Dua tahun berlalu begitu cepat dan tanpa sadar kini air mata menetes membasahi pipi mulus Kiran, tangannya mengusap kasar menghapus jejak di wajahnya.
Matanya pedih memandangi vas bunga peninggalan mendiang bundanya, dan figura kecil itu melukis gambar indah untuk Kiran yang masih dalam ukuran mungil--umur dua tahun mungkin. Rambut halus di kepalanya sudah muncul sedikit keriting terlihat menggemaskan.
"Kiran, masih di sini? Kita harus berangkat ke Jakarta 1 jam lagi," tegur Dion yang tidak lain adalah ayah angkat Kiran sekarang.
Dia melalui masa-masa yang pahit, ingin kecewa tapi Tuhan sudah membuat ukiran takdir untuknya. Besar di panti asuhan membuatnya tidak punya banyak kesempatan untuk melihat dunia luar seperti apa, bagaimana orang-orang terlihat bahagia bersama keluarga mereka ketika punya waktu luang atau bahkan berlibur.
***
Satu minggu telah berlalu, Kiran tinggal di sebuah kompleks perumahan di kawasan Jakarta. Bersama keluarga barunya, menganggap masa lalu tetap untuk dikenang dan dia berusaha untuk melepaskannya perlahan dan membuka lembaran kisah yang baru.
"Ma, aku mau ke taman depan dulu ya," pamit Kiran pada Lilian--ibu tirinya.
Lilian mengangguk pelan. "Boleh, tapi jangan sore-sore mainnya. Denger adzan langsung pulang ya, itu paling maksimal," katanya.
Kiran langsung mengangguk dan keluar rumah, sambil membawa sepeda bersamanya--dia naik sepeda dan segera melaju ke jalanan menuju ke taman depan komplek.
Tidak jauh, hanya melewati sepuluh rumah dan satu belokan di ujung jalan. Kini Kiran sampai dan ia memarkir sepedanya di bawah pohon rindang. Udara mulai terasa dingin, ini sekitar pukul tiga sore. Langitnya mendung, pasti akan hujan sebentar lagi.
Kiran menengadah ke langit, niat ingin menyaksikan sunset di sana tidak sampai. Titik air menetes ke wajahnya, ia menunduk kembali. Hujan benar-benar turun membasahi bumi.
Kiran segera menggiring sepedanya untuk berteduh di halte, tidak ada tempat lain lagi. Toko-toko masih buka di dekat sana, depan ruko pun penuh kendaraan terparkir rapi.
Kiran menyeka air di tangannya perlahan, hingga pandangannya tertoleh pada laki-laki jangkung yang ikut menepi di sampingnya. Hidung mancung, mata sipit, kulit kuning langsat.
Nametag-nya tertulis 'Aldo Geandre' selesai Kiran membacanya dalam hati ia tetap meluruskan pandangannya, bagaimana tidak jika ia terus memandangi makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini--dikira bukan orang baik-baik.
Lima detik kemudian setelah pemikiran buruk Kiran, laki-laki tersebut menoleh padanya dengan tatapan aneh. "Tante kenapa liatin saya begitu?" tanyanya tiba-tiba.
Tante? Kiran melongo, penampilan dari dirinya yang mana di mata cowok tersebut sampai bisa menyebutnya 'tante' apa ada kerabatnya berkaitan dengan cowok ini. Kiran membelalakkan matanya. "Lo bilang apa? Gue masih muda ya, kita kayaknya seumuran deh jadi tolong yang sopan dong," tukas Kiran padanya.
"Maaf," ucap Aldo singkat.
"Miaw...," erang Kucing di bawah kaki Kiran. Gadis itu berjongkok memungut kucing itu ternyata ada luka kecil di bagian kaki hewan mungil tersebut.
"Aduh, kucing siapa sih."
"Awas, kakinya kayaknya tertusuk duri." Aldo mencoba memperingatkan.
Kiran tidak peduli pada ocehan Aldo yang notabenenya hanya orang asing yang tengah berteduh di tempat yang sama.
Tangan Kiran mengusap pelan kepala kucing tersebut, sampai kaki yang dimaksud oleh Aldo tanpa sengaja menyenggol jari gadis itu dengan kasar.
"Miaw! Rawrr!" Kucing itu melompat hingga terjatuh dan membuat goresan kecil di tangan Kiran, gadis itu merintih sakit.
