untuk keluar dari sekolah. Kenapa? Sebenarnya aku berbohong soal Leon yang sedang latihan bisbol. Cowok itu pasti sudah bertengger di parkiran mobil menungguku. Bukan apa-apa, aku juga tau Leon adalah pacarku, dan sebenarnya ia cukup baik walaupun kadang agak kasar dan menyebalkan. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku mau pacaran dengan Leon. Yah, sebenarnya aku cuma punya satu alasan yang mungkin akan kubahas nanti. Karena saat ini aku hanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
Saat bus datang aku segera duduk di salah satu bangku sebelum bus ini penuh. Kemudian terdengar dering telepon dari Leon yang sengaja ku abaikan. Hari ini aku memang ingin sekali menghindari Leon. Sebenarnya jarang sekali aku pulang dengan bus, namun ini adalah satu-satunya cara untuk cepat pulang sekaligus menghindari Leon. Tak terasa bus berhenti, aku segera turun dan berjalan ke rumah ku yang tidak jauh dari halte. Jujur saja Hari ini cukup melelahkan. Sampai di rumah aku langsung masuk dan berjalan ke dapur untuk meneguk segelas air yang langsung habis.
***
“Kay? Kamu sudah pulang?”
“Astaga Oma, ngagetin aja.” aku langsung mengelus dada, sedangkan seperti biasa nenekku yang biasa kupanggil Oma hanya menggeleng kearahku.
“Masa begitu saja kamu kaget? Leon mana?” Tanya Oma sedangkan aku masih meneguk segelas air ku. Oma pun menegurku, aku pun terpaksa menjawab dan menjelaskan kenapa Leon tidak bersamaku. “Kamu bagaimana sih Kay? Leon kan pacarmu, dan kalian juga sudah dijodohkan sejak lama, apa tidak bisa kamu baik sedikit pada Leon?” Tanya Oma sedangkan aku hanya terdiam. Yap, inilah alasanku mau berpacaran dengan Leon. Aku dan Leon sudah dijodohkan sejak kecil. Ayah dan ibuku adalah sahabat ayah Leon, dan sudah sejak lama mereka berusaha menjodohkan kami. Walaupun faktanya, mereka bahkan jarang sekali berada di rumah. Mereka selalu sibuk bekerja di luar kota. Mungkin hanya bisa dihitung jari seberapa sering aku bertemu dengan orangtuaku. Namun aku sudah terbiasa akan hal itu. Jujur saja aku tidak begitu menyukai Leon, dan satu-satunya alasan aku mau melakukan ini adalah karena Oma. Oma sudah merawatku sejak kecil. Umurnya bahkan sudah hampir 70 tahun namun masih sangat sehat dan kuat. Ia bisa menangani berbagai pekerjaan rumah, dan sama sekali tidak tampak tua dengan rambut sebahunya yang sudah putih semua. Aku sangat menyayangi Oma lebih dari apapun.
“Kay capek Oma, lagian Kay juga udah bilang ke Leon kok kalau Kay mau pulang duluan.” jelasku hendak naik ke kamarku. Oma hanya menghela nafas panjang sambil mengelus tangan ku.
“Ya sudah, kamu mau dibuatkan teh? Oma punya teh bunga camomile yang baru saja dipetik.” mataku berbinar mendengar tawaran Oma, aku pun langsung mengangguk antusias. Teh buatan Oma adalah teh terbaik yang selalu menjadi favoritku. Aku bahkan tidak tau bagaimana Oma melakukannya. Teh buatan Oma selalu terasa berbeda dan selalu berhasil membuatku kembali punya stamina setelah seharian kegiatan. Oma memang yang terbaik!
“Sekarang kamu naik dan mandi ya, biar Oma siapkan teh dan juga kue yang baru Oma panggang.” aku langsung berterimakasih dan memeluk Oma erat. Oma memang tau betul apa yang kubutuhkan. Aku beruntung punya Oma.
