Bagian 10
Ke dinas adalah membantu tugasnya Bu Nurma agar lancar. Saya tidak mau ada drama apapun di hadapan orang banyak. Lebih tepatnya, saya tidak mau dipermalukan oleh Bu Nurma di depan kenalannya, bahkan orang dinas yang sedang memberikan arahan dan bimbingan terkait ujian nasional.
Saya menarik gas Honda Astrea dengan perlahan-lahan, namun yang terdengar adalah pekikan mesin. Saya gugup. Itu sudah pasti. Honda Astrea yang telah saya masukkan gigi satu itu meloncat, CPU yang saya letakkan di bagian depan oleh, hampir saja terjatuh di depan laboratorium komputer.
Jantung saya berdegup kencang. Mata saya berkunang-kunang dalam panik. Helm yang saya pakai terasa sangat berat sekali padahal itu adalah helm teringan yang ada di sekolah kami. Helm guru-guru lain sangatlah berat dan besar-besar sekali bentuknya.
“Pak Baihaqqi, saya pergi agak terlambat ya, ada yang harus saya kerjakan dahulu,” kata Bu Nurma lima menit yang lalu. Saya makin goyang di dalam hati dan pikiran.
Honda Astrea yang saya kendarai terbatuk-batuk di 5 kilometer perjalanan ke dinas. Saya jepit CPU dengan kedua paha yang pegalnya mulai terasa. Spion yang kecil dan miring ke bawah menjadi bagian tersusah untuk melihat ke belakang. Beberapa kali klakson sepeda motor dan mobil mengejutkan saya.
Jangan latah.
Jika tak mau patah.
Saya pasrah.
Tapi mesti berserah pada keadaan dan tanggung jawab. Honda Astrea itu kembali terbatuk-batuk. Saya sudah mengisi bensin kemarin sore langsung ke POM bensin, bukan bensin eceran yang mungkin saja sudah dicampur dengan minyak lain.
Jangan sekarang buat tingkah.
Saya tahu, Honda Astrea ini mungkin tidak percaya diri membawa CPU yang harganya lebih mahal dari dirinya. Sabar. Semua ini proses panjang yang saya butuhkan untuk masa depan; yang mungkin lebih baik.
Dinas sudah di depan mata. Paha saya sangatlah pegal kini. Saya memarkirkan Honda Astrea di dekat sepeda motor lain yang lebih bagus dari tahun terbit yang lebih terbaru dan modelnya yang matic. Saya menenteng CPU yang cukup berat untuk orang kurus begini. Saya letakkan di teras aula yang belum ramai orang itu.
“Bawa CPU ya, Pak?” tegur seorang Bapak dengan pakaian PDH rapi.
“Iya, Pak,” jawab saya dengan sedikit gugup. Saya belum terbiasa berhadapan dengan banyak orang yang posisinya lebih baik secara pangkat dan golongan, dibanding saya cuma guru honorer yang membantu suksesnya pelaksanaan ujian nasional nanti.
“Saya tidak ada arahan bawa CPU,”
“Tidak ada, Pak?”
“Betul,”
Bagaimana ini? Masa saya saja yang bawa. Mari tunggu perwakilan sekolah lain. Bapak itu merokok dengan embusannya ke mana-mana. Saya terbatuk. Bapak itu cuek saja. Saya terbatuk berkali-kali. Bapak itu enggan berpaling.
Satu dua orang berdatangan. Tak ada yang bawa CPU. Mungkin belum. Saya rasa hampir setengah undangan yang datang, belum ada membawa CPU turun dari mobil atau terlihat dibawa dengan kendaraan roda dua.
Acara dimulai tepat pukul 10.00 WIB. Bu Nurma belum datang, dan cuma saya yang terlihat membawa CPU. Saya letakkan mesin utama komputer itu di dekat saya duduk. Jantung berdetak lebih kencang, bukan bagai benderang tetapi gugup dan bingung mau berbuat apa.
Saya memang tidak mau menceritakan detail di sini karena kau pasti akan jenuh. Intinya, tidak ada yang bawa CPU ke dinas hari itu dan kegiatan utama adalah sosialisasi pelaksanaan ujian nasional. Program Virtual Box, VHD, Exam Browser, begitu sebutannya, yang saya baru tahu hari itu ‘nanti’ akan diberikan oleh dinas kepada sekolah pelaksana ujian nasional, atau bisa mengunduh pada situs yang tersedia.
Saya nantinya akan menunggu pengiriman program tersebut…
Baiklah. Sosialisasi selesai.
Saya kembali menggotong CPU ke keluar ruangan itu dengan lirikan mata dari semua orang.
Tubuh kurus, pendek, kecil itu sedang bekerja keras, mungkin itu pikir mereka. Atau mungkin juga kasihan melihat saya tertatih-tatih.
Bu Nurma sedang bercengkerama dengan beberapa ibu-ibu lain. Senyumnya sumringah. Tampak senang sekali dirinya hari itu.
“Pak Baihaqqi,” panggilnya. Saya langsung mendatangi tanpa menunggu lama. Lebih cepatnya ingin segera pulang dengan CPU yang terkesan lebih berat daritadi pagi di bawah terik matahari yang benar-benar panas sekali.
“Bu Nurma…,” sapa saya.
Saya sudah membawa CPU tapi…, batin saya. Yang kau tahu sendiri, Bu Nurma tak peduli soal itu.
“Pak Baihaqqi ini yang banyak bantu saya di sekolah, Bu,” ujar Bu Nurma ke kawan karibnya, mungkin kawan dekat, mungkin kawan kuliah dulu, entah.
