Bagian 9
“Pak Baihaqqi, besok bantu saya ke dinas ikut sosialisasi ujian nasional!”
“Baik, Bu Nurma,”
“Pagi sekali tolong ke sekolah ambil CPU untuk dibawa besok, sesuai arahan semua sekolah wajib bawa server ke dinas selama sosialisasi,”
“Saya yang bawa, Bu?”
“Saya kalau begitu?”
“Apa nggak diantar sama Pak Kepala?”
“Mana mungkin Pak Kepala bolak-balik sekolah ke dinas, rumah Beliau kan dekat dengan dinas. Tugas ini sudah jadi kewajiban kita berdua,”
“Saya takut bawa CPU sendirian, Bu…,”
“Saya nanti di belakang, Pak Baihaqqi,”
“Kalau kenapa-kenapa bagaimana, Bu?”
“Bapak ini terlalu naif. Justru yang dibutuhkan kehati-hatian Bapak itu sendiri. Bagaimana Bapak bisa telaten kalau masih saja berpikir negatif?”
“Bukan begitu, maksud saya…,”
“Tak ada bantahan, Pak Baihaqqi! Besok pagi Bapak ambil CPU terus bawa ke dinas,”
“Baik, Bu,”
Saya kembali ke kelas setelah menerima tugas negara. Jam pelajaran segera dimulai namun pikiran saya bercabang ke mana-mana. Besok menjadi hari yang melelahkan, itu sudah pasti. Yang lebih membingungkan tentu saja bagaimana saya membawa CPU ke dinas dengan sepeda motor Honda Astrea dalam jarak 20 kilometer.
Saya melihat beberapa mobil guru terparkir dengan rapi di halaman sekolah. Apa tidak ada seorang pun yang menawarkan diri untuk besok? Basa-basi pun boleh biar saya tidak ketakutan setengah mati.
Bagaimana kala CPU jatuh di jalan? Bagaimana kalau saya tersenggol orang lalu jatuh bersama CPU? Bagaimana kalau tiba-tiba motor saya mogok karena sering terbatuk-batuk hingga kini?
Saya dilema. Bu Nurma seakan melayang dengan langkahnya di depan saya. Wakil Kepala Bidang Kurikulum dengan berat badan sekitar 85 kilogram itu tidak pernah ada beban di kepalanya. Segala bantuan segera datang jika Bu Nurma meminta pertolongan. Apalagi kami anak bawang, Bu Nurma punya andil untuk tidak memberikan jam kepada guru honorer yang bandel menurut kaidahnya atau sahabat terbaik, Bu Rosmala dan Pak Adam.
“Pak Arafat ini bagaimana? Sudah tahu anak-anak nggak suka dibentak-bentak, ini malah Bapak pukuli mereka!” teriak Bu Nurma di depan pintu kelas XI-IPS 1.
Di dalam kelas Pak Arafat yang terkenal pemarah melebihi amarah saya dan kumpulan guru honorer lain di sekolah tampak santai saja.
“Mereka nggak buat tugas, Bu Nurma,” ujar Pak Arafat dengan lemah-lembut, khas gayanya yang kalem tetapi mata melotot kalau diarahkan ke anak-anak yang sinis terhadapnya.
“Bapak masih guru honorer, jangan macam-macam dengan anak-anak. Bapak kalau dituntut menyalahi aturan sah-sah saja, sekolah tak bisa bantu kalau Bapak kena kasus!” pekik Bu Nurma, entah disengaja besar-besarkan suara entah memang begitu kalau nadanya menegur. Yang pasti, guru-guru yang sedang mengajar di 12 kelas keluar semua, termasuk guru-guru yang sedang duduk di meja piket.
Bu Vera, Bu Amna, saya, dan tentu saja beberapa guru honorer lain menjadi ciut.
“Zaman sekarang ya, Pak Arafat. Nggak ada lagi main pukul-pukul anak kalau pun bandel sekali. Itulah tugas Bapak mendidik mereka dengan baik. Saya tahu, Bapak masih honorer dan belum jadi guru profesional tetapi kode etik seorang guru tetap harus Bapak jalankan,” Bu Nurma akan panjang.
Jangan pernah harap ada yang melerai.
“Pak Arafat semestinya sadar diri. Kalau saya perhatikan, Bapak selalu bertingkah penguasa saat berada di dalam kelas. Kalau saya cek juga, perangkat pembelajaran Bapak mana lengkap untuk mengajar di kelas. Toh, selama ini Bapak mengajar cuma marah-marah saja. Cubit kuping anak-anak. Pukul pundak anak-anak. Belum lagi suara Bapak kalau marah seperti suara petir. Anak-anak nggak suka gaya itu, Pak. Itu tandanya Bapak nggak amalkan RPP dengan baik apalagi mengamalkannya. Apa juga gunanya Bapak mengajar?”