Setelah itu aku segera naik ke kamarku, meletakkan tasku begitu saja diatas meja, dan mengambil handuk untuk segera mandi. Namun saat aku melihat keluar jendela kamarku, aku bisa melihat Zach yang baru saja pulang. Dasar, cowok itu terlihat lemas sekali tanpa tenaga. Ia membuka gerbang rumahnya dan menutupnya perlahan. Dasar aneh. Apa coba yang membuatnya sampai tidak bersemangat seperti itu. Ia benar-benar orang termalas yang pernah kulihat.
Kemudian aku bisa melihat ayah Zach keluar dari rumah dan langsung menepuk bahu Zach dengan akrab. Kemudian entah apa yang dikatakan ayah Zach aku bisa melihat Zach kembali bersemangat. Sepertinya mereka akan melakukan kegiatan bersama. Aku jadi penasaran. Zach dan ayahnya pun masuk kedalam rumah mereka. Sebenarnya sejak dulu aku selalu iri dengan kedekatan Zach dengan ayahnya. Mungkin karena aku jarang sekali bertemu dengan ayahku. Aku memang punya Oma namun entah mengapa aku juga ingin punya ayah seperti Zach yang super seru. Aku mendengus kesal dan langsung mengambil handuk untuk segera mandi.
Terkadang aku berpikir bahwa..,
***
Zach
… hidup ini sangat tidak adil!
Bagaimana bisa aku sudah jatuh sebanyak tiga kali, sedangkan ayahku masih bisa berdiri dan bergaya-gaya didepanku?! Aku yang masih terengah-engah pun kembali mengangkat pedangku. Aku tidak mau kalah dari ayah lagi setelah sekian kalinya. Memang harus kuakui ayah hebat sekali bermain pedang, walaupun kali ini kami hanya berlatih dengan pedang kayu. Ayah masih tidak memperbolehkanku menggunakan katananya lagi sejak terakhir kali aku hampir merusaknya. Tapi tetap saja! Memangnya ia tidak bisa sedikit lunak padaku? Kenapa akhir-akhir ini ayah tambah hebat sedangkan aku semakin payah?! Padahal aku sudah berlatih mati-matian setiap hari, bahkan setiap malam di kamarku!
“Kau menyerah Zachy?” Tanya ayah dengan nada mengejek. Aku pun menggeleng cepat. Masih siap melawan ayahku. Jujur saja hari ini cukup menyebalkan, dan aku sangat bersemangat untuk berlatih, karena akhir-akhir ini ayah memang jarang ada dirumah karena sibuk bekerja sebagai seorang arsitek dan ia sedang mendapatkan proyek besar di luar kota. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku berlatih bersamanya.
“Ingat Zachy, kakimu harus kuat, itu kuncinya.”
Aku mengangguk dan ayah langsung menyerangku. Aku berhasil menangkis pedangnya beberapa kali, namun gerakan ayahku semakin cepat dan tidak terduga. Beberapa kali aku hampir terpojok namun aku berhasil membalik keadaan. Selama sesaat aku sudah senang, sepertinya kali ini aku bisa menang. Tapi ternyata aku salah. Ayah dengan mudah melemparkan pedang dari tanganku dan mengarahkan pedangnya tepat di leherku. Aku hanya terdiam membeku.
“Kau harus lebih fokus Zachy, kalau tidak kau sudah mati tadi.” ucap ayah tanpa bisa menyembunyikan senyum gelinya. Aku hanya mendengus frustasi. Jujur saja aku masih belum puas kalau belum menang dari ayah. Yang artinya tidak mungkin, ayah jauh lebih hebat dariku. Belum pernah sekalipun aku menang darinya.
“Ayo lagi ayah-”
“Eh Kayla?” ayah sudah mengalihkan perhatian dariku. Ayah tersenyum sangat lebar saat Kay, alias tetangga depan rumahku muncul. Kay menyapa ayahku ramah. Ngapain cewek itu kemari!? Dan lagi ia mengganggu latihanku hari ini!
“Hai paman, tadi Oma baru saja memanggang roti.” Kay menyerahkan sebuah bingkisan rapi yang langsung membuat mata ayah berbinar.
“Wah! Terimakasih banyak ya Kayla, seharusnya kamu tidak usah repot-repot.” Ayah langsung menerima bungkusan yang diberikan Kay.
