“Loh Jun, dia habis ngapain? Kok pucat banget gini?” tanya Maya ketika melihat Jun pulang menggendong Maria yang lemas di punggungnya.
“Nggak tahu, Tante. Tadi saya suruh istirahat tetap aja ngajak main,” jawab Jun terus terang.
“Ya udah bawa dia ke kamar. Makasih, ya, Jun.”
Jun dapat merasakan suhu tubuh Maria, semakin panas. Dia dengan cepat menggendong Maria ke lantai atas, agar Maria dapat beristirahat dengan baik.
“Istirahat, ya, besok nggak usah masuk sekolah. Pulang sekolah gue jenguk, kok,” ujar Jun setelah meletakkan Maria di tempat tidurnya.
“Enggak mau,” jawabnya dengan suara pelan dan beda dari biasanya.
“Lo itu kecapekan latihan mulu, Mar, makannya juga dikit banget. Udah, ya nggak usah bandel?” Jun duduk di samping Maria sambil mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
“Di sekolah nanti lo sama siapa Jun?” tanya Maria. Dia khawatir dengan Jun, Jun juga susah bersosialisasi seperti dirinya. Pasti jika tidak ada Maria, Jun akan kesepian.
“Keadaan lo kayak gini, masih sempatnya mikirin orang lain? Udah ya diam, gue mau beli obat dulu. Bye Mar!” Rasa khawatir Jun berlebihan melihat Maria terbaring lemah seperti ini. Sebelum pergi entah kenapa dia mencium kening Maria sambil tersenyum. Tentu saja Maria terkejut, itu benar-benar mendadak.
“Ini gue sakit? Terus mimpiin Jun yang tiba-tiba aneh gitu? Jun cium jidat gue?” Maria berbicara sendiri di kamar ketika Jun sudah pergi membeli obat. Maria tidak menyangka, Jun akan memperlakukan dirinya dengan sangat penuh perhatian. Saking salah tingkahnya, dia berguling-guling di tempat tidurnya. Sampai dia lupa kalau saat ini sedang sakit.
Beberapa jam kemudian Jun kembali lagi ke kamarnya sambil membawa obat dan makanan, Maria masih bisa melihat ekspresi wajah Jun meskipun memejamkan mata. Jun mengecek suhu tubuhnya lagi dengan telapak tangannya yang begitu menghangatkan.
“Maria,” panggilnya pelan membangunkan Maria.
“I-iya?” Maria membuka matanya perlahan.
“Makan yuk, terus minum obat. Kalau udah selesai baru tidur,” ujar Jun.
“Mulut gue pahit Jun,” rengek Maria.
“Udah ah bawel,” Jun dengan bersikeras membantu Maria memposisikan dirinya untuk duduk secara perlahan.
“Gue beliin rendang, soalnya mama lo lagi nggak masak. Kesukaan lo, kan?” Jun mengeluarkan box makanan dari kantong plastik.
“Aaa ... suka banget. Thank you so much Jun.” Maria benar-benar berterimakasih.
“Ya udah gue suapin, lihat drama Korea nggak?” tanya Jun.
“Iya sambil lihat drakor.” Maria menganggukkan kepalanya dengan excited.
“Oke.” Jun meletakkan box di atas terlebih dahulu lalu menyalakan televisi yang ada didalam kamar Maria.
*********
Sepi, rasanya begitu hampa. Beda dari hari-hari sebelumnya, di kelas Jun duduk sendiri tanpa ada Maria di sampingnya. Hari ini dia hanya menghabiskan waktunya untuk diam, tidak berbicara dengan teman-temannya yang lain.
“Ya ampun kasihan banget cowok letoy sendirian, si gembul lagi nggak masuk soalnya!” Vina berbicara begitu lantang di dalam kelas, memang dia adalah manusia yang paling tidak mempunyai pekerjaan di muka bumi ini. Yang hanya bisa dia lakukan hanyalah banyak bicara dan mengurusi urusan orang lain seenaknya sendiri, karena dia berbicara begitu Jun ditatap oleh teman-teman satu kelasnya.
Setelah dipikir-pikir sudah 2 tahun lebih lamanya, Jun bersabar dan dia juga menyuruh Maria bersabar agar tidak membalas ejekan Vina dan lainnya. Jika dibiarkan perkataannya semakin menjadi-jadi dan sembarangan, tanpa pikir panjang Jun merekam ucapan Vina untuk dia beritahukan kepada guru BK sebagai suatu kasus pembullyan dan body shaming.
“Vin, puas?” tanya Jun sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Puas apa?” dia malah bertanya balik, seolah-olah tidak berdosa berkata seperti itu. Dia tidak menyadari apa yang selama ini dia lontarkan dari mulutnya.
“Dari kelas sepuluh loh, Vin, gue sama Maria udah sabar-sabarin. Kelewatan banget lo kalau ngehujat orang!” Jun mulai buka suara.