“Beruntung sekali Bu Nurma ada yang bantu,”
“Jelas dong,”
“Susah sekarang kita minta bantuan, orang-orang pada sibuk sendiri,”
“Nggak juga, Bu. Sekarang guru honorer telaten sekali dan pintar-pintar mereka,” ungkap Bu Nurma.
Ah, masa?
Kemarin Bu Nurma berkata lain.
“Setuju, Bu Nurma. Di sekolah saya yang kerja itu banyak guru honorer. Apalagi yang berhubungan dengan laptop, guru honorer itu bisa semua. Kalau ada kegiatan guru honorer yang masih muda itu di barisan depan. Kita-kita tinggal menonton saja kerja mereka,”
“Pak Baihaqqi ini salah satunya, Bu. Di sekolah saya cuma Bapak ini yang bisa diandalkan untuk bantu saya. Semua guru di sekolah bisa saya sebut terbantu dengan kehadiran Pak Baihaqqi,”
“Di sekolah saya juga ada kayak Pak Baihaqqi ini, Bu,”
“Di mana-mana ada ya, Bu,”
”Iya, Bu,”
“Jarang-jarang kita temui orang seperti Pak Baihaqqi, mau bantu kita yang sudah tua. Contohnya ujian model sekarang ini cuma bisa dipahami oleh orang-orang setipe Pak Baihaqqi saja,”
“Kita ujian tulis, Bu,”
“Ujian tulis pun sekarang butuh Pak Baihaqqi buat ketik soal,” Bu Nurma terkekeh. Tampaknya ia senang sekali bercerita sedangkan saya cuma jadi pajangan yang selepas ini akan lain ceritanya lagi.
“Itu saya, Bu Nurma. Saya sudah malas belajar mengetik, laptop ada tapi lebih banyak dipakai sama anak. Minta tolong anak ketik soal sebentar, banyak sekali alasan. Akhirnya guru honorer di sekolah yang jadi bala bantuan,”
“Anak saya lebih lagi, Bu. Laptop sudah saya beli, rupanya sibuk main game,”
“Ada-ada saja kelakuan anak-anak ya, Bu,”
“Kita tidak bisa larang. Jadinya Pak Baihaqqi yang bisa saya minta tolong,”
Tidak melarang tepatnya, Bu Nurma.
“Pak Baihaqqi pasti idola di sekolah ya, Bu,”
“Bukan lagi,”
“Semua orang pasti ingin dibantu kerjanya. Guru-guru tua lebih utama ya, Pak,” ujar Ibu itu dengan mata diarahkan ke saya namun dalam picingan saja. Entah saya yang merasa diri atau memang begitu basa-basi dari ibu-ibu yang berpangkat jika sedang berbicara atas sesuatu di depan orang itu.
“Baik, Bu,” jawab saya pelan.
“Nah, itu baru Pak Baihaqqi yang saya kenal,” ujar Bu Nurma dengan lugas. “Tapi, Bu, tahu nggak kalau mulai bulan depan sertifikasi akan direkap jadi tiga bulan sekali bayar?”
“Tahu!”
“Itulah, kan, ada-ada saja aturan…,”
Bu Nurma dan Ibu-ibu lain itu mulai bercerita atas nama mereka. Saya cuma jadi kacangan sampai pamit tak lama setelah itu.
“Baik, Pak. Sampai jumpa di sekolah ya!” ujar Bu Nurma sepintas.
Tanpa bertanya, bagaimana dengan CPU yang saya bawa.
Tanpa basa-basi, bagaimana saya pulang dibawah terik matahari. Padahal Bu Nurma mengaku diantar suaminya dengan mobil.
“Saya mau ke pasar sebentar, Pak…,” tanpa melanjutkan kalimatnya pun saya paham ke mana tujuan, dan arah keberatan Bu Nurma membawa pulang CPU ke sekolah.
Saya mengengkol Honda Astrea dengan keras. Besi itu membal. Kena betis kecil saya yang banyak bulu. Sakit sekali.
Saya engkol lagi dengan pelan. Suara mesin Honda Astrea itu terbatuk. Mungkin businya telah aus. Saya mengengkol lagi dan hidup dengan tersendat-sendat.
Saya menarik gas dengan pelan sekali. Takut tersengkol dengan apapun itu, atau CPU goyang sedikit yang berakibat saya bisa jatuh di bawah matahari yang panas dan pandangan orang-orang dari teras aula yang masih bercerita ala mereka.
Saya menarik napas panjang.
Saatnya pulang dengan tenang.
Tapi, di kilometer 15 sebelum sampai ke sekolah Honda Astrea yang saya banggakan dan cintai mati mendadak. Saya letakkan CPU agak ke pinggir. Saya engkol berkali-kali. Tidak mau hidup juga.
Peluh sudah membasahi seluruh tubuh saya. Saya naikkan kembali CPU ke bagian depan Honda Astrea itu. Saya mulai mendorong perlahan-lahan. Ransel berisi laptop dan beberapa buku terasa sangatlah berat. Matahari seperti berada di bawah pelipis.
Satu dua orang memberikan klakson. Entah ‘permisi’ entah ‘hei kenapa kamu’ yang saya tahu tak ada seorang pun yang berhenti memberikan pertolongan.
5 kilometer. Saya butuh dorongan kuat untuk sampai ke sekolah. Saya sudah bermandi peluh. Saya pun sudah jenuh. Badan saya pun tambah kurus. Tapi saya tidak dibenarkan untuk mengeluh.
Saya terus mendorong Honda Astrea yang berat sekali saat tidak dihidupkan. Mata saya berkunang-kunang. Biarpun badan saya kecil dan kurus, serta tinggi cuma 158 centimeter, saya tetap harus kuat karena saya adalah laki-laki!
Ya. Saya tak boleh lemah. Untuk masa depan.
Lebih tepatnya, masa depan orang lain yang akan ujian tak lama kemudian!
***