“Nggak papa kok paman, tadi Oma juga buatnya kebanyakan.” jelas Kay lagi.
“Kalau begitu sampaikan terima kasih buat Oma juga ya.” Kay tersenyum dan mengangguk.
“Kamu jarang kelihatan Kay? Kamu pasti sibuk di sekolah ya?” Tanya papa seperti biasa berbasa-basi dengan Kay.
“Iya, tugas di sekolah lagi menumpuk paman, dan juga dua minggu lagi ujian akan diadakan.” jelas Kay sedangkan ayahku hanya mengangguk-angguk paham.
“Tapi Zach hanya bermalas-malasan dirumah, nilainya bahkan pas-pasan.” ayah melirik ke arahku bahkan Kay juga melihat sekilas kearahku sebelum menjawab.
“Sebenarnya nilai Zach nggak pas-pasan kok, mungkin bisa lebih bagus, kalau dia berusaha lebih keras.” Apa kata cewek itu? Bisa-bisanya dia bilang begitu tepat di depanku? Namun ternyata ayahku sendiri sama saja. Ayah hanya tertawa lepas diikuti oleh tawa geli Kay.
“Benar sekali, makin lama Zach semakin cuek, kadang paman juga sangat khawatir dengannya, tidak seperti Kayla yang rajin sekali belajar sampai akhir-akhir ini terlihat sibuk sekali.” ucap ayah di sela-sela tawanya. Aku hanya melotot ke arah dua orang yang ada di hadapanku. Bisa-bisanya mereka berbicara begitu?! Aku yang kesal hanya meneguk air mineral ku sampai habis.
“Kalau paman boleh minta tolong, Kayla bisa bantu Zach? Anak ini jelas butuh bantuan belajar. Dan lagi dulu kalian selalu main bareng saat kecil, paman masih ingat lho dulu kalian sering main bola bareng di halaman.” ujar ayah yang terlihat mengingat masa-masa kecilku. Sialnya kenapa ayah mengingat saat-saat aku selalu kalah dari Kay! Sekali lagi, aku mengakui kalau aku memang payah saat kecil. Dan jujur saja sejak kecil Kay memang sudah terlihat sekali tomboy dan suka bermain bola.
Kay hanya melirikku sekilas. Seolah-olah ia baru saja menyadari keberadaanku. Dan kenapa sekarang cewek itu hanya menyeringai ke arahku?! Sepertinya dia menikmati sekali bagaimana ayahku justru tidak membela putranya sendiri. Sejak dulu ayah memang selalu baik pada Kay. Aku tau Kay hanya tinggal bersama neneknya, sedangkan aku sama sekali tidak pernah melihat orangtua Kay yang kabarnya sibuk bekerja di luar kota. Ayah selalu bilang kalau tidak ada salahnya kami ikut memperhatikan Kay yang tinggal sendirian dengan neneknya sebagai tetangga yang baik. Namun sejak dulu aku selalu berpikir kalau Kay jelas tidak butuh bantuanku ataupun ayah. Aku balas menyeringai ke arah Kay.
“Nggak perlu yah, lagian Kay sibuk dengan teman-teman barunya.” baik ayah ataupun Kay spontan menoleh ke arahku.
“Maksudmu?” tanya Kay. Aku pun berjalan mendekat ke arah Kay, melipat tanganku di depan dada dan menatap cewek itu tajam.
“Sekarang dia pacaran sama Leon yah.” aku mengedikkan dagu ke arah Kay yang langsung sedikit terkejut. Bahkan ayah sama terkejutnya.
“Oh iya? Leon yang dulu berantem sama Zach?” Sialan! Kenapa hanya itu yang diingat oleh ayah?!
“Memangnya kenapa? Kau juga sekarang sibuk sendiri dengan urusanmu, lagian kau nggak kenal Leon. Leon selalu baik padaku.” ternyata kata-kataku berhasil memancing Kay. Cewek itu terlihat sedikit tersinggung. Namun entah mengapa aku tau kalau cewek itu berbohong. Mana mungkin Leon baik, padanya? Jelas-jelas perlakuan Leon pada cewek itu kasar sekali.