“Apaan, sih, lo, kan emang orang Korea? Orang Korea kebanyakan suka nge-dance letoy, kan, haha. Terus Maria, dia kan emang gendut kayak emak-emak, hitam lagi!” ujar Vina blak-blakan tanpa berfikir panjang akan konsekuensi yang dia dapatkan setelah berbicara seperti itu.
“Suka banget, ya body shamming, kurang kerjaan banget cuma bisa nyinyir. Lo nggak sadar, ya itu tuh termasuk bullying verbal!”
“Udah berani ngelawan, ya lo sekarang. Udah nggak cupu lagi,” ledeknya. Di tengah pertengkaran mulut mereka, teman-temannya yang lain hanya diam dan memerhatikan.
Setelah Vina berbicara begitu, Jun langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu menghentikan perekam suara. Dia rasa itu sudah cukup sebagai bukti nanti, otomatis Vina tahu apa yang dilakukannya.
“L-l-lo? Barusan ngapain hah?” tanya Vina gelagapan.
“Ngerekam suara, kenapa?” jawab Jun santai lalu kembali duduk di tempatnya.
“Buat apaan?” Dia mulai ketakutan, meskipun dia ketakutan wajah arogannya masih nampak dan menjengkelkan jika Jun harus menatapnya secara terus menerus.
“Siap-siap aja ... ada bimbingan konseling.” Jun tidak menatap wajah Vina. Dia memalingkan wajah dengan mengambil buku dari dalam tasnya karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai.
“Gila lo, ya? Kurang ajar lo!” Tangan Vina hampir mendarat di pipi Jun, tapi untung saja bel sudah berbunyi. Guru juga masuk kelas dengan tepat waktu dan melihat aksi Vina yang akan menampar Jun.
“Vina, mau ngapain kamu?” tanya Bu Tatik.
Vina menurunkan tangannya lalu menatap bu Tatik malu-malu, “Hehe ... nggak papa, Bu. Peregangan!” jawabnya asal-asalan. Setelah itu kembali duduk di tempat asalnya sambil melihat ke arah bangku yang ditempati Jun dengan penuh tatapan kebencian.
********
Jun adalah laki-laki yang dapat memegang ucapannya, dia berjanji kepada Maria sepulang sekolah dia akan menjenguknya. Sebelum itu, dia membelikan rendang untuk Maria supaya Maria bahagia dan lekas sembuh. Bukannya Mama Maria tidak memasak, tapi Maya lebih sering memasak makanan khas Korea. Kondisi Maria yang sedang sakit tidak cocok jika memakan makanan Korea yang identik pedas, jadi lebih baik dia memakan rendang.
“Tante, Maria keadaannya gimana?” tanya Jun sesampainya di rumah Maria.
“Udah mendingan, kok, Jun, tapi perlu istirahat. Besok kebetulan Sabtu sama Minggu libur, kamu bisa nemenin dia? Biar dia nggak bosan.” Maya meminta agar Jun menemani Maria dikala kondisinya yang saat ini sedang memburuk.
“Siap, Tante. Saya boleh ke atas sekarang?” Jun meminta izin untuk menjenguk Maria di kamarnya.
“Ya boleh, dong. Silakan.” Maya mengizinkan Jun. Jun lalu segera menuju kamar Maria sambil membawa kantong plastik berisikan box makanan rendang.
Pintu kamar Maria terbuka begitu lebar, mungkin Maya sengaja melakukannya agar Maria mendapatkan udara lebih banyak. Jun masuk begitu saja sambil berteriak heboh, dia berniat seperti itu supaya Maria terkejut akan kehadirannya.
“Mariaaa!” panggil Jun begitu riang masuk ke dalam kamar Maria lalu duduk di kursi dekat tempat tidur Maria.
“Ya ampun Jun ... ngagetin sumpah. Assalamualaikum, dong,” protes Maria.
“Hehe. Assalamualaikum Maria Oktaviana.” Jun mengucapkan salam sesuai perintah Maria.
“Waalaikumsalam. Gitu, dong, kan enak.” Maria mencubit pipi Jun gemas.
“Yuk makan!” Tanpa basa-basi Jun mengeluarkan rendang yang tadi dia beli untuk Maria.
“Lo enggak makan Jun?” tanya Maria.
“Udah tadi di warungnya. Sini gue suapin, buka mulutnya!” Jun memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut Maria. Maria tentu saja menurut karena daritadi belum makan sesendok sekalipun.
“Besok gue main ke sini. Disuruh sama mama lo.” Jun menceritakan apa yang dibicarakan Maya tadi.
“Beneran?” Maria senang mamanya menyuruh Jun untuk menemaninya agar tidak kesepian.
“Iya beneran.” Jun menganggukkan kepalanya.