Pandangan Aine dan Abay beradu. Hal pertama yang mampu gadis itu lakukan adalah memejamkan matanya sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Sementara Abay menyusun kata demi kata untuk meminta maaf kembali, justru Aine lah yang pertama kali membuka mulut memecah keheningan yang janggal.
Meski begitu, ekspresi Aine terlihat muram.
"Gue tau lo pasti mau minta maaf lagi 'kan?"
Ia mengibaskan tangan di udara, "Udahlah lupain aja. Udah gue maafin juga," tutur nya santai.
Kasihan juga dengan Abay yang pagi, siang, sore setiap kali bertemu dengannya pasti melontarkan permintaan maaf. Ini saja sepupunya itu masuk ke kamarnya setelah sekian kali memohon agar di bukakan pintu.
"Lo beneran maafin gue Ai?" tanyanya berbinar-binar.
Melihat Aine mengangguk, Abay segera berlari keluar kamarnya lalu kembali dengan membawa secangkir susu cokelat kesukaan Aine.
"Ini buat lo, special dari gue. Di minum ya, gue janji deh gak akan ngulang kesalahan yang sama," ucapnya sembari mengangkat dua jari berjanji.
Abay memang sepupu laki-laki menyebalkan. Sering menganggu dirinya. Mengambil ciki-ciki milik Aine yang tersimpan di kulkas tanpa seizinnya. Juga sering menjahili Aine dengan sengaja membuatkan susu putih.
Tapi terlepas dari itu semua, Abay begitu menyayangi Aine. Buktinya saja setiap kali Aine marah padanya, Abay tidak akan berhenti mengejar permintaan maaf gadis itu.
Mungkin karna faktor sama-sama anak tunggal membuat mereka dekat dan saling menyayangi sama hal nya seperti saudara kandung.
"Iya. Tapi sebenernya malem itu lo kemana, sih?" Aine bertanya karna masih penasaran kenapa Abay meninggalkannya begitu saja.
Abay menarik kursi belajar Aine lalu duduk di sana.
"Malem itu kan gue dapet telfon dari temen. Karna mereka tau kalau gue baru aja pindah ke sini, jadinya mereka ngajak nongkrong," terang Abay mulai menjelaskan dengan Aine yang mendengar seksama.
Aine mengangguk. Dia ingat jika Abay pernah bercerita kalau dia juga memiliki teman di kota ini. Teman satu club motor kalau tidak salah.
"Awal nya gue nolak Ai. Ya gak mungkin lah gue ninggalin lo-"
"Tapi kan lo bisa bawa gue aja ke tongkrongan," potong Aine cepat. Lumayan bisa tebar pesona di sana 'kan?
Abay berdecak sebal, "Ya diem dulu, gue belum selesai jelasin elah," omelnya.
"Ya lanjut deh," sahut Aine seraya mengubah posisi menjadi duduk. Dadanya terasa sesak karna terlalu lama tengkurap.
Aine bisa melihat raut wajah murung Abay yang terpancar. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Waktu telfon mau terputus, tiba-tiba gue denger suara ribut-ribut dari sana. Temen gue juga tiba-tiba panik Ai. Karna itu gue terpaksa ninggalin lo, gue tau ada hal yang gak beres disana," lanjut Abay menjelaskan.
Dia tertunduk lesu mengingat kondisi temannya sekarang yang tengah terbaring lemah di rumah sakit akibat kecelakaan malam itu.
"Terus kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Aine yang jadi begitu penasaran.
"Geng musuh rupanya nyerang kami. Dan temen gue yang jadi ketu tau hal itu, langsung ke lokasi dan dia tiba-tibs kecelakaan. Gue gak tau dia bakal sadar kembali atau justru-"
"Bay udah, jangan di terusin," sela Aine, beringsut dari kasur mendekati Abay yang tampak terpukul sekali.
Kalau Aine tau ini alasan nya, dia pasti tidak akan bersikap kekanak-kanakan.
"Jadi lo ikut geng motor?" tanya Aine setelah keadaan Abay sudah lebih baik.
"Iya. Jangan bilang ke siapapun ya? Apalagi Mama Papa sama Tante Om," ucapnya memohon.