“Saya kesal mereka sering membantah, Bu Nurma…,”
“Bapak koreksi diri sendiri dong. Dari awal masuk ke sekolah ini, saya perhatikan tak pernah ada anak-anak yang suka sama Pak Arafat. Bapak masih bersyukur diterima dengan baik, kalau sekolah lain mungkin saja Bapak sudah dipecat!”
Guru honorer dipecat?
Apa kata perundang-undangan yang tidak menggaji guru honorer sesuai keringat yang dikuras?
Anak-anak mulai cekikikan di mana-mana. Kelas yang semula diam sekarang gaduh. Dari ujung ke ujung anak-anak keluar kelas. Guru yang mengajar pun menikmati drama Bu Nurma dan Pak Arafat. Saya tidak melihat guru-guru itu meminta anak-anak kembali masuk ke dalam kelas. Saya cuma melihat gaya mereka menyeringai dan berbincang satu sama lain.
“Pak Arafat memang layak ditegur sesekali,” Bu Rosmala berbisik dengan suara jelas sekali.
“Benar,” Pak Adam menjadi kawan sepadan. “Saya juga perhatikan Pak Arafat nggak pintar mengajar, masuk kelas cuma marah-marah,”
”Pantas masih honorer,”
“Sudah berapa lama kira-kira, Bu?”
“Setahu saya, Pak Arafat guru honorer paling tua dari semua yang ada di sini,”
“Oh kasihan sekali,”
“Nggak perlu kasihan, tabiatnya jelek begitu…,”
Tak jauh Bu Vera sesunggukan dibalik kerudungnya yang ditutupi ke mulut. Drama paling dramatis hari yang cerah melebihi drama yang tayang tiap hari di televisi ikan terbang.
“Saya tanya kembali sama anak-anak ya, Pak Arafat?” Bu Nurma bukan lagi sedang menjadi hakim persidangan tetapi sedang mempermalukan kami semua sebagai guru honorer.
“Saya tidak bersalah, Bu Nurma…,” yang salah Pak Arafat itulah darinya, tak pernah mau mengalah dan teguh pada pendirian. Kalau saya mungkin akan mengalah karena sudah malu sekali di depan anak-anak kena tegur - tepatnya kena marah - oleh guru lain yang kebetulan posisinya sebagai wakil kepala sekolah.
“Kita lihat nanti, Pak,” Bu Nurma mengambil ancang-ancang dengan mata tajam ke seisi kelas, “Apa benar Pak Arafat memukul kalian karena tidak buat tugas?”
“Saya ada,”
“Ada, Bu,”
“Kami buat semalam, Bu,”
“Soal lain jawaban lain,”
“Soal belum pernah dikasih contoh,”
“Soal terus-terusan,”
“Bosan buat tugas terus, Bu,”
“Sudah-sudah!” suara Bu Numa menggema. “Sudah sepantasnya kalau kalian dipukul karena abai buat tugas,”
Pak Arafat mengangguk-angguk dengan seringai senang.
“Jangan begitu, Bu,”
“Saya buat juga tapi kena pukul juga,”
“Saya juga,”
“Masa kami diibaratkan tsunami, Bu. Seorang salah semua kena!”
“Saya tak terima, Bu,”
“Siapa yang tidak siap tugas?” tanya Bu Nurma, “Tunjukkan ke saya orangnya yang mana?”
“Itu…,” mata anak-anak dan Bu Nurma mengarah ke satu titik. Pak Arafat acuh tak acuh. Saya melirik dengan mata penasaran.
“Kamu Saiful?” tanya Bu Nurma tegas.
“Kemarin itu saya tak datang, Bu. Tak tahu pun ada tugas banyak begitu,” jawab Saiful santai.
“Kamu pikir sekolah ini milik kamu? Sudah sepantasnya kamu mengerjakan tugas sebanyak-banyaknya kalau mau tamat dengan nilai baik dari sekolah ini. Kamu jangan salah sangka. Kamu itu masih anak sekolahan. Tugas kamu di sekolah ini belajar, apapun yang diberikan guru kamu terima dengan baik. Kalau tidak mau belajar buat apa kamu sekolah? Kamu sadar diri kalau kamu masih rangking terbawah di kelas ini!” Bu Nurma berapi-api memarahi Saiful. Amarah yang teralihkan sampai membuat Pak Arafat besar kepala.
“Lagian, guru honorer kok kasih tugas banyak-banyak dan tiap hari pula!” keluh Saiful masih dengan tanpa beban.