“Kau yakin? Jelas sekali kau selalu mengikuti kemanapun dia pergi, mirip…, seekor anak anjing.” ucapku cukup yakin berhasil membuat cewek itu semakin kesal.
Lucu sekali.
“Kau salah.” ujar Kay singkat namun tegas.
Aku mengangkat sebelah alis. “Oh ya?”
Kay mengangguk kemudian ia menunjuk tepat di depan hidungku. “Bilang saja kau yang iri dan takut pada Leon, kau saja tidak mau balik ke tim bisbol karena takut pada Leon kan!” Cewek ini benar-benar menyebalkan sekali. Ada apa sih dengan dia hari ini? Dan lagi bagaimana ia bisa tau soal tim bisbol?! Aku bisa melihat raut wajah ayah yang sedikit terkejut saat mendengarnya.
“Kau gila? Aku tidak punya waktu untuk menanggapi Leon dan aku memang tidak berminat lagi masuk ke dalam tim. Biar kau tau saja, sekarang aku sudah tidak selemah dulu.” jelasku sedangkan Kay masih menatapku tajam. Entah apa yang dipikirkan ayah sekarang. Sepertinya ayah menikmati pertengkaran kecil antara aku dan Kay. Namun biarlah, setidaknya aku tidak mau membahas tentang tim bisbol di depan ayahku. Tanpa diduga-duga Kay tersenyum. Namun bukan senyuman manis yang selalu ditampakkannya di sekolah. Melainkan senyuman jahil yang seringkali kulihat sejak kecil. Sepertinya tidak ada orang di dunia ini yang tau bagaimana sifat menyebalkan cewek yang berdiri di hadapanku ini.
“Kalau begitu buktikan kata-katamu.” setelah berkata demikian Kay hendak meminjam pedang kayu yang di bawa ayahku. Tentu saja ayah sama terkejutnya denganku. Yang benar saja? Kay mau melawanku?
“Kamu yakin Kay?” tanya ayah memastikan, namun entah kenapa ia tetap memberikan pedangnya pada Kay, seolah-olah ia tau kalau Kay bisa menguasainya. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh ayah?
“Lebih baik nggak usah, aku tidak mau melukai jari-jarimu.” aku hendak berbalik untuk masuk kedalam rumah karena malas sekali menanggapi Kay.
“Hah, bilang saja kau takut melawanku.” ujar Kay bangga sambil mengangkat pedangnya. Yang membuatku terkejut adalah posisi kuda-kuda Kay yang benar. Tentu saja ayah juga terkejut, namun mata ayah berbinar seolah-olah ia menantikan aku bertanding melawan Kay. Tunggu dulu, memangnya cewek itu pernah belajar menggunakan pedang? Aku tau Kay mempelajari banyak ilmu bela diri tapi tidak dengan pedang.
“Jangan bengong saja Zach? Kamu yakin mau menyerah melawan Kayla?” ucap ayah menyadarkanku dari lamuanku. Aku mendengus kesal dan meraih pedangku. Lalu bersiap melawan Kay.
“Jangan menyesal telah melakukannya, ini bukan kickboxing”
Kay menyeringai. “Katakan itu pada dirimu sendiri.” setelah mengatakan hal itu Kay langsung mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku yang belum siap sedikit tersentak ke belakang. Gerakan Kay sangat cepat, kuda-kuda nya kuat. Cewek ini jelas tau cara menggunakan pedang. Kay hendak melancarkan serangannya yang kedua, namun kali ini aku lebih siap. Aku menghindar dan ganti memukul pedangnya. Aku jelas salah telah meremehkan cewek ini. Suara pedang yang saling bergesekan pun terdengar makin keras. Tenaga cewek ini jelas jauh lebih besar dari tenaga cewek biasanya. Bukan karena aku pernah melawan cewek ya, biasa aku juga hanya berlatih dengan ayahku. Hanya saja satu hal yang aku tau, Kay jelas sama kuatnya dengan ku. Eh, hampir kalau boleh bilang, karena sejak tadi aku memang tidak mengerahkan seluruh kekuatanku. Mana mungkin aku terang-terangan mengerahkan seluruh kekuatanku pada seorang cewek? Sekalipun itu Kay yang menyebalkan, aku tidak akan memukulnya kan?
