Bagian 6
Muhammad Iqbal singgah ke rumah dari perjalanan dinas.
“Kau belum gemuk juga?”
“Kenapa kau yang risau?”
“Aku kau tanya siapa? Sudah karam dunia ini!”
“Aku ingin tahu saja,”
“Jelaslah aku risau. Kau sahabat sejatiku, tapi saja kurus kering,”
“Biar kurus tapi sehat,”
“Orang tak tahu kau sehat, yang dilihat kau ini kurus!”
“Buat apa peduli kata orang?”
“Karena kau hidup di lingkungan orang-orang,”
“Kau sendiri kenapa tak gemuk?”
“Kau kecewa?”
“Untuk apa?”
“Biar aku banyak uang tapi aku peduli kesehatan. Kerja boleh siang malam, olahraga juga wajib ada!”
“Kau tak kelihatan senang hidup berarti?”
“Kata siapa? Orang-orang sukses sekarang ini sudah berubah gaya hidup sehat, banyak yang six-pack, karena mereka tahu uang bukan segalanya,”
“Aku juga six-pack,”
“Hahaha,”
“Aku nggak perlu olahraga mahal, cukup ke sawah,”
“Siapa bilang aku olahraga mahal?”
“Aku,”
“Lari pagi dan sore, sesekali angkat beban di gym,”
“Bayar juga,”
“Buat kesehatan bolehlah,”
“Aku gratis,”
“Gratis kau tak berbentuk,”
“Siapa bilang?”
“Coba kita bandingkan,”
“Ini coba kau lihat,”
“Itu kurus, lingkar pingang saja kayak jarum. Ini aku punya!”
“Itu kurus juga,”
“Siapa bilang? Ini bagaikan biola,”
“Putri duyung,”
“Biola tak berdawai,”
“Mahal,”
“Mahal sehat nggak masalah, daripada murah kering sebentar langsung terbang ditiup angin,”
“Mana ada,”
“Itu!”
Dubrak.
“Nah, kau jatuh. Aku cuma senggol pakai jentik,”
“Tenaga Wiro Sableng,”
“Sito Gendeng!”
“Kenapa kau nggak buka saja Pintu Ke mana Saja?”
“Aku masih mau di sini, kangen dan rindu,”
“Tak ada bedanya,”
“Kau anggap saja sama,”
“Apa manfaatnya,”
“Suatu hari kau pasti tahu,”
“Masa depan,”
“Oh ya, bagaimana sekolah kau?”
“Masih sama,”
“Belum lulus juga kau sertifikasi?”
“Belum,”
“Kau bisa ikut tes PPPK?”
“Masuk daftar saja nggak,”
“Kau sudah lama mengajar, bukan?”
“Diambil tahun yang lebih lama,”
“Kapan juga kau boleh ikut?”
“Kapan dipanggil,”
“Kalau tak dipanggil?”
“Tunggu dipanggil?”
“Kapan itu?”
“Selesai K2 dulu,”
“Kalau nggak selesai-selesai,”
“Tunggu lagi,”
“Kau sudah tua,”
“Kita yang menua,”
“Setahun digaji pemerintah, kau pensiun. Yang kau nanti-nanti, bisa hidup senang sebagai PNS, dapat gaji pensiunan, tinggallah kenangan!”
“Apa mau dikata,”
“Kau menyesal sekarang?”
“Tidak,”
“Kau kecewa?”
“Tidak,”
“Kau putus asa?”
“Tidak,”
“Kau rasa semua itu,”
“Tidak mungkin,”
“Mungkin,”
“Tidak,”
“Aku bisa merasakan aura panas itu,”
“Tidak!”
“Itu kau marah,”
“Tidak…,”
“Itu kau tersinggung,”
“Tidak…,”
“Kau pasti depresi?”
“Iya…, tidak, tidak!”
“Kau sudah tahu aku tak bisa ditipu,”
“Aku harus menangis?”
“Ku menangis…,”
“Membayangkan….,”
“Betapa kejamnya dirimu…,”
“Atas diriku…,”
“Aku tak pernah menduakanmu,”
“Aku juga,”
“Tapi kau diduakan,”
“Oleh siapa?”
“Keadaan. Kau kerja paksa tiap hari, tapi sama sekali hidup kau tidak naik derajat,”
“Secara ekonomi?”
“Itu penting,”
“Kata siapa?”
“Kata dunia,”
“Kau mengada-ada,”
“Kau berharap ada lagi pemutihan itu ujung-ujungnya uang, kau berharap lulus serifikasi adalah uang, kau berharap dipanggil PPPK juga uang, semua itu untuk menaikkan taraf perekonomian kau dan keluarga,”
“Aku masih bisa bahagia dengan keadaan sekarang,”
“Kuulang. Kau tidak mendapatkan apa-apa. Waktu terbuang. Tenaga terkuras. Usia hilang entah ke mana. Jodoh pun tak sampai!”