Kalau tidak dalam kondisi sedih saja, sudah Aine manfaatkan kartu AS Abay yang ia pegang.
"Hm iya. Tenang aja. Semoga aja lo gak ikutan nyusul temen lo," ujar Aine dengan wajah tanpa dosa.
"Lo doain gue Ai?" Aine terkekeh ringan melihat tatapan sebal Abay.
"Iya. Puas lo?!"
Buk
Sebuah bantal melayang di wajah Aine, "Jahat bener," cibirnya merajuk.
"Biarin. Sana keluar, gue mau lanjut telfonan sama pacar gue tersayang," ucap Aine mengusir Abay.
Abay tau dengan hubungan Aine bersama pacar rahasianya itu. Kadang ia tak habis pikir kenapa cewek secantik Aine mau saja di kibulin sama cowok-cowok cemen yang bahkan no effort sama sekali.
"Enak aja no effort! Dia sering ngirimin gue surat sama bunga tau. Dia juga gak pernah lupa sama ulang tahun gue. Bahkan tiap valentine dia selalu ngirim cokelat," beber Aine akan kebaikan sang pacar.
Tak hanya itu, Aine juga tanpa sungkan menunjukkan langsung banyak nya bunga dan surat yang ia simpan agar Abay percaya.
Dia tentu tidak terima dengan ejekan Abay yang mengatakan jika pacar nya itu tidak ada usaha sama sekali dalam menjalani hubungan dengannya.
Tapi satu kalimat yang di lontarkan Abay, sukses membuat ia kehilangan seribu kata.
"Tapi yang kita butuhin itu sebuah kehadiran, Ai. Hadir nya di dunia nyata."
Benar kata Abay. Semakin kesini, dirinya juga semakin jenuh dengan hubungan long distance relationship yang ia miliki. Yang dia butuhkan ternyata bukan hanya sekedar teman chatting saja.
Tapi Aine juga butuh someone to talk, jalan-jalan meski tanpa tujuan, kulineran bareng, pokoknya semua hal yang hanya bisa di lakukan jika seseorang itu hadir nya nyata. Bukan hanya di balik layar ponsel.
******
Wajah Galang bermandikan keringat, waktu pulang sekolah ia dan tim berlatih futsal sampai sekarang.
Tak ada rasa lelah yang Galang rasakan karna ia menyukai dunia olahraga. Menurutnya, menggiring dan menendang bola adalah hobinya.
Peluit di tiupkan sang pelatih menandakan permainan selesai. Seluruh pemain berlari menuju tas masing-masing dan mengambil minum disana. Satu botol air mineral sudah Galang habiskan setelah itu ia berlari kecil menuju wc sekolah untuk ganti baju.
Baju yang basah karena keringat, wajah kusam, rambut yang acak-acakan tidak menurunkan sedikitpun ketampanan seorang Galang. Tak heran banyak cewek yang diam-diam jatuh hati pada Galang.
Namun karna mulutnya yang pedas, dan sikapnya yang terkadang menyebalkan membuat semua cewek malas berdekatan dengannya.
"Ngapain lo liat-liat gue?" Galang bertanya galak pada seorang gadis berkacamata yang melihatnya penuh kagum. Tatapan yang sudah biasa Galang lihat dari para gadis yang menggilai parasnya.
"Enggak pa-pa, kok. Aku kan punya mata," jawabnya sambil senyam-senyum membuat Galang bergidik ngeri.
"Senyum lo tuh mirip joker," ketus Galang kemudian melanjutkan jalannya.
Elea menghela nafas berat. Kenapa siswa-siswi ganteng dan cantik di sekolah nya ini tak ada satupun yang ramah?
Setelah selesai beres-beres, Galang berjalan sendirian menuju parkiran. Kotak mading yang terpajang di dekat perpustakaan menarik perhatiannya. Sejenak ia terdiam memandangi mading yang isi nya penuh akan puisi dan kata-kata puitis lainnya.
Otaknya mengulang kejadian kemarin sore dimana ia bertemu dengan cewek cantik yang sombongnya setinggi gunung everest di toko buku milik Ayah nya.
"Padahal satu sekolah, tapi jarang banget ketemu," gumam nya lalu kemudian pergi.