Pedang Kay sekali lagi berhasil memukul pedangku. Sial! Aku lengah karena terlalu santai. Sepertinya aku harus menarik kata-kataku. Aku jelas harus mengerahkan seluruh kekuatanku. Bodo amat dia cewek, aku jelas lebih tidak mau kalah dari seorang cewek tetangga. Tapi sekali lagi naluriku membuatku tidak bisa benar-benar menyerangnya. Lahi-lagi perasaan aneh ini! Kalau begitu aku hanya perlu menahan diri. Sepertinya cewek itu sudah mulai lelah. Spontan aku menghentikan serangaku. Seberapa menyebalkannya cewek ini aku tetap tidak boleh benar-benar mengerahkan seluruh tenagaku.
Namun bukan Kay namanya kalau menyerah begitu saja. Mengingat dia adalah cewek paling ambisius yang pernah aku kenal. Ternyata ia sama sekali tidak kelelahan. Kay berhasil menyentak pedangku sampai terlempar. Kemudian ia mengarahkan pedang ke leherku saat aku jatuh kebawah. Tunggu dulu! Cewek itu sudah mengunciku sampai aku tidak bisa bergerak. Yah! Kenapa ia menggunakan teknik judo?! Aku bisa merasakan ayahku yang hanya melongo melihatku kalah dari Kay. Entah apa yang akan dikatakan ayah padaku setelah ini. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri.
“Butuh bantuan Zachy?” Kay tersenyum setelah ia berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku langsung berdiri tanpa menerima uluran tangannya. Seharusnya aku tidak perlu menahan diri! Seharusnya aku melawan Kay saja dengan sekuat tenaga, mana aku tau kalau ia menggunakan segala cara untuk menjatuhkanku! Nafasku masih tersengal-sengal. Tapi harus kuakui cewek ini sangat cepat, aku bahkan beberapa kali tidak bisa menghindarinya. Dia juga kuat.
“Kau...? Dari mana kau belajar menggunakan pedang?” aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Selain fakta ia menggunakan teknik judo, Kay juga dapat menggunakan pedang dengan sangat ahli. Kay hanya menyeringai ke arahku.
“Seharusnya kau menutup jendela saat berlatih di kamarmu.”
APA?! Mana mungkin ia belajar hanya dengan melihatku berlatih dikamarku?! Memang sih aku sering kali berlatih di kamar saat malam, namun aku tidak menyangka kalau Kay yang rumahnya berjarak beberapa meter dari rumahku bisa melihatnya, apalagi mempelajarinya?! Tentu saja aku tidak mempercayai hal itu! Jangan-jangan cewek gila ini memang suka memata-mataiku?!
Kemudian terdengar suara tepuk tangan yang sangat keras. Ternyata Dylan sudah berdiri di samping ayahku, sepertinya ia baru saja datang. Disampingnya, ayah terlihat sangat takjub dan langsung menghampiri Kay. “Kayla! Kamu hebat sekali? Apa benar kamu hanya belajar saat melihat Zach berlatih di kamarnya?” tanya ayah yang pastinya super duper penasaran. Berani taruhan sekarang ia semakin mengagumi Kay daripada putranya sendiri. Dan Dylan? Sahabatku itu bahkan tidak bisa melepaskan pandangannya dari Kay. Ia terus bertepuk tangan seperti seekor anjing laut. Benar-benar tidak bisa dipercaya! Kay hanya tersenyum dan mengangguk. Sekilas aku melihat Kay sedikit malu. Cih, suka sekali tebar pesona.
“Hanya melihat Zach saja kamu bisa mengalahkannya, bagaimana kalau kamu berlatih sungguhan? Apa kamu masih rutin berlatih judo dan kickboxing?” tanya ayah lagi.