“Aku harus bagaimana?”
“Sudah terlambat untukku memberi saran,”
“Kau temanku,”
“Kau musuhku saat menerima masukan dan saran. Sekarang kau tunggu saja sampai lulus tes kalau dipanggil PPPK, atau menunggu sampai 50 tahun usia kita!”
“Mungkin tak ada harapan,”
“Itu kau tahu,”
“Benar kau bilang. Sudah terlambat!”
“Kau bisa buat yang aneh-aneh,”
“Aku tak tahu,”
“Kau cuma malu,”
“Aku tak tahu malu,”
“Kalau begitu, gunakan kesempatan hari ini jangan cuma andalkan mengajar di sekolah,”
“Kau saran apa?”
“Aku tak kasih saran,”
“Kenapa juga kau membual?”
“Aku memberiku utang,”
“Kau tahu aku tak sanggup bayar,”
“Kau bayar dengan kreativitas dan semangat,”
“Kau mengkhayal,”
“Orang penuh khayalan bisa sampai ke Bulan,”
“Aku bisa apa?”
“Kau pakai laptop bagus yang ku kasih ini, kau buka mata lebar-lebar, buka mata batin, buka sudut pandang, buka semangat hidup yang belum tercapai…,”
“Terus?”
“Kau bisa sukses tanpa membanggakan titel guru honorer!”
“Kau penuh pesona,”
“Aku selalu tampan,”
“Aku tak bisa…,”
“Sekali kau bantah perkataanku lagi, kita bercerai seumur hidup!”
“Aku tak mau pisah denganmu,”
“Aku pun tak sudi,”
“Aku masih bingung…,”
“Nanti malam Harry Potter diputar di TV. JK. Rowling cuma ibu rumah tangga tapi bisa menghasilkan novel mendunia. Kau siapa?”
“Aku?”
“Cuma guru honorer yang patah semangat!”
“Aku bisa apa…,”
“Kau bisa berhenti mengeluh dan gerakkan langkah. Mau kau menulis novel. Mau kau andalkan teknologi untuk menulis blog. Mau kau bikin video tak berfaedah. Mau kau kerjakan apa, aku tak peduli. Aku cuma bantu kau dengan alat bekerja,”
“Aku tak enak menerimanya?”
“Kau tak usah peduli kata istriku,”
“Dia pasti tahu,”
“Siapa yang kasih tahu?”
“Notifikasi bank,”
“Aku beli kau hadiah dari bonus tak tertransfer,”
“Jangan-jangan…,”
“Niat baik jangan kau alihkan ke yang buruk,”
“Alhamdulillah,”
“Transfer bank mungkin tak bisa ku lakukan lagi,”
“Terima kasih,”
“Kau harus sabar. Aku punya mata duitan di rumah,”
“Menteri keuangan,”
“Yang jeli setiap pengeluaran,”
“Aku akan berbakti padamu,”
“Aku bukan bapak engkau!”
“Akan kubuktikan,”
“Berikan bukti,”
“Kalau aku nggak cuma mengajar,”
“Kau bisa!”
“Aku pasti bisa!”
Sabda Ahmad mampir ke rumah tak lama setelah itu.
“Alphard siapa itu?”
“Kawan saya dari kota,”
“Orang kaya ya,”
“Bisa saya katakan begitu,”
“Kerja apa dia?”
“Banyak,”
“Alhamdulillah, masih diberi kemudahan,”
“Insyaallah,”
“Kamu apa kabar?”
“Saya masih seperti yang dulu,”
“Belum ada tanda akan dipanggil uji kompetensi lagi?”
“Saat ini belum,”
“Kamu belajar saja dulu,”
“Saya terus belajar tapi sekarang jenuh,”
“Jangan begitu,”
“Jalan hidup kita memang di guru,”
“Kamu bilang untuk dirimu sendiri,”
“Kamu juga,”
“Saya cuma guru honorer,”
“Kamu minder?”
“Kamu sudah tahu kenapa bertanya?”
“Orang sukses bisa beda-beda,”
“Saya tak sukses seperti orang-orang,”
“Sukses kamu tertunda,”
“Sampai kapan saya tak tahu,”
“Kamu iri sama kawanmu tadi?”
“Saya senang punya kawan seperti dia,”
“Kamu malu sama dia?”