Sembari bersenandung kecil, Galang mengedarkan pandangan di setiap penjuru sekolah. Dan matanya tak sengaja menangkap dua orang sejoli yang tampaknya sedang bertengkar. Dari belakang, Galang seperti mengenal postur tubuh si cewek.
"Aine?" Galang menajamkan penglihatannya, dan bersembunyi balik tembok untuk menguping pembicaraan Aine dan Aga, cowok yang cukup Galang hindari untuk ber-urusan dengannya.
"Masa lo gak bisa anterin gue pulang sih Ga? Malem itu aja lo yang nganterin gue pulang," ucap Aine yang keukeh meminta Aga mau mengantar nya pulang.
Dia sengaja keluar kelas awal sekali agar bisa mencari motor Agantara. Aine beralasan ingin cepat pulang karna ada acara di rumah sewaktu kedua sahabatnya bertanya perihal gelagatnya yang terburu-buru.
Jadi gadis sombong itu menyukai Agantara? Galang tetap berada di posisinya.
"Bukan gak bisa. Tapi gak mau."
Mendengar itu, Galang terbelalak kaget. Dia kira Agantara akan senang hati menerima permintaan Aine. Tapi ternyata selain dirinya, ada juga cowok yang tidak suka dengan Aine.
"Segitu gak suka nya ya lo sama gue Ga?"
"Minggir," balas Aga dingin, ia tidak mau menjawab pertanyaan Aine yang menurutnya hanya akan buang-buang waktu.
"Gak. Gue gak mau minggir sebelum lo jelasin kenapa lo jadi berubah gini. Lo gak hilang ingatan 'kan?"
Aga menghempas kuat tangan Aine yang menyentuh lengannya. Dengan pandangan jijik ia menjawab, "Mau lo apa sekarang? Tolong jangan buang-buang waktu gue buat ngomong sama cewek kayak lo," ucap nya menahan diri untuk tidak menyakiti Aine dengan kalimat-kalimat jahatnya.
"Gue mau lo anterin gue pulang."
"Gue bukan supir lo!" bentak Aga kesal bukan main.
Galang tidak tahan ingin keluar dari persembunyiannya, tapi ia ingat bagaimana selama ini ia menghindari agar tidak mempunyai masalah dengan Agantara.
"Tapi tadi lo nanya mau gue apa."
Brak
Aga melempar helm nya ke tanah tanpa di duga. Aine sontak mundur cepat karna benda itu hampir mengenai dirinya. Ia menatap Aga tak percaya.
"Lo kasar."
Justru Aga tertawa mendengarnya, "Itu tau. Sekarang pergi dan jangan pernah nunjukin muka cantik lo itu di depan gue lagi. Sebelum gue ngelakuin hal yang lebih kasar dari pada ini," ujar Aga tegas. Ia sengaja menekan kata cantik dalam kalimatnya.
Tapi Aine tetaplah Aine. Ia tetap dengan pendiriannya.
"Lo gak akan berani mencelakakan gue, gue yakin," katanya penuh percaya diri.
"Oh ya?" seringai Aga begitu menyeramkan.
Tubuh Aine bergerak mundur sampai kakinya terhenti karna di belakangnya ada parit besar yang akan membuatnya jatuh jika terus mundur. Sementara ujung kedua sepatu mereka sudah saling bersentuhan.
"Ayo dorong gue ke belakang kalau lo emang berani celakain gue!" tantang Aine mengangkat dagunya tak takut.
"Oke kalau itu mau lo."
Mulut Aine tercengang tak percaya saat kedua tangan Aga akan menyentuh pundaknya. Tubuh Aine seketika menjadi kaku, dia memejamkan mata erat-erat karna sebentar ia akan bermandikan air parit yang sangat bau.
BUG
Tungggu! Kenapa dia malah mendengar suara bogeman mentah? Aine membuka matanya, dan langsung di kejutkan dengan pemandangan dimana Aga yang tersungkur di tanah dengan bibir yang mengeluarkan darah.
"AGA!!" teriak Aine shock. Dia membekap mulutnya begitu Aga membalas pukulan Galang. Ya! Lelaki yang melayangkan bogeman itu adalah si cabe man.