"Apa gue bilang, kucing tadi kena duri makanya jadi agresif."
"Ya kenapa lo baru bilang sekarang sih," gerutu Kiran.
Aldo meletakkan tas punggungnya, ia membuka dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Kotak P3K dikeluarkan, ia segera mendapatkan plester dan obat merah.
Aldo mendongak mengisyaratkan pada Kiran untuk duduk di sebelahnya dan mendapat pertolongan pertama.
Setelahnya Kiran mengiyakan untuk duduk, dan Aldo dengan telaten memasang perban dan plester di jari telunjuk milik Kiran.
"Kalau gak cepet di obati, bisa kena rabies," ujar Aldo tanpa menatapnya--dia masih memasang satu lapisan plester lagi dan menggunting ujung kain tersebut.
Hasilnya rapi.
Sembari Aldo memasukkan kotak P3K ke dalam tas, Kiran memandanginya dalam diam. Dia bertemu sosok pria yang menakjubkan, hingga ingin rasanya bertenu lagi dengan orang ini.
"Makasih ya," ucap Kiran pada Aldo.
Cowok itu mengangguk, lalu mendongakkan kepalanya. Menyadari hujan sudah sedikit mereda, ia hendak meninggalkan halte tersebut berlari ke arah yang berlawanan. Belum sempat Kiran menanyakan di mana orang itu bersekolah. Almet warna merah, dengan nametag 'Aldo Geandre' membuatnya bertanya-tanya.
***
Sepulangnya, Kiran berada di kamar. Kini ia sedang belajar untuk bersekolah esok hari, tidak sabar untuk memulai hari yang baru. Pikirannya menerawang kejadian beberapa jam yang lalu. Aldo, nama cowok misterius itu--Kiran ingin bertemu dengannya lagi.
Telunjuknya terangkat, plester warna pastel itu membuatnya mengulas senyum kecil. "Emang boleh se-rapi ini?" gumamnya.
Tidak lama kemudian pintu diketuk, Lilian membukanya sambil membawa nampan berisi camilan. Buah, dan segelas susu.
"Kamu kenapa kok berseri-seri begitu, hayo habis ketemu siapa di taman tadi?" tanya Lilian padanya.
Kiran menggeleng tegas padanya. "Enggak kok, Ma," elaknya.
Lilian menyadari jemari Kiran yang seolah disembunyikan, tangannya segera meraihnya. "Ini kenapa bisa luka? Kamu gak kenapa-kenapa kan, Ran?" tanyanya.
"Bukan apa-apa kok, haha tadi aku ga sengaja pegang mawar berduri--gatau kalo ada durinya yang tajam." Kiran terkekeh tanpa rasa bersalah.
Lilian menghela napas panjang. "Lain kali jangn kmgitu lagi ya, hati-hati kalo mau bertindak. Kalo kamu kenapa-kenapa papa sama mama yang ribet juga," tuturnya pada Kiran.
"Iya, Ma," jawab Kiran patuh.
"Yaudah kamu lanjutin belajarnya gih, Mama mau ke bawah dulu ada tamu dari kantor papa," kata Lilian.
Kiran menoleh. "Tamu? Bukannya papa mau ke Australia besok? Mama juga ikut?" tanya Kiran.
Lilian menunjukkan raut menyesal. "Maaf ya sayang, kami terlalu sibuk ... Mama janji bakal bawa oleh-oleh yang banyak deh buat kamu," ujarnya pada Kiran.
Kiran beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri wanita berambut pendek itu dan mendekapnya masuk ke dalam pelukan.
"Ma ... bukan oleh-oleh yang aku mau tapi cukup pulang dengan selamat dan sehat aja," pinta Kiran.
Tangan Lilian mengusap punggung putrinya pelan. "Iya, Mama sama papa gak akan kenapa-kenapa-- justru kamu di sini sendiri yang bikin kami khawatir. Kamu serius ga mau sekolah di Australia aja? Papa mampu kok biayain," tawarnya.
Kiran menggelengkan kepala. Menolaknya. "Enggak, buat apa kita pindah ke Indonesia kalo untuk satu minggu dan balik lagi ke Australia atau bahkan ke negara lain lagi. Aku mau tinggal di sini, pengen punya temen dan sekolah di sini, Ma," katanya penuh tekad.
"Yakin mau cari temen doang dan bukan yang lain?"