“Kamu kira saya tidak lihat absensi kamu selama sekolah? Dari kelas X sampai kelas XI semester genap ini, kamu absen berkali-kali. Sudah berapa kali pula wali kelas menyurati orang tua kamu? Ada sekali saja orang tua kamu dan kamu sendiri menghargai guru dan sekolah ini?” Bu Nurma makin menggebu-gebu.
“Memang benar, Bu, guru pegawai saja nggak kasih tugas sebanyak guru honorer…,” Saiful masih teguh pendirian.
Tak tahu malu!
“Guru honorer juga guru kamu. Nggak ada bedanya status guru yang sedang berdiri di hadapan kamu sekarang ini?”
“Ibu tadi bilang Pak Arafat guru honorer,”
“Apa hak kamu mengatur saya? Kamu yang masih sekolah saya tidak becus, kalau jadi guru honorer kamu bisa jadi guru preman!”
“Saya tak bermimpi jadi guru, Bu!”
“Mimpi jadi tukang kayu pun kamu wajib buat tugas selama masih di sekolah ini!” Bu Nurma melotot persis di wajah Saiful. Anak itu menunduk malu.
“Pak Arafat juga,” pandangan Bu Nurma kembali beralih ke Pak Arafat yang sedang senyum-senyum manis. “Nggak ada hukum tsunami di sekolah kita. Ingat! Anak mana yang buat salah, anak itu yang berhak Bapak hukum tapi tidak dengan kekerasan!”
“Baik, Bu Nurma…,” Pak Saiful dengan lemah-lembut gayanya.
Baik untuk hari ini.
Saya tahu bagaimana Pak Arafat.
Oh, tidak mengunjing. Saya bicara kenyataan. Pak Arafat sebelas dua belas dengan Bu Nurma. Baik di menit yang itu, berbeda kalau sudah berganti menit apalagi tanggal.
Pak Arafat sudah memecahkan rekor guru honorer dengan banyak sekali teguran selama mengajar di sekolah. Kau mungkin berpikir ini paling keras karena dipermalukan di depan anak-anak. Ada teguran paling keras, dipanggil Kepala Sekolah.
Nyaris Pak Arafat dikeluarkan karena anak-anak melakukan demonstrasi. Semua kelas yang Pak Arafat masuk tidak ada satu pun setuju dengan caranya mengajar.
Datang tanpa salam. Anak-anak yang terlambat masuk atau masuk di belakangnya langsung disuruh berdiri di depan dari mulai masuk sampai selesai pelajaran. Anak-anak yang tidak buat tugas, seperti kejadian hari ini. Anak-anak yang ribut di kelas langsung kena tampar.
Sah jika Pak Arafat kena teguran berkali-kali. Tapi kasihan karena dirinya tak pernah mau berubah. Meskipun sudah disebut guru honorer berkali-kali. Yang mana, saya sendiri malu mendengarnya. Bu Vera sampai menangis tersedu-sedu. Bu Amna menunduk dalam-dalam. Dan guru-guru pegawai lain mengunjing tanpa iba.
Kembali ke saya sendiri. Saya tidak mau memperlambat waktu. CPU di ruang laboratorium harus saya pisahkan dari monitor, dan mencopot mouse, keyboard maupun kabel-kabel lain yang masih terhubung dengannya. Besok pagi saya tidak kerepotan lagi dengan kabel-kabel ini.
Oh, benar. Saya hampir lupa. Pak Arafat sebenarnya juga pintar komputer. Sebelum saya datang ke sekolah ini, Pak Arafat adalah asisten Bu Nurma. Bisa kau bayangkan berapa lama Bu Nurma menjabat sebagai Waka. Kurikulum.
Satu kesalahan Pak Arafat, diantara kesalahan lainnya, adalah sering mengerjakan sesuatu sesuai keinginannya sendiri. Bu Nurma menyuruh ini, baku bentuknya. Pak Arafat membelokkan ke arah atau model lain yang membuat Bu Nurma tidak suka atau memang tidak boleh diubah sama sekali.
Sebelum saya membantu di laboratorium komputer, Pak Arafat terlebih dahulu mengelolanya. Apa mau dikata, Bu Nurma marah besar ketika satu persatu komputer rusak kena virus, mouse hilang, keyboard tidak berbentuk, dan banyak perkara lain yang membuat Pak Arafat diturunkan sebagai pengelola laboratorium.
Segelintir cuma yang mau saya kabari agar kau bisa membaca kondisi. Selebihnya, Pak Arafat masih demikian adanya. Sampai hari di mana Bu Nurma permalukannya dengan telak, Pak Arafat nggak akan berkaca kesalahan dirinya sendiri.
Saya yakin itu.
Mestinya, Pak Arafat malu.
Karena kami guru honorer!
Sudahlah. Saya fokus untuk besok pagi. Syukur-syukur Bu Nurma berbaik hati!
***