“Saya disebut munafik jika menjawab tidak,”
“Kamu masih ada harapan,”
“Sementara kawan saya sudah naik Alphard dan punya rumah besar, saya masih menjadi guru honorer,”
“Itulah disebut langkah, rezeki, pertemuan,”
“Satu pun saya tak dapat,”
“Kamu belum,”
“Usia saya sudah berkurang,”
“Kamu dituntut sabar kembali,”
“Langkah saya terputus saat memilih guru honorer,”
“Jangan sebut demikian,”
“Rezeki saya hilang saat menerima pekerjaan sebagai guru honorer,”
“Besar kecil itu tergantung bagaimana kamu bersyukur,”
“Pertemuan saya dengan jodoh pun tak tampak hilal!”
“Bulan sabit sebentar lagi kelihatan,”
“Kamu pakai teropong planet-planet?”
“Teropong doa!”
“Bagaimana saya hidup jika terus membanggakan diri sebagai guru honorer?”
“Modal kamu ikhlas dan sabar,”
“Sampai maut memisahkan keduanya?”
“Orang lain sudah membuktikan bisa,”
“Saya sudah tak sanggup,”
“Kamu sanggup,”
“Di usia yang sudah tua begini, saya diwajibkan belajar untuk tes lagi, belajar mengikuti prosedur, belajar teknologi terbaru dalam tes, belajar empati orang, belajar ikhlas, belajar semua yang saya tak tahu harus menyebutkan apalagi,”
“Keyakinan kita menganjurkan belajar dari ayunan sampai liang lahat,”
“Belajar yang menghasilkan,”
“Kamu menghasilkan,”
“Nol besar. Semua tes yang saya ikut tidak ada yang lulus,”
“Kamu kurang beruntung saja,”
“Saya sudah berusaha,”
“Kamu sudah berdoa,”
“Doa saya bukan untuk dipamerkan,”
“Kamu kurang ikhlas,”
“Karena saya jera!”
“Jangan putus asa, kamu bisa di kesempatan lain,”
“Sampai kapan janji manis itu rasanya benar-benar manis?”
“Saat kamu mengecapnya nanti,”
“Apa yang saya wariskan kepada keluarga selain kekecewaan?”
“Kamu bisa mewariskan amal saleh,”
“Tetangga sana, kawan sana, kawan sini, orang-orang, semua sukses pulang dari menuntut ilmu. Saya saja yang hidup melanglang tanpa tujuan,”
“Kamu lupa sekolah kita banyak yang masih honorer?”
“Satu persatu mereka lulus tes,”
“Itu keberuntungan,”
“Saya yang tua terus tertinggal,”
“Masih ada Bu Vera,”
“Sebentar lagi dia mungkin kawin,”
“Belum ada jodohnya dia,”
“Wanita bisa cepat kawin,”
“Bu Vera sudah 40 tahun dia,”
“Mungkin dia sama dengan saya,”
“Kalian berbeda,”
“Sama-sama kena hukum azab di suatu masa melakukan apa sehingga nggak berhasil apapun yang dikerjakan sampai hari ini,”
“Kamu salah!”
“Saya rasa itu benar,”
“Kamu kurang bersyukur,”
“Saya bersyukur,”
“Nyatanya nikmat kamu berhenti!”
“Saya teriak syukur?”
“Teriak saja dengan kuat dalam hati, tetapi selama kamu tidak amalkan maka syukur tinggallah sebuah nama,”
“Pak Syukur, guru Matematika kita dulu,”
“Sudah pensiun beliau,”
“Tak punya anak,”
“Kasihan tinggal sendiri,”
“Gaji pensiun dibawa ke mana?”
“Ada ahli waris mungkin,”
“Mungkin,”
“Kenapa pula kamu mengurusi urusan orang lain?”
“Kamu yang memulai ke sana,”
“Saya datang menghibur kamu,”
“Kamu datang cuma mau mengeluhkan uang sertifikasi kena potongan, seperti teriakan Bu Nurma tadi di sekolah,”
“Kamu tahu? Itulah. Saya nggak ikhlas kalau hasil kerja keras kami dipotong begitu saja. Pak Kepala harusnya ada kejelasan kenapa main potong-potong terus,”
“Itu tandanya kamu nggak bersyukur,”
“Saya bersyukur,”
“Kamu mengeluh,”
“Itu sudah hak saya!”
“Hak saya apa?”
“Hak kamu…,”
”Maka dari itu, jangan kamu selalu bilang ke saya sabar dan ikhlas. Kamu sendiri yang gaji besar, dipotong sertifikasi cuma 100ribu, ribut sedunia,”
“Iya begitu?”
“Begitu? Tujuan kamu mampir ke sini kalau bukan untuk mengeluh apa juga?”
“Iya,”
“Di sekolah kamu sibuk di kelas, di laboratorium, tiba-tiba sudah menghilang katanya langsung pulang,”
“Saya sibuk akhir-akhir ini,”
“Kamu nggak pernah aman,”
“Saya masih kesal, kenapa…,”
“Kamu nggak bersyukur!”
“Oh benar, maaf!”
***