“Nggak kok paman, udah dua tahun ini Kay nggak pernah latihan lagi.” jawab Kay yang jelas bohong banget! Sedangkan ayah masih terlihat sangat takjub. Sial! Apa ayah tidak ingat anaknya masih menanggung malu karena kalah dari seorang cewek?! Aku hanya mendengus kesal dan mengisyaratkan Dylan untuk masuk ke rumah. Namun seperti biasa, sahabatku itu masih memandangi Kay dengan tatapan memuja yang terlihat bodoh. Sesaat aku tidak percaya kalau ia siswa terjenius kedua di sekolah. Aku memanggil Dylan sekali lagi sampai ia tersadar dan langsung mengikuti masuk ke rumah. Sebaliknya, Kay terus menyeringai ke arahku. Sialan, cewek itu pasti bangga sekali. Tunggu saja, aku tidak peduli seberapa kuat dia, aku pasti akan mengalahkan cewek itu. Aku tidak akan menahan kekuatan lagi, di kesempatan selanjutnya aku akan melawan cewek itu dengan serius.
Aku tidak akan kalah dari Kay!
***
Kay
Zach mengalah lagi!
Tentu saja aku senang bukan main! Secara aku berhasil menjatuhkan Zach di percobaan pertamaku. Walaupun sebenarnya aku sadar kalau Zach tidak benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya! Aku juga sempat menggunakan teknik judo untuk menguncinya sih. Tapi tetap saja! Menyebalkan sekali bagaimana ia harus mengalah dengan cewek. Maksudku aku kan bukan cewek lemah dan Zach tau itu! Namun ia masih saja bergaya-gaya mengalah padaku. Sebenarnya aku juga sadar kalau sejak kecil Zach selalu melakukan hal yang sama. Bagaimana ia selalu menerima tendangan bola dariku, pukulan dan semuanya begitu saja. Benar-benar menyebalkan! Bagaimana kalau suatu saat nanti ia diserang preman cewek? Apa dia tetap akan bersikap sopan dan bertarung sesuai aturan begitu?
Yah, walaupun begitu aku tetap senang sih. Secara Zach memang kalah dariku. Entah mengapa wajahnya yang cemberut itu kadang lucu juga. Tentu aku lebih menikmatinya daripada wajah datar yang selalu ditampakkannya. Tapi tetap saja aku kesal dengan Zach yang pergi begitu saja ketika ia kalah. Dasar! Mungkin aku harus menghajarnya lebih dari satu kali agar dia tau rasa!
“Kamu hebat sekali Kay, seharusnya kamu berlatih bersama Zach juga, kalau kamu mau paman bisa mengajarkan beberapa gerakan yang pasti bisa dengan mudah kamu kuasai.” Aku sedikit terkejut tidak bisa mempercayai apa yang kudengar.
Tentu saja aku mau sekali!
Sejujurnya ayah Zach sangat baik, berbeda sekali dengan anaknya itu. Sejak dulu aku memang selalu mengagumi ayah Zach. Bahkan kalau boleh bilang aku cukup mengidolakannya. Habis ayah Zach keren sekali! Aku hendak menjawab tepat saat Oma memanggilku untuk segera masuk kerumah dan membantunya menyiapkan makan malam. Akhirnya dengan terpaksa aku berpamitan dengan ayah Zach dan kembali kerumah.
“Kay…, Oma lihat kamu tadi berlatih pedang bersama Zach ya? Itu berbahaya Kay.” ujar Oma setelah menutup pintu rumah. Aku hanya menghela nafas panjang dan segera ke dapur.
“Cuma pedang kayu kok Oma, lagian Kay juga sering latihan kickboxing dan judo kan dulu.” Oma mengikutiku ke dapur kemudian menyuruhku untuk berhenti dan menghadapnya. Oma menatapku lekat-lekat. Aku tau kalau Oma pasti tidak setuju sama sekali. Sebenarnya aku memang sudah tidak pernah berlatih kickboxing, itu karen Oma menyarankanku untuk lebih fokus belajar.
“Kamu itu perempuan Kay, mana mungkin kamu bermain pedang seperti anak laki-laki? Bukannya kamu sudah janji untuk tidak berlatih bela diri lagi? Apa kata Leon kalau dia tau?” Aku hanya mendengus kesal, siapa yang peduli dengan pendapat Leon?