"Brengsek!" dengan cepat Aga menangkas tangan Galang.
"Stop!! Kalian ini kenapa sih?!" teriak Aine berdiri di tengah-tengah mereka berdua. Aine memandang Aga dan Galang gantian.
"Astaga, bibir lo berdarah," cemas Aine yang menyentuh wajah Aga namun Aga malah mendorong nya.
"Jangan sentuh gue," ucapnya tajam. Tak
"T-tapi Ga-"
Ucapan Aine terhenti kala Galang tanpa di sangka menggenggam tangannya erat. Galang melindunginya. Galang lah yang menghentikan Aga saat Aga tanpa perasaan ingin mencelakainya.
"Sekali lo nyentuh dia, lo ber-urusan sama gue," tekan Galang tak main-main. Wajah tengilnya hilang entah kemana.
Kemunculan Galang yang tiba-tiba menimbulkan satu pertanyaan di benak Aine. Apa cowok itu dari awal sudah menguping pembicaraan mereka?
"Oh wow. Jadi seorang kapten futsal sekarang menyukai sang primadona sekolah." Aga bertepuk tangan seolah tengah menyaksikan sebuah pementasan drama putri cantik yang di selamatkan oleh pangeran tampan.
"Aga udah. Gue obatin luka lo ya?" tawar Aine tapi kembali di abaikan. Tak terlintas sedikitpun di pikirannya untuk berterimakasih pada Galang. Dia bahkan melepas genggaman lelaki itu.
"Gak sudi."
Rahang Galang mengeras kembali mendengar penolakan Aga.
"Kenapa? Lo suka sama ni cewek? Ambil. Cocok lo berdua," ucap Aga lempeng menunjuk Aine hina.
Tak di sangka Galang tersenyum miring, "Bukannya udah jadi rahasia umum kalau seorang Agantara yang lemah dan pengecut memendam rasa suka dengan seorang putri cantik di sekolah?"
Apa Aine tidak salah dengar tadi? Jadi selama ini Aga diam-diam menyukainya? Jadi bener dong tentang kecurigaannya kalau sikap dingin Aga padanya hanya agar dirinya yang mengejar-ngejar Aga?
Tak bisa di pungkiri jika hati Aine berbunga-bunga mendengar fakta yang tak sengaja ia tau itu.
Aga merapatkan bibirnya kembali saat seorang gadis menghampirinya. Gadis berwajah manis yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
"Kak Aga ayo pulang. Maaf ya udah nunggu lama," ucapnya semangat. Seperti biasa, senyum nya selalu Aga suka.
"Elea?" Aine menganga tak percaya. Jadi gadis yang di bully nya kemarin ternyata dekat dengan cowok yang ia sukai?
Aga mengambil helm yang ia lempar ke tanah tadi, setelah membersihkannya ia pasang kan di kepala Elea.
"Ayo kakak anterin pulang," ucapnya lembut sekali. Berbeda saat berbicara dengan Aine.
"Duluan Kak Aine," ucap Elea.
Pemandangan di depannya sungguh membuat hati Aine terbakar. Tidak. Ini bagai mimpi buruk untuk nya. Dia bersumpah akan menjauhkan Elea dari Aga!
Mulai detik ini ia berjanji akan membuat gadis manapun menderita kalau sampai berani dekat dengan Aga.
Lagi pula, bukankah Aga menyukai dirinya?
"Mau kemana?" tanya Galang karna Aine berbalik badan ingin pergi.
"Menurut lo?" ketus nya membalas.
Sontak saja Galang berkacak pinggang, "Lo tuh jadi cewek gak ada makasih-masih nya ya. Kalau gue gak nolong lo tadi, udah di pastikan lo pulang dengan bau parit. Wajah elite, attitude sulit!" sindir nya bengis. Tapi dalam hati nya yang paling dalam, Galang ikhlas menolong Aine.
"Yang minta lo nolongin gue siapa? Gak ada," balasnya songong.
Aine kira Galang akan melepaskannya begitu saja? Oh tidak.
"Sialan lepasin gak?!" teriak Aine karna Galang menarik kerah bajunya dari belakang.
"Enggak. Lo masih punya hutang buku sama gue."
"DASAR COWOK MEDIT!!"