“Tapi Oma, Kay cuma berlatih sedikit kok setelah sekian lama, apa salahnya?” sekali lagi Oma menghela nafas dalam-dalam. Sebenarnya aku tidak tau kenapa hal ini begitu berat buat Oma. Apa sebegitu pentingnya untuk menjaga penampilan di depan Leon?
“Ya sudah, sekarang kamu duduk dulu, Oma mau ambil sesuatu di atas.” Aku mengerutkan kening ku bingung. Namun belum sempat aku bertanya, Oma sudah naik ke lantai atas. Aku pun hanya duduk seperti yang diminta Oma. Apa yang mau diambil Oma? Tak lama kemudian Oma kembali dengan sebuah kotak kayu putih kecil di tangannya.
“Selamat ulang tahun Kayla.”
Aku benar-benar terkejut. Tunggu, apa hari ini ulang tahunku? Seingatku ulang tahunku itu besok. Alhasil aku hanya bengong saat Oma tersenyum lebar sambil memberikan kotak itu. “Kamu lupa ya?” Oma menyadari keterkejutanku langsung mencubit pipi ku, membuatku langsung cemberut.
“Oma, kita kan sudah janji kalau tidak ada hadiah setiap aku ulang tahun.” ujarku langsung sedangkan seperti biasa Oma hanya menggelengkan kepalanya pelan.
“Oma tau…, tapi tahun ini kan kamu berumur 18 tahun, itu tandanya kamu sudah semakin dewasa…, tentu saja Oma harus memberikan hadiah buat Kay.” jelas Oma sedangkan aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Tapi Oma lupa ya? Ulang Tahun Kay kan masih besok Oma.”
“Nggak papa, Oma ingin sekali memberikan hadiah Oma sekarang.”
Oma duduk di sampingku dan langsung membuka kotak itu. Jujur saja aku sangat penasaran dengan apa yang diberikan Oma. Ternyata didalamnya ada sebuah Liontin dengan liontin mutiara yang sangat cantik. Mutiara biru itu sejernih kristal, bahkan sekilas terlihat seperti berlian yang bersinar. Aku takjub sekali, itu adalah mutiara terindah yang pernah kulihat! Yah, aku memang tidak terlalu menyukai perhiasan atau semacamnya, namun mutiara ini terlihat berbeda dan sangat unik.
“Cantik banget Oma? Pasti mahal banget ya? Seharusnya Oma nggak usah menghabiskan uang untuk ini.” Ucapku langsung merasa sangat bersalah. Sebenarnya aku tidak mau Oma menghabiskan uangnya untukku, namun aku tetap tidak bisa menahan diri untuk menyentuh Liontin tercantik yang pernah aku lihat dalam hidupku.
“Kamu tenang saja, ini adalah Liontin Oma kok.” Oma langsung membantu memasangkan Liontin itu di leherku.
“Benarkah? Lalu kenapa Oma memberikannya padaku? Oma yakin? Ini pasti Liontin yang sangat berhargakan?” Tanyaku masih menatap Liontin mutiara yang sudah ada di leherku lekat-lekat.
“Kamu harus menjaganya baik-baik Kay, itu adalah mutiara warisan leluhurmu, kelak kamu juga harus memberikannya pada anakmu suatu saat nanti.” Aku hanya menatap Oma bingung. Leluhur? Memangnya masih ada hal seperti itu di jaman sekarang? Namun aku hanya tersenyum dan mengangguk ke arah Oma.
“Terimakasih! Oma yang terbaik.” Aku langsung memeluk Oma erat. Oma yang sedikit terkejut pun hanya tertawa pelan. Ia mulai membelai rambutku halus.
“Sama-sama Kayla, sudah sekarang Oma mau lanjut masak, Oma membuat sup kepiting kesukaanmu.” aku melepaskan pelukan ku dan menatap Oma dengan mata berbinar. Sup kepiting adalah kesukaan ku! Apalagi buatan Oma, benar-benar tidak ada duanya!
“Biar Kay bantu Oma.” Aku mengikuti Oma ke dapur. Entah mengapa sore ini aku senang sekali. Aku tidak memikirkan hal lain lagi. Seharusnya aku mulai bersyukur, secara aku punya Oma yang sangat berarti buatku. Itu pun sudah cukup.
Beruntungnya aku!
***